Desember 22, 2011

Tentang Seseorang

Tentang seseorang aku tak pernah bosan menatap wajahnya
Garis-garis usia bermunculan seiring senyum yang datang dan pergi silih berganti dengan air mata

Tentang seseorang aku sering kecewakan dengan tingkah laku atau sekedar kata-kata
Punggungnya mulai membungkuk bukti kian rapuh badannya, sekaligus kian besar upayanya melindungi buah hatinya

Tentang seseorang aku sering lupa dalam sukaku, namun adalah orang pertama dalam curahan dukaku
Meski raganya tak lagi sekuat dulu saat mampu menggendongku keliling komplek, rasa sayangnya tak sedikitpun berkurang untukku

Sungguh tak sebanding usiaku dengan kasih sayang dan pengorbanannya
Tak pula terhitung berapa banyak luka yang kutoreh di hatinya, yang terus menerus dapat dia sembuhkan
Dalam harapan-harapan yang terselip pada tiap do'a malamnya,
Dalam nasihat-nasihat sederhana yang terucap lewat sambungan jarak jauh,
Atau sekedar sapaan lembut 'sudah sholat Nak?' yang tak pernah dia lewatkan sekalipun

Dan tentang seseorang yang sangat kurindu dan ingin kucium meski hanya lewat lagu,
Orang itu adalah Ibu...

[Selamat Hari Ibu, Mah]
. . .
Jakarta, 22 Desember 2011
01:38 WIB

November 17, 2011

"Dua Kisah Nusantara": Concert for Papua



Kamis, 10 November 2011 menjadi hari bersejarah khususnya dalam kehidupanku. Konser Interaktif "Dua Kisah Nusantara" menjadi konser pertamaku sekaligus pengalaman bathin tak ternilai harganya yang kudapatkan dari proses lima bulan persiapan konser.

Nama The Indonesia Choir kudengar dari seorang sahabat yang sama-sama anggota paduan suara kampus. Aku akhirnya diterima menjadi anggota The Indonesia Choir dengan segala keterbatasan dan kekurangan setelah mencoba beberapa range nada yang dimainkan sang guru, Jay Wijayanto, dan menyanyikan satu bait lagu "Mad World" sebagai lagu audisiku. Apa yang kulihat, kudengar, dan kurasakan selanjutnya selama hari-hari latihan di markas TIC yakni di Jalan Kyai Maja (lebih akrab disebut "Maja"), sungguh di luar ekspektasi-ekspektasi bahkan bayanganku tentang dunia paduan suara.

Pada awalnya kupikir proses audisi TIC terlalu sederhana bahkan cenderung bersifat formalitas karena untuk ukuran paduan suara profesional yang sudah beberapa kali menggelar konser besar, kualitas suara dan teknik vokal yang kumiliki lolos diterima begitu mudahnya. Terlebih saat tahu bahwa aku pun akan turut serta dalam konser besar TIC selanjutnya yang dilaksanakan di bulan November 2011. Setelah melewati prasangka-prasangka awal tersebut, aku mendapati satu nilai yang dimiliki oleh TIC yang benar-benar membuatku bangga menjadi salah satu anggotanya. Mas Jay (sapaan akrab sang guru), pada satu pertemuan menjelang konser berkata, "Konser tinggal hitungan hari, segala jenis persiapan telah kita lakukan, latihan vokal, latihan koreografi, persiapan kostum, pemusik, hingga dana yang tak kecil jumlahnya. Semua itu akan sia-sia kalau kalian, para 'artis' konser nanti tidak dapat menjadi api bagi dirinya sendiri. Bekal apapun yang kalian punya, kualitas apapun yang kalian miliki, tak akan berarti apa-apa jika kalian tidak menggunakannya dengan maksimal. Perlu kalian ingat, TIC tidak menerima anggota yang sudah menjadi bintang. Kalian datang dengan segala keterbatasan dan kalian telah melalui berbagai bentuk tempaan. Sekarang saatnya kalian tunjukkan hasil tempaan tersebut. Kalian harus bisa menjadi bintang di konser kita nanti." Selanjutnya, apapun yang kudapatkan, kuterima, dan kuhadapi dalam hari-hari latihan seolah menjadi penyemangat untuk tidak menyia-nyiakan keterbatasan yang mendapat kesempatan untuk diekspresikan dalam konser nanti.

Seperti halnya konser-konser TIC sebelumnya, nuansa nusantara menjadi nilai jual utama konser yang kali ini bertajuk "Dua Kisah Nusantara". Mengangkat perbedaan yang mencolok antara Indonesia bagian barat serta timur khususnya dalam segi budaya dan standard kehidupan. Mukadimah tentang konser mungkin sudah dibicarakan dengan baik di berbagai publikasi tentang konser "Dua Kisah Nusantara". Satu hal yang ingin kuangkat dalam tulisanku kali ini adalah tentang Papua.

Konser "Dua Kisah Nusantara" memang mengangkat tentang dua wilayah di Indonesia (Barat dan Timur) yang kontras baik secara budaya, gaya hidup, hingga jenis musik. Namun totalitas Mas Jay dalam mengeksplorasi Papua sebagai representasi wilayah Timur Indonesia patut diacungi jempol. Papua yang pernah disebut sebagai Netherland New Guinea, Irian Barat, serta Irian Jaya (hingga tahun 2002) merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia paling Timur yang mendiami pulau terbesar kedua di dunia, pulau Papua. Sejarah dari sudut pandang Geologi mengatakan bahwa Papua merupakan pecahan benua Australia yang terpisah oleh lautan di penghujung zaman es. Dari sudut pandang budaya dan antropologi, penduduk Papua yang oleh orang Barat disebut kaum Melanesia (karena memiliki warna kulit gelap; Mela adalah bahasa Yunani yang artinya gelap) merupakan bangsa Asia Tenggara asli yang datang menggunakan perahu dan 'terjebak' dalam dahsyatnya alam tanah Papua sehingga tak dapat meninggalkan wilayah tersebut bahkan terisolasi dari modernitas wilayah sekitarnya. Sejarah kerajaan nusantara menyebutkan adanya koneksi antara Papua dengan kerajaan-kerajaan besar yang pernah ada di Nusantara, misalnya burung cendrawasih, burung asli tanah Papua, digunakan raja-raja Majapahit untuk sesembahan dan disebut sebagai 'burung dari taman surga'. Ada sumber yang mengatakan bahwa Papua tercantum dalam beberapa kitab seperti Nagara Kartagama serta kitab Prapanca sebagai wilayah kerajaan Majapahit.

