Oktober 29, 2008

Payung Hitam Sumpah Pemuda


Payung Hitam Sumpah Pemuda
Rabu, 29 Oktober 2008 | 00:18 WIB
from: http://cetak.kompas.com

Semua orang memandang ke langit. Setelah itu, sebagian dari mereka memandang ke lengan untuk melihat waktu. Tiga puluh menit sebelum jadwal acara dimulai, pukul 15.30 hujan turun lebat di halaman Gerbang Utama Taman Mini Indonesia Indah.

Persiapan peringatan puncak Hari Sumpah Pemuda ke-80 yang digelar di lapangan terbuka dengan pelindung tenda menjadi kacau balau. Tenda yang dimaksudkan untuk melindungi sekitar 9.000 undangan dari sinar matahari tak mampu menahan empasan hujan angin.

Puluhan pemain orkestra IWO Yogyakarta yang duduk rapi di atas panggung utama mengamankan alat musik mereka dari air hujan. Empasan angin membuat hiasan panggung rontok. Gapura yang dibuat di sisi barat panggung utama roboh. Panitia kalang kabut.

Payung menjadi barang paling berharga di tengah hujan angin. Payung juga yang dicari untuk memindahkan tamu-tamu istimewa. Tamu istimewa itu antara lain para penerima penghargaan dari Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault. Mereka antara lain personel kelompok musik Bimbo, Andy F Noya, dan Dik Doang.

Karena hujan deras disertai angin dan sesekali petir ini, 450 orang yang mewakili suku yang ada di Indonesia dan duduk di baris terdepan juga menyingkir menghindari air hujan.

Semua masih memandang ke langit karena tepat pukul 15.30, hujan belum juga reda. Melihat kecemasan tamu undangan, panitia mengumumkan acara tetap akan diselenggarakan menunggu hujan sedikit mereda. Panitia basah kuyup.

Kejenuhan menunggu hujan mereda pecah ketika diumumkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah tiba memasuki tenda. Hadirin bersorak-sorai mendapati akhirnya acara dimulai juga. Presiden datang berpayung hitam yang melindunginya dari hujan.

Semangat semua undangan yang melemas karena hujan terpompa ketika diajak berdiri menyanyikan ”Indonesia Raya”. Iringan biola milik WR Soepratman yang dimainkan Idris Sardi membuat khidmat suasana.

Edo Kondologit menyanyikan ”Indonesia Tanah Air Beta”. Semua hadirin dibawa ke suasana kecintaan kepada Indonesia yang kaya tanah dan airnya.

Sebelum lagu itu, Adhyaksa menyampaikan laporan yang diakhiri puisi tentang kecintaannya kepada Indonesia. Puisi itu ia sampaikan dengan terisak, di antara hujan yang belum reda.


Acara puncak peringatan Sumpah Pemuda adalah mendengarkan pidato Presiden. Presiden menggariskan masih banyak tantangan bangsa setelah 80 tahun dinyatakan Sumpah Pemuda.

Tantangan itu nyata dari luar dan dalam negeri untuk persatuan dan kemajuan. Ada globalisasi yang seperti dua sisi mata uang, negatif dan positif. Dari dalam adalah dampak desentralisasi. Jika tidak dikelola, semangat kedaerahan yang berlebihan dapat menjadi ancaman.

Payung hitam yang digunakan Presiden mungkin bisa menggambarkan masih ada awan hitam pembawa hujan di Tanah Air untuk beberapa waktu ke depan. Di samping banyak pemuda berprestasi yang diberi penghargaan pada peringatan sumpah pemuda, banyak pula pemuda yang tidak jelas masa depannya.
(WisNU Nugroho)

*******

Mungkin akan terdengar ganjil dan berlebihan. Tapi aku benar-benar menitikkan air mata saat membaca laporan tersebut. Khususnya pada bagian-bagian yang kucetak tebal dan sedikit kuperbesar. 

Ketika aku membacanya, seketika aku  berada di tengah-tengah pengunjung peringatan Hari Sumpah Pemuda tersebut. Berpanas-panasan serta berhujan ria dengan angin basah menyapu sekujur tubuh, tetap berdiam. Menunggu acara dimulai.

Lalu tibalah saat menyanyikan Indonesia Raya dengan iringan biola milik W.R. Supratman yang dimainkan oleh Idris Sardi. Menyanyikan pula lagu mendayu Indonesia Tanah Air Beta. Ditutup pembacaan puisi oleh Adyaksa Dault dengan terisak di tengah hujan yang belum sepenuhnya reda.

Indah sekali ...

" ... banyak pula pemuda yang tidak jelas masa depannya "
Kesadaranku terguncang. Ingin kusangkal kalimat itu. Tapi dengan apa? 


sumber gambar: http://yantisadli.blogsome.com/images/hujan.jpg

Oktober 28, 2008

"Rinduku Padamu!" : Jeritan Bangsa untuk Generasi Muda


“ Beri
aku seribu orang, dan dengan mereka aku akan menggerakan Gunung Semeru! Beri aku sepuluh pemuda yang membara cinta
nya kepada Tanah Air, dan aku akan mengguncang dunia!”
(Ir. Soekarno Putra, Proklamator Bangsa)


Hanya sepuluh orang pemuda yang Bung Karno butuhkan untuk dapat mengguncang dunia, sementara untuk menggerakkan gunung Semeru saja dibutuhkan seribu orang.

Keistimewaan Pemuda

Secara umum, terdapat dua sudut pandang yang membuat posisi pemuda menjadi istimewa dan strategis: kualitatif dan kuantitatif (Akbar Tandjung: Peran Pemuda dalam Menciptakan Perubahan Bangsa)

Secara kualitas, pemuda memiliki idealisme yang murni, dinamis, kreatif, inovatif, dan memiliki energi yang besar bagi perubahan sosial. Kedinamisan jiwa pemuda seolah menjadi pembeda yang sangat mencolok dibandingkan dengan kaum tua yang cenderung mempertahankan adat lama dan sukar menerima perubahan. Idealisme yang murni di sini berarti tak ada kepentingan pribadi yang turut serta dalam memperjuangkan kepentingan luas demi kemajuan masyarakat, bangsa dan negara.

Aspek kedua adalah kuantitas. Dari sekitar 230 juta penduduk Indonesia, 78-90 juta jiwa atau 37-40 persen dari jumlah penduduk seluruhnya adalah pemuda. Itu jika asumsi rentang usia pemuda antara 15-35 tahun. Jika kriterianya 15-45 tahun tentu jumlahnya menjadi lebih besar lagi. Sebagian besar kelompok usia ini adalah tenaga kerja produktif yang mengisi berbagai bidang kehidupan.

Pemuda memang memiliki kelebihan yang secara substansial terkait dengan idealismenya yang masih murni, dan sepanjang sejarahnya terbukti telah memilki posisi dan peran yang strategis dalam menentukan arah sejarah bangsa.


Sejarah Bangsa Bersama Pemuda

Jika dirunut dari awal pergerakan pemuda dalam usahanya memperjuangkan kemerdekaan serta mengisinya, kita bisa memulai sejak tahun 1908. Diawali dengan berdirinya Boedi Oetomo yang dimotori para dokter Stovia. Selanjutnya muncul organisasi-organisasi kepemudaan yang mewarnai dinamika pergerakan nasional seperti Jong Java, Jong Borneo, Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Islamieten Bond, dan sebagainya.

Pasca Perang Dunia I, filsafat nasionalisme abad pertengahan mulai merambat ke negara-negara jajahan melalui para mahasiswa yang belajar di negara penjajah. Sebut saja Soepomo yang merumuskan konsep negara integralistik banyak menyerap pikiran Hegel. Penciptaan lagu-lagu kebangsaan pada masa itu sarat dengan semangat nasionalisme seperti Indonesia Raya, Dari Sabang Sampai Merauke, Padamu Negeri. Tokoh lain seperti Hatta dan Sutan Syahrir pun aktif mendiskusikan masa depan bangsanya ketika mereka belajar di benua Eropa, atas beasiswa politik-etis balas budinya Belanda. Mereka inilah yang nantinya banyak berkiprah menentukan arah biduk kapal Indonesia di masa pra dan pasca kemerdekaan.

Sementara di dalam negeri, Soekarno sejak remaja, mahasiswa, hingga lulus kuliah terus aktif meneriakkan tuntutan kemerdekaan bagi bangsanya melalui organisasi-organisasi yang tumbuh di awal abad ke-20. Soekarno menjadi penghuni langganan penginapan gratis penjara Sukamiskin dan penjara-penjara lain.

Maka setelah dua puluh tahun sejak Kebangkitan Nasional, cita-cita menyatukan negara, bangsa, dan bahasa ke dalam satu negara, satu bangsa, dan satu bahasa yaitu Indonesia kemudian diwujudkan secara nyata dengan menggelorakan Sumpah Pemuda di tahun 1928.

Periode berikutnya dan yang tak kalah penting adalah kemerdekaan. Puncak perjuangan para pemuda meraih kemerdakaan diserukan oleh Soekarno kepada segenap penduduk Indonesia dalam teks Proklamasi. Lagi-lagi, berkat desakan pemuda yang menculik Soekarno ke Rengasdengklok, kemerdekaan Indonesia jatuh pada tanggal 17 Agustus 1945.

