November 17, 2008

Ketika Bertanya Menjadi Kemewahan Hidup


“Makna serupa pintu keluar yang selalu kita cari ketika kita tersesat dalam sebuah labirin ketidakpastian. Kita selalu berusaha menemukan pintu itu. Namun, labirin selalu memaksa kita untuk berputar di situ-situ saja, atau—lebih parah—membuat kita harus kembali ke tempat saat kita bermula.”

(Fahd Djibran, Labirin)


Manusia memang terlahir untuk mencari tahu makna. Anak kecil bertanya pada ibunya, ”Apa itu?”. Lalu sang Ibu menjawab ”Itu gubuk”, si Bocah akan bertanya lagi, ”Gubuk itu apa?”. ”Gubuk itu tempat istirahatnya Pak Tani”. ”Kenapa Pak Tani tidak istirahat di rumah?”. ”Karena Pak Tani harus bekerja lagi”. ”Tapi, gubuk itu sempit”. ”Itu sudah cukup untuk Pak Tani”. ”Untuk apa gubuk itu ditaruh di tengah sawah?”. ”Untuk istirahat Pak Tani, kan sudah Ibu bilang”. ”Tapi gubuknya bisa diletakkan di rumah kan? Gubuk itu kan kecil?”

Begitulah anak kecil dengan rasa ingin tahu meledak-ledak yang diliputi kepolosan dan kesederhanaannya. Dunia bagaikan ladang pertanyaan yang menyumbul-nyumbul untuk disemai dalam jawaban-jawaban. Seringkali ia tak begitu saja puas memetik satu buah jawaban untuk satu pertanyaan. Sang Anak akan mencerabut saja apa yang bisa ia raih. Namun ia justru akan makin banyak bertanya. Makin ingin tahu banyak. Makin menjengkelkan bagi orang dewasa.

Lalu bagaimana dengan dunia orang dewasa yang (katanya) tak lagi sesederhana dunia anak-anak? Dunia penuh hiruk pikuk kepentingan dan kebutuhan. Dunia sibuk tak mengenal rehat untuk meraih satu tujuan yang membawa pada tujuan lain tak berakhir dan tak berujung. Dunia dengan rutinitas monoton dengan warna hitam putih. Orang dewasa cenderung menjudge sesuatu benar (putih) dan salah (hitam).

Perbedaan mendasar antara kedua dunia yang seolah berada pada dimensi berbeda tersebut adalah cara memandang dan menjalani kehidupan di dunia masing-masing. Anak kecil cenderung akan mendekati sesuatu yang unik dan mengusik rasa ingin tahunya. Entah untuk diambil dan dibawa pulang, atau sekedar dipandang di tempat hingga puas, atau paling sederhana dipertanyakan pada orang dewasa ”Apa itu?”. Sementara orang dewasa dengan kesibukannya tak cukup hirau dengan keberadaan benda-benda unik bahkan indah di sekitar mereka. Orientasi hidup mereka telah terpatri sesuai tujuan masing-masing tanpa perlu sekedar melirik bunga yang tumbuh di pinggir jalan misalnya. Bagi anak kecil, tak ada hal kecil dalam dunia ini yang tak pantas dinikmati atau ’dimainkan’.

Anak-anak cenderung memperlakukan benda tak penting bagi orang dewasa sebagai permainan baru. Sementara orang dewasa, lagi-lagi hanya fokus pada tujuan hidupnya. Seorang bocah yang melihat kubangan lumpur di kebun, akan menganggapnya wahana bermain yang seru yang menyenangkan. Ia tak mengenal kotor sebagai sesuatu yang jahat, yang pastinya akan dimaki orang dewasa. Orang dewasa akan mencak-mencak hanya karena angin sore merusak tatanan rambutnya sementara anak kecil akan menelentangkan kedua tangannya umpama ia sedang terbang terbawa angin.

Untuk sementara, dapat kita simpulkan, semakin tua usia seseorang, semakin kecil gairah untuk mencari makna atau menikmati makna itu sendiri.

