Oktober 09, 2009

Untitled


Terlampau sering kusahut lolongan serigala yang kian perkasa. Bukan inginku menyandera apalagi mendera yang kian tak berdaya. Namun demikianlah jiwa ini terus berbagi. Dosa? Yang tak berdaya kan terus merintih berkat perih. Bagaimana tidak?

Maka tak ingin lagi ku sekedar menoleh apalagi untuk nyeleneh. Satu yang perkasa, bukanlah yang kuasa. Walau pernah kukebiri hingga ngeri. Ianya itu yang kan kubela sampai mati. Sebagaimana ia tak pernah sedetik pun lari apalagi sembunyi.


Sumber gambar:
http://anoya.deviantart.com/art/Confession-28611203

April 09, 2009

Business, as Usual


Yogyakarta, 2008


"Lalu sekarang, apa yang akan Miss lakukan?" aku memandang dosen bahasa Inggris sekaligus salah satu teman terbaikku selama berada di kota perantauan.
"Apa yang bisa kulakukan?" pertanyaan buntu. Nampaknya memang tak ada yang bisa dilakukan dalam keadaan seperti itu.

Bagiku, hanya kekecewaan yang bersarang di hati saat mengetahuinya. Kecewa akan apa yang menimpa dosenku yang sangat baik ini. Kecewa pada oknum-oknum penyebab ini semua. Kecewa menerima kenyataan bahwa tak banyak yang bisa kuperbuat untuknya.

"Tapi Fa, paling tidak aku masih bisa bersyukur," bagian inilah yang paling kutunggu,"Bayangkan jika sekarang aku menjadi bagian dari mereka. Mungkin aku malah tidak pernah tahu."

*******

Sebaiknya kubuka saja apa yang sedang kubicarakan di sini. Adalah dosen bahasa Inggrisku di sebuah universitas Islam swasta yang pernah menjadi ladang tempatku menimba ilmu. Sebut saja Miss Jasmine. Dengan mengantongi ijasah sarjana sastra Inggris dari universitas negeri cukup ternama di kota yang sama, statusnya di universitasku saat itu belum menjadi dosen tetap. Dan langkahnya untuk menuju ke arah sana nyaris lengkap dengan ijasah Master of Art yang diperolehnya dari universitas negeri paling populer tak hanya di kota tersebut tapi juga di negeri ini.

Nyaris lengkap. Tepat beberapa bulan setelah gelar master dikantonginya, Miss Jasmine tak melewatkan peluang untuk menjemput mimpinya. Singkat cerita, setelah melewati beberapa tahapan tes tertulis untuk menjadi dosen tetap di sebuah universitas Islam negeri ternama, tinggallah dia dihadapkan pada seleksi terakhir. Miss Jasmine menjadi satu dari dua kandidat yang berhasil sampai di titik aman terakhir ini.

"Guys, aku minta do'a dari kalian untuk seleksi besok. Jika semuanya berjalan lancar, kita adakan syukuran, oke?" Miss Jasmine yang masih lajang dan berjiwa muda terlihat sangat ceria dan bersemangat seperti biasanya.
"Makan-makan Miss?" celetukku yang juga antusias pada kesempatan ditraktir. Dan Miss Jasmine tersenyum.

Sebagai seorang wanita, Miss Jasmine memiliki semangat yang berapi-api dan mampu menginspirasi siapa pun untuk malu pada kata menyerah atau sekedar bermalas-malasan. Dia tak hanya menjadi pengajar di satu tempat, tapi tiga tempat sekaligus dengan jam kerja melampaui batas maksimal jam kerja seseorang di negara manapun. Bayangkan saja, setiap hari (kecuali Minggu) dia memulai aktivitas mengajar dari jam tujuh pagi hingga jam sembilan malam dengan jeda waktu yang tidak seberapa. Hampir seperti buruh pabrik saja.

"Aku juga tak tahu kenapa ya Fa. Yang jelas, aku menikmati pekerjaanku. I mean, I meet different people with many kind of personalities, every day. It such challenges me." tuturnya suatu hari melalui sms ketika ditanya mengenai jam kerja rodinya.

Ah ya, kelanjutan cerita tadi. Akan kumulai lagi dengan pesan singkat Miss Jasmine di hari pengumuman akhir.

"Lucu Fa. Lucu banget. Kuceritakan besok di kelas ya."

Tadinya kupikir Miss Jasmine akan membawa berita baik yang diwarnai hal-hal lucu. Tapi kalimat pertama yang muncul dari mulutnya sebagai jawaban atas pertanyaanku sekaligus teman-temanku pagi itu adalah "aku gagal" dengan senyum yang masih mengembang, tanpa perubahan ekspresi yang berarti.

Ya, Miss Jasmine gagal menjadi dosen tetap di universitas Islam negeri itu. Nama yang muncul di pengumuman final adalah nama "rival" satu-satunya yang lolos ke tahap terakhir. Tapi cerita masih berlanjut, lebih tepatnya, bercabang ke belakang.

Ternyata, pada H-1 sebelum pengumuman, Miss Jasmine telah mendapatkan sesuatu yang tak seharusnya diberikan padanya. Sebagian besar karyawan hingga staf pengajar di universitas yang bersangkutan memberikan pengumuman tidak resmi. Miss Jasmine menerima begitu banyak ucapan dan jabat tangan dengan ekspresi "selamat bergabung". Bahkan salah seorang darinya memberi bocoran tentang calon meja pengajar yang akan ditempatinya. Tak pelak, Miss Jasmine pulang dengan sejuta angan dan kebahagiaan yang menggebu mengetahui salah satu mimpinya akan terwujud.

"Bisa kubayangkan ..." Miss Jasmine hanya mengedikkan mata menanggapi respon awalku.

Keesokan harinya, Miss Jasmine lagi-lagi harus menunda puncak kebahagiaan yang sebelumnya juga tertunda, karena pengumuman yang dijanjikan keluar pada pagi hari, tak kunjung muncul hingga malam hari. "Sampai di sini, aku mulai berpikir ada yang aneh."

