Desember 19, 2013

Dari Soekarno hingga Muhammad

“Sometimes beautiful things come into our lives out of nowhere. We can't always understand them, but we have to trust in them. I know you want to question everything, but sometimes it pays to just have a little faith.” 
― Lauren KateTorment


Berawal dari rasa penasaranku setelah membaca ulasan seorang teman tentang film karya Hanung Bramantyo yang beberapa hari lalu mulai tayang di bioskop, malam ini berakhir dengan dua buah film Indonesia yang kutonton secara maraton: "Soekarno" dan "99 Cahaya di Langit Eropa". Tulisanku kali ini bukanlah ulasan secara mendetil tentang kedua film tersebut, melainkan catatan pribadi tentang kesan dan pengalaman yang timbul usai menonton kedua film tersebut dikaitkan dengan kejadian yang kualami dalam kehidupanku belakangan. 

Baiklah, kita mulai dari "Soekarno" yang berhasil membuatku menitikkan air mata dan beberapa kali terharu berkat racikan adegan, dialog, music score, dan keindahan gambarnya. Hanung Bramantyo menunjukkan kelasnya dalam dunia perfilman melalui karya terbarunya ini. "Soekarno" bercerita tentang perjuangan sang Proklamator Indonesia, presiden pertama RI sekaligus pencetus Pancasila, Soekarno dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Pelajar yang benar-benar membaca buku sejarah dan para sejarawan pasti setuju bahwa film ini hanya menceritakan sekelumit sepak terjang Bung Karno di Indonesia. Namun adegan demi adegan yang ditayangkan dalam alur cerita film cukup menggambarkan seorang Bung Karno yang pandai menarik hati rakyat melalui pidato-pidatonya, cinta pada tanah air dan rakyatnya, tidak takut pada penjajah, serta mudah jatuh hati pada perempuan. 

Setelah dua jam lebih dimanjakan dengan visualisasi mengagumkan perpaduan akting ciamik para aktor, pilihan apik tempat dan gambar yang mewakili latar waktu cerita, dialog-dialog cerdas, kuat, dan pada beberapa adegan menggetarkan hati, serta keindahan music score yang classy namun tidak membosankan, pikiranku tertaut pada satu adegan di dalam mobil. Bung Hatta 'mempertanyakan' dirinya sendiri (dan Bung Karno yang ada di sampingnya) apakah mereka siap memimpin Indonesia yang begitu besar dengan banyaknya penduduk yang ada, apakah mereka dapat menjamin di masa mendatang tidak terjadi kesenjangan antar daerah di Indonesia dan mereka dapat mengelola kekayaan Indonesia dengan baik hingga menyejahterakan rakyatnya. Setelah akhirnya Bung Karno menjawab tegas "Siap!", dia menambahkan yang kurang lebih begini, "Lebih baik kita yakin dan melakukan sesuatu meski pada akhirnya mungkin gagal atau salah, daripada bersembunyi di balik kekhawatiran dan terlalu takut untuk melakukan apa-apa". 

Diam-diam aku tersentak, tidak hanya oleh dialog padat yang heroik dan penuh arti tersebut, namun oleh alam sadar dan ingatanku akan pengalaman hidup yang tengah kuhadapi. Dalam enam bulan terakhir, aku menjalani hidup seolah bersembunyi dari kekhawatiran dan ketakutan-ketakutan yang aku sendiri tak pernah hadapi langsung, tentang masa depan, tentang mimpi-mimpiku yang dianggap kecil dan kurang berarti, tentang langkah yang akan kutempuh. Aku memilih berdiam dan menunggu apa yang akan aku temui dan dapatkan, bukan maju untuk mengambil langkah-langkah sendiri dan mencoba meski mungkin gagal atau malah salah. Bahkan ketika akhirnya aku sadar dan mulai menyusun keberanianku untuk beranjak dan menyingkirkan tembok kekhawatiran itu, dengan mudahnya aku kembali ke balik tembok hanya karena dianggap "sok tahu" dan sombong. 