Tepat dua puluh tahun setelah kemerdekaan, terjadi huru-hara pemberontakan G30S/PKI dan eksesnya. Tanpa peran besar mahasiswa dan organisasi-organisasi pemuda yang tergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia), KASI (Kesatu Aksi Sarjana Indonesia) dan masih banyak lagi, Soeharto dan para tentara tidak mungin bisa ‘merebut’ kekuasaan dari penguasa orde lama, Soekarno. Sayangnya, dalam perjalanannya, Orde Baru justru menghapus peran pemuda dan dengan otoritasnya berupaya menghilangkan sama sekali hak pemuda dan mahasiswa untuk berkarya serta mengeluarkan pendapat. Sebaliknya, para tentara diguritakan dalam tatanan masyarakat sipil lewat dwifungsi ABRI.

Akhirnya, setelah 32 tahun di bawah cengkraman Orde Baru, muncul secercah asa baru di wajah Indonesia yang terlanjur rusak. Ibarat sebuah bangunan, Indonesia di bawah rezim Soeharto berselimutkan tirai panjang. Tak nampak batang tubuh bangunan tersebut, yang ada hanyalah keindahan dari tirai tersebut. Namun saat disingkap, bentuk asli pilar dan tembok bangunan pun tampak jelas. Bangunan dengan pilar dan tembok penuh retakan di mana-mana akibat tikus-tikus negara yang berlindung di balik topeng KKN. (bung Aswin-2005). Mahasiswa dan pemuda memanfaatkan kesempatan tersebut dengan upaya menjatuhkan Soeharto dari kursi tahtanya. Inilah era yang kita kenal dengan nama reformasi.
Sekarang, sepuluh tahun pasca reformasi, tampuk kepemimpinan bangsa justru berturut-turut didominasi kaum tua yang hidup di zaman Soeharto dengan segala kebiasaan yang telah mengakar dan membudaya.

Sekedar pembanding, berikut data usia sosok pemimpin bangsa antara dominasi kaum muda dan kaum tua: Bung Karno dan Bung Hatta menjadi presiden dan wakil presiden di usia 44 dan 43 tahun, Bung Syahrir menjadi perdana menteri pada usia 40 tahun, Mohammad Natsir menjadi perdana menteri pada usia 42 tahun, Jenderal Soedirman wafat pada usia 36 tahun, Seoharto dilantik menjadi presiden RI pada usia 46 tahun. Kemudian era kepemudaan lengser: Soeharto berkuasa penuh berturut-turut di Indonesia hingga usia 72 tahun, Habibie menggantikan Soeharto menjadi presiden di usia 63 tahun, Gus Dur menjadi presiden di usia 59 tahun, Megawati Sukarnoputri diangkat menggantikan Gus Dur di usia 54 tahun, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memenangkan Pemilu tahun 2004 di usia 55 tahun.

Indonesia Rindu akan Pemudanya

Sejarah mencatat perjalanan pemuda Indonesia memimpin bangsa membawa perubahan yang signifikan dan selalu dinanti oleh bangsanya. Namun, dalam satu dekade pasca reformasi, peran pemuda seolah tenggelam atau secara tidak langsung ditenggelamkan oleh sistem.

Dengan segala kerendahan hati, sebagai pemuda Indonesia, penulis merasa memiliki tanggung jawab mengemban pelaksanaan reformasi sebagai langkah besar bangsa ini menuju perubahan berikutnya. Perubahan yang kembali dinanti bangsa kita.

Bahkan secara ekstrim penulis katakan, bangsa ini tengah berteriak memanggil para pemudanya. Berteriak penuh haru dan harap dengan suara bergetar dan lelah menunjukkan betapa bangsa ini jengah menanti.

Ia
rindu akan gerak-gerik pemuda yang dulu senantiasa membelanya, mempertaruhkan jiwa dan raga mereka untuknya, tanpa takut pada suatu apa maju mengusir penjajah bersenapan mundur dari tanah airnya. Ia rindu akan aksi-aksi nyata para pemuda dan bukannya teriakan memekakkan telinga tanpa wujud nyata. Ia sangat rindu akan munculnya sosok pemuda yang benar-benar mampu membawa dirinya keluar dari jerat kesengsaraan menuju masa depan cerah yang selama ini diimpikannya. Ia sungguh merindukan pemimpin untuk dirinya dan segenap rakyatnya dari kalangan pemuda seperti yang pernah ia lihat delapan puluh tahun yang lalu; yang berdedikasi tinggi kepada bangsa, beritikad baik merubah nasib bangsa, tak mengenal istilah pamrih, tak mengharapkan timbal balik dari orang lain, demi mencerahkan wajah suram bangsa ini, demi memberikan sunggingan senyum di rona kusut bangsa ini, demi kemaslahatan bangsa.

Tahun 2008 ini, peristiwa Sumpah Pemuda genap berusia 80 tahun. Di usia yang relatif tua, kemunculan tokoh-tokoh pemuda ke ajang politik menuju kepemimpinan baru bangsa Indonesia seolah menjadi jawaban dari jeritan bangsa yang mulai kelelahan menghadapi berbagai permasalahan tanpa kehadiran pemuda bersamanya.

Akhirnya, dengan semangat sumpah pemuda dan atas nama pemuda Indonesia yang membara cintanya pada tanah air, yang memiliki keprihatinan mendalam terhadap nasib negeri ini, dan bertekad sepenuh hati dengan idealisme murni sepenuhnya merubah nasib bangsa, mari kita serukan kalimat: HIDUP PEMUDA INDONESIA!




sumber gambar:
http://www.indonesiamedia.com/2006/11/mid/serba_serbi/images/serba_serbi/sumpah%20pemoeda.jpg
http://www.e-dukasi.net/mol/datafitur/modul_online/MO_106/images/sej203_07.JPG
http://www.e-dukasi.net/mol/datafitur/modul_online/MO_106/images/sej203_09.gif

Oktober 26, 2008

Pelajaran Penting Krisis Keuangan Global


Tahun 2008 menjadi tahun penting bagi dunia, karena terjadi krisis keuangan global. Sebenarnya hal tersebut tidak terlalu mengherankan, karena krisis serupa sudah berulang kali terjadi sebelumnya. Ambruknya bursa saham Wallstreet pada tahun 1929 yang disusul oleh resesi atau mandegnya ekonomi yang berkepanjangan di tahun 1930, Black Monday tahun 1987, krisis keuangan tahun 1997 di regional Asia, hingga sekarang krisis keuangan global 2008.

Dunia gempar. Prinsip dilanggar sedemikian rupa. Bush menggelontorkan ratusan milyar hingga trilyunan dollar AS. Negara-negara Eropa pun mengikuti langkah serupa. Bagaimana lagi? Invisible Hand tidak kunjung muncul. Pemerintah pun turun tangan menyelamatkan institusi keuangan yang dikhawatirkan collapse. Khawatir bernasib seperti Lehmann Brothers.

Suara-suara menuding dan mencela pun hampir seperti dengungan lebah. Hampir semua orang tergoda untuk mengangkat cerita lama perseteruan sosialisme dan kapitalisme. "Hancur sudah kapitalisme, apa kubilang?" , "Saatnya sosialisme bangkit kembali! Lihat saja nanti!" , "Eh, tunggu dulu. Apa kalian tidak melihat sistem yang lebih baik ini. Ini saatnya sistem syari'ah. Pasti!" ...

Terlepas dari sistem apa akan hancur, apa akan menggantikan, apa akan muncul, bukan itu masalah sebenarnya. Seperti yang sudah-sudah, ketika dunia terlalu sibuk memikirkan jalan instan dengan menunjuk sistem baru menguasai dunia, kelak, tak ada yang menjamin kehancuran serupa tak akan terjadi. Sejarah membuktikan itu. Sosialisme maupun kapitalisme. Saling bergantian mendominasi perekonomian dunia. Sistem syari'ah yang disebut-sebut sebagai jalan terakhir pun, tak serta merta dapat diterapkan di dunia yang sudah terlanjur kapitalis ini.

Indonesia sebagai negara dunia ketiga yang tak bisa jauh-jauh dari pengaruh perekonomian global, termasuk menjadi negara yang sangat rawan krisis di dalam negeri sebagai dampak dari krisis di Amerika. Tapi kenapa?

Ketika SMP dulu, aku diberi tahu bahwa sistem ekonomi Indonesia bukanlah kapitalisme atau sosialisme, tapi sistem ekonomi pancasila. Saat itu, nama itu tak berarti banyak di otakku. Yang kutahu, sistem ekonomi pancasila lebih mengedepankan peran rakyat menengah ke bawah melalui koperasi.

Sekarang, sepertinya Indonesia harus mulai berrefleksi. Melihat kembali bagaimana rupa sebenarnya perekonomian dalam negeri. Benarkah ekonomi pancasila telah benar-benar diterapkan di Indonesia? Atau seperti sudah dapat ditebak, kapitalisme masih menjadi jiwa perekonomian Indonesia?

Jawabannya jelas. Indonesia masih sangat kapitalis. Jika diibaratkan dalam bentuk, keadaan Indonesia seperti segitiga menguncup ke atas (seperti gunung). Bagian paling atas, yaitu kaum elite dan super kaya yang berkuasa meski jumlahnya sangat sedikit. Sementara paling bawah, adalah rakyat miskin yang menopang sekaligus terinjak-injak, berjumlah paling banyak. Sangat kapitalis.