"I see ..."
"Yah, kau bisa menerka yang mungkin terjadi hari berikutnya. Bukan namaku yang terpampang di pengumuman final."
"Pasti sangat mengejutkan," aku membayangkan jika aku ada di posisi itu.
"Belum pernah aku seterkejut itu," raut mukanya berubah sedikit,"Tapi itu hanya beberapa detik kok Fa. Aku tak mau emosi apalagi mencari kambing hitam. Jadi aku langsung saja mendatangi kantornya, sekaligus konfirmasi pada para 'pemberi ucapan selamat' hari sebelumnya. Aku hanya ingin bilang, jika itu sebuah lelucon, sangat tidak lucu."
"Lalu..?"
"I got silence. Nobody spoke up. They just showed their innocence. And I felt sad at that time," rona mukanya masih menunjukkan hanya sedikit perubahan, tapi tak pernah mengindikasikan akan meneteskan air mata atau sejenisnya,"Untung ada Lily. Dia cukup membantu dengan menawarkan bantuan meski aku sendiri tidak cukup yakin.
"Lily berjanji akan mengusut masalah ini. Jika perlu, dia akan meminta orang tuanya yang pejabat Departemen Agama turut menanganinya."
"Bukankah itu bagus?" tak bisa kupikirkan kata-kata lain.
"Masalahnya, aku tak yakin dengan kekuatan yang ada," aku diam tanda tak mengerti, "Hal ini sudah diangkat hingga ke tingkat rektorat Fa. Dan kau tahu, bahkan sang Rektor bungkam. Aku tak mau berburuk sangka, tapi aku yakin kau mengerti maksudku."

Sebenarnya tak perlu ada buruk sangka di sini. Ataupun sebuah kesimpulan. Yang bisa kumengerti di sini adalah, apa yang menimpa Miss Jasmine sebenarnya hal 'biasa'. Bisa dibilang, mungkin banyak kasus serupa yang menimpa orang lain di luaran sana. Gambaran tentang rumit dan kotornya birokrasi yang ada di Indonesia sudah cukup jamak sebenarnya. Yang tidak biasa adalah, menjadi bagian paling minor, paling dirugikan, dan paling tak berdaya di dalamnya. Dan itulah yang sedang dialami Miss Jasmine.

Ingin sekali kukatakan kalimat-kalimat tadi sebagai penghiburan kecil untuknya. Tapi bibir ini kelu justru karena Miss Jasmine sama sekali tak menangis atau sekedar menunjukkan kesedihannya. Dia kembali tampil di depan kelas seperti Miss Jasmine yang biasanya. Yang ceria, murah senyum, enerjik, dan mudah menularkan semangat pada orang lain. Aku tahu, aku mengerti benar, dia tak menyerah. Mungkin dia memang tidak melakukan apa-apa sebagai bentuk pembelaan atau upaya pembuktian. Tapi dia telah menang. Baginya, dan bagiku. Dia menang karena tak terjebak pada kekecewaan yang mendalam. Dia menang atas ketidakberdayaan yang tak mampu membuatnya menyerah atau merasa kalah. Dia menang karena bangkit walau habis jatuh tertimpa martil keras kemunafikkan.

*******

"Mmm.. mungkin seandainya aku tak pernah mendapat penyambutan tidak resmi itu, hal ini hanya akan kuanggap sebagai 'hasil yang belum sesuai harapan'."
"Dan tentunya tidak akan terlalu menyakitkan," kali ini sorot matanya mengguratkan kepedihan.

"Sebenarnya ini semua untuk ibuku," tambahnya sedikit berbisik.

Dan seandainya aku tidak berada di kelas saat itu, mungkin aku yang mewakili kesedihan Miss Jasmine dalam tangis.


(Berdasarkan kejadian nyata dengan nama tokoh disamarkan)



Sumber gambar:
http://orikomi.deviantart.com/art/dissapointed-angel-edited-109941238

April 01, 2009

Petualangan Lahir dan Bathin


Keputusan untuk akhirnya membeli buku ini diawali dilema besar. Di tanganku saat itu sudah ada dua buah buku dengan genre yang tadinya kupikir sangat berbeda. Sebagai pecinta karya Jostein Gaarder yang masih pemula karena baru membaca salah satu karyanya, The Solitaire Mystery, rasa penasaranku untuk mencicipi ramuan fantasi, spiritualitas, dan filsafat di karyanya yang lain sedang menggebu-gebu. Cecilia dan Malaikat Ariel sudah di tangan dan hampir kuserahkan ke kasir ketika mataku menangkap sebuah judul yang cukup eye catching. Buku bersampul dasar putih dengan gambar backpack dan bendera-bendera negara Eropa ini pun kuambil. Judulnya cukup panjang, “ Back “Europe” Pack; Keliling Eropa 6 Bulan Hanya 1.000 Dolar! “

Buku tersebut sekonyong-konyong membangkitkan mimpi lama yang sedang lesu dan malas kubahas, keliling dunia. Karena aku berada di toko kecil, jadi mustahil mengharapkan sampel buku yang terbuka. Aku pun cukup membaca tulisan-tulisan yang ada di sampul depan dan belakang. Selain tulisan “1.000 dolar untuk 45 kota, 13 negara, 10.600 km, dan pertemanan tak ternilai “ yang terdapat di sampul belakang, ternyata ada komentar dari seorang penulis Indonesia favoritku, Dewi Lestari, di bagian sampul depan. Dengan segala hal ‘menjual’ sekaligus memikatku yang ditawarkan buku itu, mau tidak mau membuatku berada pada tekanan dilematis. Setelah perang sengit di benak, akhirnya kuambil buku berjudul super panjang itu sembari mengembalikan karya Jostein Gaarder ke raknya.

Lembar-lembar awal berisi tentang sejarah pencetakan buku yang bermula dari jurnal perjalanan penulis di blog. Hal unik pertama yang kutemui di buku yang tadinya kupikir berisi tips-tips aneh dan nyeleneh ini adalah ide besar perjalanan nekat keliling Eropa dengan modal sangat minim dan ditempuh sendiri (apalagi sang Penulis adalah wanita). Ide apakah gerangan? Yaitu dari segala hal yang penulis alami di Eropa, semua pengalaman travelling, sight seeing, culinary, hingga perjalanan spiritual yang kaya pelajaran hidup, diperoleh penulis bukan melalui jalur eksekutif apalagi illegal, melainkan jalur pertemanan.

Bab pertama berisi tentang uraian alasan mengapa kita ‘harus’ melakukan travelling. Ada tiga belas alasan yang diuraikan dengan segar dan menarik didasarkan pada pengalaman pribadi penulis. Dimulai dari alasan paling mendasar ‘menyenangkan’, hingga alasan mendalam dan cenderung teoritis tapi sangat relevan ‘teori fitrah’.

Dilanjutkan bab berikutnya yang berisi tentang 13 langkah yang perlu dilakukan sebelum berangkat. Boleh dikatakan, bab kedualah yang menjadi modal pemasaran utama buku ini. Selain menjadi bab yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul ketika membaca judul buku, bab ini sekaligus menjadi semacam panduan praktis bagi siapapun yang hendak mengaplikasikan saran-saran di dalamnya. Dilengkapi dengan space-space kosong untuk diisi pembaca saat merencanakan perjalanan mereka seperti uang yang harus dikeluarkan di tempat ini, untuk keperluan ini, karena alasan ini, makin menjadikannya menarik karena memudahkan pembaca tanpa harus membuat dari nol rencana perjalanan mereka.