Belum hilang sensasi sentakan adegan tersebut, tiba-tiba pandanganku tertuju pada poster film "99 Cahaya di Langit Eropa". Ketika kutanya pada sahabatku yang ternyata sudah menonton film tersebut, dia terdiam sejenak untuk akhirnya mengekspresikan bagaimana film tersebut dapat membuatnya makin mencintai Islam. Lagi-lagi sebuah ingatan menyesak keluar dan cukup menyakitkan, yakni ketika tiada angin dan hujan tiba-tiba aku dihadapkan pada pertanyaan "Apa pendapatmu tentang Allah juga mungkin salah?" Pertanyaan yang diawali dengan pertanyaan pembuka "Tahukah kamu bahwa Al Qur'an menyebutkan bumi ini datar?", kemudian berlanjut pada pernyataan pribadinya bahwa agama yang kuanut merupakan agama dengan obligasi paling banyak dan berat. Tiba-tiba disampaikan pula cerita tentang sahabatnya yang keluar dari Islam setelah pencarian panjang yang berakhir pada perasaan telah dibohongi berpuluh-puluh tahun lamanya oleh keyakinannya selama ini. Entah apa maksud dan tujuannya, aku mengambil satu pesan positif pada saat itu, tentang kelebihan manusia memiliki akal untuk berinterpretasi dan dibebaskan mengambil keputusan dalam hidup. 

Meski lanjutan cerita-cerita yang menyiksa tersebut adalah tentang kehidupan, fenomena masa kini, dan lebih merucut pada masa depanku, rasa sakit akibat cerita-cerita dan pertanyaan menyudutkan yang membuatku seolah tak berdaya dan tak mampu membela diri itu membekas hingga sekarang. Maksudku, aku memang belum menjadi muslim yang memahami Islam sepenuhnya dan masih pada taraf melakukan ibadah karena perintah-Nya atau meninggalkan sesuatu karena larangan-Nya. Maka ketika aku dihadapkan pertanyaan-pertanyaan yang meyangsikan keyakinanku tersebut dengan dasar-dasar logika yang kuat, bisa dipastikan aku akan bungkam, karena aku memang belum tahu jawabannya. Berkat rasa sakit itu dan komentar sahabatku tentang film "99 Cahaya di Langit Eropa", kakiku langsung menuju loket untuk membeli tiket film yang dijadwalkan akan tayang 20 menit lagi itu.

Secara teknis film, mungkin tidak adil jika aku membandingkan antara film "Soekarno" yang kutonton sebelumnya dengan "99 Cahaya di Langit Eropa" garapan Guntur Soeharjanto. Oleh karenanya, aku mempersilakan para pembaca untuk menonton sendiri film tersebut dan menikmati scene-scene indah pojok-pojok Vienna dan Paris yang menjadi latar film yang ternyata seri pertama ini. Mungkin saranku, janganlah menonton kedua film tersebut berurutan sepertiku karena secara tanpa sadar kau akan membandingkan kedua film tersebut secara teknis. 

Pesan penting yang sangat kuat kutangkap dari film ini adalah bahwa seorang muslim, dimanapun ia berada, selayaknya berperan sebagai agen Islam yang membawa kedamaian di muka bumi. Seperti kisah Nabi Muhammad SAW yang melanjutkan perjuangan Abu Bakar ash Shiddiq memberi makan seorang Yahudi tua yang tak dapat melihat bahkan menyuapinya meski orang tersebut, yang mengira Muhammad adalah Abu Bakar, tak henti-hentinya memaki-maki sang Nabi ketika beliau tengah memberinya makan. Salah seorang tokoh dalam film, muslimah asal Turki yang sering mendapat perlakuan kurang menyenangkan di Austria, membayarkan makan dua orang turis Inggris yang sebelumnya mengolok-olok Turki dan Islam. Baginya, kebencian tidak semestinya dilawan dengan kebencian karena hanya akan menyulut api. Dia dengan caranya sendiri, justru menampakkan wajah Islam yang damai dan penuh kasih. Bagiku, film ini memberikan keindahannya sendiri yang tidak dapat digambarkan dan dijabarkan dengan kata-kata. Setidaknya, keresahanku sedikit terobati, meski tidak sepenuhnya dilegakan. 