Padahal jika melihat kembali gagasan ekonomi pancasila, bantuk Indonesia seharusnya belah ketupat. Dimana golongan menengah menjadi penyeimbang antara si kaya dan si miskin sekaligus menjadi sumber utama pundi-pundi negara.

Bagaimana dengan sistem ekonomi syari'ah? Bukankah sistem tersebut sangat baik karena mengambil yang baik dari kapitalisme dan sosialisme? Lebih daripada itu, sistem inilah yang dianjurkan oleh agama?

Aku teringat kata-kata seorang sahabat dengan pemikiran cerdasnya. Memang benar, seharusnya kita menjadikan sistem syari'ah sebagai basic value. Tidak serta merta menjadikannya sistem nasional secara fisik.

Indonesia harusnya menjadikan krisis keuangan global sebagai pengingat kalau perlu penampar kesadaran bangsa. Indonesia belum selesai. Sistem ekonomi pancasila haruslah menemukan bentuk dan jati dirinya. Sistem ekonomi syari'ah haruslah menjadi basic value dalam tubuh negara ini.

*******

Aku bukanlah ekonom yang paham betul kondisi perekonomian Indonesia apalagi dunia.
Aku bukanlah pengamat ekonomi yang bisa merumuskan masalah dan mencari jalan keluarnya.
Aku hanya manusia biasa yang mencoba bersuara melalui tulisan sederhana ini.
Mohon pembaca yang tidak setuju atau merasa tulisan ini dipenuhi kekurangan meninggalkan sesuatu untuk kita perbincangkan bersama.


Salam hangat,
Jan Phaiz

Oktober 21, 2008

Gado-Gado (Pemilu AS, Pendidikan, Nasib Bangsa, Islam)


Senin, 20 Oktober 2008

Seminar dengan tema "US General Election 2008" di Gedung Ar Fachrudin B lt.5 dimulai sekitar pukul 9.30. Seorang pejabat pemerintahan AS yang bertugas di Indonesia menjadi pembicara utama sekaligus fokus perhatian bagi peserta seminar.

Miss Katherine Rebholz memulai presentasinya tentang Pemilu AS setelah pembukaan dari pembawa acara, sambutan kepala Perpustakaan UMY, dan dimoderatori direktur American Corner. Mataku berkeliling ke kanan, belakang, kembali ke depan, kiri, belakang lagi. Ruangan ini dipenuhi mahasiswa yang sebagian besar berasal dari jurusan Ilmu Hubungan International. Penuh. Semua kursi bertuan. Beberapa mahasiswa berdiri menyandar dinding di belakang. Hebat.

Lalu aku teringat beberapa pekan lalu, di ruangan yang sama, saat diadakan seminar dengan judul ... aku lupa, yang jelas bertemakan pendidikan Indonesia. Tiga orang pembicara : perwakilan Depdiknas Yogyakarta, Ketua BEM Universitas, dan seorang pengamat pendidikan sekaligus pengarang buku-buku best seller tentang pendidikan dengan segala idealismenya, Eko Prasetyo. Sangat menarik. Tapi hanya dihadiri oleh segelintir orang saja. Ternyata mahasiswa kita lebih tertarik pada Pemilu AS ketimbang pendidikan di tanah airnya sendiri. Itukah produk pendidikan kita? Hfff...

Oya, sebelum berangkat seminar, kuliah Kewarganegaraan pagi juga dipenuhi dengan diskusi. Membahas permasalahan-permasalahan bangsa: larangan terbang maskapai penerbangan Indonesia ke Uni Eropa, kemiskinan yang tak kunjung usai, angka buta aksara, ketenagakerjaan, dan pendidikan. Tapi tak terlalu ramai dibandingkan kelas Pendidikan Pancasila sesudah seminar.

Bermula dengan pembahasan sejarah Pancasila, kronologis pembentukannya, hingga penetapan Pancasila sebagai ideologi bangsa. Sedikit panas ketika seorang siswa mengutarakan pendapat tentang konsep negara Islam di Indonesia. Untuk yang satu ini, mungkin akan kubahas di kesempatan lain. Cukup sensitif dan rumit.

Puncak perbincangan kami di siang yang cukup menyesakkan itu adalah saat seorang temanku, dengan nada menuntut berbicara, "Sepertinya kita tidak bisa lagi bergantung dan mengharapkan nasib baik pada atasan kita. Kita harus berbuat sesuatu. Apa yang harus kita lakukan?"
Dalam hatiku," Apa yang sudah kau lakukan?"
Seolah mendengar pertanyaanku, temanku itu diam. Juga teman-temanku yang lain.

Aku mengangkat tanganku. Sejurus kemudian, aku telah maju ke depan kelas diikuti puluhan pasang mata yang memandangku.
" Sepertinya... " ... " Teman kita memulai pertanyaannya dengan kata sepertinya "
Situasi makin kondusif. Kini semua temanku dan dosenku di depan sangat tertarik untuk mendengar kelanjutan ucapanku.
" Tapi di sini saya tegaskan, bahwa itu memang benar-benar nyata. Bukan sepertinya.
" Kita memang sudah tidak bisa menggantungkan nasib kita pada para pejabat yang lebih banyak merugikan nasib rakyatnya daripada mendengar jeritannya.
" Kita sudah sangat jenuh dengan janji-janji palsu, senyum-senyum palsu, orasi-orasi palsu, dan wajah-wajah palsu. Bahkan hingga titik ini, kita sudah berada di taraf traumatik.
" Apa yang harus kita lakukan? Apa yang bisa kita lakukan? Atau yang paling sederhana, apa respon kita?
" Itu memang pertanyaan yang layak dan bahkan wajib kita lontarkan, bukan untuk menggema dan menghilang, tapi untuk dijawab.
" Saya cukup terharu pertanyaan itu muncul dari mulut kawan saya yang seorang mahasiswa, yang masih sangat muda umurnya, dan masih segar pikirannya. Saya tidak yakin ada banyak teman kita di luar sana, dengan kelebihan usia muda yang dimilikinya, begitu peduli terhadap nasib bangsa sendiri hingga menyerukan pertanyaan yang mungkin berasal dari lubuk hati mereka yang paling dalam seperti itu.
" Saya ingat ketika beberapa bulan lalu, saya iseng bertanya kepada salah seorang teman seangkatan di SMA, 'Ingin melanjutkan ke mana lulus SMA?' maka jawaban paling sering muncul ada dua. Jika tidak STAN ya Kedokteran. Atau tidak sedikit yang menyebutkan nama-nama instansi ikatan dinas yang lain.
" Ketika saya tanya apa alasannya, hampir seluruhnya menjawab, ' biar gampang dapet kerja' atau 'kan gajinya gede', 'kan dibutuhkan di mana-mana', dll.
" Tak jarang mereka tanya balik alasan saya memilih kuliah di universitas, jurusan HI pula (yang denger-denger lebih banyak menghasilkan pengangguran).
" Saya tak akan langsung menjawab. Baru setelah beberapa saat, aku bilang dengan bahasa yang lugas, 'aku ingin bermanfaat untuk negara ini, kalau perlu, saya ingin menjadi presiden'. Mereka akan tertawa, saya pun ikut tertawa.

" Yang ingin saya katakan di sini adalah, bahwa kita sebagai pemuda, sudah sepantasnya memiliki mimpi, cita-cita luhur dalam hidup kita. Sudah bukan zamannya lagi itu kuliah untuk mencari pekerjaan. Seperti yang sering dosen akidah kumandangkan dalam kelas, 'setelah empat atau lima tahun, jadikan keadaanmu memilih pekerjaan dengan ijasahmu, bukan mencari pekerjaan.
" Teman-teman sekalian, mungkin jika sekarang saya katakan, 'saya berangan-angan menjadi orang yang berarti bagi bangsa ini, saya bermimpi menjadi presiden Republik Indonesia, saya bercita-cita merubah nasib bangsa ini', kalian akan menertawakan saya. Dan jika saya tidak kuat mental, saya akan terpuruk dan takkan pernah lagi berani berangan-angan, bermimpi, bercita-cita.

Semua orang masih menatapku penuh gairah. Sesekali mereka hampir tertawa. Tapi lebih banyak yang melongo. Mungkin mereka tidak pernah menyangka seorang Fha yang selama ini hanya datang ke kelas kadang terlambat, namun selalu mengambil kursi paling depan, dan hampir tak pernah angkat bicara, kini dengan segala semangat yang menggelora, menguraikan isi hatinya.

" Apa yang harus kita lakukan sekarang adalah tindakan nyata. Bercerminlah. Lihat siapa dirimu. Ketika kau menemukan bahwa dirimu seorang pemuda, seorang mahasiswa, maka saatnya kita kritis untuk memikirkan tindakan apa yang harus kita lakukan.
" Lakukanlah apapun yang bisa kau perbuat. Namun niatkan tiap jalan yang kau telusuri demi kepentingan umat manusia, khususnya rakyat Indonesia. Jangan sekali-kali kau curahkan segenap pikiran dan dayamu untuk kepentingan dirimu sendiri tanpa sedikitpun terbersit nasib bangsa ini. Pedulilah.
" Kita. Kata ganti itu yang lebih tepat kugunakan. Kita harus punya angan-angan, mimpi, dan cita-cita yang tak egois.
" Hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya.
"Kita harus bertindak secara nyata. Sebagai generasi muda. Kita memang tumpuan masa depan bangsa ini. Bukan mereka yang sibuk memperebutkan kursi demi pemenuhan hasrat duniawi. Tapi kita. Tidak sala lagi. Kita.