Dalam konser "Dua Kisah Nusantara", Mas Jay mempersiapkan empat buah lagu dari Papua, tiga diantaranya dipesan khusus oleh The Indonesia Choir untuk pementasan Kamis malam itu. Yamko Rambe Yamko menjadi lagu Papua pertama yang kami bawakan dengan iringan perkusi berbagai alat musik daerah timur, serta penampilan spesial dari Corp Seni Brimob. Sejak kecil, aku mengenal lagu Yamko Rambe Yamko ini sebagai lagu Papua tanpa kutahu artinya bahkan hingga sekarang. Pada saat kami melakukan interpretasi lagu bersama, Mas Jay bahkan bilang hingga saat ini belum ada yang tahu pasti makna lagu tersebut. Liriknya terbilang sederhana dengan banyak pengulangan kata, namun bahkan tidak semua orang Papua tahu makna lagunya. Berbagai milis maupun website komunitas pecinta Papua bahkan mengangkat tema 'arti lagu Yamko Rambe Yamko' dalam diskusi mereka. Adapun terjemahan kasar lagu tersebut adalah sebagai berikut:
Hai jalan yang dicari sayang perjanjian
sungguh pembunuhan di dalam negri
sebagai bunga bangsa
bunga bangsa, bunga bangsa, bunga bangsa
bunga bertaburan
bunga bangsa, bunga bangsa, bunga bertumbuh
di taman pahlawan

Namun sekali lagi, belum kutemukan ada penelaahan sejarah, makna, maupun interpretasi komprehensif mengenai lirik tersebut. Sekilas fenomena ini terkesan aneh sekaligus menggelitik. Telusur punya telusur, hingga tahun 1963, dimana ada sekitar 700.000 populasi penduduk di Papua, 500.000 diantaranya berbicara dalam 200 macam bahasa yang berbeda dan tidak dipahami oleh kaum atau suku lain. Dengan rasio populasi dan banyaknya bahasa yang digunakan, satu bahasa paling hanya dikuasai oleh sekitar 50 orang. Hingga saat ini tercatat ada 243 bahasa pengantar yang digunakan di Papua, dengan beberapa diantaranya telah punah karena meninggalnya orang yang memahami bahasa tersebut. Maka jangan heran jika lagu-lagu dari tanah Papua banyak yang terkesan misterius karena tak diketahui maknanya. Padahal mungkin saja lagu tersebut tidak benar-benar mengandung interpretasi lain selain apa yang bisa diterjemahkan seperti halnya lagu 'Seal Lullaby' karya Eric Whitacre yang murni benar-benar menceritakan seorang ibu tunggal menyanyikan lagu nina bobo untuk anaknya.

Lagu berikutnya diberi judul WOR, medley lagu tarian tradisional daerah Biak yakni Kankarem dan Morenkim aransemen Budi Susanto Yohanes. Berbeda jauh dengan kesan pertama yang mungkin muncul saat mendengar judulnya, lagu ini tidak bercerita mengenai perang, tetapi tentang pelangi, keindahan. Dua lagu selanjutnya adalah lagu pesanan khusus TIC untuk konser Dua Kisah Nusantara: Diru Diru Nina aransemen . . . dan Yapo Mama Cica aransemen Arvin Zeinullah. Tiga lagu Papua ini kami bawakan lengkap dengan koreografi arahan tim dari Jecko Dancer yakni Nambe. Gaya menombak dan melompat mendominasi gerakan-gerakan dalam koregrafi yang cukup menguras energi ditambah kami harus menjaga pitch dan choral sound saat bernyanyi.

. . .

Sejujurnya, tulisan di atas telah kutulis cukup lama dan mengendap di draft blogger entah menanti apa. Aku mengalami titik stagnan dimana aku tak bergerak maju pun tak berbelok arah, melainkan berdiam di tempat. Mungkin semua orang pernah mengalaminya, yang membedakan bagi tiap orang adalah seberapa lama dia bertahan di tempat yang sama dan tidak menghasilkan apa-apa. Aku sudah cukup lama mengendapkan tulisan ini dan kurasa apapun bentuknya, selesai atau tidak selesai, harus kupublish demi menuntaskan tanggung jawabku yang telah memulai.


Cheers,
Jan Phaiz (Setya Nurul Faizin)

Sumber:
http://sejarahbangsaindonesia.blogdetik.com/2011/05/28/sejarah-papua-tidak-terlepas-dari-masa-lalu-indonesia/
http://sejarah-papua.blogspot.com/
http://sejarah.kompasiana.com/2011/07/07/sejarah-papua-menurut-kompas/
http://real-mistery.blogspot.com/2009/07/misteri-pulau-papua.html
http://tunas63.wordpress.com/2008/09/22/makna-lagu-yamko-rambe-yamko/

Intermezzo II


Semester lima memang belum usai, tapi intermezzo kali ini rasanya tak bisa lagi menunggu untuk ditulis. Memang sempat kutulis tentang angan-angan untuk menempuh hidup yang sedikit lebih waras dan sehat di semester lima ini. Dengan berakhirnya masa jabatan di Himpunan yang penuh dengan acara dan kegiatan, tadinya kupikir dengan naik level di tingkat Senat yang tidak terlalu banyak event akan sedikit mengurangi aktivitas. Dan ya, semester lima sejauh ini tidak menunjukkan grafik penurunan aktivitas atau peningkatan waktu tidur malam. Terlebih sejak bergabungnya aku dengan The Indonesia Choir.

Bagiku, menyanyi bukanlah hobi namun tidak bisa pula dikatakan sebagai bakat. Menyanyi seperti bahasa ibu yang kubawa sejak kecil, di samping bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Dalam sehari, mungkin porsiku menggunakan bahasa Indonesia dan 'bahasa menyanyi' hampir sama saking seringnya aku menyanyi. Saat mendapat ajakan dari seorang teman untuk ikut audisi The Indonesia Choir, tentu aku sangat tertarik. Singkat cerita, aku resmi menjadi anggota saat TIC tengah mempersiapkan konser ke-5 dengan tajuk Dua Kisah Nusantara. Berawal dari rasa penasaran dan ketertarikan pribadi, jadilah aktivitas di TIC menjadi rutinitas yang mengisi hari-hariku di semester lima ini. Dimulai dari latihan rutin Rabu malam yang tepat ada di sela-sela rutinitas kampus, serta latihan Minggu siang yang seringkali kupakai untuk tidur usai shift malam sebelumnya, hingga latihan intensif menjelang konser yang bisa memakan waktu setengah hari di hari Rabu, Sabtu, dan Minggu. Tambahan kegiatan ini tidak menghilangkan rutinitas yang sudah ada seperti kuliah untuk enam mata kuliah, latihan paduan suara kampus, rapat-rapat rutin Senat, serta kerja 'rodi' shift malamku sebagai barista.

Tulisanku selanjutnya akan mereview tentang konser kelima TIC yang merupakan konser pertama dalam hidupku. Berhubung aku terlibat langsung sebagai 'artis' dalam pagelaran tersebut, mungkin tulisanku tidak akan banyak membahas tentang penampilan dan pertunjukkan secara keseluruhan dari bangku penonton, namun lebih pada pengalaman-pengalaman selama persiapan hingga konser dan thethek bengek tentang konser dari sudut pandangku.