Di sini saya tidak bermaksud berbicara tentang anak kecil dan orang dewasa. Saya hanya ingin memulai dengan mengajak pembaca kembali pada masa kecil mereka yang (pastinya) sudah jauh berbeda dengan masa dewasanya. Sesuatu yang juga ditawarkan oleh buku ”A Cat in My Eyes: Karena Bertanya Tak Membuatmu Berdosa” karangan Fahd Djibran ini, yaitu tentang cara seseorang memandang hidup, atau lebih gampang saya katakan cara seseorang menanyakan hidup.

Buku yang berisi kumpulan prosa, sajak, puisi, dan tulisan-tulisan lain yang sekilas nampak tercerai berai ini membuktikan betapa sebuah aktivitas sederhana—bertanya, dapat menjadi karya tak ternilai harganya. Lebih jauh, dapat saya katakan, bertanya telah menjadi kemewahan tersendiri dalam hidup penulis. Yang membawa penulis pada penemuan-penemuan gemilang akan hidup, cinta, dan Tuhan.

Seperti pada tulisan pertama dalam bukunya, ”Tubuh”. Fahd menyoroti sebuah kata sifat yang selama ini telah di[salah]artikan oleh kebanyakan orang yaitu "cantik". Definisi cantik yang selama ini dibilang berambut panjang, hitam pekat, lurus, berbadan ramping bak gitar spanyol, kulit putih mulus tak berjerawat, dan wangi menjadi ganjalan bagi Fahd dan Marva (sahabat penanya, kekasihnya, atau dirinya sendiri yang lain, entahlah). Melalui proses pencarian makna yang rumit dan panjang: mencari arti di kamus, di internet, dan buku-buku referensi tentang kecantikan, seakan membawa pembaca berputar-putar pada labirin yang tak berujung atau terlalu panjang untuk ditemukan ujungnya.

Di saat semua orang menyerah atau malas menanyakan konsep cantik dan mencari tahu tentang cantik hingga terjebak pada definisi cantik yang justru membatasi makna sesungguhnya dari cantik itu sendiri, Fahd sampai pada kesimpulan yang tak terduga, bahwa cantik itu sebuah jawaban. Untuk apa mencari jawaban atas sebuah jawaban yang sudah jadi? Cantik adalah cantik itu sendiri.

Suasana cinta dan romantisme sangat terasa ketika membaca ”Matamu yang Sepi” sebagai luapan kerinduan tak terperi pada sosok ibu yang telah lama tak dapat ia rasakan keberadaannya. Serta sebuah sajak indah berjudul ”Membencimu”. Kelihaiannya memainkan kata dan menyusun sebuah perumpamaan menjadikan tulisan-tulisannya yang walaupun terkesan sederhana, menjadi dalam maknanya. Tidak percaya? Berikut saya kutip tulisannya:

"serupa cuaca, aku mencintaimu, selalu terikat waktu,, serupa udara, aku menyayangimu, selalu terikat ruang,, seperti hujan, aku membencimu, sewaktu-waktu" (Membencimu)

Begitu pula dengan buah kontemplasinya akan Tuhan yang terwujud dalam ”Ke Mana Kau Siang Tadi, Tuhan?” yang menggelitik sekaligus menyentak alam kesadaran siapa saja yang membacanya. Fahd mampu memainkan emosi pembaca dengan perumpamaan sederhana namun mengandung sentilan-sentilan yang tak jarang memaksa saya untuk berrefleksi. Sejauh mana saya mengenal Tuhan? Sejauh mana saya mampu berkomunikasi dengan Tuhan?Seperti tulisan lain yang mengandung spiritualitas seperti ”Pertem[p]u[r]an dengan Tuhan” terasa sangat hidup dan mampu mengaduk-aduk emosi pembaca dalam mendalami kehidupan mereka yang terkadang jauh dari Tuhan, namun di saat lain seperti dekat sekali dengan Tuhan.

