April 09, 2009

Business, as Usual


Yogyakarta, 2008


"Lalu sekarang, apa yang akan Miss lakukan?" aku memandang dosen bahasa Inggris sekaligus salah satu teman terbaikku selama berada di kota perantauan.
"Apa yang bisa kulakukan?" pertanyaan buntu. Nampaknya memang tak ada yang bisa dilakukan dalam keadaan seperti itu.

Bagiku, hanya kekecewaan yang bersarang di hati saat mengetahuinya. Kecewa akan apa yang menimpa dosenku yang sangat baik ini. Kecewa pada oknum-oknum penyebab ini semua. Kecewa menerima kenyataan bahwa tak banyak yang bisa kuperbuat untuknya.

"Tapi Fa, paling tidak aku masih bisa bersyukur," bagian inilah yang paling kutunggu,"Bayangkan jika sekarang aku menjadi bagian dari mereka. Mungkin aku malah tidak pernah tahu."

*******

Sebaiknya kubuka saja apa yang sedang kubicarakan di sini. Adalah dosen bahasa Inggrisku di sebuah universitas Islam swasta yang pernah menjadi ladang tempatku menimba ilmu. Sebut saja Miss Jasmine. Dengan mengantongi ijasah sarjana sastra Inggris dari universitas negeri cukup ternama di kota yang sama, statusnya di universitasku saat itu belum menjadi dosen tetap. Dan langkahnya untuk menuju ke arah sana nyaris lengkap dengan ijasah Master of Art yang diperolehnya dari universitas negeri paling populer tak hanya di kota tersebut tapi juga di negeri ini.

Nyaris lengkap. Tepat beberapa bulan setelah gelar master dikantonginya, Miss Jasmine tak melewatkan peluang untuk menjemput mimpinya. Singkat cerita, setelah melewati beberapa tahapan tes tertulis untuk menjadi dosen tetap di sebuah universitas Islam negeri ternama, tinggallah dia dihadapkan pada seleksi terakhir. Miss Jasmine menjadi satu dari dua kandidat yang berhasil sampai di titik aman terakhir ini.

"Guys, aku minta do'a dari kalian untuk seleksi besok. Jika semuanya berjalan lancar, kita adakan syukuran, oke?" Miss Jasmine yang masih lajang dan berjiwa muda terlihat sangat ceria dan bersemangat seperti biasanya.
"Makan-makan Miss?" celetukku yang juga antusias pada kesempatan ditraktir. Dan Miss Jasmine tersenyum.

Sebagai seorang wanita, Miss Jasmine memiliki semangat yang berapi-api dan mampu menginspirasi siapa pun untuk malu pada kata menyerah atau sekedar bermalas-malasan. Dia tak hanya menjadi pengajar di satu tempat, tapi tiga tempat sekaligus dengan jam kerja melampaui batas maksimal jam kerja seseorang di negara manapun. Bayangkan saja, setiap hari (kecuali Minggu) dia memulai aktivitas mengajar dari jam tujuh pagi hingga jam sembilan malam dengan jeda waktu yang tidak seberapa. Hampir seperti buruh pabrik saja.

"Aku juga tak tahu kenapa ya Fa. Yang jelas, aku menikmati pekerjaanku. I mean, I meet different people with many kind of personalities, every day. It such challenges me." tuturnya suatu hari melalui sms ketika ditanya mengenai jam kerja rodinya.

Ah ya, kelanjutan cerita tadi. Akan kumulai lagi dengan pesan singkat Miss Jasmine di hari pengumuman akhir.

"Lucu Fa. Lucu banget. Kuceritakan besok di kelas ya."

Tadinya kupikir Miss Jasmine akan membawa berita baik yang diwarnai hal-hal lucu. Tapi kalimat pertama yang muncul dari mulutnya sebagai jawaban atas pertanyaanku sekaligus teman-temanku pagi itu adalah "aku gagal" dengan senyum yang masih mengembang, tanpa perubahan ekspresi yang berarti.

Ya, Miss Jasmine gagal menjadi dosen tetap di universitas Islam negeri itu. Nama yang muncul di pengumuman final adalah nama "rival" satu-satunya yang lolos ke tahap terakhir. Tapi cerita masih berlanjut, lebih tepatnya, bercabang ke belakang.