Kini raut wajah mereka mulai serius. Mereka nampak berpikir keras. Nampaknya kata-kataku bagaikan kata-kata Bung Karno yang mampu menggetarkan bahkan hati nurani seorang pencopet sekalipun.

" Kita harus belajar. Kita harus gunakan masa muda kita untuk turut memikirkan nasib orang lain, nasib bangsa ini. Bukan sekedar berkutat dengan keinginan memperkaya diri terus menerus sementara menutup mata terhadap kenyataan di sekitar kita.
" Maaf teman, saya bukan orang yang tak punya luput. Sekarang saya berdiri di hadapan kalian, mungkin terbawa emosi. Emosi yang menggelegak tak terbendung. Kalianlah pemicunya.
" Akhirnya, sebagai pemuda Indonesia, jadikan diri kita memiliki posisi di dunia ini. Tidak sekedar sebagai individu pribadi, tapi sebagai makhluk sosial, sebagai warga negara, sebagai putra bangsa.
" Semoga bermakna... "

Hening seketika hingga akhirnya ada hentakan di punggungku. Pandanganku kabur. Perlahan-lahan, kesadaran mulai merayapiku. Kelas Pendidika Pancasila telah usai. Kusapu pandangan ke sekitarku. Separuh lebih teman-temanku telah beranjak dari tempat duduk mereka masing-masing. Aku berada di tempat dudukku. Tak ada yang menatapku seperti tadi. Ya, aku mengkhayal. Lagi

sumber gambar :
http://www.birdseye.com.au/uploads/recipes/images/gado-gado.jpg
http://adipersada.files.wordpress.com/2007/10/migrate_in_dream_by_liquidkid1.jpg

Oktober 17, 2008

Bertemu dan Belajar



Jum'at, 17 Oktober 2008


*******

Malam ini adalah debutku mengikuti diskusi di sebuah forum yang beranggotakan beberapa orang dengan pembawaan yang berbeda-beda (ya iyalah). Tema diskusi malam ini adalah feminisme. Aku sendiri sama sekali tidak memiliki persiapan mengikuti pembahasan tema tersebut karena baru mendapat undangan sekitar sejam sebelum diskusi dilaksanakan pada pukul 8.00 malam di sebuah kontrakan di wilayah Gamping Kidul yang diberi nama "Ruang Tengah".

Keistimewaan acara tersebut bagiku ada dua. Pertama, aku akan bertemu dengan seseorang yang selama ini kukenal melalui tulisan-tulisannya (walau belum semua) baik melalui bukunya maupun melalui blog "Ruang Tengah" yang ia kelola, Fahd Djibran. Seorang penulis berbakat yang memiliki dendam pribadi pada kebiasaan "tidak menulis" orang tua maupun pendahulu yang melahirkannya. Karena tidak adanya kesadaran menulis inilah, Fahd tidak bisa mengetahui siapa kakeknya lebih dari "kata orang". Justru ia merasa miris karena jauh lebih mengenal sosok Karl Marx, Jostein Gaarder atau Pramoedya Ananta Toer yang bukan siapa-siapa. Gairah tinggi Kang Fahd (setelah berkompromi sebentar, dia lebih suka disapa Kang Fahd) dalam menulis dan ketajaman intuisinya memaparkan sebuah gagasan untuk diproduksi menjadi wacana apik merupakan daya tarik Kang Fahd bagiku. Meskipun setelah bertemu dengannya, ternyata kekagumanku tak sampai di situ. Tidak setelah mendengar Kang Fahd menyampaikan isi kepalanya dibalut landasan masuk akal, referensi tokoh dan buku (bahkan hadits dan Al Qur'an), serta penggunaan diksi yang tak membosankan secara lisan. Meskipun sesekali ia hampir terbawa emosi, pembawaannya cenderung santai dan tenang membuatku (dan orang-orang yang mendengarkan) terlena dengan kecerdasannya.

Kedua, aku adalah orang termuda sekaligus paling baru bergabung dalam forum tersebut. Kebanyakan angkatan 2005 dan beberapa angkatan 2007 (aku sendiri baru masuk kuliah tahun ini). Aku seperti anak kecil yang mencoba bergabung dalam rapat mingguan RT oleh bapak-bapak dan membicarakan hal-hal yang tak kuketahui banyak.

Diskusi dibuka dengan pengantar dari mas Zul yang menyampaikan sejarah munculnya feminisme serta beberapa alirannya. Yang kuingat, apa yang mas Zul sampaikan adalah hal yang cukup baru bagiku. Maka aku hanya diam dan mendengarkan (sambil sedikit membuat catatan). Dan ini berlangsung terus hingga diskusi yang sempat ruwet berakhir. Aku diam dan mendengarkan sambil sesekali mangguk-mangguk, geleng, mengerutkan dahi, tersenyum kecut, atau melongo. Sempat sekali aku angkat bicara. Itupun untuk memamerkan kebodohan dan kedangkalan ilmuku yang memicu hal yang sama di raut orang-orang di sekitarku (termasuk Kang Fahd): mangguk-mangguk, menggeleng, dahi berkerut, senyum pahit, dan melongo (mengagumi entah).

Aku mengutuki diri sendiri yang lancang berbicara padahal masih bersarang 'penyakit itu' di dalam diriku. Ah, memalukan.

Tapi aku tak mau larut dalam penyesalan dan menghilang dari forum karena rasa malu. Maka aku terus memosisikan diriku as a good listener. Terdengar seperti pembelaan memang.

Perbincangan terus berlangsung. Si A mengemukakan pendapat dengan mengimbuhi landasan anu. Si B menyampaikan isi kepalanya dengan hiasan kata-kata puitis. Si C tak mau diam, turut berperan aktif mengomentari si A. Si D yang dari tadi terlihat kalem, menyeruak cukup mengagetkan dengan mengutip kata-kata tokoh anu. Lalu, tidak usah ditanya lagi, tokoh yang kunanti, Kang Fahd, yang datang sedikit terlambat pun angkat bicara.

Aku larut dalam perbincangan yang sesekali tak kumengerti arahnya. Aku seperti menyaksikan drama penuh dialog yang sama sekali tak memiliki score music. Mataku berkali-kali berpindah dari satu arah ke arah pandang lain. Sekedar untuk lebih fokus melihat para pembicara di hadapanku ini. Mereka tak henti adu pendapat.

Terlepas dari kecenderunganku kepada siapa (karena entah kenapa setiap apa yang Kang Fahd sampaikan seperti pernah kudengar atau pernah kubaca atau ekstrimnya, klop dengan jalan pikiranku), aku mencoba meladeni pertanyaan yang sedari tadi menyundul-nyundul batok kepalaku menuntut jawaban. Untuk apa aku di sini? Kenapa aku hanya bisa diam? Untuk apa aku di sini kalau begitu?

Jujur saja aku merana. Sedih sekali menyaksikan ke'diam'anku. Sengsara menerima kenyataan bahwa aku menjadi satu-satunya orang yang tak menggunakan pita suaraku untuk mengapresiasikan berbagai macam pemikiran yang campur aduk di otakku. Looser! Tapi kuhibur diriku sendiri, "Kau sedang belajar, Fa! Kau masih belajar. Bersabarlah!"

*******

Demikianlah diskusi berlangsung hingga pukul sepuluh malam (meskipun Kang Fahd masih asyik berbincang dengan salah seorang peserta paling aktif dalam forum tersebut), dan aku undur diri. Berat sekali meninggalkan ruang tengah yang baru beberapa jam lalu kukagumi karena kesederhanaan sekaligus kerumitan apa-apa yang pernah diangkat sebagai topik perbincangan di dalamnya, sekaligus buku-buku yang ada di dalamnya. Berat sekali berpamitan dengan Kang Fahd, meninggalkan kesan mengecewakan. Aku hanya merasa, aku bisa berbuat lebih dari itu.

"Kau sedang belajar, Fa!" suara itu kini bukan menghiburku, tapi menegurku. Apalah arti kesan baik jika datang tidak dari kemampuan diri?

Karena panggilan alam yang tertahankan sejak petang tadi, aku mampir ke angkringan depan mulut gang asrama. Sambil menunggu pesanan disajikan, aku membuka-buka buku "Kucing" karya Fahd Djibran yang berupa kumpulan solilokui.

Setelah nasi ayam bakar beserta sambal dan lalapan habis kujejalkan ke perut yang berteriak kelaparan, aku kembali ke asrama. Langsung saja kupinjam laptop salah seorang temanku. Aku tak bisa menundanya lagi hingga esok. Banyak sekali yang ingin kutulis. Entah berkaitan dengan feminisme yang menjadi tema diskusi di ruang tengah, surat curhatku untuk Kang Fahd tentang 'penyakit itu' yang sulit sekali kuhilangkan, atau tulisan ini. Sampai di sini, jam tanganku menunjukkan pukul 2.45 dini hari. Aku tidak bisa tidur.