Sumber gambar:
http://fc04.deviantart.net/fs4/i/2004/199/8/f/All_The_World__s_A_STAGE.jpg

September 23, 2011

Bulan yang Merindu Sang Hujan


Untuk kamu,
Malam ini diguyur hujan

Menyembunyikan bulan sang pujaan

Meski tak ku jumpaimu tadi siang

Balasan pesanmu cukup melegakan
Setidaknya tak perlu kumerasa diabaikan

Untuk hujan yang malam ini mengguyur,
Kau turun membasahi tanah

Ke seluruh jalan sambil menyebarkan bau basah

Seolah hadirmu mengabarkan resah

Yang nyatanya hadir saat datang kabar tentangnya
Dia yang mengingat namanya membuatku gelisah


Untuk bulan yang sosoknya selalu dia kagumi,
Kau memang absen dari langit malam ini
Tapi kutahu kau hanya sembunyi

Seperti halnya aku yang seringkali memandanginya seorang diri

Dari sudut tak nampak, siap lari saat dia pergoki

Seakan menyapanya perlu ribuan nyali


Untuk kamu yang mungkin merindukan sang bulan malam ini,

Aku tahu kamu tahu bulan tak tengah menghilang

Namun cuaca menjadikan langit serasa ada yang kurang

Sebagaimana hubungan kita hingga sekarang

Jawabmu atas tanyaku tak pernah berpanjang

Sikapmu terhadapku tak pernah cukup terang


Wahai hujan yang kian merintik dan hendak habis,

Hadirmu sekejap namun basah yang kau tinggalkan tak sebentar

Menyisakan genang air serta aroma yang masih menguar

Apa kau tahu betapa waktuku bersamanya tak pernah longgar

Namun memori yang kukecap seolah begitu besar

Ingin sekali kuyakin bahwa rasaku pun menjadi rasanya


Oh bulan yang mulai mengintip,

Kau memang tak memiliki cahaya itu

Namun pesonamu seolah membuatnya terpaku

Tahukah betapa aku iri padamu?

Saat dia mengagumi dan mengagungkan indahmu

Anganku terbang mengandaikan namaku yang dia sebut

Untuk hujan dan sang bulan,

Hadirmu bergantian tak nampak bersama

Seolah dimensi kalian sungguh berbeda
Dalam gelap malam hujan, bulan tentu tiada

Begitupun saat langit benderang cahya bulan, tak ada hujan di sana

Entah mengapa hidup kalian serupa denganku dan dia


Untuk kamu dan hanya kamu,
Mungkin bulan dan aku tak akan pernah sepadan

Namun dirimu sungguh serupa hujan di waktu malam

Dalam munculmu yang tak seberapa, ada sisa rasa yang membekas dalam
Dalam deras yang kau guyurkan, ada kesan yang justru menentramkan

Dan dalam anganku tentangmu, ada bulan yang merindu sang hujan



Jakarta, 23 September 02.57
Jan Phaiz (Setya Nurul Faizin)


~ Ditulis di dalam bus transjakarta saat malam hujan menggunakan ponsel, diselesaikan dan diposting melalui laptop pada dini hari di tengah-tengah shift kerja malam. Takut momennya hilang =P ~

. . .


Sumber gambar:
http://fc03.deviantart.net/fs70/i/2011/130/d/5/braving_the_night_rain_3_by_dannyst-d3g2fzc.jpg

Agustus 17, 2011

Hitam | Putih



Aku pernah menulis tentang dua serigala yang hidup di dalam diriku. Yang satu serigala putih lembut yang setia, yang satu serigala hitam perkasa yang senantiasa mengusik si Putih. Sebenarnya itu adalah perumpamaan yang kugunakan untuk menggambarkan seorang manusia. Makhluk paling sempurna yang diberi keistimewaan berupa sifat baik yang melebihi kebaikan malaikat sekaligus sifat buruk melebihi keburukan setan (Fahd Djibran, Yang Galau Yang Meracau). Sejak kecil istilah "makhluk paling sempurna" sudah kukenal tanpa kutahu pasti apa maksudnya. Beberapa temanku seringkali menggodaku tentang perkara umur karena aku terbilang lebih tua satu tahun di antara teman-teman angkatanku di kampus. Mereka rajin sekali mengingatkan betapa aku yang lebih tua satu tahun dari mereka masih seringkali bertingkah kekanakan bahkan kurang masuk akal atau kurang wajar. Tunggu dulu, apa hubungan dua serigala, makhluk paling sempurna, dan tua? Paragraf pembukaku kali ini memang terkesan random. Tapi percayalah, mungkin ini efek buruk hasil si Hitam yang belakangan telah menjadi begitu gagah dan perkasa.

Pertama, tentang tulisan terdahuluku berjudul "Untitled" yang kutulis pada 9 Oktober 2009. Ketika menulisnya, aku berada pada tempat yang gelap, bukan gelap secara harfiah, namun gelap karena keadaan batinku. Aku yakin setiap orang pernah, apalagi yang telah 'berkepala dua', merasakan suatu kondisi putih dan hitam dalam kehidupannya. Begitupun diriku. Aku pernah menjadi seseorang yang berorientasi pada hal-hal baik dan seolah fokus mengejar hal-hal baik untuk kukerjakan, kuamalkan, kuperbuat bahkan aku pernah mempunyai keinginan untuk menempuh hidup seperti orang suci. Aku pun pernah mengenal satu dosa, yang kemudian tergoda mencoba dosa lain, hingga akhirnya ketagihan dan menjadikan hal dosa tersebut aktivitas rutin yang kulakukan di saat-saat hal baik absen dalam hidupku. Aku pernah sangat bersemangat mengejar peningkatan perbaikan diri dengan mengamalkan ibadah ini dan itu. Aku pun pernah menjadi budak dosa yang seolah tak bisa lari kecuali ada yang membebaskanku atau membeliku menjadi manusia bebas. Oke, mungkin tidak semua orang berkepala dua pernah mengalaminya. Mungkin jauh dalam lubuk hatiku, aku berharap tidak sendiri dalam hal ini. Tapi sekali lagi, ini berkaitan dengan dua serigala yang baik secara sadar atau tidak sadar kupelihara dalam diriku.

Saat tulisan itu kupublish dan mulai dibaca oleh teman-temanku, hanya ada satu komentar yang dari komentarnya kusimpulkan tidak begitu paham dengan maksud tulisanku. Memang, aku menulisnya dengan gaya 'sastra'ku yang tidak bisa dibilang lugas namun tidak pula sastrawi. Yang aku ingat, saat itu, dosa seolah menjadi teman baikku meski ada penolakan dalam diriku. Satu kebiasaan yang tidak bisa dibilang baik (meski bukan pula tindak kriminal) secara rutin kulakukan. Seperti halnya sifat dosa-dosa yang lain, sesal selalu menjadi rasa yang tertinggal lama setelah kepuasan yang hanya sesaat. Namun sama halnya dengan dosa-dosa lain, yang senantiasa mengundang rasa ingin tahu, dan perasaan untuk ingin diulang setelah sekali melakukan. Hanya akal pikiran sehat yang diiringi kebeningan hati yang bisa mencegah manusia melakukan [mengulang] dosa, terlebih dosa yang pernah dilakukan dan memiliki efek kepuasan sesaat. Akhirnya aku sampai pada kesimpulan tersebut hingga berujung pada tulisanku hampir dua tahun yang lalu.