Sampai titik ini, apresiasiku terhadap buku ini tak lebih atas ide besar jalur pertemanan yang diusung. Apalagi dijelaskan dalam bab dua tentang jalur pertemanan macam apa yang dimaksud penulis, bagaimana untuk bisa masuk ke dalam jalur tersebut, serta tips-tips agar bisa enjoy selama berada di jalur tersebut. Dan tentunya, seperti yang ditulis Mbak Dewi Lestari di sampul depan buku, bahwa buku ini merupakan hasil pengamatan jeli penulis setelah mengalami perjalanannya yang akan mampu menginspirasi siapa pun untuk berani merambah dunia, dan mempercayai keindahan hati manusia.

Ketika hendak break membaca karena merasa telah mendapat intisari buku, lagi-lagi aku dibuat penasaran dengan sub judul ketiga “13 Negara”. Selain rasa penasaran kenapa penulis cinta sekali angka tiga belas, sebenarnya aku lebih ingin tahu apakah Inggris menjadi salah satu Negara yang penulis kunjungi (karena nama tersebut telah lama mengendap dalam dimensi mimpiku). Akhirnya kubuka halaman selanjutnya.

Dimulai dengan pengantar bab tiga, penulis menggambarkan bahwa selain modal yang tersedia di bab pertama dan kedua, ada satu lagi hal yang sangat diperlukan dalam rangka melakukan perjalanan cross culture apalagi melalui jalur pertemanan. Bukan hanya cuaca, tempat, dan bahasa, tapi juga tentang orang-orang yang akan kita temui yang menjadi partner di jalur pertemanan tadi. Tantangan terbesar yang jika dilalui akan menghasilkan keajaiban-keajaiban perjalanan tak ternilai adalah seberapa terbukanya kita. Seberapa besar kesediaan untuk saling bertukar, berdialog, dn memahami, yang seringkali dituntut dari kita dalam isu-isu terringan hingga terberat seperti agama (hal 77).

Pada awalnya tulisan tersebut tak begitu membekas di benak, hingga akhirnya aku berlalu dan membuka halaman selanjutnya. Satu halaman penuh foto-foto dan beberapa spot untuk tulisan-tulisan yang melaporkan keadaan di negara yang sedang dibahas. Negara pertama adalah Jerman dengan kota pertama Frankfurt yang memiliki bandara internasional terbesar di Eropa. Di sanalah Marina Silvia Kusumawardhani memulai perjalanannya dengan seorang host bernama Okan, yang merupakan kenalannya ketika Okan menjadi exchange student di kampusnya, ITB. Penulis berhasil mendapatkan akomodasi pertama yang sangat memuaskan berupa tumpangan di flat sang Host yang tentunya tak menarik biaya sedikitpun. Di sinilah mulai jelas, kenapa dengan uang 1.000 dolar, penulis dapat menjelajahi 45 kota di 13 negara. Jalur pertemanan jawabannya.

Kemudian lembar-lembar berikutnya pun tak jauh berbeda. Satu lembar penuh foto-foto, nama negara, tanggal kunjungan, nama kota, host, dan laporan keuangan. Yang terakhir adalah yang paling tidak masuk akal. Bayangkan saja, laporan keuangan ketika berada di St.Petersburg, Rusia adalah 1 Euro, bahkan laporan keuangan di Roma pun hanya 1,5 Euro, sama seperti kota-kota lain yang rata-rata tak lebih dari 5 Euro. Kalaupun ada yang cukup besar, pastilah untuk biaya transportasi antar-negara itu pun berkisar 5-10 Euro dan sekonyong-konyong tergantikan dengn cara-cara yang tak terduga. Seperti bekerja part-time ‘illegal’ karena sang Host di Stocholm ternyata seorang atasan sebuah rumah makan atau menjadi volounteer membersihkan area konser di Trondelag yang menggantikan uang tiket. Bahkan beberapa kali penulis mendapat uang cuma-cuma dari orang tak dikenal hanya karena menanyakan tempat penukaran uang. Woww!

Di antara lembaran-lembaran laporan perjalanan dengan konsep seperti di atas, ada berlembar-lembar jurnal perjalanan yang ditulis penulis atas dasar pengalaman pribadi di tiap kota atau (kebanyakan) hasil perbincangan dengan orang-orang yang ditemuinya di sana. Jurnal perjalanan inilah yang menarik perhatianku begitu mendalam. Selain berisi pengalaman-pengalaman unik, perbincangan yang terjadi antara penulis dan orang-orang di berbagai belahan Eropa pun terbilang dalam dan jarang (hampir tidak mungkin) diperbincangkan pemuda-pemuda di Indonesia. Tentang kehidupan, pengalaman spiritual, agama dan kepercayaan, hingga masalah ekonomi, sosial, dan politik.

Perbincangan serius, santai, hingga penuh canda yang terjadi tak hanya kaya akan makna, tapi juga membuka cakrawala penulis tentang satu tema besar kehidupan, perbedaan. Betapa sebuah perbedaan, entah perbedaan keyakinan ataupun perbedaan sudut pandang, dapat memberikan arti yang begitu mendalam tentang apa yang di’perbedakan’. Sebagai seorang muslimah berjilbab, penulis justru sering mendapati host yang tak hanya berbeda keyakinan, tapi bahkan ‘tak berkeyakinan’ alias atheis. Tapi itu tak membuat penulis menutup diri dan hanya menjadikan teman baru yang telah dengan baik hati menampung bahkan mentraktirnya selama di Eropa hanyalah alat melancarkan perjalanan efisien. Justru dari perbedaan yang sangat mencolok seperti penampilan, penulis bisa berbagi pengalaman dan pikiran tentang konsep kehidupan, konsep Tuhan, keyakinan, kebahagiaan, keikhlasan, cinta. Ya, aku sama sekali tidak mengada-ada atau melebih-lebihkan. Inilah yang membuatku berani member bintang lima untuk buku berjudul panjang dan cenderung komersil ini di goodreads.com. Sampai di sini, aku baru menyadari arti kata ‘seberapa terbuka kita dalam bertukar pikiran’ di pembuka bab.

Akhirnya, sebagaimana sebuah review buku, harus ada keseimbangan di dalamnya. Setelah aku menguraikan ‘sedikit’ kelebihan buku yang bagiku tak terduga berada di balik judul buku itu sendiri, sekarang tiba saatnya kita memasuki bagian kekurangan.

Secara kebahasaan, aku sangat memahami jika penulis tak terlalu formal alias lebih menyegarkan tiap kata yang digunakan. Karena pada dasarnya buku ini memang diperuntukkan untuk menyegarkan bukan menyuramkan. Satu-satunya kekurangan buku ini adalah penataan perpaduan antara foto dan tulisan yang seringkali mengganggu mata saat membaca. Foto yang diperbesar atau dijadikan dasar halaman, terkadang membuat kabur tulisan yang ada di atasnya. Dan mungkin, seandainya buku ini dibuat full colour akan lebih menarik karena visualisasi kota-kota dan aktivitas yang terjadi semakin hidup. (Meskipun pastinya berdampak pada harga yang akan melambung tinggi mengingat porsi fotonya lebih dari setengah tebal buku).