*******

"Kau sedang belajar, Fa!"
Apa-apaan ini? Sementara aku tak bisa tidur mempertanyakan eksistensiku.
"Kau masih belajar, Fa! Bersabarlah!"
"Hey siapa kau? Apa maksudmu?"
"Kau memang masih belajar."
"Kau meledekku? Sialan kau!"
"Lihat dirimu? Kau tak bisa berbuat apa-apa di depan orang-orang itu. Kau hanya melongo dan mengangguk saja. Kau, looser!"
Keterlaluan. Ia bisa membaca pikiranku.
"Untuk apa kau menyiksa dirimu sekarang?Kau tetap akan seperti ini. Segera tidur!"
"Tidak! Kecuali kau menampakkan moncong jelekmu dan katakan apa maksudmu! Aku tersinggung dengan kata-katamu!"
"Kata-kata yang mana? Bahwa kau sedang belajar? Kau masih belajar? Kau mempertanyakan hal itu? Tengok dirimu!"
(diam beberapa saat...)
"Kau berkutat dengan pertanyaan 'apa yang bisa kau lakukan' atau 'apa yang bisa kau katakan' agar tampil memesona! Lalu apa yang terjadi? Kata-kata yang kau rangkai dengan kerapuhan itu tercerai berai. Kau justru tampak bodoh di depan mereka!
"Tengok lagi isi kepalamu itu! Tidakkah kau merasa sesak karena kepalamu penuh pikiran negatif? Ya ampun, kau selalu menganggap rendah dirimu. Kau selalu berpikir kerdil. Alhasil, kau justru makin kerdil dan rasa malu yang kau terima alih-alih simpati."

Aku tak tahan lagi. Ia menguasaiku.
"Tidakkah kau sadar? Penyakit apa yang bersarang di dirimu?"
Kelewatan. Dia mulai menyebut hal yang sangat sensitif bagiku. Tapi aku tak dapat memotong kalimatnya. Aku harus jujur, aku pun ingin tahu pendapatnya. Meskipun aku sungguh membencinya saat ini.
"Kau sungguh ingin tahu?"
Cepatlah.
"Penyakitmu adalah cara berpikirmu!"
"Kenapa? Apa yang salah dengan cara berpikirku? Aku merasa hampir semua yang Kang Fahd sampaikan sesuai dengan cara berpikirku," akhirnya bisa memecah kebungkamanku.
"Aku tahu itu. Aku paham sekali. Tapi, apa kau berpikir apa yang sedang kau lakukan di ruang tengah tadi?"
"Itu... tentu saja berdiskusi,"jawabku ragu.
"Dan kau berdiskusi di sana?"
"Itu... tentu saja ya," suaraku mulai bergetar.
"Hahahaa... kau hanya melamun!"
Kurang ajar benar dia. Namun, tepat sebelum kata-kata keluar dari mulutku,
"Dengar baik-baik! Kau tidak sepantasnya berkutat dengan pemikiran-pemikiran tidak penting seperti itu! Kau sudah berada di sana! Kau ada di antara mereka di ruang tengah. Sungguh, posisimu sangat strategis untuk belajar. Kau lupa dengan prinsip hidupmu?
"Belajar dari hal-hal kecil, dari hal-hal yang terlupakan, dari hal-hal yang tak dihiraukan. Kau seharusnya belajar tadi!
"Tak perlu banyak bicara untuk kelihatan pandai! Karena tak ada yang bisa kau bicarakan. Cukuplah lihat, dengar, rasakan! Pada titik ini, di saat kau bisa melihat tak sekedar orang-orang di ruang tengah, mendengarkan tidak hanya suara-suara orang di sekitarmu, serta merasakan posisi strategismu di antaranya
"Maka kau belajar, Fa! Belajar untuk memperhatikan. Belajar untuk menjadi lebih peka. Belajar mengasah ketajaman berpikirmu tanpa harus mengadunya pada orang lain, cukup kau adu dengan pikiran lain di kepalamu. Belajar mengenal ragam manusia. Seperti yang ada di ruang tengah tadi.
"Belajar, Fa! Karena belum sampai di sana kemampuanmu untuk menggugat mereka yang lebih mapan. Kau sadar betul itu. Maka cukup kau posisikan dirimu sebagai pendengar.
"Belajar, Fa! Yang paling penting, belajar mengenali diri sendiri. Dirimu yang masih minim pengetahuan, lemah dalam mengutarakan pendapat, agar lebih banyak mempelajari ilmu pengetahuan, lebih banyak membaca, dan lebih sering mengasah kemampuan lisan.
"Itulah fungsi keberadaanmu di ruang tengah tadi! Belajar, Fa!
"Dan aku? Aku adalah pikiranmu yang lain yang kau ungsikan entah di mana. Tapi aku kembali."

*******

Oktober 16, 2008

Hari Pangan Sedunia

Diambil dari website resmi Departemen Pertanian Republik Indonesia
(Ministry of Agriculture Republic of Indonesia)

Tanggal 16 Oktober merupakan tanggal berdirinya Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) atau dikenal pula dengan World Food Day (Hari Pangan Sedunia/HPS). Pada tahun ini, FAO Headquarters, Roma, Italia akan memperingati HPS dengan tema internasional yang ditetapkan dalam Sidang Konferensi FAO:
”World Food Security: the Challenges of Climate Change and Bio-Energy”
FAO Headquarters, Roma menghimbau kepada seluruh Negara anggota FAO untuk menyelenggarakan peringatan HPS setiap tahun. Tujuan memperingati HPS tahun ini adalah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat atas dampak dari efek perubahan iklim yang semakin hebat pengaruhnya terhadap pertanian dan dampak dari sumber energi terbarukan yang berasal dari produk pangan.

Kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka memperingati HPS di FAO Headquarters, Roma, Italia antara lain:
1. Pada tanggal 14 – 17 Oktober 2008 akan berlangsung sidang Komisi Ketahanan Pangan/The Committee on World Food Security (CWFS) yang membahas situasi pangan dunia dan implikasinya untuk masa mendatang. Selama pertemuan, secara khusus akan dibicarakan pula akibat harga pangan dunia yang tinggi dengan tema:
“High Prices, Food Security Issues and Policy Responses”.
2. Pada tanggal 16 Oktober 2008 akan diadakan kampanye membangun kebersamaan dan perdamaian melalui pertandingan football antara perwakilan dari European Professional Football Leagues (EPFL) dan the Confederations Africans de Football (CAF) dengan tema:
“Professional Football against Hunger”.
3. Kegiatan TeleFood sebagai upaya menggalang bantuan bagi masyarakat internasional melalui Tele Conference yang membicarakan masalah pangan dunia.
4. Pada tanggal 19 Oktober 2008 akan dilakukan pertemuan “Run-for Food” Tahunan ke-3 yang melibatkan lebih dari 4000 peserta.
5. Pada tanggal 21 Oktober 2008 akan dilaksanakan gerakan ”Candle Light Vigil” di seluruh dunia dimana pada hari tersebut masyarakat luas dihimbau untuk menyalakan lilin sebagai tanda memperingati HPS.
Kegiatan termasuk peringatan HPS juga akan dilaksanakan pada tanggal 17 Oktober 2008 di UN Headquarters, New York, USA.

Kegiatan Hari Pangan Sedunia ke-28 tahun 2008 di Tingkat Nasional
Dalam rangka memperingati World Food Day tahun 2008, Indonesia akan menyelenggarakan peringatan Hari Pangan Sedunia (HPS) ke-28 di Tingkat Pusat maupun di Tingkat Daerah. Acara puncak peringatan HPS ke-28 di tingkat Pusat direncanakan pelaksanaannya digabung dengan kegiatan pameran dan bazar produk pertanian (Indonesia Food Expo 2008) pada bulan November 2008 di Bandung Jawa Barat.

Berbagai kegiatan yang dilakukan dalam rangka HPS antara lain:
Acara Puncak
Pameran dan Bazar Produk Pertanian (Indonesia Food Expo 2008)
Perlombaan;
Seminar;
Pengabdian Masyarakat;
Pemberian Penghargaan serta
Publikasi dan Penyiaran
Temu Wicara.

Adapun Tema Nasional HPS ke-28 Tahun 2008 yang telah disepakati dalam rapat interdep adalah:

“Ketahanan Pangan, Perubahan Iklim, Bioenergi dan Kemandirian Petani”

Logo Hari Pangan Sedunia ke-28 tahun 2008:

PENJELASAN LOGO:
Bumi dilambangkan dengan bulatan yang di dalamnya terdapat unsur-unsur:
tanah (warna coklat di gambar dan bulatan);
hutan dan pohon sebagai lambang bahan makanan dari tumbuhan;
laut dengan ilustrasi gambar biru bergelombang dengan tambahan berupa gambar ikan dan sapi sebagai lambang bahan makanan hewan;
teks Hari Pangan Sedunia 2008 dalam lingkaran.
Warna orange di dalam bumi melambangkan global warming yang mengancam unsur-unsur yang ada di dalam bumi;
Gambar padi berwarna hijau yang melingkar di luar lingkaran bumi, melambangkan perlindungan terhadap bumi untuk menghadapi tantangan perubahan iklim, menuju ketahanan dan kemandirian pangan nasional;
Unsur-unsur yang ada di dalam lingkaran bumi melambangkan tiga orang yang terdiri bapak, ibu, dan seorang anak saling berpegangan tangan bekerja sama menopang bumi, menjaga kelestarian alam, untuk mengatasi tantangan perubahan iklim.

