Februari 23, 2009

Confession


Belakangan hidupku tak berjalan 'sebagaimana mestinya'. Rencana hidup yang kususun jauh hari sebelum hari ini, berantakan sudah. Proposal masa depan yang telah rapi terbukukan dalam benak, berserakan entah. Inikah akhir hidupku?

...

Dulu dengan berapi-api, kuajukan daftar keinginan pasca-SMA ke orangtua. Dengan gaya penuh percaya diri pula, kutambah penyedap mimpi dan asa yang mungkin tergapai setelah meraihnya. Ayahkku, tak usah diragu, pasti mengagguk setuju, asal itu yang kumau. Ayah selalu begitu, sedari dulu, mendukung langkahku. Sementara ibu diam sejenak, duduk terhenyak, tak ada mencak-mencak. Ibu memang tak lunak, tak pula buatku sesak, tapi bijak.

Dulu dengan semangat membara, kudatangi ayah dan ibu, akan kabar gembiraku. Satu langkah berhasil kutapaki. Hasil ujianku membolehkanku meraup ilmu sastra yang kudamba, di universitas ternama pula. Ayah mencium pipiku, dan kudapat senyum ibu. Namun hidup mulai bekerja, maksudku, hidupku. Kehidupan yang sesungguhnya, mulai menyapa. Tak dapat kuinjakkan kaki, di tanah impian yang sejatinya t'lah kuraih.

Dulu dengan tekad membulat, kupasang senyum terindahku, untuk ayah dan ibu. Pertanda tak sedikitpun aku menyalahkan mereka. Bahkan proposal lain t'lah usai kususun cukup dalam semalam. Ini tentang hidupku, lagi-lagi. Ayah sedikit meragu, bukan padaku, dan kubilang padanya "bukan salahmu". Ibu tak sesaat dalam diam, dia menatapku dalam, "percayalah" bisikku, "ibu tak boleh muram".

Dulu dengan keyakinan tanpa beban, kusodorkan apa yang telah kudapatkan. Hanya demi mereka, batinku. Ilmu Hubungan Internasional di universitas Islam, tak kalah nama atas yang lain. Senyumku hanya karena senyum mereka, atau mungkin keadaan. Mimpiku tersusun hanya untuk mereka, atau mungkin keadaan. Aku belum menyadarinya. Hanya perlu menjalaninya.

Kemarin dengan kehampaan, aku pulang dari perantauan. Tak ada lagi kalimat berapi-api, atau semangat yang membara, atau tekad yang bulat, bahkan keyakinan dalam diri. Aku berdiri di hadapan ayah dan ibu, dengan apa adanya, begitu saja. Ayah kini yang diam, tak berdaya dalam muram, auranya kelam. Ibu mengangguk tenang, seolah badai tak pernah datang, bahkan seperti menang. Aku menangis, ayah mengerti, ibu pun berdiri. Aku meratap, ayah berharap, ibu mulai berucap. Dan saat itulah, detik itulah, hidupku berubah. Maksudku, caraku memandang hidup berubah.

Sekarang, tak lagi kusandang, status mahasiswa yang agung dipuja. Bukan ku tak bangga, bukan pula ku kecewa, melainkan belum waktunya. Bukan tentang waktu yang tepat, karena tak ada waktu yang tepat, yang ada tindakan yang tepat. Ini memang saatnya kulakukan hal lain, hal ini, yang sekarang kuhadapi.

Sekarang, tak ada mata kuliah menghiasi hari-hariku, atau teman aktivis dengan seabrek kegiatan. Bukan maksud hati meninggalkan, apalagi menyia-nyiakan, hanya sebentuk perpisahan. Begitulah esensi pertemuan, untuk sebuah perpisahan, keabadian bukan milik makhluk Tuhan. Sudah semestinya kuisi hari-hariku dengan hal lain, hal ini, yang sekarang kuhadapi.

Sekarang, sedang kumulai hidup baru, di bawah langit yang biru. Aku berdiri di depan pintu sambil menatap hidupku yang baru. Satu hal yang kutahu pasti, aku tak pernah sendiri*. Tak ada waktu untuk sesal, tak pula kuingin membual, hidupku masih normal. Ini tentang hidupku, kehidupan, dengan segala apa yang dirahasiakannya. Ada banyak hal dalam hidupku yang tak berjalan sebagaimana mestinya. Tapi saat kutatap langit luas, hal itu tak berarti apa-apa*.

Sekarang, pertanyaan menghujaniku, sedikit mengganggu namun kubersyukur tentu. Walau tak jujur kumenjawab mereka, bukan berarti ku mendusta, apalagi tak percaya. Walau kadang ku suka bergurau, tak berarti ku tak hirau, ku hanya tak ingin menjadai kacau. Kawan-kawanku adalah nafas semangatku, perhatian mereka adalah pemacu energiku, jadi tak mungkin mereka hanya berlalu. Untuk mereka yang begitu besar perhatian padaku, namun begitu kecil jawabku, maafkan aku.

...