Well, di luar segala kekurangannya, aku tetap berpegang teguh pada prinsipku ketika menikmati sebuah karya. Bahwa seburuk apa komentar orang tentang buku ini karena kekurangan yang mencolok atau kesalahan-kesalahan teknis, bahkan ketidakcocokkan selera, porsi penilaianku biasanya lebih dipengaruhi bagaimana buku tersebut bisa menimbulkan kesan, efek, atau mungkin candu yang tidak ditimbulkan oleh buku lain. Dalam hal ini, buku terbitan Gramedia Pustaka Utama ini telah memberi warna dan sensasi tersendiri saat ku membacanya. Sangat direkomendasikan pada mereka yang haus akan warna lain kehidupan di samping tentunya, para back packer atau yang bercita-cita menjadi back packer. Akhir kata, difference is beauty.


P.S. : Ternyata Inggris tak masuk daftar 13 Negara yang dikunjungi penulis T_T

Maret 20, 2009

Complicated


Kamis, 19 Maret 2009

Hari ini aku menyadari sesuatu. Sebuah perasaan tak bernama dan tak kuhirau belakangan mencuat begitu kuat mengisi hari-hariku. Aku tak akan berani dan mau menamai perasaan tersebut sebagaimana perasaan tersebut tak mau permisi hadir dalam hidupku. Lagipula, tak ada nama untuknya. Kali ini, biarlah aku sepandangan dengan Ayu Utami "bahwa keindahan tak membutuhkan nama, hanya perlu dirasakan".

-------

Kepada M,
Aku tak tahu lagi harus berkata apa, atau mungkin memang ini tak perlu dikatakan. Aku cukup bahagia merasakannya. Kau muncul lagi mengisi hari-hari 'kosong'ku. Kau hadir di tengah dahagaku akan perasaan nyaman dan tentram. Kau tak pernah berubah. Kau sangat memahamiku.

Jujur saja, aku ingin sekali menghapus sebagian masa lalu kita. Bukan seluruhnya, hanya sebagian saja. Sebagian yang berhasil menyakitimu begitu dalam. Sebagian yang meninggalkan luka di hatimu. Sisanya, biarlah menjadi kenangan indah masa remaja kita.

Kau mungkin bingung, kau pasti bingung, apa maksudku menyampaikan kalimat-kalimat di atas. Begitu pun aku. Tak bisa kupahami jalan pikiranku, sehingga dengan mudahnya kuminta kau mendengar ceritaku beberapa malam belakangan. Kau masih seperti dulu, yang dengan sangat baik menjadi pendengar atas setiap kisah maupun keluh kesahku. Aku, dengan keadaanku yang sekarang, dan masa laluku yang seperti itu, seolah tak pernah menjadi alasan untuk membuatmu berubah. Aku, yang pernah menyakitimu begitu dalam, dan kini hadir menjadi pengganggu hari-hari penatmu, tak menyurutkan semangat seorang M yang selalu nampak ceria dan setia pada tawa kerasmu.

Bahkan untuk hal-hal yang mungkin menyakitimu, aku begitu terbuka, terlalu terbuka malah. Entah kenapa, aku masih merasakan nada getir dalam tawa dan kalimatmu tiap kali perbincangan kita sampai pada 'dia nun jauh di puncak gunung'. Lancang sekali aku berpikir jauh tentang hal ini, sungguh tak pantas sebenarnya aku mengatakan hal ini padamu. Untuk itu, maafkan aku...

Dari semua yang kutulis di atas, aku hanya ingin berterima kasih padamu. Jangan ge er. Aku hanya sudah lama ingin menyampaikan hal ini, tapi terhalang ego. Kuharap kau menanggapi positif tulisanku kali ini. Semoga ini tak merubah apapun yang ada di antara kita. Biarlah yang sekarang mengalir apa adanya. Keindahan yang hadir secara alami jauh lebih membahagiakan daripada keindahan yang direncanakan.

-------

Allah, Maha Penyayang lagi Maha Adil. Seburuk apapun kehidupanku sebelum hari ini, telah rapi tersedia kejutan-kejutan penawar itu semua di hari ini, esok, dan seterusnya.

-------

Kepada A,
Tak disangka pertemuan kita yang diwarnai tanggapan negatif dan kekurangpuasan, justru mengantarkan kita pada titik ini. Tak bisa kumengerti alasanmu membawaku berada lebih (terlalu) dekat pada kondisimu. Apapun alasanmu, aku hanya bisa berharap, kau tak terbawa emosi untuk mencurahkan semua isi hatimu pada begitu banyak orang.

Saat ceritamu mengalir di telingaku, aku hanya terdiam. Aku sungguh tak siap untuk mendengarkan sebanyak itu, sedalam itu, sedetail itu. Ada keinginan menghentikanmu, tapi lebih besar lagi keinginan mendengarkanmu. Dua jam lebih kau tumpahkan begitu banyak rasa, selama itulah aku mendapat pelajaran berharga dalam hidup. Secara tidak langsung, obrolan kita kamis malam itu adalah wejangan tak ternilai harganya bagiku. Tentang kehidupan, tentang hidupku, melalui refleksi hidupmu.

Dulu, begitu sering ku mengeluh akan apa yang kumiliki dan kualami dalam hidup. Dulu, sepertinya apa yang kumiliki dan kualami adalah yang terburuk dari yang paling buruk yang ada di dunia. Saat itu, kamis malam itu, martil baja menghantam kesadaranku, akan sebuah fakta kehidupan. Saat itu juga, kau telah mengubahku dari seorang yang cenderung skeptis menjadi lebih mudah menghargai.

Kau, di usiamu yang tertinggal dua nominal dengan usiaku, memiliki sebuah kehidupan yang selama ini hanya kutonton di televisi. Kehidupan yang sangat sulit bagiku. Yang tentunya tak pernah menjadi bagian dari hidupku. Kau, dengan wajah bayimu itu, telah mengalami suatu kondisi yang hanya bisa kubayangkan tanpa benar-benar bisa kurasakan. Pasti sangat menyakitkan jika ku bisa merasakannya.
Kau, dengan segala kesulitan dan rintangan yang menghadang, membuktikan kelebihan yang tak pernah benar-benar kumiliki.

Untuk itu semua, aku salut padamu, sekaligus sangat berterima kasih. Aku bersyukur pada-Nya telah mempertemukanku denganmu sebagai jawaban atas keluh kesah dan sikap kurang bersyukur yang menghiasi hari-hariku selama ini.