Mengingat eratnya keterkaitan sektor pertanian, perikanan dan kehutanan dalam mengatasi isu pangan nasional, diminta partisipasi aktif dan peran serta institusi/lembaga di Pusat dan Daerah dalam persiapan dan pelaksanaan peringatan HPS ke-28 Tahun 2008. Untuk itu Menteri Pertanian RI telah mengedarkan himbauan untuk menyelenggarakan Hari Pangan Sedunia ke-28 dengan melibatkan pemangku kepentingan di daerah masing-masing secara sederhana dan sekhidmat mungkin kepada para Gubernur di seluruh Indonesia sebagaimana terlampir.

Informasi/kegiatan yang terkait dengan kegiatan Hari Pangan Sedunia 2008 :
Acara Puncak Hari Pangan Sedunia ke-28 tahun 2008 – November 2008, Lap. Tegalega Bandung, Jawa Barat;
International Food Expo 2008 (16-19 Oktober 2008) - Lapangan Tegal Lega Bandung, Jawa Barat;
Surat himbauan Menteri Pertanian perihal Penyelenggaraan Hari Pangan Sedunia ke-28 Tahun (2008) kepada Gubernur di Seluruh Indonesia;
FAO Get Involved : World Food Day 16 October 2008.

(sumber: http://www.deptan.go.id/tampil.php?page=hps2008)

*******


dengar jeritku


wahai negeriku, liriklah aku ...
pandang rupaku
yang melarat pilu










wahai tanah air, ke man
a kau pergi ?
ki
ni ku sendiri
sungguh sepi










wahai republik Indonesia
, amat kucinta
kau sungguh telah lupa
bahwa aku masih ada













wahai bangsaku, dengar jeritku
kau tega menduakanku
memilih dia un
tukmu













padahal aku ada


meski aku
melarat
terlantar
kesepian
kuyu
merindu

tapi
tetap ada ...

jangan hapus aku
maka kan ku jaga
putra putri mu
















ttd
perkum
pulan hasil pangan indonesia

Oktober 15, 2008

"Hari Cuci Tangan Global" ...???



Saat membaca judul di atas, aku dapat membayangkan ekspresi yang muncul dari kebanyakan orang. Seperti halnya aku saat pertama kali membaca wacana tersebut. Bingung, heran, penasaran, atau mungkin sebagian datar alias acuh. Aku sendiri salah mengartikan istilah "cuci tangan" yang kupikir "cuci tangan" dalam arti "lepas tanggung jawab". Baru setelah kubaca isi artikel berupa opini di harian Kompas yang terbit hari ini, kutahu istilah "cuci tangan" di sini memang mengandung arti sesungguhnya. Secara mudah bisa diartikan membersihkan tangan dengan air.

Hari ini, 15 Oktober 2008 dideklarasikan sebagai "Hari Cuci Tangan Global" atau "Hari Cuci Tangan Pakai Sabun Sedunia" atau nama resminya "Global Handwashing Day".

Menurut wikipedia Indonesia,"Hari Cuci Tangan Pakai Sabun adalah sebuah kampanye global yang dicanangkan oleh PBB bekerjasama dengan organisasi-organisasi lainnya baik pihak pemerintah maupun swasta untuk menggalakkan perilaku mencuci tangan dengan sabun oleh masyarakat sebagai upaya untuk menurunkan tingkat kematian balita dan pencegahan terhadap penyakit yang dapat berdampak pada penurunan kualitas hidup manusia."

Tahun 2008 ditunjuk sebagai Tahun Internasional Sanitasi oleh Rapat Umum PBB. Sementara penunjukkan tanggal 15 Oktober 2008 sebagai Global Handwashing Day dilakukan pada Pertemuan Tahunan Air Sedunia (Annual World Water Week) yang berlangsung pada 17-23 Agustus 2008.

Selanjutnya dalam wikipedia: "Salah satu tujuan dari kampanye ini adalah penurunan angka kematian untuk anak-anak dimana lebih dari 5.000 anak balita penderita diare meninggal setiap harinya diseluruh dunia sebagai akibat dari kurangnya akses pada air bersih dan fasilitas sanitasi dan pendidikan kesehatan. Penderitaan dan biaya-biaya yang harus ditanggung karena sakit dapat dikurangin dengan melakukan perubahan perilaku sederhana seperti mencuci tangan dengan sabun, yang menurut penelitian dapat mengurangi angka kematian yang terkait dengan penyakit diare hingga hampir 50 persen. Disamping itu kampanye juga dimaksudkan sebagai upaya peningkatan pembangunan fasilitas sanitasi di sekolah. Menurut Unicef, kurangnya akses untuk air bersih mengakibatkan penurunan tingkat kehadiran anak perempuan di sekolah saat mereka memasuki masa puber, karena tidak adanya fasilitas sanitasi yang memadai. Akses air bersih dan sanitasi ditengarai merupakan dasar penting untuk kehidupan anak-anak di seluruh dunia dilihat dari segi kesehatan, kelangsungan hidup, dan rasa penghargaan terhadap diri mereka. Penyediaan air bersih dan perilaku sanitasi yang baik di sekolah juga menjadi salah satu cara untuk mencapi tujuan milenium (Millenium Development Goals)."

Sejujurnya, aku geli melihat fenomena tersebut. Bukannya menertawakan keputusan petinggi-petinggi di PBB maupun pihak-pihak yang mendukung seperti Bank Dunia (sesuai Program Bank Dunia untuk Water and Sanitation Program), UNICEF, USAID, Procter and Gamble, dan Unilever, aku hanya menyadari sebuah ironi.

Betapa hal kecil dapat berpengaruh besar, berdampak luar biasa, dan mencakup kehidupan umat manusia di seluruh dunia.

Mencuci tangan bisa dibilang aktivitas sederhana yang dianggap remeh temeh bagi kebanyakan orang. Mencuci tangan sebelum makan lebih tepatnya.
Aku jadi teringat pada kisah sederhana dari sebuah buku berjudul "Wisata Cinta". Begini ceritanya:

Seorang guru memberikan tugas pada murid-muridnya untuk memasang sebuah kertas berukuran 1x1 meter yang telah ditempeli selotip di tiap-tiap ujung kertas. Semua murid melaksanakan tugas tersebut dengan mudah.

Hari berikutnya, sang Guru memberi tugas serupa. Tapi kali ini, murid-muridnya diminta memasang kertas berukuran 1x1 sentimeter sebanyak seratus lembar di sebelah kertas yang berukuran 1x1 meter. Para murid sedikit kewalahan. Hingga seseorang
nyeletuk di hari berikutnya. "Untuk apa itu semua ibunda guru?"

Tapi sang Guru malah memberi perintah lain alih-alih menjawab,"Sekarang, lepas semua perekat di tiap ujung kertas yang besar! Selanjutnya, lakukan hal yang sama untuk kertas-kertas kecil!" Para murid kembali dengan tanda tanya besar di atas kepala mereka.

Saat melakukan tugas pertama, mereka bisa dengan mudah melepas empat perekatnya. Namun, saat beralih ke tugas kedua, mereka tertegun dan mengeluh karena harus melepas sebanyak 400 perekat.

Saat kembali ke kelas keesokan harinya, tak ada yang angkat bicara di kalangan murid, mereka takut diberi tugas lain yang lebih berat. Sang Guru yang dapat membaca pikiran murid-muridnya memulai bicara.

"Bagaimana tugas kalian? Sudah kalian lepas semua perekat kertas di tembok kalian?"
Para murid menjawab "sudah" tak bersemangat namun masih belum ada yang bertanya.
"Bagaimana rasanya?" guru itu mencari target, "Kau! Bagaimana rasanya?"
Murid yang cukup kaget itu menjawab datar, "Tak ada masalah untuk kertas pertama, tapi sangat merepotkan untuk kertas-kertas kecil di sebelahnya. Kami hampir putus asa."
Diam beberapa saat...

"Itulah gambaran tentang dosa. Kebanyakan orang hanya mengingat dosa besar mereka dan akan dengan mudah memintakan ampun. Sementara dosa-dosa kecil yang tak terkira jumlahnya, mereka menganggap remeh dan tak memedulikannya. Akhirnya, ketika harus memintakan ampun untuk semua itu, mereka kewalahan mengingat-ingat dosa-dosa kecil mereka.

"Itulah gambaran kehidupan. Kita selalu hirau dengan hal-hal besar dan acuh pada hal-hal kecil. Namun seringkali, justru hal-hal kecil yang bisa membawa kerusakan besar bahkan menghancurkan hidup kita.

"Pernahkah kalian mendengar orang tersandung batu sebesar monyet duduk? Bagaimana dengan orang yang jatuh tersungkur karena tersandung kerikil seukuran kotoran ayam?

"Pernahkan kalian mendengar kasus orang sakit atau meninggal karena digigit gajah? Tapi, berapa banyak orang yang meninggal karena gigitan nyamuk?

"Pernahkah ada orang yang tersedak daging kalkun utuh? Tapi, berapa banyak orang menderita beberapa hari karena ada duri ikan bersarang di kerongkongannya?