Semua itu adalah hasil suatu proses bertanya yang tak sekedar melelahkan karena berputar-putar dalam labirin panjang [seolah] tak berujung demi sebuah pintu. Tapi karena bertanya adalah kemewahan dalam hidup. Maka kemewahan jalan mencapai jawaban hingga kemewahan akan jawaban itu sendiri menanti untuk disemai. Dalam hal ini, Fahd Djibran telah menunjukkan kemewahan tersebut dalam "A Cat in My Eyes: Karena Bertanya Tak Membuatmu Berdosa".

Daya tarik buku ini ada pada sampul yang atraktif dan menarik khususnya untuk kaum muda, serta pemilihan judul yang membuat orang bertanya-tanya (suatu kesuksesan awal dalam mengajak orang meneruskan tradisi bertanya pada hal-hal sederhana). Dengan kertas daur ulang yang ringan dan tak terlalu mencolok, buku ini makin mudah dibawa ke manapun untuk dinikmati kapan pun. Dan pastinya, harganya yang ekonomis dan sesuai kantong semua kalangan, membuatnya sangat mungkin ditemukan di ruang baca banyak kalangan. Tentunya itu semua di luar kelebihan dari isi buku ini sendiri.

Akhirnya, ada dua pendapat umum orang-orang setelah membaca karya-karya dalam buku ”A Cat in My Eyes”: "tulisan-tulisannya membingungkan" atau "tulisan-tulisannya mencerahkan". Sekali lagi, cara pandang seseorang memang akan membentuk pemahaman yang berbeda bagi tiap orang yang melihatnya.






November 01, 2008

"Ini Indonesia, Bung!"

Jum'at, 31 Oktober 2008

Mungkin ini akan menjadi artikel terpanjang yang ada di blog ini sekaligus yang pernah kutulis. Bagaimana lagi. Bahkan jika kutulis semua yang ingin kutulis, tak akan cukup kuat jari-jari ini menari, mata ini menantang radiasi monitor, dan tak cukup banyak waktu luangku sekarang ini.


Jum'at petang, di sebuah gedung bernama Taman Budaya, Yogyakarta, pengunjung memenuhi ruang panggung pertunjukkan. Aku mendapat kursi cukup jauh dari panggung karena terlambat beberapa menit setelah pintu masuk dibuka.






Opening Act dari Enam Masa Band membawakan lagu Laskar Pelangi dan beberapa lagu band mereka. Lalu Gembyung Shalawatan dimainkan seiring masuknya Menteri Luar Negeri Dr.N Hassan Wirajuda yang disambut sederet perempuan 'bule' berpakaian khas Jawa menebarkan kembang menyambut sang Menteri di atas karpet merah menuju kursi VIPnya. Seorang laki-laki menyanyikan lagu sholawatan sebagai bentuk penyambutan lain di atas panggung. Hingga detik ini, penonton berdiri dan beberapa menyerbu untuk bisa mendapatkan foto Pak Menteri.



Selanjutnya, bunyi piano dan beberapa alat musik yang menyerupai orkestra dimainkan mengiringi grup paduan suara dari Universitas Gadjah Mada menyanyikan lagu "You Can't Always Get What You Want" (the Rolling Stones) dengan genre yang sangat berbeda dari lagu asli. Daya tarik pertunjukkan kali ini ada pada seorang perempuan jelita berpakaian khas jawa lengkap dengan sanggul di kepala yang memainkan piano di samping panggung. Kelincahan jari-jari manisnya menekan nuts piano menunjukkan kemampuannya. Dengan tempo cepat dan ceria, nada-nada sulit, semuanya dimainkan dengan penuh khidmat hingga gerakan tubuhnya menghentak-hentak seperti kemasukan arwah Beethoven. Tidak ada kata-kata yang bisa kuberikan untuk memberi nilai permainan nona yang ternyata berasal dari Vietnam bernama Lai Thi Phuong Thao kecuali standing applause dan bulu kuduk yang berdiri mengaguminya.


Bingung sebenarnya acara apa yang sedang kubicarakan? Atau masih menerka-nerka?
Baiklah, aku sedang membicarakan sebuah pementasan seni dan budaya dengan judul besar "Indonesia Channel 2008" yang tahun ini bertajuk "Arts and Cultures Under The Sky".