Hari ini, perasaanku sangat tidak enak. Walau terkesan berlebih, tapi aku tak bisa memejamkan mataku semalam. Dan sejak subuh tadi, dadaku sesak. Perasaan tidak enak seperti ini jarang sekali terjadi padaku, apalagi tersebab oleh orang lain. Tapi apa yang bisa kuperbuat? Aku hanya bisa berdo'a, mendo'akan semua ini segera berlalu bagimu, memohon agar Dia tak meninggalkanmu barang sedetik. Hingga aku mengetik tulisan ini, perasaanku masih tak keruan. Bukan apa-apa. Aku hanya tak rela kau kalah sebelum bertindak. Kumohon, lakukan sesuatu. Setidaknya, jangan pernah berani lari sebelum kau berusaha menjalankan peranmu. Walau sulit sekali bagimu, dan mudah bagiku untuk bicara. Walau aku pernah bilang, mungkin tak akan bisa sanggup menghadapi situasi seperti yang kau alami. Aku tak akan sudi berdiam diri atau malah lari tanpa melakukan apapun sebelumnya. They really love you, just trust it, or prove it.

-------

Kepada M & A,
Entah kenapa aku berani menulis ini semua. Yang kutahu, 'complicated' sangat sesuai menggambarkan posisiku. M yang pernah begitu dekat denganku dan hampir tak pernah menyakitiku, A yang hadir menyuguhkan siraman nasihat kehidupan untukku sekaligus menjadi sosok adik yang tak pernah kumiliki, aku berada di antaranya, di antara lika liku kehidupan pribadi kalian.

Aku tak pernah ingin berada di posisi ini, sungguh. Tapi aku telah berada di sana. Tak ada yang bisa kuperbuat memang, tapi tak mungkin rasanya ku berdiam diri sepenuhnya. Satu hal yang perlu kalian mengerti dan yakini, aku sangat bahagia mengenal kalian, menjadi bagian dari hidup kalian. Aku sangat mengagumi kalian dengan segala apa yang kalian hadapi dan miliki. Aku yakin, Allah pun menyiapkan hal luar biasa untuk kalian di depan sana. Tinggal bagaimana kita tidak mengambil langkah yang memperpanjang jarak kita kepada hal luar biasa di depan sana. Percayalah...




Sumber gambar:
http://urban-khaos.deviantart.com/art/complicated-13819573

Februari 23, 2009

Confession


Belakangan hidupku tak berjalan 'sebagaimana mestinya'. Rencana hidup yang kususun jauh hari sebelum hari ini, berantakan sudah. Proposal masa depan yang telah rapi terbukukan dalam benak, berserakan entah. Inikah akhir hidupku?

...

Dulu dengan berapi-api, kuajukan daftar keinginan pasca-SMA ke orangtua. Dengan gaya penuh percaya diri pula, kutambah penyedap mimpi dan asa yang mungkin tergapai setelah meraihnya. Ayahkku, tak usah diragu, pasti mengagguk setuju, asal itu yang kumau. Ayah selalu begitu, sedari dulu, mendukung langkahku. Sementara ibu diam sejenak, duduk terhenyak, tak ada mencak-mencak. Ibu memang tak lunak, tak pula buatku sesak, tapi bijak.

Dulu dengan semangat membara, kudatangi ayah dan ibu, akan kabar gembiraku. Satu langkah berhasil kutapaki. Hasil ujianku membolehkanku meraup ilmu sastra yang kudamba, di universitas ternama pula. Ayah mencium pipiku, dan kudapat senyum ibu. Namun hidup mulai bekerja, maksudku, hidupku. Kehidupan yang sesungguhnya, mulai menyapa. Tak dapat kuinjakkan kaki, di tanah impian yang sejatinya t'lah kuraih.

Dulu dengan tekad membulat, kupasang senyum terindahku, untuk ayah dan ibu. Pertanda tak sedikitpun aku menyalahkan mereka. Bahkan proposal lain t'lah usai kususun cukup dalam semalam. Ini tentang hidupku, lagi-lagi. Ayah sedikit meragu, bukan padaku, dan kubilang padanya "bukan salahmu". Ibu tak sesaat dalam diam, dia menatapku dalam, "percayalah" bisikku, "ibu tak boleh muram".

Dulu dengan keyakinan tanpa beban, kusodorkan apa yang telah kudapatkan. Hanya demi mereka, batinku. Ilmu Hubungan Internasional di universitas Islam, tak kalah nama atas yang lain. Senyumku hanya karena senyum mereka, atau mungkin keadaan. Mimpiku tersusun hanya untuk mereka, atau mungkin keadaan. Aku belum menyadarinya. Hanya perlu menjalaninya.

Kemarin dengan kehampaan, aku pulang dari perantauan. Tak ada lagi kalimat berapi-api, atau semangat yang membara, atau tekad yang bulat, bahkan keyakinan dalam diri. Aku berdiri di hadapan ayah dan ibu, dengan apa adanya, begitu saja. Ayah kini yang diam, tak berdaya dalam muram, auranya kelam. Ibu mengangguk tenang, seolah badai tak pernah datang, bahkan seperti menang. Aku menangis, ayah mengerti, ibu pun berdiri. Aku meratap, ayah berharap, ibu mulai berucap. Dan saat itulah, detik itulah, hidupku berubah. Maksudku, caraku memandang hidup berubah.

Sekarang, tak lagi kusandang, status mahasiswa yang agung dipuja. Bukan ku tak bangga, bukan pula ku kecewa, melainkan belum waktunya. Bukan tentang waktu yang tepat, karena tak ada waktu yang tepat, yang ada tindakan yang tepat. Ini memang saatnya kulakukan hal lain, hal ini, yang sekarang kuhadapi.

Sekarang, tak ada mata kuliah menghiasi hari-hariku, atau teman aktivis dengan seabrek kegiatan. Bukan maksud hati meninggalkan, apalagi menyia-nyiakan, hanya sebentuk perpisahan. Begitulah esensi pertemuan, untuk sebuah perpisahan, keabadian bukan milik makhluk Tuhan. Sudah semestinya kuisi hari-hariku dengan hal lain, hal ini, yang sekarang kuhadapi.

Sekarang, sedang kumulai hidup baru, di bawah langit yang biru. Aku berdiri di depan pintu sambil menatap hidupku yang baru. Satu hal yang kutahu pasti, aku tak pernah sendiri*. Tak ada waktu untuk sesal, tak pula kuingin membual, hidupku masih normal. Ini tentang hidupku, kehidupan, dengan segala apa yang dirahasiakannya. Ada banyak hal dalam hidupku yang tak berjalan sebagaimana mestinya. Tapi saat kutatap langit luas, hal itu tak berarti apa-apa*.