Sekarang aku baru tahu dampak terburuk hal-hal kecil yang dilupakan itu. Bayangkan sobat, hanya karena (me)lupa mencuci tangan, dampaknya jauh lebih buruk dari yang pernah kita bayangkan.

Lalu, kita hanya bisa mendukung program tersebut dengan aksi pada diri sendiri. Cucilah tanganmu sebelum makan! Kedengarannya aneh. Manusia memang harus senantiasa belajar dari pengalaman.

Oktober 12, 2008

Laskar Pelangi, Akhirnya . . .



Rabu, 8 Oktober 2008
Hari ini akhirnya aku kembali ke Jogja setelah liburan cukup lama (dua minggu lebih) di kota kelahiranku, Purwokerto. Aku memang sangat menantikan saat kembali ke Jogja. Bukan karena (entah kenapa) kangen dengan kota yang baru menjadi kediamanku selama sebulan masa awal kuliah, bukan pula karena sudah bosan di Purwokerto. Alasannya tak lain dan tak bukan adalah karena aku ingin sekali menonton film Laskar Pelangi yang telah beredar di bioskop 21 se-Indonesia.

Kamis, 9 Oktober 2008
"Tiket Laskar Pelangi untuk hari ini habis. Tiket untuk besok bisa dipesan hari ini untuk jam 11.30"
Aku langsung pulang tanpa pikir panjang. Itu waktu sholat jum'at.
waiting is boring ... yeah ...

Jum'at, 10 Oktober 2008
Tepatnya pukul 10.35 WIB aku tiba di Ambarukmo Plaza lantai 4 (bioskop 21-nya Jogja). Saat tangga eskalator setengah lebih menaikanku, pemandangan di depan mataku mulai tampak nyata. Awalnya beberapa pasang kaki, lebih, lebih, dan lebih banyak lagi, hingga, BOOM, ratusan orang telah memenuh gedung bioskop hingga mentok keluar ke outlet lain di sekitar bioskop. Tiga line antrean yang penuh sesak terdiri berbagai kalangan: anak-anak, remaja, laki-laki, perempuan, muda-mudi gaul hingga akhwat berkerudung besar dan panjang, bapak-bapak, ibu-ibu, hingga satu dua orang yang bisa dibilang tua (mungkin usianya sekitar 50-an).

Hebatnya lagi, di bioskop nomor satu di Jogja itu, Laskar Pelangi diputar di tiga dari lima studio yang ada (studio 1 sebagai film primer, studio 3 pun termasuk primer setelah melengserkan film utama yang sebenarnya:Barbie, dan studio 5 untuk jam tayang malam hari). Itu pun tak menyurutkan penduduk (baik asli maupun rantauan) Jogja untuk membuat lantai 4 penuh sesak, bahkan setelah tiga minggu sejak tayang perdana pada 25 September.

Menurut perhitunganku, jika kuambil bagian untuk mengantri saat itu juga, ada tiga hal yang terjadi: kelaparanku yang belum sarapan makin menjadi, baru dapat tiket entah pukul satu atau dua (berjam-jam berdiri) yang belum tentu mendapat waktu sesuai harapan, dan yang paling parah, aku harus meninggalkan sholat jum'at.

Akhirnya, pukul 12.40 setelah sholat Jum'at di daerah Nologaten, aku kembali. Antrean belum surut. Di pintu depan telah tertulis "Tiket Laskar Pelangi hari ini HABIS! Tiket untuk besok dapat dipesan hari ini untuk yang jam 14.00 dan 19.00".

Singkat cerita, setelah mengantri sekitar satu setengah jam, aku mendapat tiket Hari Sabtu, untuk jam 19.00. Itupun seat yang tersisa waktu itu tinggal lima (kalau tidak salah). Hahaha...

Sabtu, 11 Oktober 2008
Jam tanganku menunjukkan pukul 18.55. Aku baru saja menemukan tempat dudukku yang terletak cukup strategis untuk menonton tapi tak cukup menyenangkan karena harus bersebelahan dengan sepasang kekasih yang tengah dimadu asmara. ^_^

Menit-menit penantian film dimulai, tanganku gemetar, dadaku naik turun, dan (entah kenapa) mukaku memanas seperti ingin menangis. Mungkin terdengar berlebihan, tapi itulah yang terjadi pada seorang pecinta sastra (karya tulis) sekaligus pengagum karya film. Yang kutahu, dalam waktu beberapa menit saja, akan ada visualisasi dari sebuah karya sastra yang telah lama terpatri dalam fantasiku ke wujud gambar bergerak. Aku tegang sekaligus khawatir. Tegang menunggu bagaimana film itu berjalan, khawatir kalau-kalau muncul kekecewaan seperti beberapa pecinta novel "Laskar Pelangi" menulis dalam blog mereka.

Rol film berputar, diawali dengan kemunculan sosok ikal dewasa, menceritakan tentang pulau kelahirannya, Belitong. Aku tak bisa bohong kalau mukaku makin panas.

Kemudian muncul sosok Bu Muslimah yang menemukan seorang anak pesisir bernama Lintang yang sangat ingin bersekolah (tentu semua pembaca Laskar Pelangi tahu adegan seperti ini tidak ada di novel) dan menyerahkan surat dari ayahnya agar dirinya diterima di SD Muhammadiyah Gantung pada tahun ajaran tersebut (di novel, ayah Lintang ikut mengantarkan Lintang di hari pertama sekolah). Suhu wajahku belum berubah. Adegan selanjutnya adalah penantian siswa kesepuluh yang belum kunjung tiba. Hingga akhirnya seorang anak berusia 15 tahun bernama Harun yang keterbelakangan mental muncul dikejar umaknya. Bu Mus tersenyum haru setengah menangis. Sampai di sini, percaya atau tidak, wajahku mungkin telah semerah kepiting saus tiram kesukaanku atau seperti tomat yang kematangan. Aku hampir menangis.

Waktu berlalu. Adegan demi adegan, gambar demi gambar, slide demi slide menampilkan sebuah kisah yang selama ini hanya kugambar dalam benak. Meski gambarku berbeda dengan gambar film, sama sekali tak ada keluhan dari mulutku. Justru tetes demi tetes air mata membuatku lupa diri. Lupa bahwa aku laki-laki, yang kata orang tak pantas menangis. Lupa bahwa di sebelahku ada seorang wanita, yang pasti akan memandang aneh diriku yang menangis karena film, sendiri, di ruang gelap. Tapi aku tak peduli itu semua. Aku lebih senang bilang bahwa kerinduanku akan tontonan berbobot dan penyejuk hati telah terobati.

Terlepas dari semua perbedaan versi film dan novel yang cukup mengganggu beberapa pecinta novelnya, aku sama sekali tidak keberatan dengan itu semua. Mungkin kecintaanku pada dua karya yang berbeda dimensi (karya tulis dan film) ini, membuatku cukup bijaksana untuk tidak meremehkan salah satunya. Aku sadar betul perbedaan antara karya tulis dan karya film.

Karya tulis dengan segala kemampuannya bermain, menari, dan bergelut dengan kata-kata, adalah stimulan terbaik untuk membangkitkan dan mengaktifkan daya imajinasi seseorang. Seorang tokoh atau sebuah kejadian dalam sebuah novel, bisa menjadi berbeda dalam imajinasi dua orang pembacanya. Ini semua karena daya imajinasi tiap orang berbeda. Bisa saja tokoh ikal dalam film cukup mewakilkan imajinasi beberapa pembaca novelnya, tapi sebaliknya, beberapa pembaca merasa ikal dalam film berbeda dengan bayangannya. Itu sah-sah saja.

Justru di situlah letak kesulitan pembuatan film yang diangkat dari karya tulis. Sementara film sendiri adalah produk matang sebuah ilustrasi atau cerita. Unsur seni lain selain kata-kata menjadi kekuatan dalam film. Keindahan gambar atau kelihaian para pemain memainkan tokoh mereka menjadi inti keberhasilan sebuah film yang memiliki versi lain dalam benak tiap-tiap orang.

Maka, waktu dua jam kurang sedikit itu kuhabiskan dengan suguhan tontonan yang luar biasa hebat mengaduk-aduk emosiku. Sekali waktu aku tertawa karena kepolosan dan tingkah lucu anak-anak Belitung pemeran anggota Laskar Pelangi. Di waktu lain, aku tak dapat menahan air mataku tak keluar karena adegan-adegan menyentuh yang berhasil dibawakan oleh para pemainnya dengan sangat ekspresif.

Jika ditanya, lebih bagus mana Laskar Pelangi antara novel dan filmnya? Akan kujawab, "Tidak ada yang lebih bagus dari karya itu sendiri, Laskar Pelangi."

Oktober 09, 2008

Iklan Telkom tentang Lebaran


Seorang guru mengakhiri pelajaran internet di sebuah Sekolah Dasar (yang nampaknya terletak di desa) sambil membuka sesi pelajaran berikutnya yakni pelajaran seni.

"Silahkan keluarkan tugas menggambar kalian tentang lebaran..." katanya.