Ternyata, pada H-1 sebelum pengumuman, Miss Jasmine telah mendapatkan sesuatu yang tak seharusnya diberikan padanya. Sebagian besar karyawan hingga staf pengajar di universitas yang bersangkutan memberikan pengumuman tidak resmi. Miss Jasmine menerima begitu banyak ucapan dan jabat tangan dengan ekspresi "selamat bergabung". Bahkan salah seorang darinya memberi bocoran tentang calon meja pengajar yang akan ditempatinya. Tak pelak, Miss Jasmine pulang dengan sejuta angan dan kebahagiaan yang menggebu mengetahui salah satu mimpinya akan terwujud.

"Bisa kubayangkan ..." Miss Jasmine hanya mengedikkan mata menanggapi respon awalku.

Keesokan harinya, Miss Jasmine lagi-lagi harus menunda puncak kebahagiaan yang sebelumnya juga tertunda, karena pengumuman yang dijanjikan keluar pada pagi hari, tak kunjung muncul hingga malam hari. "Sampai di sini, aku mulai berpikir ada yang aneh."

"I see ..."
"Yah, kau bisa menerka yang mungkin terjadi hari berikutnya. Bukan namaku yang terpampang di pengumuman final."
"Pasti sangat mengejutkan," aku membayangkan jika aku ada di posisi itu.
"Belum pernah aku seterkejut itu," raut mukanya berubah sedikit,"Tapi itu hanya beberapa detik kok Fa. Aku tak mau emosi apalagi mencari kambing hitam. Jadi aku langsung saja mendatangi kantornya, sekaligus konfirmasi pada para 'pemberi ucapan selamat' hari sebelumnya. Aku hanya ingin bilang, jika itu sebuah lelucon, sangat tidak lucu."
"Lalu..?"
"I got silence. Nobody spoke up. They just showed their innocence. And I felt sad at that time," rona mukanya masih menunjukkan hanya sedikit perubahan, tapi tak pernah mengindikasikan akan meneteskan air mata atau sejenisnya,"Untung ada Lily. Dia cukup membantu dengan menawarkan bantuan meski aku sendiri tidak cukup yakin.
"Lily berjanji akan mengusut masalah ini. Jika perlu, dia akan meminta orang tuanya yang pejabat Departemen Agama turut menanganinya."
"Bukankah itu bagus?" tak bisa kupikirkan kata-kata lain.
"Masalahnya, aku tak yakin dengan kekuatan yang ada," aku diam tanda tak mengerti, "Hal ini sudah diangkat hingga ke tingkat rektorat Fa. Dan kau tahu, bahkan sang Rektor bungkam. Aku tak mau berburuk sangka, tapi aku yakin kau mengerti maksudku."

Sebenarnya tak perlu ada buruk sangka di sini. Ataupun sebuah kesimpulan. Yang bisa kumengerti di sini adalah, apa yang menimpa Miss Jasmine sebenarnya hal 'biasa'. Bisa dibilang, mungkin banyak kasus serupa yang menimpa orang lain di luaran sana. Gambaran tentang rumit dan kotornya birokrasi yang ada di Indonesia sudah cukup jamak sebenarnya. Yang tidak biasa adalah, menjadi bagian paling minor, paling dirugikan, dan paling tak berdaya di dalamnya. Dan itulah yang sedang dialami Miss Jasmine.

Ingin sekali kukatakan kalimat-kalimat tadi sebagai penghiburan kecil untuknya. Tapi bibir ini kelu justru karena Miss Jasmine sama sekali tak menangis atau sekedar menunjukkan kesedihannya. Dia kembali tampil di depan kelas seperti Miss Jasmine yang biasanya. Yang ceria, murah senyum, enerjik, dan mudah menularkan semangat pada orang lain. Aku tahu, aku mengerti benar, dia tak menyerah. Mungkin dia memang tidak melakukan apa-apa sebagai bentuk pembelaan atau upaya pembuktian. Tapi dia telah menang. Baginya, dan bagiku. Dia menang karena tak terjebak pada kekecewaan yang mendalam. Dia menang atas ketidakberdayaan yang tak mampu membuatnya menyerah atau merasa kalah. Dia menang karena bangkit walau habis jatuh tertimpa martil keras kemunafikkan.