Masih di bawah pengaruh rasa sakit yang kusebutkan tadi, sesampainya di kamar, aku kembali mencari dan mencari apa yang mungkin dapat melegakan hatiku. Sedetik berikutnya, di hadapanku terpampang halaman website tentang tanya jawab antar agama yang justru menyudutkan Islam, perbandingan penulis dengan agama yang dianutnya. Bukannya aku anti dan berhenti, aku malah menuntaskan bacaan panjang tersebut, dan mengarahkan kursorku menyorot kolom "Muhammad". Lagi-lagi aku teringat pada cerita tadi, bahwa dalam pencarian spiritual sang Sahabat yang akhirnya keluar dari Islam itu, berbagai sosok Illahi muncul seperti Yesus, Gandhi, bahkan Budha, namun tidak ada Muhammad di sana. Benar saja, tulisan-tulisan tentang Muhammad dalam website tersebut benar-benar mencitrakan negatif sosok Muhammad yang selama ini kupercaya sebagai teladanku. 

Keraguan dan kegamangan semacam ini pasti pernah dialami oleh muslim di berbagai penjuru dunia pada berbagai era. Bagiku, pertanyaan dan keraguan ini justru memacuku untuk terus mencari. Aku masih mengingat sosok Marina Silvia K. yang melakukan perjalanan spiritualnya justru ke India dan Thailand, tempat Hindu dan Budha berkembang pesat, serta pertemuan dan interaksinya dengan sahabat-sahabatnya di penjuru Eropa baik yang Kristen, Katholik, Agnostik, hingga Atheis. Segala pengalaman tersebut ia tuangkan dalam dua bukunya "Back 'Euro' Pack: Keliling Eropa 6 Bulan hanya 1000 Dolar" dan "Jingga: Perjalanan ke India dan Thailand Mencari Surga di Bumi". Pertanyaan dan keraguannya justru mengantarkannya pada pengalaman spiritual yang hanya dia yang tahu betapa dahsyatnya. Aku juga masih mengenal sosok Fahd Djibran, penulis yang sekaligus mantan seniorku di kampus dulu, yang berhasil menuangkan keindahan Islam dalam karya-karyanya yang tidak menggurui dan dibalut dengan logika yang kuat. Orang-orang seperti mereka tentunya telah menempuh perjalanan spiritualnya masing-masing hingga akhirnya teguh pada keyakinannya dan, meminjam istilah dalam film yang baru kutonton, menjalankan perannya sebagai agen Islam yang tak perlu diragukan lagi. 

Sebenarnya aku ingin berterima kasih pada Bung Karno, Marina Silvia K., Kang Fahd, dan siapapun yang berhasil menggoyah imanku. Dalam satu malam, kalian berhasil membangunkan serigala putihku yang telah lama tertidur. Aku tidak akan lagi membiarkan langkahku terhenti oleh kekhawatiran dan ketakutan yang tidak benar-benar kuhadapi untuk mewujudkan mimpi-mimpiku. Aku tidak akan lagi berdiam apalagi bersikap kalah ketika Agamaku, Tuhanku, dan Nabiku dipojokkan oleh orang. Aku tidak akan pernah berhenti menjelajah bumi untuk mencari tanda-tanda kebesaran-Nya karena aku ingin tunduk sujudku tidak hanya berdasar pada perintah belaka, namun ada cinta di sana. 

“Love, like everything else in life, should be a discovery, an adventure, and like most adventures, you don’t know you’re having one until you’re right in the middle of it.” 
― E.A. BucchianeriBrushstrokes of a Gadfly


---
Sumber gambar:

September 27, 2013

Pungguk


"Bagaikan pungguk merindukan bulan". 

Peribahasa selalu mengena sekaligus menohok saat konotasi dan kiasan terdengar begitu denotatif dan nyata. 

Ah, si Pungguk harus berhenti menatap idolanya, sang Bulan, sebelum dia tergerak melakukan upaya. Rasa sakitnya bukan ketika terjatuh, namun ketika sesal menyusulnya. Sesal karena dia tahu kapasitasnya yg tak akan pernah menjangkau bulan namun tetap diupayakannya. Maka jatuh hanyalah kepastian yg menunggu, dan penyesalan telah mencoba, sedikit banyak berbunga malu. Apalagi ketika sang Bulan tak sedikit pun mendapat impresi dari upayanya.

Jauh di lubuk hatinya, dan ini yang paling menyakitkan di antara semuanya, si Pungguk telah lama mengetahui bahwa sang Bulan tak pernah mengharapkannya melakukan upaya. Namun tetap saja dia berupaya.