Sekilas Program Beasiswa Seni dan Budaya Indonesia
Indonesia Channel 2008 adalah upacara penutupan sekaligus acara puncak dari program Beasiswa Seni dan Budaya Indonesia (BSBI) tahun 2008. Merupakan kegiatan tahunan yang diselenggarakan untuk yang ke enam kalinya sejak pertama kali digelar tahun 2003. Beasiswa ini pada awalnya diberikan untuk enam negara anggota Southwest Pacific Dialogue (SwPD) yaitu Australia, Filipina, Papua Nugini, Selandia Baru, Timor-Leste, dan tuan rumah Indonesia.

Pada tahun-tahun berikutnya, Pemerintah Indonesia kemudian memperluas jumlah negara peserta dengan mengikutsertakan negara-negara anggota ASEAN, China, Jepang, Korea Selatan, dan negara-negara anggota Pacific Islands Forum (PIF) sejak 2003, India (sejak 2006), Afrika Selatan (sejak 2007), dan mulai tahun ini: Azerbaijan (bekerja sama dengan University of Language of Azerbaijan), Amerika Serikat (bekerja sama dengan USINDO), Belanda, dan Inggris.

Animo masyarakat internasional terhadap beasiswa ini terus meningkat setiap tahunnya, seiring dengan meningkatnya jumlah aplikasi yang diterima oleh Panitia. Departemen Luar Negeri Republik Indonesia bekerja sama dengan perwakilan RI di luar negeri melakukan serangkaian proses seleksi dengan menimbang secara ermat berbagai latar belakang peserta. Untuk tahun 2008, terpilih 50 peserta dari 29 negara.

Setelah mendapatkan pembekalan di Departemen Luar Negeri selama kurang liebih satu minggu, para peserta BSBI kemudian dibagi menjadi empat kelompok dan mendalami lebih lanjut kebudayaan Indonesia di empat kota. Para peserta ditempatkan selama hampir tiga bulan di empat sanggar: Saung Angklung Udjo di Bandung, Jawa Barat; Sanggar Seni Semarandana Badung di Denpasar, Bali; Sanggar Soerya Soemirat di Solo, Jawa Tengah; dan Sanggar Sekar Setaman di Yogyakarta, DIY.

Peserta tinggal di dalam atau di sekitar sanggar-sanggar tersebut dan mendapatkan kesempatan menyelami dan merasakan warisan budaya lokal serta melakukan pertukaran budaya dengan komunitas di sekitarnya. Padu padan teori dan praktek baik di dalam maupun di luar sanggar serta keseharian mereka sebagai seuah keluarga besar diharapkan dapat menghasilkan nilai-nilai yang universal sifatnya, seperti persahabatan, perdamaian dan saling pengertian. Nilai-nilai ini kemudian akan dibawa para peserta ke negerinya masing-masing untuk bersama-sama Indonesia mewujudkan dunia yang lebih damai.

***

Kembali ke acara selanjutnya. Pertunjukkan tarian kolaborasi dengan lagu: Bangbung Ranggaek (Sunda), Gethuk (Jawa), dan Janger (Bali). Sebuah kolaborasi musik dan tari yang apik mulai memperkenalkan para peserta BSBI dari seluruh penjuru dunia yang terbagi ke dalam empat kelompok budaya. Para peserta menunjukkan keseriusan mereka mempelajari budaya Indonesia terlihat dari gerakan-gerakan mereka yang walaupun masih kaku dan kurang kompak, mereka nampak berusaha sangat baik. Tidak sulit mempelajari sebuah budaya, gerakan, musik suatu daerah sekaligus dari nol dan hanya dalam waktu tiga bulan.