Ya, pada saat itu serigala hitam telah menjadi begitu perkasa setelah berhasil membantai serigala putih hingga terpojok tak berdaya. Namun separah apapun kondisinya, serigala putih (maupun hitam) tak bisa mati dalam diri manusia. Itulah kenapa manusia menjadi makhluk paling sempurna karena diberikan keduanya yang kekal sejak lahir hingga mati. Inilah kepercayaanku hingga saat ini. Seperti apa rupa manusia itu saat menghadap sang Khalik ditentukan dengan bagaimana rupa serigala yang bisa lebih bertahan kuat dan mendominasi dalam dirinya selama hidup. Ketika aku menulis, ada keinginan secara sadar untuk memberikan dukungan penuh pada serigala putih untuk bangkit, untuk mulai melawan dan mendominasi kehidupan di masa mendatang. Dengan penuh kesadaran aku merasa telah menjadi teman baik setan bahkan dengan tanpa keinginanku sepenuhnya. Maka aku mengumpulkan segenap keberanianku untuk menulis, di belakang punggung serigala hitam, mengutuki keberadaannya dan berniat menghancurkannya berkeping-keping. Dengan harapan aku dapat menjalani kehidupan baik bersama serigala putih setelah membuat si Hitam bertekuk lutut.

Namun aku terlalu meremehkan kekuatan si Hitam yang ternyata tak hanya perkasa, tapi juga licik dan cerdas. Satu lagi pelajaran yang bisa kubagikan, saat kau dengan sengaja atau tidak sengaja membiarkan lawanmu tumbuh kuat, jangan pernah berharap dia akan berdiam diri dan tidak menjadi lebih kuat dari sebelumnya. Begitulah yang terjadi. Secara sadar aku menginginkan pulihnya si Putih agar mampu melawan si Hitam dan kembali mendominasiku. Namun sebelum hal itu bisa terjadi, si Hitam telah begitu mendominasi dan bahkan mampu menyuruhku melakukan ini dan itu, membuatku melawan akal sehatku. Pada titik ini, aku sadar bahwa aku telah menjadi budak dan tawanan si Hitam. Percayalah, keadaannya tidak sesederhana yang bisa dituliskan dengan kata-kata. Kau akan senantiasa berdiri pada ambang kebimbangan dengan akal sehat yang masih hidup dan bekerja namun terkekang penjara membiarkan fisikmu melakukan hal-hal yang jelas-jelas ditolaknya. Pikiranmu senantiasa menginginkan perbaikan dan perubahan untuk dirimu, namun lagi dan lagi kau mengulangi hal yang kau sendiri tahu salah dan tak semestinya kau lakukan. Bahkan pada kondisi terparah, akal sehatmu mulai goyah dan kau pikiran-pikiran si Hitam mulai masuk menginterupsi, menanamkan hal-hal yang bertentangan dengan mulai mempertanyakan hal-hal esensial, bahkan mempertanyakan kebaikan. Percaya atau tidak, aku pernah berada di sana.

Kemudian aku teringat tulisan Fahd Djibran tentang manusia sebagai makhluk paling sempurna. Menurutnya, seseorang bisa menjadi jauh lebih baik dari sifat-sifat baik yang ada atau justru jauh lebih jahat dan buruk dari sifat-sifat buruk yang ada. Aku tidak akan bilang aku telah melampaui keduanya, karena nyatanya aku masih menjadi seorang pemuda biasa saja yang mungkin tidak begitu spesial bagi orang-orang di sekitarku, tidak spesial karena kebaikanku, tidak pula spesial karena keburukanku. Sejujurnya, aku tak berhasrat menjadi salah satunya, meski aku diajarkan untuk menjadi orang baik dan meniru nabi-nabi. Setelah apa yang kualami dan kuperbuat dalam kehidupanku, aku tahu ada kemungkinan untuk menjadi orang yang super baik dan bersih, atau kesempatan menjadi orang yang super jahat dan kotor. Dan nampaknya, mudah saja untuk memilih. Kenyataannya, aku tahu betul bahwa tak satupun dari kedua serigala itu bisa kubunuh atau kutekan hingga benar-benar tak berdaya. Saat ini, si Hitam sungguh berjaya setelah tak hanya membantai, namun mencabik, mendera, meluluhlantakkan si Putih. Tapi jauh dalam hatiku, aku masih merasakan hembusan nafas si Putih meski lemah dan tak beraturan.

Terakhir, tentang umurku. Bukan kebetulan, meski bukan keinginanku pula untuk menjadi orang yang satu tahun lebih tua dalam komunitas pendidikan formalku. Nyatanya, aku terlambat satu tahun untuk masuk dalam lingkunganku sekarang, pun karena pengalaman hidup yang telah kutuliskan sebelumnya di blog ini ("Confession" - Februari 2009). Jika menilik kembali apa yang telah kulalui beberapa tahun ke belakang, semestinya memang aku unggul dalam hal pengalaman dibanding teman-teman sepermainanku. Dan seperti yang selalu aku pelajari dalam hidup, pendewasaan bukanlah soal nominal usia, namun sejauh mana pengalaman demi pengalaman dalam hidup mengembangkan karakter dan pemahaman serta penerimaan seseorang tentang kehidupan. Aku tidak sedang bilang aku telah menjadi orang dewasa karena telah mengalami cukup banyak pengalaman jungkir balik dalam hidup, karena toh seperti yang kubilang di paragraf awal, teman-temanku seringkali mempertanyakan kedewasaanku karena sikapku yang seringkali kekanakan dan kurang masuk akal. Aku tidak menyangkalnya justru aku sedikit bangga karenanya. Setidaknya aku memainkan peranku sebagai orang biasa dengan cukup baik dan tidak membiarkan si Hitam muncul telanjang di hadapan orang-orang di sekitarku. Aku tahu, jika terus kubiarkan dominasinya akan diriku, cepat atau lambat orang-orang akan mengendus betapa hebatnya si Hitam tumbuh kembang dalam diriku, dan tidak mengherankan jika kelak aku dicap 'hitam' oleh orang lain. Jelas aku tidak mengharapkannya.

Biarlah pengalaman hidupku menjadi guru kehidupanku tanpa harus menjadikanku orang yang mencolok karena pengalaman hidup. Biarlah aku menjadi diriku yang sangat biasa dan tidak menonjol seperti sekarang. Biarlah orang-orang menganggapku tak tahu umur atau menganggap remeh karena itu jauh lebih baik ketimbang mereka melihat sisi lain diriku yang aku yakin tak ada yang mau melihat atau sekedar mengetahuinya. Semua orang punya rahasia dalam kehidupannya, dan inilah rahasiaku. Lucu memang mengumbar rahasia gelap dalam blog terbuka yang bisa diakses semua orang. Tapi aku lega setidaknya aku bisa mengungkapkan sisi gelapku sedikit tanpa harus menjadi sosok gelap secara harfiah.