Oh Pungguk, dia harus segera terbangun dan mulai melihat sisi kanan kirinya. Mendongak utk Bulan memang menyenangkan, namun dia sendiri mulai mengeluhkan waktunya yg terbuang sia-sia tanpa mendapat suatu apa. Dia sendiri sadar hidupnya mulai tak berarah dan mungkin banyak gamangnya. Tuhan mungkin saja menyiapkan banyak hal indah lain di sekitarnya, bukan di atas sana.

Diam-diam pungguk menyeka air matanya. Bukan tersebab nasib ia terlahir sebagai pungguk yg tak mungkin menjangkau bulan, bukan pula karena upaya yg akhirhya ia lakukan malah berbuah sesal dan sia-sia, namun karena ia masih saja merindukan sang Bulan.



...

Jakarta, 27 September 2013
12.02

Sumber gambar:
http://sukmaerlangga.blogspot.com/
http://www.deviantart.com/art/Empty-Heart-and-No-Hope-195626922

Mei 22, 2013

"Nyanyian Tanah Merdeka": Tontonan Seni, Pelajaran Sehari-hari, dan Sindiran untuk Negeri


Dua tahun lamanya sejak konser terakhirku bersama The Indonesia Choir (TIC) dan The Indonesia Children Choir (TICC). Ketika itu, aku bernyanyi dalam rangkaian konser "Dua Kisah Nusantara" yang diselenggarakan di Usmar Ismail Concert Hall pada Kamis, 10 November 2011, kemudian berlanjut ke dua konser kunjungan di Solo dan Jogja bertajuk "Nyanyian Sepanjang Boulevard". Masih dapat kurasakan terangnya sorot lampu panggung besar pertamaku, sedikit membuatku linglung dan sulit mengenali sosok-sosok di bangku penonton. Konser interaktif pertama dan terakhirku bersama teman-teman TIC dan TICC. 

Malam tadi, Selasa, 21 Mei 2013 masih di panggung yang sama, Mas Jay (sapaan akrab Jay Wijayanto oleh para anggota TIC, termasuk aku) kembali menggelar sebuah tontonan paduan suara yang dikolaborasikan dengan berbagai seni pertunjukan lain. Konser kali ini bertajuk "Nyanyian Tanah Merdeka" (NTM), diambil dari judul lagu musisi Indonesia yang lebih dikenal dengan karya-karya musik jalanan dan memiliki penggemar dalam komunitas-komunitas, yakni Leo Kristi. Menurut media rilisnya, NTM digelar menyambut peringatan Kebangkitan Nasional yang jatuh sehari sebelum konser digelar sekaligus peringatan lima tahun berdirinya TIC sejak 2008. NTM juga menjadi persiapan awal TICC sebelum keberangkatannya ke "Hong Kong International Youth & Children's Choir Festival" pada Juli mendatang. Termasuk dalam agenda konser adalah peluncuran buku "Merek Indonesia Harus Bisa" oleh Mas Arto (Arto Subiantoro).

Beberapa artis kenamaan Indonesia turut mendukung kemeriahan konser yang berlangsung kurang lebih 3,5 jam. Sebut saja Mba Ade (Adelaide Simbolon), pianis wanita Indonesia yang mengenyam pendidikan musik (piano) dari Rusia hingga Amerika Serikat (Wisconsin Conservatory of Music); Om Jubing (Jubing Kristianto), gitaris gaya jari Indonesia yang menggunakan gitar klasik sebagai instrumennya; Mas Andreas (Andreas Arianto), akordeonis yang menyebut dirinya pemusik lepas dan menjadikan musik sebagai bagian tak terlepaskan dari hidupnya, menghidupi dan untuk dihidupi; serta sederet pemusik dengan alat musik yang pada dasarnya tidak berasal dari Indonesia namun dikenal meramu musik khas tradisi Indonesia seperti biola, saluang, dan cajon. Ada pula sembilan penari remaja dari Grup Tari Swargaloka yang mempersembahkan "Tari Tekad" sebagai pembuka konser, serta empat penari "tak kenal pusing" dari Rumah Rumi Whirling Dancer mengiringi lagu daerah Jambi, "Dodoi si Dodoi". 