Untuk pertunjukkan yang pertama, tepuk tangan membahana ke seluruh penjuru ruangan. Namun itu belum seberapa. Acara masih berlangsung dan dilanjtukan pertunjukka selanjutnya. Angklung Orchestra dan Arumba. Puluhan peserta BSBI yang ditempatkan di Bandung, mempertontonkan aksinya memainkan alat-alat musik bambu khas Jawa Barat yang kini mulai dikembangkan secara internasional. Dimainkan dengan laras diatonis kromatis, memungkinkan untuk membawakan lagu dengan tangga nada modern. Dua buah lagu yang dibawakan: Can't Help Falling in Love (Elvis Presley) dan Rasa Sayange (lagu rakyat Maluku). Kemudian diakhiri dengan lagu Puspa (ST 12) yang dinyanyikan langsung oleh salah seorang peserta asal Kamboja, Kong Sothearith. Tepuk tangan sekali lagi membahana, terlebih saat sang penyanyi meneriakkan kata-kata "Aku Cinta Indonesia!"

Berikutnya, giliran Peserta BSBI Sanggar Semarandana, Denpasar yang unjuk gigi. Membawakan pertunjukkan musik Tabuh Bila. Sebuah gending karawitan bubuka khas Bali, yang menggambarkan energisitas masyarakat dan alam Bali. Mungkin karena tidak terbiasa duduk bersila, atau karena kakinya terlalu panjang, seorang pemuda asal New Zaeland, Brandon Murray Van Slyke memegang kendang dengan sedikit kaku. Tapi walaupun awalnya kesulitan mengatur posisi, dia bisa memainkan peran kendang sebagai pemimpin tempo dan membawa rekan-rekannya membawakan Gilak Sasak dan Gilak Agung yang berirama cepat bersemangat. Komposisi musik tersebut biasa dibawakan masyarakat Bali di upacara-upacara tertentu.

Setelah Jawa Barat dan Bali, giliran Jawa Tengah ambil alih perhatian penonton di panggung. Setelah panggung gelap dan tabuhan peralihan selesai (yang berarti stage crew baru selesai lari-lari pontang-panting mengganti properti di panggung sesuai tugas mereka), para peserta yang belajar di Solo muncul membawakan Sendratari Bambangan Cakil. Tarian klasik Solo yang menunjukkan perjalanan Arjuna menghadapi rintangan hidup dan menemukan kebaikan dan kebahagiaan hakiki. Kebaikan akan selalu melekat pada setiap sisi kehidupan dan sebaliknya kenagkaramurkaan akan sirna. Seorang peserta dari Thailand, Anucha Sumaman berperan sebagai Arjuna memasuki panggung diiringi tabuh gamelan Jawa Tengah yang sangat khas, lemah lembut tapi tidak loyo. Atraksi makin seru ketika peserta dari Afrika Selatan, Thabo Isaac Rapoo yang berperan sebagai Cakil muncul merepresentasikan angkara murka yang senantiasa menggoda kebaikan. Namun kelurusan hati akan menampik semua kejahatan dan keluar sebagai pemenang sejati kehidupan.

Kembali lagi ke Jawa Barat, giliran Rampak Kendang dimainkan. Suatu bentuk kreativitas dari pukulan perkusi tradisional Jawa Barat yang dipadukan dengan gerakan yang dinamis. Para peserta BSBI yang sekaligus penabuh alat-alat perkusi memainkannya dengan penuh antusias dan kegembiraan yang tersirat dari wajah mereka. Lincah dan dinamis dalam gerakan menabuh yang variatif dan atraktif. Penonton tak henti-hentinya bertepuk tangan. Aku? Aku hampir lupa daratan saking terbuai dengan suguhan-suguhan luar biasa sejak puluhan menit yang lalu. Aku sebenarnya ingin dan hampir menangis menyaksikan kekayaan Indonesia yang sangat mengagumkan. Inilah Indonesia, Bung.