*******

"Mmm.. mungkin seandainya aku tak pernah mendapat penyambutan tidak resmi itu, hal ini hanya akan kuanggap sebagai 'hasil yang belum sesuai harapan'."
"Dan tentunya tidak akan terlalu menyakitkan," kali ini sorot matanya mengguratkan kepedihan.

"Sebenarnya ini semua untuk ibuku," tambahnya sedikit berbisik.

Dan seandainya aku tidak berada di kelas saat itu, mungkin aku yang mewakili kesedihan Miss Jasmine dalam tangis.


(Berdasarkan kejadian nyata dengan nama tokoh disamarkan)



Sumber gambar:
http://orikomi.deviantart.com/art/dissapointed-angel-edited-109941238

April 01, 2009

Petualangan Lahir dan Bathin


Keputusan untuk akhirnya membeli buku ini diawali dilema besar. Di tanganku saat itu sudah ada dua buah buku dengan genre yang tadinya kupikir sangat berbeda. Sebagai pecinta karya Jostein Gaarder yang masih pemula karena baru membaca salah satu karyanya, The Solitaire Mystery, rasa penasaranku untuk mencicipi ramuan fantasi, spiritualitas, dan filsafat di karyanya yang lain sedang menggebu-gebu. Cecilia dan Malaikat Ariel sudah di tangan dan hampir kuserahkan ke kasir ketika mataku menangkap sebuah judul yang cukup eye catching. Buku bersampul dasar putih dengan gambar backpack dan bendera-bendera negara Eropa ini pun kuambil. Judulnya cukup panjang, “ Back “Europe” Pack; Keliling Eropa 6 Bulan Hanya 1.000 Dolar! “

Buku tersebut sekonyong-konyong membangkitkan mimpi lama yang sedang lesu dan malas kubahas, keliling dunia. Karena aku berada di toko kecil, jadi mustahil mengharapkan sampel buku yang terbuka. Aku pun cukup membaca tulisan-tulisan yang ada di sampul depan dan belakang. Selain tulisan “1.000 dolar untuk 45 kota, 13 negara, 10.600 km, dan pertemanan tak ternilai “ yang terdapat di sampul belakang, ternyata ada komentar dari seorang penulis Indonesia favoritku, Dewi Lestari, di bagian sampul depan. Dengan segala hal ‘menjual’ sekaligus memikatku yang ditawarkan buku itu, mau tidak mau membuatku berada pada tekanan dilematis. Setelah perang sengit di benak, akhirnya kuambil buku berjudul super panjang itu sembari mengembalikan karya Jostein Gaarder ke raknya.

Lembar-lembar awal berisi tentang sejarah pencetakan buku yang bermula dari jurnal perjalanan penulis di blog. Hal unik pertama yang kutemui di buku yang tadinya kupikir berisi tips-tips aneh dan nyeleneh ini adalah ide besar perjalanan nekat keliling Eropa dengan modal sangat minim dan ditempuh sendiri (apalagi sang Penulis adalah wanita). Ide apakah gerangan? Yaitu dari segala hal yang penulis alami di Eropa, semua pengalaman travelling, sight seeing, culinary, hingga perjalanan spiritual yang kaya pelajaran hidup, diperoleh penulis bukan melalui jalur eksekutif apalagi illegal, melainkan jalur pertemanan.

Bab pertama berisi tentang uraian alasan mengapa kita ‘harus’ melakukan travelling. Ada tiga belas alasan yang diuraikan dengan segar dan menarik didasarkan pada pengalaman pribadi penulis. Dimulai dari alasan paling mendasar ‘menyenangkan’, hingga alasan mendalam dan cenderung teoritis tapi sangat relevan ‘teori fitrah’.

Dilanjutkan bab berikutnya yang berisi tentang 13 langkah yang perlu dilakukan sebelum berangkat. Boleh dikatakan, bab kedualah yang menjadi modal pemasaran utama buku ini. Selain menjadi bab yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul ketika membaca judul buku, bab ini sekaligus menjadi semacam panduan praktis bagi siapapun yang hendak mengaplikasikan saran-saran di dalamnya. Dilengkapi dengan space-space kosong untuk diisi pembaca saat merencanakan perjalanan mereka seperti uang yang harus dikeluarkan di tempat ini, untuk keperluan ini, karena alasan ini, makin menjadikannya menarik karena memudahkan pembaca tanpa harus membuat dari nol rencana perjalanan mereka.