Jika pada konser sebelumnya aku berdiri di panggung sebagai penyanyi, malam itu aku duduk di bangku penonton. Maka, ulasanku kali ini mungkin akan lebih komprehensif dari sudut pandang anggota TIC yang pernah menyanyi dalam konser-konsernya, anggota TIC yang turut terlibat dalam sekelumit kerumitan persiapan konser, anggota TIC yang memegang tiket penonton dan mengikuti jalannya konser dari awal hingga akhir dari kursi penonton, serta anggota TIC yang berinteraksi dengan anggota TIC lain setelah konser.

...

Total 16 lagu yang dibagi dalam dua sesi konser, delapan buah lagu ditampilkan untuk masing-masing sesi. Penonton disambut dengan lagu "Indonesia Raya" versi orkestra yang kemudian dilanjutkan oleh "Tari Tekad" sebagai pembuka konser. Narasi pertama yang dibawakan Mas Jay sebelum mengantarkan penonton pada lagu pertama adalah sejarah "Indonesia Raya", dimana teks aslinya yang ditulis pada tahun 1928 terdiri dari tiga stanza pada akhirnya hanya dipakai satu stanza setelah melalui revisi pada tahun 1958. Masih tentang lagu kebangsaan, Mas Jay beralih ke Singapura, yang ternyata lagu kebangsaannya berjudul "Majulah Singapura" merupakan ciptaan Zubir Said, putra Indonesia kelahiran Bukittinggi. Jika boleh kutambahkan, lagu kebangsaan Malaysia "Negaraku" pun bisa dibilang merupakan buah karya putra Indonesia, Saiful Bahri, pemilik hak kekayaan intelektual atas lagu "Terang Bulan" yang melodinya mirip sekali dengan "Negaraku". Pada titik ini, aku mulai melihat betapa penggunaan kata 'baik dan bodoh' sering tertukar tempat.

Lagu pertama yang dibawakan oleh TIC, dengan iringan piano Mba Ade, adalah "Nusantara" karya F.A. Warsono, solis Alice C. Putri. Mas Jay, masih dengan gaya khasnya yang santai dan kocak dalam memandu konser-konsernya, mengangkat satu topik yang mungkin terlupakan khususnya oleh pemuda Indonesia, yakni Trisakti. 

BERDAULAT dalam POLITIK
BERDIKARI dalam EKONOMI
dan BERKEPRIBADIAN dalam BUDAYA

 Nampaknya kesaktian tiga semboyan yang Bung Karno dalam rumusan Trisakti belum [tak] mampu diwujudkan oleh bangsa yang telah 67 tahun merdeka. Bagaimana bisa berdaulat, jika RI 1 saja dapat diperintah oleh pimpinan perusahaan multinasional yang telah menggerogoti kekayaan alam bangsa? Bagaimana bisa berdikari jika untuk konsumsi penduduk justru lebih mengedepankan impor dari negara lain? Cukup berkepribadiankah negara yang penduduknya lebih bangga menjadi ahli modernisasi dengan segala bentuk kebudayaan asing ketimbang mempelajari tarian daerah kelahirannya? 

Narasi tersebut disampaikan sebagai pengantar lagu kedua "Nyiur Hijau" yang dia sebut sebagai lagu wajib sekolah yang ter[di]lupakan. Dibawakan acapella tanpa iringan musik, TIC berhasil membuat beberapa penonton merinding dan seolah tak rela dunia tak tahu, membagikan pengalaman tersebut melalui twitter. Aku pribadi sangat menyukai lagu ciptaan A.J. Sudjasman hasil aransemen Arvin Zeinullah ini. Ada "rindu kampung halaman " yang menyeruak saat teman-teman TIC membawakan lagu ini merdu. Terlebih pada lirik bait kedua "Padi mengembang | Kuning merayu | Burung burung | Bernyanyi gembira", rasa kehilangan muncul berikutnya, mengingat padi yang digantikan dengan gedung pencakar langit, kuning merayu dirampas oleh kelabu, dan alih-alih burung-burung yang bernyanyi gembira, di Jakarta ini yang ada adalah mobil-mobil yang lalu-lalang-macet dan berklakson ria. 