Maka, biarlah aku berperang dengan apa yang telah mendominasi diriku agar kelak aku bisa menguasai kembali diriku sepenuhnya. Tidak akan mudah, dan tidak akan cepat memang. Setidaknya, aku telah menulisnya, dan menulis adalah bentuk lain berikrar, berjanji, meniatkan sekaligus mendeklarasikan keinginan hatiku yang sesungguhnya. Kuharap, dua atau lima tahun kelak, apapun yang terjadi pada diriku, entah telah menjadi hitam luar dalam, tetap pada kondisi berkecamuk abu-abu, atau telah menjadi putih yang menyilaukan, saat kembali kukunjungi tulisan ini, aku ingat pernah menjadi diriku yang saat ini. Dan apapun bentukku kelak, semoga pesan si Putih yang secara tersirat kusampaikan dalam tulisan ini bisa tetap kubaca, entah kembali menjadi penyemangat, atau justru menguatkan diriku yang akan datang. Kuharap tulisan ini menjadi sesuatu, baik untukku saat ini, untukmu, terlebih untukku di masa mendatang.



Sumber gambar:
http://fc01.deviantart.net/fs22/f/2007/352/d/c/black__white_by_XxHayleyXx3.jpg

Juli 14, 2011

From a Fool

Honestly, I didn't expect you to come out directly with direct words. I swear to God it's a big heart attack for me yet surprising in a positive way. And the other fact is, I didn't also feel like you meant that posting to me. That's why I put an '?' on it. Maybe I was too attracted in your previous writings, which means, I did realize, somehow, that those were for me. That's why I response it through a post.

I feel bad. I know I'm not good in shouting out loud my feeling directly, especially towards a person like you. I'm so not good in expressing naturally what comes to my mind through my face, body, or words [spoken], again, especially towards you. And believe me, I'm struggling to fix it, even sometimes I feel like I'm faking it. I want to be just my self, but something convince me to act more than just me. I know it's bad and stupid, but well, maybe I'm just such a fool. Hell I am the most successful fool person in dealing with 'this' thing.

I feel bad. You know, when I read something about you, my mind would be really reactive that I couldn't handle it sometimes. A lot of things, like you said A-Z, came to my mind and I was like picking it from a spread items. Worse, I made an assumption or even string up a perception. Though I knew I need to communicate, something related to my past told me not to. I was frightened of my own self, I was afraid that I took a wrong decision which will carry you away.

I feel bad. Now I know [a little bit more] what's really going on here. I have said my part once in front of you, and you've said yours in all the way you were at that time. We've walked the path even though only an inch far forward and things happened on you, on me, on its own part. Maybe you've been looking for more me, and all I've been giving was just a little, vice versa. Maybe the only thing we need, or I need, is to be more sincere, open, and perceivable(?).

Of course, it's emm if you still want to continue walking on it.

To close this posting, let me write down a lyric which is recently sung in my mind from John Mayer titled "Clarity", and if you can hear me, I'm singing it too ;)

Clarity
by John Mayer

I worry, I weigh three times my body
I worry, I throw my fear around
But this morning, there's a calm I can't explain

The rock candy's melted, only diamonds now remain


Ooh ooh ooh ooh


By the time I recognize this moment

This moment will be gone

But I will bend the light, pretend that it somehow lingered on

Well all I got's


Ooh ooh ooh ooh


And I will wait
to find
If this will last forever

And I will wait to find

If this will last forever

And I will pay no mind

When it won't and it won't because it can't

It just can't
It's not supposed to

Was there a second of time that I looked around?
Did I sail through or drop my anchor down

Was anything enough to kiss the ground?

And say I'm here now and she's here now


Ooh ooh ooh ooh
Ooh ooh ooh ooh

So much wasted in the afternoon
So much sacred in the month of June

How bout you


And I will wait to find

If this will last forever

And I will wait to find
That it won't and it won't

Because it won't

And I will waste no time

Worried 'bout no rainy weather

And I will waste no time

Remaining in our lives together





Picture taken from
http://jjwbhufugp.deviantart.com/art/Clarity-119931993?q=boost%3Apopular%20clarity&qo=37

Dear Sister (?)

I used to think that you realize my existence.
I used to think that what you did back then was somehow signals for me.
I used to be happy, over-excited, and sleep-less when you seemed giving me feedback.
I used to tell a close friend of mine that 'here it is', you weren't a doubt.
I used to talk with my self about you all night.

Then there you were, telling me how what I've been thinking all these time was wrong.
You made me stop expecting, stop wondering, and even stop over-thinking about you-signal-me.
I was screwed a bit that finally I kept telling myself it's just another first step.

Then there you were, ruining my life with your story for being dumped out of someone.
You made me start thinking again, this time in all-negatives-way about 'someone' you mean.
I was confused at first and worrying but then I reminded myself it's just another empty-wishes.

Now I use to think that I'm nothing for you but a stranger.
Now I use to think that what you do in your life has nothing to do with me.
Now I use to be such a "NUMB" person rather than a broken-heart.
Now I use to tell a close friend of mine nothing, especially about you.
Now I use to talk with myself about me, just me.

Then there you are, showing up right in front of my face through your awakened media.
...

What am I supposed to do?
If only you ask me to call you, I'll call.
If only you ask me to show up in front of you, I'll come.
If only you say you want me to make a joke, I'll bring you unforgettable awkward-face of mine to make you laugh, since I'm not really good at jokes.
If only you ask me to smile, I'll give my best.
...

But if you keep in silence, I assume that this 'writing' isn't even read or touched by you, or worse, means nothing for you.

Juli 08, 2011

Saat (Tuan) Setan Galau dan Meracau


Minggu, 3 Juli 2011 pukul 18.07 di panggung utama Pesta Buku Jakarta, Istora Senayan, usai bincang bersama Fahd Djibran (dan Tuan Setan), akhirnya aku mendapatkan buku “Yang Galau Yang Meracau” lengkap dengan tanda tangan penulisnya. Terakhir kali kami bertatap muka secara langsung mungkin sekitar dua tahun yang lalu, saat aku mengenyam pendidikan tinggi di Kota Pelajar, dan berkesempatan bergabung dalam forum “Ruang Tengah” yang diprakarsai kang Fahd. Pada saat itu, aku mengenal kang Fahd melalui bukunya “Insomnia | Amnesia” dan lebih dekat melalui tulisan-tulisan di blog ruangtengah hingga meluncurnya “A Cat in My Eyes” sebagai penyempurnaan karya terdahulunya “Kucing”. Tuan Setan sendiri mulai ‘eksis’ dalam ranah karyanya melalui buku “Curhat Setan”.

Ide pengangkatan fenomena ‘galau’ yang sedang populer bahkan bisa dibilang menjamur di kalangan pemuda saat ini memang sangat menjual, sebagaimana ide-ide judul dan cover buku-buku kang Fahd yang selalu mengundang perhatian dan penasaran. Mengingat ratusan bahkan ribuan kata ‘galau’ yang muncul dalam keseharian tweet para pengguna twitter, maka kang Fahd yang notabene-nya masih pemuda, menghadirkan sebuah karya yang dikemas dengan gaya populer, namun tetap ber-ciri-khas tulisan-tulisannya yang kritis, mendalam, dan tidak terkesan menggurui. Kembali kali ini kang Fahd menyuguhkan berbagai ide dan pengalaman melalui curhatan atau dalam buku ini disebut racauan Tuan Setan. Jika selama ini kita bosan melihat hashtag orang-orang bertajuk ‘galau’ dan yang di’racau’kan melulu pada permasalahan itu saja, maka kang Fahd menghadirkan sosok Tuan Setan yang sedang ‘galau’ dan akhirnya ‘meracau’ tentang kehidupan, manusia, bahkan cinta dan Tuhan.