Sekarang, pertanyaan menghujaniku, sedikit mengganggu namun kubersyukur tentu. Walau tak jujur kumenjawab mereka, bukan berarti ku mendusta, apalagi tak percaya. Walau kadang ku suka bergurau, tak berarti ku tak hirau, ku hanya tak ingin menjadai kacau. Kawan-kawanku adalah nafas semangatku, perhatian mereka adalah pemacu energiku, jadi tak mungkin mereka hanya berlalu. Untuk mereka yang begitu besar perhatian padaku, namun begitu kecil jawabku, maafkan aku.

...

Belakangan hidupku tak berjalan sebagaimana yang kuinginkan. Rencana hidup yang kususun jauh hari sebelum hari ini, berantakan sudah, tapi tak pecah. Proposal masa depan yang telah rapi terbukukan dalam benak, berserakan entah, namun tak punah. Ini bukan akhir hidupku. Justru inilah awal hidupku, yang sesungguhnya ...


*diambil dari lirik lagu Jepang berjudul Sangatsu Kokonoka atau dalam bahasa Inggris berarti March 9 yang telah diterjemahkan.




Sumber gambar:
http://orriel.deviantart.com/art/Intersection-37696510

Februari 01, 2009

in memoriam


Sesuatu baru akan benar-benar berharga dan kita sadari arti keberadaannya saat kita kehilangannya.

Belum pernah dalam hidupku aku merasakan sebuah rasa yang selalu menakutkan bahkan hanya untuk dipikirkan: kehilangan. Maksudku, rasa kehilangan yang sesungguhnya, yang selalu kuhindari untuk sekedar memikirkannya, yang tak pernah dapat kumengerti hingga hari itu. Bukan kehilangan bolpoin yang hampir selalu kualami semasa sekolah (aku memang ceroboh), atau kehilangan genggaman tangan Bapak hingga aku 'hilang' di supermarket pada waktu masih kecil, atau kehilangan buku yang baru kuberi beberapa hari (seperti saat aku kehilangan "A Cat In My Eyes" secara misterius), atau kehilangan uang karena kecerobohanku sendiri, atau bahkan kehilangan handphone berfitur canggih pertama yang kumiliki. Kehilangan-kehilangan seperti itu memang menyakitkan dan semuanya pernah kualami dalam hidup tepat seperti yang kudefinisikan di atas. Tapi aku sama sekali tidak merasa harus takut untuk merasakan kehilangan serupa (walau dengan tidak disengaja), karena nyatanya, kehilangan semacam itu akan selalu kutemui dalam keseharian. Bukan. Sekali lagi bukan. Kehilanganku kali ini terlalu berbeda. Terlalu berat untuk kupikul bahkan kuterima kehadirannya.

Ayah dari ibuku yang dengan hangat kusapa dengan sapaan embah kakung telah pergi meninggalkan alam fana ini pada Kamis siang pukul 13.30 dengan tenang. Kukakatakan tenang bukan karena ingin memperhalus istilah, tapi karena embah kakung memang benar-benar meninggal dalam ketenangan. Beliau hanya cukup memejamkan mata karena ada sedikit rasa sakit di dadanya, dan dengan sedikit gerakan memiringkan tubuh ke kiri, beliau pergi. Tak ada sakaratul maut yang berkepanjangan atau bahkan tampak. Tak ada erangan, teriakan, atau kejang yang menciptakan ketegangan. Tak ada wajah-wajah suram anak cucu yang menungguinya di rumah sakit. Yang ada, sekali lagi, ketenangan.

Kabar itu tiba padaku secara gamblang melalui tangisan embah putri yang seperti lolongan orang sakit yang sangat menderita di dalam kamarnya. Seketika lututku gemetar hebat, wajahku memanas siap meledakkan apapun yang secara tiba-tiba membara, lidahku kelu, dan otakku tak henti bekerja memutar memori tentangnya, tentang embah kakung.

Seketika aku merasakan sebuah sensasi hebat yang harus kuakui baru pertama kali kurasakan. Sebuah perasaan yang sangat rumit dan tak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Seperti sebuah penyesalan, kesedihan, amarah, penolakan, dan kebuntuan yang kurasakan dalam satu waktu secara serentak.

Menyesal. Kenapa aku hanya menyempatkan diri menjaganya di rumah sakit untuk beberapa jam saja? Kenapa tidak dapat kuterjemahkan satu pun bahasa firasat yang mungkin mendahului memperingatkan? Kenapa aku tak bisa lebih bertindak sebagai cucu yang baik selama ini? Kenapa tak pernah kupikirkan betapa sayangnya dia padaku? Kenapa begitu cepat? Kenapa?

Sedih. Pada akhirnya aku sadar akan satu hal, dari kesemua embah yang kupunya, embah kakung dari ibu dan embah putri dari bapaklah yang paling berbeda perlakuannya padaku. Kenyataannya, justru keduanya telah lebih dulu pergi (embah putri dari bapak meninggal pada November 2008). Tiba-tiba, aku merasakan kesedihan ganda, kehilangan dua kali dalam satu waktu.

Marah. Pada diri sendiri tentunya untuk alasan-alasan yang sebelumnya sempat kutulis. Aku marah karena setelah semua kebaikan mereka, aku baru menyadari betapa sedikit kebaikanku untuk mereka. Aku marah karena bahkan mereka pergi sebelum aku mampu menjadi cucu yang membanggakan darah keturunannya.

. . .


Sumber gambar:
http://www.crystalxp.net/galerie/img/img-wallpapers-candle-light_water-priyadarsh-sarwade-7769.jpg

Januari 20, 2009

WE WILL NOT GO DOWN


(Song for Gaza)
(Composed by Michael Heart)
Copyright 2009

A blinding flash of white light
Lit up the sky over Gaza tonight
People running for cover
Not knowing whether they’re dead or alive

They came with their tanks and their planes
With ravaging fiery flames
And nothing remains
Just a voice rising up in the smoky haze

We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight

Women and children alike
Murdered and massacred night after night
While the so-called leaders of countries afar
Debated on who’s wrong or right

But their powerless words were in vain
And the bombs fell down like acid rain
But through the tears and the blood and the pain
You can still hear that voice through the smoky haze

We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight


Sumber gambar:

http://i237.photobucket.com/albums/ff73/brittarj/870436Child-Flying-a-Kite-at-Sunset.jpg

Januari 12, 2009

Melawan Kenyataan dengan Tindakan Nyata


Ketika pertama kali Israel meluncurkan serangan udara ke jantung Gaza City dan diikuti serangan udara lain secara bertubi-tubi hingga beberapa hari berikutnya, aku seperti melihat kenyataan dalam mimpi, atau melihat mimpi dalam kenyataan. Entahlah. Hampir tak bisa kubedakan.