Belakangan hidupku tak berjalan sebagaimana yang kuinginkan. Rencana hidup yang kususun jauh hari sebelum hari ini, berantakan sudah, tapi tak pecah. Proposal masa depan yang telah rapi terbukukan dalam benak, berserakan entah, namun tak punah. Ini bukan akhir hidupku. Justru inilah awal hidupku, yang sesungguhnya ...


*diambil dari lirik lagu Jepang berjudul Sangatsu Kokonoka atau dalam bahasa Inggris berarti March 9 yang telah diterjemahkan.




Sumber gambar:
http://orriel.deviantart.com/art/Intersection-37696510

Februari 01, 2009

in memoriam


Sesuatu baru akan benar-benar berharga dan kita sadari arti keberadaannya saat kita kehilangannya.

Belum pernah dalam hidupku aku merasakan sebuah rasa yang selalu menakutkan bahkan hanya untuk dipikirkan: kehilangan. Maksudku, rasa kehilangan yang sesungguhnya, yang selalu kuhindari untuk sekedar memikirkannya, yang tak pernah dapat kumengerti hingga hari itu. Bukan kehilangan bolpoin yang hampir selalu kualami semasa sekolah (aku memang ceroboh), atau kehilangan genggaman tangan Bapak hingga aku 'hilang' di supermarket pada waktu masih kecil, atau kehilangan buku yang baru kuberi beberapa hari (seperti saat aku kehilangan "A Cat In My Eyes" secara misterius), atau kehilangan uang karena kecerobohanku sendiri, atau bahkan kehilangan handphone berfitur canggih pertama yang kumiliki. Kehilangan-kehilangan seperti itu memang menyakitkan dan semuanya pernah kualami dalam hidup tepat seperti yang kudefinisikan di atas. Tapi aku sama sekali tidak merasa harus takut untuk merasakan kehilangan serupa (walau dengan tidak disengaja), karena nyatanya, kehilangan semacam itu akan selalu kutemui dalam keseharian. Bukan. Sekali lagi bukan. Kehilanganku kali ini terlalu berbeda. Terlalu berat untuk kupikul bahkan kuterima kehadirannya.

Ayah dari ibuku yang dengan hangat kusapa dengan sapaan embah kakung telah pergi meninggalkan alam fana ini pada Kamis siang pukul 13.30 dengan tenang. Kukakatakan tenang bukan karena ingin memperhalus istilah, tapi karena embah kakung memang benar-benar meninggal dalam ketenangan. Beliau hanya cukup memejamkan mata karena ada sedikit rasa sakit di dadanya, dan dengan sedikit gerakan memiringkan tubuh ke kiri, beliau pergi. Tak ada sakaratul maut yang berkepanjangan atau bahkan tampak. Tak ada erangan, teriakan, atau kejang yang menciptakan ketegangan. Tak ada wajah-wajah suram anak cucu yang menungguinya di rumah sakit. Yang ada, sekali lagi, ketenangan.

Kabar itu tiba padaku secara gamblang melalui tangisan embah putri yang seperti lolongan orang sakit yang sangat menderita di dalam kamarnya. Seketika lututku gemetar hebat, wajahku memanas siap meledakkan apapun yang secara tiba-tiba membara, lidahku kelu, dan otakku tak henti bekerja memutar memori tentangnya, tentang embah kakung.

Seketika aku merasakan sebuah sensasi hebat yang harus kuakui baru pertama kali kurasakan. Sebuah perasaan yang sangat rumit dan tak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Seperti sebuah penyesalan, kesedihan, amarah, penolakan, dan kebuntuan yang kurasakan dalam satu waktu secara serentak.

Menyesal. Kenapa aku hanya menyempatkan diri menjaganya di rumah sakit untuk beberapa jam saja? Kenapa tidak dapat kuterjemahkan satu pun bahasa firasat yang mungkin mendahului memperingatkan? Kenapa aku tak bisa lebih bertindak sebagai cucu yang baik selama ini? Kenapa tak pernah kupikirkan betapa sayangnya dia padaku? Kenapa begitu cepat? Kenapa?

Sedih. Pada akhirnya aku sadar akan satu hal, dari kesemua embah yang kupunya, embah kakung dari ibu dan embah putri dari bapaklah yang paling berbeda perlakuannya padaku. Kenyataannya, justru keduanya telah lebih dulu pergi (embah putri dari bapak meninggal pada November 2008). Tiba-tiba, aku merasakan kesedihan ganda, kehilangan dua kali dalam satu waktu.

Marah. Pada diri sendiri tentunya untuk alasan-alasan yang sebelumnya sempat kutulis. Aku marah karena setelah semua kebaikan mereka, aku baru menyadari betapa sedikit kebaikanku untuk mereka. Aku marah karena bahkan mereka pergi sebelum aku mampu menjadi cucu yang membanggakan darah keturunannya.

. . .


Sumber gambar:
http://www.crystalxp.net/galerie/img/img-wallpapers-candle-light_water-priyadarsh-sarwade-7769.jpg