Sampai titik ini, apresiasiku terhadap buku ini tak lebih atas ide besar jalur pertemanan yang diusung. Apalagi dijelaskan dalam bab dua tentang jalur pertemanan macam apa yang dimaksud penulis, bagaimana untuk bisa masuk ke dalam jalur tersebut, serta tips-tips agar bisa enjoy selama berada di jalur tersebut. Dan tentunya, seperti yang ditulis Mbak Dewi Lestari di sampul depan buku, bahwa buku ini merupakan hasil pengamatan jeli penulis setelah mengalami perjalanannya yang akan mampu menginspirasi siapa pun untuk berani merambah dunia, dan mempercayai keindahan hati manusia.

Ketika hendak break membaca karena merasa telah mendapat intisari buku, lagi-lagi aku dibuat penasaran dengan sub judul ketiga “13 Negara”. Selain rasa penasaran kenapa penulis cinta sekali angka tiga belas, sebenarnya aku lebih ingin tahu apakah Inggris menjadi salah satu Negara yang penulis kunjungi (karena nama tersebut telah lama mengendap dalam dimensi mimpiku). Akhirnya kubuka halaman selanjutnya.

Dimulai dengan pengantar bab tiga, penulis menggambarkan bahwa selain modal yang tersedia di bab pertama dan kedua, ada satu lagi hal yang sangat diperlukan dalam rangka melakukan perjalanan cross culture apalagi melalui jalur pertemanan. Bukan hanya cuaca, tempat, dan bahasa, tapi juga tentang orang-orang yang akan kita temui yang menjadi partner di jalur pertemanan tadi. Tantangan terbesar yang jika dilalui akan menghasilkan keajaiban-keajaiban perjalanan tak ternilai adalah seberapa terbukanya kita. Seberapa besar kesediaan untuk saling bertukar, berdialog, dn memahami, yang seringkali dituntut dari kita dalam isu-isu terringan hingga terberat seperti agama (hal 77).

Pada awalnya tulisan tersebut tak begitu membekas di benak, hingga akhirnya aku berlalu dan membuka halaman selanjutnya. Satu halaman penuh foto-foto dan beberapa spot untuk tulisan-tulisan yang melaporkan keadaan di negara yang sedang dibahas. Negara pertama adalah Jerman dengan kota pertama Frankfurt yang memiliki bandara internasional terbesar di Eropa. Di sanalah Marina Silvia Kusumawardhani memulai perjalanannya dengan seorang host bernama Okan, yang merupakan kenalannya ketika Okan menjadi exchange student di kampusnya, ITB. Penulis berhasil mendapatkan akomodasi pertama yang sangat memuaskan berupa tumpangan di flat sang Host yang tentunya tak menarik biaya sedikitpun. Di sinilah mulai jelas, kenapa dengan uang 1.000 dolar, penulis dapat menjelajahi 45 kota di 13 negara. Jalur pertemanan jawabannya.

Kemudian lembar-lembar berikutnya pun tak jauh berbeda. Satu lembar penuh foto-foto, nama negara, tanggal kunjungan, nama kota, host, dan laporan keuangan. Yang terakhir adalah yang paling tidak masuk akal. Bayangkan saja, laporan keuangan ketika berada di St.Petersburg, Rusia adalah 1 Euro, bahkan laporan keuangan di Roma pun hanya 1,5 Euro, sama seperti kota-kota lain yang rata-rata tak lebih dari 5 Euro. Kalaupun ada yang cukup besar, pastilah untuk biaya transportasi antar-negara itu pun berkisar 5-10 Euro dan sekonyong-konyong tergantikan dengn cara-cara yang tak terduga. Seperti bekerja part-time ‘illegal’ karena sang Host di Stocholm ternyata seorang atasan sebuah rumah makan atau menjadi volounteer membersihkan area konser di Trondelag yang menggantikan uang tiket. Bahkan beberapa kali penulis mendapat uang cuma-cuma dari orang tak dikenal hanya karena menanyakan tempat penukaran uang. Woww!