Sesaat, tubuhku yang menyaksikan berita aktual di televisi seperti lenyap dari kehidupan nyata dan terjebak entah di mana. Hanya ada aku yang mematung dan kotak elektronik yang menayangkan rekaman sebuah kota pemukiman padat penduduk beserta ledakan demi ledakan yang tak terhitung jumlahnya. Pada titik ini, aku menganggap diriku sedang bermimpi. Mimpi yang memberikan gambaran nyata yang terjadi di dunia riil.

Sesaat berikutnya, sekonyong-konyong aku kembali ke ruang tempat televisi tadi berada lengkap dengan teman-teman asrama yang tengah menonton bersamaku saat itu. Aku mengutuki diri sendiri bahwa aku terjaga. Tidak sedang bermimpi. Namun logikaku tak bisa menerima apa yang kusaksikan. Gumpalan awan panas hasil ledakan bom-bom mortil Israel di beberapa titik di Palestina seperti sebuah mimpi. Sangat tidak masuk akal walaupun sangat mungkin. Seperti menonton "Ripleys, Believe it or Not!".

Mari kita runut kembali dari awal (sejauh awal yang bisa kujangkau tentunya). Konflik Israel-Palestina memang tak pernah absen sebagai konflik terpanas di Timur Tengah yang panas, bahkan di bumi yang tengah memanas pula. Setelah melalui serangkaian perang dan perundingan tiada akhir, siklus perang kembali bergulir. Namun kali ini berbeda. Berbeda sama sekali.

Bagaimana tidak. Serangan Israel kali ini kelewat brutal, frontal, dan represif. Setelah diawali dengan serangan udara berkali-kali, Israel melanjutkan serangan darat tanpa ampun. Tak hanya itu, HPI (Hukum Perang Internasional) yang telah lama menjadi norma perang dan dijunjung dunia internasional, tak sekedar dilanggar tapi diaduk-aduk, diacak-acak, bahkan diinjak-injak. Target serangan bukan hanya markas militer, transportasi perang, artileri, atau gudang persenjataan, melainkan rumah penduduk, sekolah, rumah sakit, dan tempat-tempat umum yang dipenuhi warga sipil lainnya. Bahkan Israel menahan bala bantuan dalam bentuk apa pun yang telah menumpuk dari segala penjuru. Israel seolah membiarkan para korban yang membutuhkan pangan dan obat menderita untuk menjadi tambahan korban tewas berikut dan berikutnya. Sementara alasan atas semua tragedi dan penderitaan di Gaza City adalah serangan bom lontar Hamas yang ibarat hanya lemparan batu yang mengenai satu dua penduduk sipil Israel. Sama sekali tak sebanding dengan bom-bom Israel baik di darat maupun di udara yang menewaskan lebih dari 700 orang dan ribuan terluka termasuk wanita dan anak-anak. Entah aku bermimpi atau menyaksikan mimpi.

Dunia gempar sudah pasti. Kecaman datang silih berganti baik dari tokoh perorangan, atas nama negara, atau organisasi internasional. Pernyataan pedas dan pahit terhadap kebiadaban Israel bak berondong yang telah matang berkeletuk dalam panci. Hampir semua pihak mengutuk, menyumpah serapah, dan melaknat tindakan Israel yang keji. Obama sebagai aktor dunia yang sedang naik daun pun angkat bicara setelah bungkam beberapa hari. Walaupun pernyataannya abu-abu tak pasti. Tak ketinggalan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turut andil dalam adu caci maki. Lalu apa? Berpengaruhkah? Apa arti kecaman untuk bangsa yang telah tutup telinga? Apa makna sumpah serapah untuk negeri yang begitu keji? Apa guna pinta paksa untuk kaum yang seolah kebal hukum? Entah aku bermimpi atau menyaksikan mimpi.

Gerakan kemanusiaan serempak ambil tindakan dari berbagai penjuru dunia. Dari pangan, sandang, obat-obatan, hingga bantuan medis dan bahkan relawan perang. Kotak-kotak bertuliskan "Solidaritas untuk Palestina" berhamburan di mana-mana memohon uang receh serelanya. Rekening-rekening bank atas nama "Solidaritas untuk Palestina" pun dibuka dan menanti uluran tangan memberi. Namun kendala justru tampak begitu nyata. Sangat minim bantuan negara-negara Arab di sekitar Palestina. Tapi kenapa? Tidakkah mereka masih merasa satu buyut dengan Palestina? Sudahkah mereka tunduk pada ego dan rasa takut akan dunia? Adakah indikasi benih-benih penyakit berbahaya kaum muslim mulai menyemai? Kecintaan berlebihan akan dunia dan ketakutan akan kematian. Entah aku bermimpi atau menyaksikan mimpi.

Perang dua wilayah secara terbuka, brutal, dan tidak berimbang; hukum perang dilanggar sejadi-jadinya; darah tak berdosa menggenang tak terkira banyaknya; nyawa penerus bangsa diberangus tanpa rasa; mayat bergelimangan entah pria maupun wanita; bala bantuan hampir mustahil diterima; reaksi dunia sekedar melalui suara bukan langkah nyata; bahkan sanak saudara tak kunjung bangkit turut membantu walau terjadi di depan mata. Entah aku bermimpi atau menyaksikan mimpi, belum dapat ku menjawabnya. Aku tak mau bermimpi bahwa ini adalah nyata; pun tak ingin mengatakan itu mimpi yang kulihat di dunia nyata. Membingungkan bukan?

Sama dengan fakta-fakta membingungkan di atas. Bagaimana serangan seterbuka itu bisa dengan langgeng berlangsung hingga sekarang? Bagaimana mungkin dunia internasional hanya berkata-kata dan tak melakukan apa-apa? Dan bagaimana bisa dunia Islam di sekitar Palestina tak banyak ambil langkah? Benarkah Israel sehebat itu? Atau dunia terlalu tolol dan begitu mudah dibungkam bahkan dipecah belah oleh sebuah kekuatan yang merupakan bagian dari dunia itu sendiri? Entah aku bermimpi atau menyaksikan mimpi, aku tak mengharapkan keduanya. Dan aku akan mengakhirinya sekarang juga.

Aku harus bertindak. Aku harus berbuat. Sungguh. Tapi apa?

Beberapa hari sejak serangan pertama Israel, rekan-rekan aktivis mahasiswa di kampus menyerukan bentuk keprihatinan mereka akan tragedi di Gaza City. Selain orasi dan kotak-kotak amal, seorang mahasiswa memegang poster besar yang saya lupa tulisannya. Fokus saya waktu itu tertuju pada gambar-gambar di bagian bawah poster. Tidak seluruhnya, tapi sebagian besar aku mengenalnya sebagai logo sebuah merek atau perusahaan. Tanpa perlu menyebut merek, ada produk minuman bersoda, air mineral, snack ringan, produk kecantikan dan kebersihan, restoran cepat saji, hingga merek handphone. Semua itu sangat familiar dan sering kutemui di kehidupan sehari-hari. Bahkan beberapa pernah atau sering kupakai dan kugunakan.