Tibalah saat yang ditunggu-tunggu (kenapa?) oleh para pemuda khususnya kaum hawa. Bintang tamu utama akan muncul beberapa detik lagi. Dan, Yovie and The Nuno muncul membawakan lagu hits mereka, Dia Untukku dan Menjaga Hati. Suasana semakin meriah. Apalagi saat duo penyanyi mengajak penonton ikut bernyanyi. Siapa yang tidak hafal lagu-lagu tersebut? Kang Yovie Widhianto yang merupakan lulusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran membawakan sambutan dengan masih duduk di depan keyboardnya, menyampaikan kebanggaannya dengan acara tersebut. Bagaimanapun, panitia pelaksana acara tersebut adalah KOMAHI (Korps Mahasiswa HI) dari tiga universitas di Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dan Universitas Pembangunan Negara (Veteran) Yogyakarta.

Setelah sambutan tidak resmi dari Yovie Widhianto, giliran Pak Menteri Dr. N. Hassan Wirajuda menyampaikan sambutan resmi tentang acara malam itu. Beliau membuka sambutan dengan membaca pidato resmi yang telah dipersiapkan sebelumnya. Lalu, untuk lebih mencairkan suasana, beliau menyisipi tanggapannya mengenai pertunjukkan malam itu di gedung Taman Budaya, sedikit gambaran tentang program BSBI, hingga ucapan selamat kepada para peserta BSBI 2008. Beliau juga menyampaikan harapannya ke depan agar acara-acara serupa dapat terus dijalankan sebagai bentuk pengenalan kekayaan Indonesia ke dunia sekaligus upaya persahabatan melalui pendekatan budaya dan seni.


Jawa Tengah muncul lagi dalam pertunjukkan Sendratari Ambabar Batik. Gubahan tari kontemporer yang menceritakan proses pembuatan dan motif batik Jawa, yang dibawakan secara lemah gemulai dan ayu oleh para penari perempuan. Para peserta perempuan BSBI begitu menghayati gerakan tari gemulai sambil memainkan kain jarit bermotif batik sebagai properti utama. Dipimpin seorang peserta asal Tonga, Jacinda Bernadette Layleen Fifita yang bertubuh besar, penonton disihir oleh tontonan ayu nan mengalir sebagai gambaran proses pembuatan kain batik. Sementara peserta lain yang tidak menari, memainkan gamelan jawa sebaik pemain gamelan profesional. Indah mengalun, gemulai, tapi tidak loyo.

Dilanjutkan dengan Ruwabineka, sebuah pertunjukkan yang menggambarkan baik dan buruk, susah dan senang, suka dan duka, cantik dan buruk yang ada di dalam tatanan kehidupan masyarakat Bali dalam garapan apik komposisi musik maupun tari yang ditata dengan indah, ritmis, dan dinamis. Para penari lengkap dengan pakaian adat Bali, terlihat berusaha sangat keras melakukan gerakan-gerakan sulit tarian Bali yang merupakan perpaduan gerakan kepala, pundak, tangan, pinggang, dan kaki yang rumit serta gerakan mata yang turut menjadi ruh tarian. Meskipun tak seindah penari Bali, usaha para peserta sungguh patut diberi tepuk tangan yang meriah selayaknya pertunjukkan hebat lain.

Akhirnya tiba giliran budaya tuan rumah tampil memanjakan mata penonton. Dua belas peserta BSBI yang ditempatkan di Sanggar Sekar Setaman, Yogyakarta, muncul dengan Sendratari Perang Giriantara (fragmen Brubuh Ngalengka). Menceritakan tentang kekuasaan dan cinta yang telah membelenggu Rahwana, raja di Alengka. Kini, Sinta telah direbutnya dari tangan Ramawijaya. Demi keadilan dan demi kebenaran, Sri Rama pun bertekad untuk membebaskan Sinta dari keserakahan yang membelenggunya. Maka terjadilah perang besar antara Negara Poncowati dan Alengka. Perang ini disebut perang Giriantara. Kelebihan pertunjukkan tersebut adalah totalitas para peserta memainkan peran ganda dalam satu pertunjukkan dengan durasi cukup panjang dan jelas membutuhkan konsentrasi dan dasa seni yang tinggi.