Narasi berikutnya mengangkat topik pertanian. Menurut observasi Mas Jay terhadap data sejarah, politisi yang berhasil haruslah memiliki basis ekonomi yang kokoh. Logis memang, karena basis ekonomi yang kuat akan mendukung basis sosial yang diperlukan oleh seorang politisi, yang nantinya mampu menopang basis politik manakala sang politisi memegang kuasa. Tren politisi Indonesia bisa dibilang anti-mainstream karena kebanyakan politisi menghujani dirinya dengan isu-isu politik, lalu memperkuat basis sosial, dalam rangka memperoleh basis ekonomi. Hal ini sedikit banyak menjelaskan mengapa korupsi di Indonesia bertumbuh subur melebihi padi di sawah pak tani.

Lagu daerah pertama, hasil aransemen Farman Purnama, yakni lagu daerah Maluku "Mande-Mande" yang dibawakan lembut mengalun dengan solis seorang tenor, Yeremia Lalisang. Dalam penceritaannya yang tetap khas, Mas Jay menceritakan makna lagu tersebut sebelum dinyanyikan, yakni penantian para wanita Maluku yang ditinggal merantau oleh kekasih mereka. Kalau  sudah kaya, pulanglah mereka melamar kekasihnya dan menikah. 

Lagu selanjutnya diambil dari salah satu lagu kompetisi yang diikuti TIC dengan perolehan medali emas di Vietnam berjudul "Segalariak". Dibawakan saling sahut antar kelompok suara satu dan lain dengan bersemangat membuat lagu tersebut berkarisma. Pasukan TIC silam, digantikan 33 anak dan remaja. Sembari mengisi perpindahan, Mas Jay kembali mengisi sesi dialog dan bincang-bincang dengan penonton. Kali ini dialog dibuka dengan sebuah guyonan. Dalam perjalanan hidupnya, Mas Jay sering mendengar bahwa tentara Indonesia didominasi dan dikuasai oleh agama tertentu: AD (Angkatan Darat) dikuasai oleh pemeluk Islam sementara AU (Angkatan Udara) dikuasai oleh umat Kristiani. Mas Jay berkelakar dengan menyebut AL adalah yang paling Islami mengingat hampir semua nama masjid memiliki "AL" di dalamnya: AL Ikhlas, AL Barokah, AL Hidayah.

Sebelum masuk ke lagu berikutnya yang akan dibawakan oleh TICC, Mas Jay melontarkan pertanyaan pada penonton: Berapa usia WR. Supratman saat mencipta Indonesia Raya? Kebangkitan Nasional ditandai dengan apa? Penonton yang dipilih untuk menjawab adalah pemuda. Benang merah dapat ditarik dari sini, bahwa kata dasar "muda" menjadi titik berat topik dialog kali ini. WR. Supratman pertama kali menciptakan lagu Indonesia Raya pada usia 21 tahun; Kebangkitan Nasional ditandai dengan dua peristiwa penting yang keduanya "dipentaskan" oleh para pemuda, berdirinya Boedi Oetomo dan diucapkannya ikrar Sumpah Pemuda; kedua pertanyaan yang jawabannya berkata kunci "muda" tak dapat dijawab oleh para penonton muda.

Selanjutnya, giliran TICC unjuk gigi. Mereka membawakan dua lagu kompetisi di Hong Kong nanti, yakni "Tanctnota" dan "Salve Regina". Alunan nada-nada rumit dengan tempo yang berubah terus menerus, ditambah bahasa asing dengan aksen tak umum untuk lidah Indonesia, berhasil dibawakan rampung oleh TICC meski penulis pribadi merasa suara yang diproduksi belum maksimal diproyeksikan ke depan. Toh suara mereka pun mulai panas pada lagu berikutnya, kali ini lagu ciptaan Leo Kristi yang diaransemen oleh Nindya Tri Harbanu, "Salam Dari Desa". Mungkin karena faktor bahasa yang lebih mudah dilafalkan oleh anak-anak tersebut ditambah iringan musik akordion Mas Andreas dan gitar Om Jubing yang lincah dan jenaka, TICC membawakan "Salam Dari Desa" lebih lepas dan riang. Kemudian kakak-kakak TIC melanjutkan trek lagu Leo Kristi dengan membawakan "Gulagalugu Suara Nelayan", masih dengan aransemen buah tangan Nindya dan iringan musik yang sama sebagai penutup sesi pertama. 