Di antara lembaran-lembaran laporan perjalanan dengan konsep seperti di atas, ada berlembar-lembar jurnal perjalanan yang ditulis penulis atas dasar pengalaman pribadi di tiap kota atau (kebanyakan) hasil perbincangan dengan orang-orang yang ditemuinya di sana. Jurnal perjalanan inilah yang menarik perhatianku begitu mendalam. Selain berisi pengalaman-pengalaman unik, perbincangan yang terjadi antara penulis dan orang-orang di berbagai belahan Eropa pun terbilang dalam dan jarang (hampir tidak mungkin) diperbincangkan pemuda-pemuda di Indonesia. Tentang kehidupan, pengalaman spiritual, agama dan kepercayaan, hingga masalah ekonomi, sosial, dan politik.

Perbincangan serius, santai, hingga penuh canda yang terjadi tak hanya kaya akan makna, tapi juga membuka cakrawala penulis tentang satu tema besar kehidupan, perbedaan. Betapa sebuah perbedaan, entah perbedaan keyakinan ataupun perbedaan sudut pandang, dapat memberikan arti yang begitu mendalam tentang apa yang di’perbedakan’. Sebagai seorang muslimah berjilbab, penulis justru sering mendapati host yang tak hanya berbeda keyakinan, tapi bahkan ‘tak berkeyakinan’ alias atheis. Tapi itu tak membuat penulis menutup diri dan hanya menjadikan teman baru yang telah dengan baik hati menampung bahkan mentraktirnya selama di Eropa hanyalah alat melancarkan perjalanan efisien. Justru dari perbedaan yang sangat mencolok seperti penampilan, penulis bisa berbagi pengalaman dan pikiran tentang konsep kehidupan, konsep Tuhan, keyakinan, kebahagiaan, keikhlasan, cinta. Ya, aku sama sekali tidak mengada-ada atau melebih-lebihkan. Inilah yang membuatku berani member bintang lima untuk buku berjudul panjang dan cenderung komersil ini di goodreads.com. Sampai di sini, aku baru menyadari arti kata ‘seberapa terbuka kita dalam bertukar pikiran’ di pembuka bab.

Akhirnya, sebagaimana sebuah review buku, harus ada keseimbangan di dalamnya. Setelah aku menguraikan ‘sedikit’ kelebihan buku yang bagiku tak terduga berada di balik judul buku itu sendiri, sekarang tiba saatnya kita memasuki bagian kekurangan.

Secara kebahasaan, aku sangat memahami jika penulis tak terlalu formal alias lebih menyegarkan tiap kata yang digunakan. Karena pada dasarnya buku ini memang diperuntukkan untuk menyegarkan bukan menyuramkan. Satu-satunya kekurangan buku ini adalah penataan perpaduan antara foto dan tulisan yang seringkali mengganggu mata saat membaca. Foto yang diperbesar atau dijadikan dasar halaman, terkadang membuat kabur tulisan yang ada di atasnya. Dan mungkin, seandainya buku ini dibuat full colour akan lebih menarik karena visualisasi kota-kota dan aktivitas yang terjadi semakin hidup. (Meskipun pastinya berdampak pada harga yang akan melambung tinggi mengingat porsi fotonya lebih dari setengah tebal buku).

Well, di luar segala kekurangannya, aku tetap berpegang teguh pada prinsipku ketika menikmati sebuah karya. Bahwa seburuk apa komentar orang tentang buku ini karena kekurangan yang mencolok atau kesalahan-kesalahan teknis, bahkan ketidakcocokkan selera, porsi penilaianku biasanya lebih dipengaruhi bagaimana buku tersebut bisa menimbulkan kesan, efek, atau mungkin candu yang tidak ditimbulkan oleh buku lain. Dalam hal ini, buku terbitan Gramedia Pustaka Utama ini telah memberi warna dan sensasi tersendiri saat ku membacanya. Sangat direkomendasikan pada mereka yang haus akan warna lain kehidupan di samping tentunya, para back packer atau yang bercita-cita menjadi back packer. Akhir kata, difference is beauty.


P.S. : Ternyata Inggris tak masuk daftar 13 Negara yang dikunjungi penulis T_T