Diawali dengan dinaikkannya layar utama di panggung dan menampilkan layar lain yang dilengkapi dengan piranti pewayangan. Dua orang peserta perempuan mengambil posisi di depan layar dan mulai memainkan tokoh-tokoh wayang yang ada. Ada yang lucu dalam pembuka wayang tersebut. Pengisi suara tokoh-tokoh dalam wayang kulit yang dimainkan tak lain adalah para peserta BSBI dengan logat kental negara mereka masing-masing membawakan percakapan berbahasa Jawa. Pertunjukkan wayang diselingi pula visualisasi dalam bentuk nyata dengan munculnya tokoh-tokoh Sri Rama, Sinta, dan Rahwana dari para peserta yang tadinya memainkan gamelan dan wayang kulit. Begitu terus menerus, silih berganti dengan komposisi yang pas antara wayang kulit dan sosok nyata, para peserta pun silih berganti mengambil posisi: memainkan wayang kulit, menjadi tokoh wayang, memainkan gamelan, bernyanyi tembang jawa. Hampir tidak ada kesalahan berarti dalam pertunjukkan tersebut. Aku sendiri terkagum-kagum melihat para wanita mungil yang entah dari negara mana (entah kenapa contekanku tidak lengkap, ^_^) memainkan wayang kulit dengan lincah dan terlihat sangat menjiwai. Beberapa kali adegan melempar wayang kulit berjalan mulus. Dan pertunjukkan diakhiri dengan tokoh Sinta yang akhirnya lepas dari cengkraman Rahwana dan kembali ke negeri asalnya. SUPERB!

Seorang penyanyi wanita bersama dua rekannya yang membawa gitar perkusi muncul. Dia membawakan lagu Selamanya Cinta yang dipopulerkan oleh d'Cinnamons. Suara merdunya cukup menghipnotis pengunjung yang larut dalam alunan nada nan indah. Dia adalah penyanyi dari daerah Jetis yang menjadi korban gempa Yogya beberapa tahun silam. Lagu itu secara khusus ia tujukan kepada Bapak Menteri yang telah membantu dirinya dan keluarga. Mungkin kurang lebih itu yang ingin ia sampaikan di tengah penampilannya. Meskipun disampaikan terbata-bata dan hampir menangis.

Selanjutnya adalah kolaborasi musikal : "Indah, Kuingat Dirimu" yang dibawakan cukup apik oleh Yovie & Nuno, Kong Sotearith/Cambodia (vokal), Amanda Fe Castillo/Phillippines (vokal), Charles Hutapea/Deplu (saxophone).

Lampu padam, layar utama yang sudah diturunkan menampilkan slide bertuliskan INDONESIA CHANNEL 2008 "Arts and Cultures Under The Sky" diiringi tabuhan musik peralihan seperti biasanya. Lalu, seorang pemuda peserta BSBI dari Indonesia, R. Pratama Prabawaputra masuk ke atas panggung membawa bendera merah putih yang besar dengan tongkat cukup panjang untuk bisa dikibar-kibarkan di udara. Diiringi musik perjuangan yang bersemangat, para peserta lain muncul membawa daun palm hijau yang segar, sesegar jiwa pemuda sambi dikibar-kibarkan berirama kanan-kiri di udara. Pembawa acara memperkenalkan peserta satu per satu dimulai dari negara-negara Asia: Kamboja, Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Laos, Myanmar, Thailand, Vietnam, Cina, Jepang, Korea, India; negara-negara Pasifik: Australia, Papua Nugini, Selandia Baru, Timor-Leste, Filipina, Samoa, Solomon, Fiji, Palau, Tuvalu, Pulau Cook, Vunautu, Tonga, Nauru; negara-negara Eropa: Belanda, Inggris, Azerbaijan; Afrika Selatan; Amerika Serikat; lalu diakhiri dengan tuan rumah: INDONESIA. Penonton serempak berdiri memberikan standing applause yang begitu meriah. Bulu kudukku berdiri tegak serempak bebarengan dengan air mata yang menitik saking bangganya. "Ini Indonesia, Bung!" kataku kepada teman di sebelahku, meski mungkin tidak ia hiraukan atau tidak terdengar.