Pertama-tama, seorang bocah berbadan seperti "Boboho" dan berpipi gempal seperti bakpao maju ke depan dengan sedikit gugup. Dia membuka gulungan kertas gambarnya yang memperlihatkan gambar ketupat dan opor ayam. Dengan suara serak dia mendeskripsikan karyanya, "Kalau lebaran, emak masak banyak makanan," lalu ceritanya divisualkan dengan gambaran si bocah bakpao yang sedang lompat-lompat berusaha meraih ketupat yang menggantung di langit-langit dapur. Ditutup dengan gambaran dirinya sedang melahap ketupat yang telah disiram opor ayam seraya berkata, "aku seneng deh."

Lalu anak berikutnya adalah seorang gadis kecil yang tak jauh beda ekspresinya dengan anak pertama. Karyanya lebih terlihat seperti gambar sebuah keluarga. Tiap anggota keluarga dilukis berdiri sejajar.

"Waktu lebaran, aku menelpon pamanku," visualisasinya berupa gambaran anak perempuan tadi bersama bapak dan ibunya di sebuah bilik wartel sedang berbicara dengan sanak saudaranya di entah.

Anak ketiga kebalikan anak yang pertama, laki-laki kurus, ceking dan hampir tak berekspresi sambil membuka ceritnya,"Setiap lebaran, kami sekeluarga pergi ke rumah kakek dengan mobil," sesuai gambarnya, mobil pick up yang menampung beberapa orang termasuk si bocah ceking tadi,"di sana, aku diberi uang,"tambahnya.

Anak terakhir paling berbeda dari yang lain. Di saat ketegangan mungkin menyergap bocah pertama sampai ketiga, bocah yang juga berbadan kurus ini justru terlihat mencoba santai meski jelas nampak dibuat-buat. Bahkan meskipun setelah membuka kertas gambarnya yang kosong, dan ibu guru terlihat kecewa, si Bocah malah nyengir. Setelah hening beberapa saat, barulah dia angkat bicara entah untuk menjelaskan apa.

"Kata bapak, lebaran berarti ... kita kembali bersih," lagi-lagi anak tersebut nyengir menggemaskan.

Iklan pun selesai. Entah ada berapa murid di kelas tadi dengan ucapan dan lambang dari TELKOM. Seandainya pun iklan diperpanjang hingga seluruh anak menunjukkan hasil kreasi mereka sembari menjabarkan makna dari karyanya, pastinya akan ada banyak komentar lucu yang keluar dari anak-anak lugu ini.

*******

Ada dua hal yang menarik perhatianku setelah menyaksikan iklan tersebut dan sedikit tertawa karena sunggingan senyum bocah terakhir.

Pertama, tentang arti lebaran, atau bada, atau idul fitri.
Idul Fitri jatuh pada tanggal 1 Syawal. Setelah melalui tiga bulan istimewa, rajab, sya'ban, dan termasuk bulan yang diperuntukkan untuk kaum Muhammad SAW, yang di dalamnya ada perintah berpuasa satu bulan penuh, serta bonus sebuah malam istimewa yang kebaikannya dihargai 1000bulan kebaikan manusia di dunia, romadhon. Setelah berlomba-lomba dalam beribadah:membaca al Qur'an dengan porsi ekstra, sholat malam yang diperpanjang, dan sebagian melakukan i'tikaf di masjid-masjid demi mendulang pahala yang dijanjikan Allah berlipat-lipat juga demi lebih mendekatkan diri pada-Nya. Tidak salah jika Idul Fitri menjadi sangat spesial dan bisa dikatakan puncak keindahan romadhon.

Kaum muslim di Indonesia mengekspresikan hari raya umat Islam ini dengan berbagai tradisi dan aktivitas. Mudik, misalnya sebagai konsekuensi bagi para perantau entah untuk belajar atau untuk bekerja. Pada musim mudik (dan balik tentunya), hampir tak ada alat transportasi umum yang menanggur. Dari pesawat terbang hingga sepeda motor, harus bersiap-siap menampung beban lebih banyak, lebih lama, dan lebih sulit medannya (karena macet mungkin). Banyak pelajar atau pekerja yang merantau ke kota besar kembali ke kota asalnya untuk merayakan hari kemenangan bersama sanak kerabat.

Sungkeman, adalah ritual lain yang seolah menjadi ruh dari idul fitri bersama keluarga. Seorang istri sungkem kepada suaminya sembari sesenggukan meminta maaf atas kesalahan selama ini dan menyatakan penyesalan yang sejadi-jadinya; seorang anak sungkem kepada orang tuanya, yang juga disambut pelukan hangat dari keduanya sambil tak jarang terdengar isakan baik dari si Anak maupun orang tua.

Jabatan tangan sambil mengucapkan kalimat permintaan maaf atau do'a kemenangan hampir menjadi kewajiban di kalangan muslim yang merayakan idul fitri.

Silaturrahmi dan silaturrahim melalui halal bihalal atau mengadakan acara bersama agar dapat bersua dengan sanak kerabat yang telah terpisahkan jarak dan waktu pun menjadi menu wajib idul fitri.

Jaringan selular menjadi teramat sibuk atas aktivitas pemberian ucapan "Selamat Hari Raya" yang makin menjadi entah dengan suara, teks, maupun gambar.

Bahkan hingga makanan, idul fitri bagaikan "Hari Ketupat dan Opor Ayam". Hampir semua rumah baik di desa maupun di kota, akan menghidangkan menu tersebut untuk keluarga ataupun tamu.

Terlepas dari berbagai kegiatan yang dilakukan oleh kaum muslim di Indonesia, inti semua itu adalah ekspresi dari nilai-nilai yang terkandung dalam idul fitri pada khususnya, dan ajaran Islam pada umumnya. Pentingnya menyambung silaturrahmi maupun silaturrahim, pentingnya saling memaafkan diantara sesama manusia, dan indahnya kebersamaan dan kemenangan. . .

Sebenarnya yang paling menarik bagiku dari iklan tersebut bukan pesan yang disampaikan secara gamblang tentang makna idul fitri, melainkan ide cerita iklan tersebut.

Pemberian tugas menggambar suatu situasi berdasarkan sebuah fantasi yang bersifat sangat pribadi kepada siswa SD. Jika dipikir lagi, ada berapa banyak guru SD yang pernah menerapkan sistem pemberian tugas seperti itu? Saya sendiri, semasa SD dulu belum pernah mendapat tugas sekompleks itu. Antara memvisualisasikan sebuah gambar di benak berdasarkan emosi dan perasaan ke dalam gambar di atas kertas, lalu menyampaikan apa yang termaktub dalam karya tersebut. Sungguh sebuah tugas yang sangat menarik dan mengasah daya kreativitas siswa. Sayang, yang seperti hampir-hampir 'hanya' ada di iklan. Lebih banyak sistem pembelajaran di sekolah dasar umum yang sangat konvensional dan tidak memberi ruang gerak bagi daya kreativitas dan imajinasi yang sebenarnya sangat baik demi pembentukan karakter siswa tersebut. Mungkin dengan adanya iklan tersebut, para guru SD di Indonesia terinspirasi untuk menciptakan tugas-tugas yang lebih kreatif dan menantang bagi para siswanya sehingga sekolah pun menjadi aktivitas yang menyenangkan.

Paradigma pendidikan kita harus diubah dari sesuatu yang mubah dan menghabiskan tenaga, pikiran, waktu, dan uang, menjadi suatu kebutuhan hakiki manusia. Bagaimana dan siapa yang harus merubahnya?? Jelas menjadi tantangan tersendiri di negara yang sudah tumbuh di tengah sistem pendidikan yang justru menarik paradigma tersebut.

Namun yang paling jelas dan utama, pendidikan kepada siapa pun, bermula dari rumah (keluarga). Jelas, peran orang tualah yang menjadi tokoh sentral perkembangan karakter putra-putrinya menerima pendidikan. Sejak si Anak mampu memahami kata-kata, petunjuk, dan perintah, saat itulah peran orang tua menjadi rangkap sekaligus menjadi guru bagi anak-anak mereka.

Baru setelah itu, pemerintahlah yang bertanggung jawab atas pendidikan putra-putri bangsanya. Bagaimana mungkin diharapkan lahir generasi muda yang diharapkan beserta berbagai keunggulan secara IQ, EQ, dan SQ yang dimiliki sementara sistem pendidikannya sendiri masih ngawur, senantiasa berganti, dan sangat tak mendidik? Mungkin hanya sedikit diantara para penempuh pendidikan yang bisa tumbuh di tengah sistem yang buruk, jika 'bekal' dari rumah bisa membentenginya. Namun selebihnya, akan terbentuk seburuk sistem yang buruk itu.

Yang terakhir barulah para pelaku pendidikan. Dalam hal ini lebih ditekankan kepada mereka yang memiliki sandangan guru alias pendidik. Indonesia membutuhkan pendidik yang sesungguhnya bagi putra-putri bangsanya, bukan pengajar. Betapa kebanyakan guru kita justru menanggalkan kewajibannya untuk urusan yang lain yang tak jarang mengorbankan para siswanya. Namun sekali lagi, jika sistem dari pemerintah jelas dan baik adanya, saya yakin, akan sangat sedikit guru yang seperti saya sebutkan tadi.

Akhirnya, iklan TELKOM tadi sekilas tampak sederhana dan lucu. Tapi bagiku, justru memperingatkan dan menampar alam bawah sadarku akan makna sebuah pendidikan yang baik.

gambar dari http://tempatsampah.blogsome.com/wp-admin/images/banner_lebaran_2.jpg