Sesi kedua dibuka dengan lagu daerah Sumatera Barat "Indang", aransemen buah tangan Lilik Sugiarto. Akordion dan gitar memulai melodi lagu, disambut oleh Jhorlin Darwis Sitinjak, Rama Sentausa, dan Linda Samosir sebagai solis yang menyanyikan harmoni nada dengan indah. Seolah memang dibawakan di awal sesi kedua untuk membangun atmosfer ceria bersemangat, "Indang" dilanjutkan oleh "Arjuna Mencari Cinta" ciptaan Ahmad Dhani dan diaransemen oleh Indira Fransiska. Kali ini, Fajri Prabowo dari golongan suara bass menjadi solis dan membawakan lagu tersebut cukup komikal dengan bahasa tubuh yang lucu. Tidak cukup sampai di situ, penonton dibuat tergelak dengan layar yang menampilkan foto Eyang Subur dikelilingi wanita-wanita "seksi" seperti Angelina Jolie dan Ratu Elizabeth. 

Masih tentang bentuk ekspresi cinta seorang lelaki, lagu berikutnya adalah "Wanita" karya Ismail Marzuki dan diaransemen oleh Lilik Sugiarto. Mas Jay kali ini masuk dalam barisan tenor yang memimpin lagu tersebut. Ini adalah lagu favoritku yang lain. Selain nada-nada ajaib yang mengalun indah, lirik lagu "Wanita" begitu puitis dan berdaya sihir. 


Seindah mawar | semurni nan hati | dikau cemerlang wanita
Semerbak wangi | sejinak merpati | dikau selalu di cinta
Gerak gayamu ringan, mengikat hati mudah terlelap
Mata bersinar menyilaukan matamu
Halus wanita | bak sutra dewata | senyuman lunturkan mahkota

Seperti halnya tradisi konser interaktif TIC dan TICC, penonton diminta bernyanyi bersama lagu "Indonesia Pusaka" aransemen karya Yudia Pancaputra. TIC silam, tinggallah TICC yang selanjutnya membawakan lagu lain untuk kompetisi yang sama, "Kalera Gazteak". Lagu ini menjadi lagu terakhir persembahan TICC yang kemudian silam dan digantikan oleh kakak-kakak TIC.

Jambi selanjutnya direpresentasikan dalam lagu "Dodoi Si Dodoi" aransemen Mas Jay sendiri dengan solis Saftianingsih. Lagu dibuka dengan alunan nada menyayat hati dari saluang dan biola serta ratapan sang pemain saluang yang memang laki-laki Minang. Dijelaskan sebelumnya bahwa lagu ini mengisahkan seorang ibu yang tengah menimang-nimang anaknya sembari meratap rindu akan sosok suaminya yang belum pulang. 

"Twa Tanbou" karya Sydney Guillaume kemudian menggeser suasana yang tadinya sendu menjadi bersemangat. Lagu yang berasal dari salah satu suku di Afrika ini mengisahkan tentang perbincangan antara tiga buah kendang yang masing-masing berpendapat bahwa suaranyalah yang paling keras. Akhirnya, konser ditutup dengan karya Ahmad Dhani yang lain, kali ini hasil kolaborasinya dengan Bebi Romeo, "Andai Aku Bisa" yang diaransemen oleh Ily Matthew Maniano dengan solis seorang alto, Christine Nataly Panggabean.

...

Aku akui, ulasanku dimulai dari babak kedua konser memang tidak selengkap ulasan babak pertama. Selain aku tidak membawa catatan untuk membuat ringkasan jalannya konser, aku memang memilih lebih menikmati lagi sisa waktu yang kupunya untuk lebih menikmati "Nyanyian Tanah Merdeka". 

Terakhir, aku teringat satu dialog lagi yang belum aku paparkan di atas terkait bahasa Indonesia. Mungkin aku tak sendiri merasakan tamparan tentang fakta bahwa orang Indonesia lebih bangga dengan bahasa Inggris atau bahasa asing lain ketimbang bahasa Indonesia sendiri. Namun, jika Mas Jay membaca tulisan ini, dia boleh lega karena ulasanku kali ini murni menggunakan bahasa Indonesia, kecuali pada nama dan istilah yang memang tidak semestinya diterjemahkan.