Ternyata acara belum usai. Peserta BSBI Saung Angklung Udjo, Bandung masih memiliki sesuatu untuk disuguhkan: Seni Ibing Pencak Silat. Berasal dari tradisi beladiri pencak silat di tatar Sunda. Dinamakan Seni Ibing, karena fokus pengolahan penampilan ditunjukkan pada keindahan gerak. Nyatanya, para peserta menari-nari ala pencak silat dengan gerakan teratur dan dinamis. Ciri khas seni Jawa Barat yang ceria pun turut mengiringi pagelaran tersebut.



Dilanjutkan Pesta Rakyat berupa kolaborasi tarian rakyat tradisional Bali, Jawa, dan Sunda yang dibawakan oleh seluruh peserta BSBI. Tak nampak letih mereka menari walaupun acara telah berjalan hampir tiga jam. Semuanya tetap lincah dan bersemangat melenggak-lenggok di atas pentas spektakuler demi berperan dalam pertunjukkan seni dan budaya Indonesia yang telah mereka pelajari selama hampir tiga bulan. Semuanya tetap bergairah lompat sana lompat sini demi memamerkan kekayaan Indonesia yang mereka rasakan selama hampir tiga bulan ini. Ya, Indonesia memang kaya, sangat kaya. Indonesia kaya raya akan seni, adat, budaya, dan bahasa. Indonesia kaya akan hasil cipta karya manusia yang beragam. Indonesia memang kaya, Bung.

Grup paduan suara dari UGM bersiap setelah dirijen memberi isyarat dan musik mulai dimainkan. Syair dalam bahasa Inggris pun dinyanyikan dengan tempo cepat layaknya lagu kebangsaan. Lagu baru bertajuk "Indonesiaku" ciptaan peserta BSBI 2007 dari Papua Nugini, Vincent Lagea dikumandangkan mengajak para penonton ikut menyanyikan lirik yang tertera di layar utama walau dengan terbata-bata.

INDONESIAKU

From the oceans of Pacific, to the oceans of India
There are many thousand islands through history
From the lands of Asia, to the lands of Australia
Lived your inhabitants through ages past
Nations of thousand islands, We Love You Forever

[chorus]:
Indonesia... Hatiku, rumahku, bangsaku...
Indonesia... Banyak pulau dan budaya menyatu...
Dari gunung ke laut, wajah tersenyum di mana saja
S'lamat datang di Indonesia, rumahku, bangsaku
Indonesiaku...

Many are your islands; Kalimantan, Jawa, Sumatra
Sulawesi, Bali, Maluku, Papua
Many are your cultures, many are your languages
Colouring each other in unity
Nation of ancient cultures, We Love You Forever

[chorus]:
Indonesia... Hatiku, rumahku, bangsaku...
Indonesia... Banyak pulau dan budaya menyatu...
Dari gunung ke laut, wajah tersenyum di mana saja
S'lamat datang di Indonesia, rumahku, bangsaku
Indonesiaku...

People from everywhere; Europe, Asia, Pacific
Loved you for your diverse attractions
Palm-fringed beaches everywhere, mountains, jungles, and volcanoes
Monumental expression of faith
Nation of great attractions, We Love You Forever

[chorus]:
Indonesia... Hatiku, rumahku, bangsaku...
Indonesia... Banyak pulau dan budaya menyatu...
Dari gunung ke laut, wajah tersenyum di mana saja
S'lamat datang di Indonesia, rumahku, bangsaku
Indonesiaku...

Acara terakhir adalah sambutan sekaligus penutupan program Beasiswa Seni dan Budaya Indonesia 2008 oleh Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Dr. N. Hassan Wirajuda. Semua peserta berkumpul per kelompok disertai perwakilan tiap sanggar dari empat kota menerima bunga dari Bapak Menteri, Ibu Wirajuda, serta tamu undangan lain.

Akhirnya, Indonesia Channel 2008 ditutup dengan lagu "We Are The World" (Bob Geldof) yang dinyanyikan oleh seluruh peserta.