Buku ini terbagi ke dalam tiga sub-tema, yakni Setan, Cinta, dan Tuhan (setan-cinta-Tuhan). Pada karya pertama berjudul “Mabuk”, kang Fahd menuliskan sepenggal kalimat yang berbunyi “Each day is a gift and not a given right..”. Mungkin sebagian besar dari kita pernah mendengar atau membaca kata-kata mutiara tersebut. Namun adakah diantara kita yang pernah menduga bahwa kata-kata tersebut justru merupakan peringatan dan nasihat Tuan Setan kepada seorang manusia bernama Rayya saat ia sedang melakukan dosa? Tuan Setan mengajak Rayya kembali mengingat sejarah, bahwa pada saat Tuhan menyuruh Setan menyembah manusia, Setan menolak dan terjadi negosiasi di sana. Setan meminta kehidupan yang kekal dan dia berjanji akan menggoda manusia dari berbagai arah, selamanya. Pada titik ini, Tuan Setan dengan bangga mengatakan bahwa hidupnya adalah hak maka kewajibannyalah untuk menggoda umat manusia. Sementara manusia tidak bernegosiasi dengan Tuhan tentang kehidupan, manusia diberi kehidupan, dan jika Tuhan berbaik hati, maka manusia berhutang untuk membalasnya dengan mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Maka manusia bisa memilih, untuk berbuat kebaikan, atau mengikuti Setan berbuat keburukan dan mendustai Tuhan.

Selanjutnya, dalam “Only God Knows Why”, Tuan Setan makin menggalau dan racauannya kali ini makin menampar siapapun yang merasa dirinya manusia. Kita semua tahu bahwa manusia diciptakan sempurna karena memiliki akal. Tapi apakah kita semua paham letak kesempurnaan akal? Tuan Setan hidup abadi dan senantiasa menggoda manusia melakukan kejahatan dan menggiring manusia ke arah keburukan. Di sisi lain, malaikat adalah makhluk Tuhan yang senantiasa berbuat baik, lurus, sesuai perintah dan tak mungkin membangkang Tuhan. Manusia, dengan segala kesempurnaannya, diberikan kedua sifat tersebut. Dua jalan membentang di depannya, jika yang satu ke arah setan, yang satunya ke arah malaikat. Dan keputusan selalu ada di tangan manusia itu sendiri. Maka, tidak berlebihan jika akhirnya Tuan Setan galau karena kaumnya selalu dituding sebagai sumber malapetaka dan bencana yang diakibatkan keburukan manusia. Padahal, Tuan Setan merasa kaumnya hanya menggoda dan mengajak manusia ke jalannya, sementara bentuk perbuatannya adalah modifikasi dan kreativitas tiap-tiap manusia yang menjalankannya. Ya, manusia memang bisa jauh lebih ‘setan’ dari setan itu sendiri, sebagaimana manusia bisa jauh lebih ‘malaikat’ dari para malaikat.

Tulisan demi tulisan, racauan demi racauan, rasanya tak hentinya menyentil dan menampar kesadaran kita sebagai manusia, terlebih sosok yang mengungkapkannya adalah setan, sosok yang selama ini hampir tidak pernah kita pandang secara humani. Pada karya “Just Enjoy the Show”, Tuan Setan hadir dengan wajah yang sedikit lebih ceria dan bercerita sambil bernyanyi sekaligus memainkan piano. Tuan Setan berkisah tentang takdirnya yang dihukum oleh-Nya lantaran menolak menyembah manusia. Padahal baginya, tak ada zat yang pantas disembah selain-Nya. Di satu sisi dia tidak terima, di sisi lain dia tahu dia bukanlah apa-apa di hadapan keagungan-Nya, hingga akhirnya dia merasa terperangkap di tengah-tengah sebuah sistem agung yang tak dia mengerti. Cintanya pada Tuhan yang membuatnya tak mau menyembah manusia, justru menjadikannya tertuduh sebagai pengkhianat dan pembangkang perintah Tuhan. Amarah, murka, dan kesombongan pun meledak hingga dia menganggap dirinya lebih baik dari Tuhan. Pada titik ini, Tuan Setan memberikan nasihat indah kepada Rayya, untuk menerima semesta kemahatiba-tibaan-Nya sebagai bagian dari hidup, jika bahagia bersyukurlah dengan waspada karena ketiba-tibaan lain menunggu di hadapan. Pun sebaliknya. “Bila kau tak kuat menjalaninya, bisikanlah ke dalam hatimu bahwa Ia tak akan memberimu peran yang kau sendiri tak sanggup menjalaninya. Laa yukallifullahu nafsan illa wusy’aha, begitu kata-Nya kira-kira.” (Just Enjoy The Show, halaman 73). Selanjutnya, Tuan Setan berpesan pada Rayya bahwa sejarahnya adalah pengorbanannya, “Terkutuklah kau jika tak menghargai pengorbananku! Cintailah kecintaanku, sebab aku hanya bisa mencintai-Nya dari jauh. Bila sempat, dalam doamu, bisikanlah kepada-Nya bahwa betapa aku masih mencintai-Nya.”

Demikianlah kang Fahd, melalui Tuan Setan mengobrak-abrik, mengaduk-aduk, dan menampar bolak-balik hati, pikiran, dan perasaanku selaku pembaca yang dalam hal ini adalah manusia. Dengan curhatan, racauan, dan nasihat-nasihat Tuan Setan tentang hidup dan cinta pada-Nya, aku pun turut menggalau, dalam bentuk lain, yang lebih kontemplatif. Masih banyak racauan Tuan Setan yang tidak bisa tidak akan mengajak kita berpikir dan kembali melihat ke dalam diri kita, sejauh apa kita mengenal diri kita, eksistensi kita dalam hidup, dan lebih jauh, peran serta kecintaan kita di hadapan-Nya.

. . .

Pada bagian selanjutnya, kang Fahd mengawali bagian “cinta” dengan cerita “Perpisahan Termanis”. Sebagaimana, tulisan-tulisan lain dalam buku ini yang dilengkapi dengan satu judul lagu sebagai soundtrack cerita, kali ini lagu dengan judul yang sama “Perpisahan Termanis” oleh Lovarian akan mampu membawa kita hanyut dalam rimba kata penuh makna kisah cinta antara Raka dan Hera. Fenomena perpisahan, putus, atau cinta bertepuk sebelah tangan memang merupakan salah satu tema ’galau’ paling hits sekaligus paling ampuh melumpuhkan remaja. Dengan tidak menampik kemungkinan adanya hal tersebut, kang Fahd justru menampilkan ‘perpisahan’ dalam bentuk yang indah, yang manis. “Dari ribuan sejarah manusia yang sedih, barangkali aku salah satunya, tapi haruskah aku menghabiskan hidup hanya untuk menjadi karang-pantai yang bersedih?” … “Tidak, kataku dalam hati”… “Barangkali aku gagal menjadi kekasihmu, tetapi cinta tetap ada: untuk apa dan untuk siapa, biarlah ia menentukan nasibnya sendiri...” (Perpisahan Termanis, halaman 99).