Sang Mahasiswa yang memegang poster tersebut dengan senyumnya yang cukup ramah berkata: "Diketahui profit perusahaan-perusahaan ini sebagian disumbangkan untuk biaya perang para zionis Yahudi". Lalu aku tahu arah kalimat tersebut.

Pada awalnya aku hampir tidak bisa menerima alasan apa pun yang mengatakan "Jangan pernah gunakan produk Yahudi karena berarti kita mendukung aktivitas Yahudi termasuk perang di Palestina oleh Israel!". Pada awalnya otakku menciptakan spekulasi-spekulasi dan berbagai penyangkalan seandainya aku mengikuti instruksi tersebut. "Produk-produk itu begitu dekat dan sangat familiar. Bagaimana mungkin aku berhenti menggunakan produk 'A'? Setahuku hampir semua produk kebersihan dan kecantikan yang selama ini kugunakan berlabelkan 'A'. Lalu aku menggunakan apa? Snack-snack dari produk 'B' hampir semua kusuka. Nikmat dan sehat. Aku tak mungkin berhenti menikmati snack-snack tersebut. Apalagi air mineral 'C'. Mana mungkin aku disuruh berhenti menggunakan merek tersebut? Lalu aku pulang dengan kesimpulan "pasti ada jalan lain" untuk turut membantu Palestina.

Hari demi hari berganti. Merek demi merek Yahudi menyambangi badan hingga perutku. Perang pun masih bergulir menambah liter darah yang mengalir. Dan aku masih tak menemukan suatu langkah konkret untuk ikut andil dalam upaya membantu saudara-saudara seiman di Palestina. Hingga suatu hari seorang dosen yang cukup kritis dan brilian dalam pemikiran akan sebuah kasus sekaligus perumusan jalan keluar menyatakan sikap tegasnya akan produk-produk tersebut.

Teman, aku pernah membaca sebuah tulisan yang mengatakan bahwa manusia lebih sering menyibukkan diri sendiri dengan kemungkinan-kemungkinan dan berbagai bentuk spekulasi sebagai akibat suatu tindakan ketimbang menilik kembali maksud dan tujuan tindakan tersebut sebagai respon akan kenyataan-kenyataan yang ada. Seperti pada kasus global warming, ketika ada imbauan untuk mengurangi bahkan menghentikan penggunaan kendaraan berbahan bakar minyak yang mengeluarkan gas emisi (sepeda motor) dan menggantinya dengan sepeda atau jalan kaki, respon spontan yang muncul adalah pemikiran kemungkinan yang spekulatif akan hasil dari tindakan tersebut. "Mana mungkin berhenti menggunakan kendaraan bermotor? Jika semua orang di seluruh dunia memilih menggunakan sepeda atau jalan kaki, maka perusahaan kendaraan bermotor di seluruh dunia akan bangkrut. Jika itu terjadi, pasti akan ada krisis besar karena perusahaan kendaraan bermotor cukup signifikan dalam roda ekonomi dunia. Belum lagi pengangguran yang akan meledak tiada ampun jika perusahaan-perusahaan tersebut tutup". Akhirnya, teriakan-teriakan serupa bagaikan lolongan anjing yang tak perlu diperhatikan. Buktinya, produksi sepeda motor tetap dan bahkan terus meningkat. Jika ada yang mengikuti anjuran tersebut, akan dikucilkan dan dianggap aneh oleh mata dunia.

Padahal yang dibutuhkan bukan itu, melainkan tindakan nyata. Kita tidak akan melakukan apa-apa jika otak kita dipenuhi spekulasi akan apa yang belum tentu terjadi. Kita hanya makin memperparah kenyataan yang sudah terjadi yang butuh tindakan segera. Untuk dua paragraf terakhir ini, inspirasiku adalah tulisan di blog Dewi Lestari (http://dee-idea.blogspot.com/search/label/Nature-Green-EcoLiving) berjudul "Dua Pertanyaan yang Berarti".

Melalui dua inspirasi itulah (pernyataan dosen dan tulisan di blog) aku mulai bertindak kecil-kecilan. Dimulai dengan teliti ketika membeli. Ya, temanku cukup kesal melihat tingkahku yang mengamat-amati produk-produk yang akan kubeli dan seringkali menanyakan "Ini produk dalam negeri kan?" Di sisi lain, aku justru menemukan titik terang dari keraguan tak beralasanku selama ini. Karena setelah diperhatikan dengan seksama, tidak semua produk yang ada di pasaran itu produk impor atau dari perusahaan multinasional (atau seperti yang diserukan sahabat-sahabat mahasiswa, produk Yahudi). Cukup banyak pula produk dalam negeri yang berkualitas dan tak kalah dengan produk-produk yang menguasai periklanan Indonesia itu. Memang benar, dengan tindakan kecil, kita akan tahu hal-hal baru yang selama ini tak sempat terpikirkan atau dianggap mustahil.

Maka melalui blog ini, dengan segala keterbatasan yang kumiliki, aku hanya ingin mengajak diriku sendiri, ya benar-benar diriku sendiri. Aku tak bermaksud mengajak siapa pun. Perkara pembaca ikut terpengaruh dan mengikuti ajakanku nantinya, maka kuanggap hal itu sebagai dampak positif.

Aku mengajak diriku sendiri, untuk tak sekedar mendo'akan namun berperan aktif dan nyata dalam membantu Palestina dan memerangi kedzaliman yang dilakukan Israel dengan berkomitmen mencintai produk dalam negeri, dan sebisa mungkin menghindari penggunaan produk impor, apalagi yang terdaftar sebagai produk pendukung gerakan zionisme Yahudi. Aku percaya dan yakin, niatku akan secara langsung berperan walau kecil. Sekali lagi, kita butuh langkah konkret, bukan kalimat manis.

Sebagai penutup, aku akan menegaskan sekali lagi, aku tak sedang bermimpi, tak pula menyaksikan mimpi. Aku sadar sepenuhnya dan menyaksikan kenyataan, bukan dalam mimpi, tapi dalam dunia nyata. Maka yang kubutuhkan bukan angan dan mimpi semata, tapi tindakan nyata.











Sumber gambar:
http://images.epilogue.net/users/straubart/Dreaming_tree.jpg
http://mpjc.org/images/palestine.jpg
http://www.dakwatuna.com/wp-content/uploads/2008/04/anak-palestina-korban-israel.jpg
http://3.bp.blogspot.com/_F4jkkfjqfSw/RfjRhDh8xPI/AAAAAAAAACM/UpYmvdS-5Rs/s1600-h/pengungsi+di+irak.jpg
http://qitori.files.wordpress.com/2007/07/palestina1.jpg