Ciri khas kang Fahd yang selalu mengagumkan adalah pemaknaan[kembali] hal-hal yang selama ini kita anggap sepele dan kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Dua karya dalam bagian ‘cinta’, adalah “Cantik itu Luka” dan “Perahu Kertas”. Karya yang pertama, adalah surat Rayya kepada Alivya, menanggapi pertanyaan Alivya “Rayya, seandainya kamu terlahir jadi perempuan, apa yang akan kamu lakukan terhadap hidupmu?” Tak disangka, pertanyaan sederhana yang terkesan dilontarkan secara iseng tersebut, mampu memunculkan penghargaan seorang Rayya pada sosok perempuan, yang dia tuangkan melalui lagu Eminem berjudul “Beautiful”. And to the rest of the world | God gave you shoes to fit you | So put ‘em on and wear ‘em | Be yourself man, be proud of who you are | Even if it sounds corny | Don’t ever let anyone tell you you ain’t beautiful. Dalam “Perahu Kertas”, langkah-demi-langkah proses pembuatan perahu kertas dari selembar kertas dimaknai sebagai fase-fase kehidupan dimulai dari takdir penciptaannya, perjalanan hidupnya, hingga pada akhirnya “Setiap detiknya, hidup adalah perjalanan menemukan bentuk. Seberapa jauh manusia harus berjalan untuk bisa disebut sebagai manusia? Berapa peristiwa yang harus dialami untuk bisa mengerti semuanya? Hanya kamu yang tahu, setiap orang punya kuasa atas hidupnya sendiri-sendiri, atas perahu kertasnya sendiri…” (Perahu Kertas, halaman 121).

Karya-karya lain tentang cinta yang tak kalah indah dan menggugah dengan apik disajikan dalam lembar-demi-lembar buku “Yang Galau Yang Meracau”. Topik-topik tentang pernikahan, kehidupan rumah tangga dikisahkan melalui lagu, sajak, bahkan gambar pemandangan. Kang Fahd menutup bagian cinta dengan karya “Ziarah Ingatan”, mengajak kita mengenang, mengingat-ingat, dan berziarah, tidak hanya pada orang-orang yang telah tiada, namun orang-orang yang telah lama tak kita singgahi.

. . .

Apa jadinya jika di suatu subuh, kita mendapati satu pemberitahuan: Tuhan mencolek Anda di Facebook, dan ada pilihan “colek kembali” atau “abaikan”. Lalu bagaimana seorang ibu harus bersikap jika anaknya menanyakan tentang rumah Tuhan, masjid, yang dibom belakangan ini. Sang Anak mengakhiri dengan simpulan polos, bukan kita yang harus takut pada teroris, namun Tuhan yang rumah-nya terancam dibom. Membaca tulisan-tulisan kang Fahd tentang spiritualitas, tentang Tuhan, sekilas seperti membaca tulisan ngawur tentang Tuhan. Perumpamaan-perumpamaan, pertanyaan-pertanyaan, bahkan plesetan-plesetan yang dibuat terkesan meledek dan mempertanyakan eksistensi Tuhan. Eits, setan saja bisa bijak dan berpikir dalam, sebaiknya kita telaah lebih jauh tulisan-tulisan kang Fahd ini sebelum kita menyimpulkan tulisan ini menyesatkan, bid'ah, atau terlarang.

Mungkin sekali dalam hidup, kita pernah mempertanyakan tentang Tuhan. Sebagaimana Maria kecil yang menanyakan rumah Tuhan pada ibunya, atau sosok aku yang menanyakan siapa Tuhan kepada ustadznya di karya "Sesa(a)t". Sadar atau tidak, sebagai makhluk merdeka yang dianugerahi akal pikiran, pertanyaan tentang Tuhan tidak akan dapat dihindari. Dalam tulisan-tulisannya, kang Fahd tidak melarang apalagi mengharamkan pertanyaan akan Tuhan. Malahan, melalui potongan-potongan karyanya yang tersebar dalam dua belas tulisan tentang Tuhan, kang Fahd mengajak kita mengalami dan menjalani, karena pada dasarnya, pengalamanlah yang lebih berharga dan akan menuntun pada pencarian kita.

Dalam "Mengakal(i) Tuhan", Rayya kembali menulis surat kepada Alivya berbagi tentang pengalaman ber'Tuhan'nya. Baginya, ketika kita memikirkan "ada atau tiada"nya Tuhan atau "masuk akal atau tidak"nya Tuhan, pada dasarnya kita memikirkan Tuhan sebagai keutuhan: Ia yang melampaui "ada dan tiada", melampaui sifat "masuk akal atau tidak masuk akal". Tuhan setidaknya "ada" dalam pikiran saat dipikirkan, Ia "masuk akal" sebagai bagian dari pikiran (akal) saat dipikirkan. (Mengakal[i] Tuhan, Hal. 181). "Itulah 'pengalaman' ber-Tuhanku, Alivya. Bagiku, pada saatnya pengalaman itu akan melengkapi pemahaman atau pengetahuan kita tentang 'Tuhan'. Sampai di sini, menurutku, jika kita menolah Tuhan dalam akal kita (artinya tidak 'mengingat' dan 'menyebutnya'), Tuhan berarti bukan 'tidak ada' tetapi 'tidak bersama kita'!" (Mengakal[i] Tuhan, hal. 185).

. . .

Sumber gambar:

http://akubunda.files.wordpress.com/2011/06/camera-effects.jpg

Pesona Dee, Pesona Madre


Sudah dua tahun berselang sejak terakhir kali aku membeli karya Dee yang juga merupakan kumpulan cerita berbalut lagu soundtrack untuk tiap judulnya, Recto Verso. Keakrabanku dengan karya-karyanya memang belum seberapa jika dibanding dengan kedekatanku dan karya-karya penulis lain, namun sensasi tiap kali membaca tulisan dan rangkaian kata-kata yang mengalir di dalamnya selalu sama, dan akrab. Sensasi yang hanya mampu dihadirkan oleh pesona seorang Dee. Sensasi yang juga hadir di tengah penelusuranku dalam samudera kata Madre.

Kembali dengan antologi berbagai tulisan yang kali ini terwujud dalam 13 karya fiksi dan prosa pendek kumpulan karya Dee selama lima tahun terakhir, Madre membuatku bernostalgia dengan Filosofi Kopi. Jika di awal buku Filosofi Kopi kita diajak berpetualang bersama Ben meracik, menerjemahkan, menikmati, dan mendeskripsikan kopi dari berbagai cara memandang, Madre mengajak pembaca berkenalan, mengakrabi, dan menggauli Madre, biang roti yang menjadi resep turun-temurun dan pembawa sejarah Tan de Baker, toko roti usang di pinggiran Kota Tua, Jakarta. Kisah-kisah selanjutnya, seperti halnya dalam kisah-kisah antologi Filosofi Kopi, bernuansa cerita sederhana dengan pemilihan kata-kata yang apik, merangkai serpihan-serpihan makna, yang berinduk pada tema-tema besar: hidup, cinta, dan Tuhan.

Madre, yang merupakan bahasa Spanyol berarti ibu, mengisahkan seorang pemuda gimbal bernama Tansen yang menjalani hidup serba-tak-teratur, dan mendapati dirinya adalah pewaris tunggal sebuah peninggalan tua keluarga Tiong Hoa turun-temurun, sebuah fakta tak terduga yang seketika mengubah sejarah hidupnya. Halaman baru perjalanan hidupnya seolah diawali dengan lembar kertas yang benar-benar baru dari segi tekstur, bahan dasar, hingga warna. Surat wasiat tersebut membawanya pada sosok Pak Hadi, yang ternyata kerabat dekat kakek leluhur sekaligus orang yang mengenalkannya pada Madre. Berkenalan dengan Madre dan Pak Hadi berarti harus berkenalan dan mengakrabi kehidupan Jakarta yang bergerak serba cepat, gaya hidup yang sangat dihindari Tansen sepanjang hidupnya. Di sisi lain, muncul sosok-sosok orang tua yang nantinya menemani episode baru Tansen bersama Tan De Baker. Juga sosok Mei yang pada akhirnya membuka mata Tansen tentang betapa berartinya jejak sejarah, betapa berharganya memelihara tradisi dan betapa indahnya cinta yang dimiliki Pak Hadi dan rekan-rekannya yang tak usang oleh waktu pada Tan de Baker.

Dari toko roti tua di daerah Kota Tua Jakarta, Dee selanjutnya membawa kita ke Byron Bay, titik paling utara benua Australia. Sepucuk surat sakti dari seorang gadis berumur 12 tahun lebih muda yang baru sebulan dikenal Howard di kantornya, membawanya terbang ribuan mil dari Jakarta ke Australia. Perjalanan yang memperkenalkannya dengan Darma, pemuda Amerika berdarah 12,5 persen Indonesia yang hobi berselancar dan tengah menikmati hari-hari liburannya di pantai berombak tersebut. Howard menyeberangi Samudera Hindia karena instruksi tertulis dalam surat yang ditulis oleh Intan Cahaya, untuk pergi ke mercusuar di Byron Bay, mengambil cuti lima hari kerja, meninggalkan istri dan dua orang anak di Jakarta. Sebuah keputusan gila dan mahal yang sangat mengejutkan bagi Howard sendiri yang selama ini menjalani hidup lurus dan penuh dengan pertimbangan logika. Ungtunglah dia bertemu Darma yang cenderung blak-blakan dan apa adanya, menjadi partner berdebat dan berselisih dalam berbagai hal, sekaligus pelengkap pemikiran yang tak mampu hinggap di benak Howard. Perjalanan spekulatif, nekat, dan tak masuk diakal, dalam pencariannya akan sebuah bukti kehidupan masa lalu yang diyakini benar oleh Intan Cahaya sebagai janji di kehidupan lalu antara dirinya dan Howard.

Bagiku, Dee menghadirkan kisah cinta abstrak yang dibumbui konsep belahan jiwa dan reinkarnasi dengan caranya sendiri, yang apik dan cantik. Dalam cerita “Guruji”, Dee dengan terang-terangan menyajikan ide reinkarnasi dan belahan jiwa dalam petikan cerita berikut: Seketika sorot matanya menangkap sorot mataku, bersama kami tenggelam dalam sebuah arus misterius. Tanpa perlu lagi proses hipnosis. Dengan mantapnya dia berbisik, “Kita pernah bertemu.”(Guruji, hal.114). Selanjutnya, konflik yang dihadirkan tidak mencukupkan pada konsep pemahaman kita akan cinta, belahan jiwa, atau bahkan reinkarnasi. Tapi lebih dari itu semua, Dee mengaduk-aduk perasaan pembaca melalui konflik tak biasa di antara dua insan yang pernah yakin sebagai belahan jiwa yang akhirnya dipertemukan. Tidak selalu berujung pada kata bersatu, cerita-ceritanya justru mengedepankan pengalaman menyeluruh para tokohnya dalam memahami konsep hidupnya. Dee memang nampaknya tidak mengharapkan pembaca melompat dari awal cerita ke akhir cerita untuk mendapati satu ending, namun justru membawa pembaca menjelajahi samudera kehidupan yang dihadirkan potong-demi-potong dalam tiap alur cerita yang dihadirkan di tiap cerita pendeknya.

Jika dalam cerita pendeknya Dee lebih banyak memasukkan unsur cinta, dalam prosa-prosa dan tulisan lainnya, Dee lebih banyak mengangkat tema-tema kehidupan dan spiritualitas. Sebut saja “Perempuan dan Rahasia”, sajak yang ia tulis pada tahun 2006, menggambarkan sosok perempuan bagi laki-laki melalui perumpamaan halus dan indah burung, kupu-kupu, dan bunga. Sejak dulu saya sangat mengagumi kelihaian Dee memilih dan merangkai kata-demi-kata. Kemudian ada “Semangkuk Acar untuk Cinta dan Tuhan” sebagai buah karya-nya men[coba]definisikan cinta dan Tuhan melalui semangkuk acar. Jawaban pasti memang bukan tujuan akhir yang ingin disampaikan oleh Dee melalui setiap tulisannya, karena seperti peringatan pada kata pengantarnya, “… tidak semua perenungan berujung pada jawaban.” Bagaikan mengupas bawang merah, seringkali proses bertanya justru menemui lapisan pertanyaan-pertanyaan lain yang jika dilakukan terus menerus malah berakhir pada kehampaan. Bukan berarti sia-sia, tetapi apalah arti hidup jika pada akhirnya ‘jawaban’ sudah kita dapatkan. Bukankah hidup hanya akan berakhir saat ruh ditarik melalui ubun-ubun kita? Maka hidup memang akan terus berproses sepanjang nafas masih milik kita.

“Barangkali Cinta” menjadi sajak penutup antologi Madre. Sebelumnya, saya sendiri sudah membaca sajak ini di blog pribadi Dee. Karena ini adalah salah satu sajak favorit saya, izinkan saya mengutip beberapa kata di dalamnya:

Barangkali cinta

Jika darahku mendesirkan gelombang yang tertangkap

oleh darahmu

dan engkau beriak karenanya

Darahku dan darahmu

terkunci dalam nadi yang berbeda

Namun berpadu dalam badai yang sama


Barangkali cinta

Jika napasmu merambatkan api yang menjalar ke

paru-paruku

dan aku terbakar karenanya

Napasmu dan napasku

bangkit dari rongga dada yang berbeda

Namun lebur dalam bara yang Satu


Barangkali cinta

. . .

(Barangkali Cinta, 2007. Hal. 159-160, “Madre”)



sumber gambar:
http://www.inibuku.com/25075/madre.html