Desember 19, 2013

Dari Soekarno hingga Muhammad

“Sometimes beautiful things come into our lives out of nowhere. We can't always understand them, but we have to trust in them. I know you want to question everything, but sometimes it pays to just have a little faith.” 
― Lauren KateTorment


Berawal dari rasa penasaranku setelah membaca ulasan seorang teman tentang film karya Hanung Bramantyo yang beberapa hari lalu mulai tayang di bioskop, malam ini berakhir dengan dua buah film Indonesia yang kutonton secara maraton: "Soekarno" dan "99 Cahaya di Langit Eropa". Tulisanku kali ini bukanlah ulasan secara mendetil tentang kedua film tersebut, melainkan catatan pribadi tentang kesan dan pengalaman yang timbul usai menonton kedua film tersebut dikaitkan dengan kejadian yang kualami dalam kehidupanku belakangan. 

Baiklah, kita mulai dari "Soekarno" yang berhasil membuatku menitikkan air mata dan beberapa kali terharu berkat racikan adegan, dialog, music score, dan keindahan gambarnya. Hanung Bramantyo menunjukkan kelasnya dalam dunia perfilman melalui karya terbarunya ini. "Soekarno" bercerita tentang perjuangan sang Proklamator Indonesia, presiden pertama RI sekaligus pencetus Pancasila, Soekarno dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Pelajar yang benar-benar membaca buku sejarah dan para sejarawan pasti setuju bahwa film ini hanya menceritakan sekelumit sepak terjang Bung Karno di Indonesia. Namun adegan demi adegan yang ditayangkan dalam alur cerita film cukup menggambarkan seorang Bung Karno yang pandai menarik hati rakyat melalui pidato-pidatonya, cinta pada tanah air dan rakyatnya, tidak takut pada penjajah, serta mudah jatuh hati pada perempuan. 

Setelah dua jam lebih dimanjakan dengan visualisasi mengagumkan perpaduan akting ciamik para aktor, pilihan apik tempat dan gambar yang mewakili latar waktu cerita, dialog-dialog cerdas, kuat, dan pada beberapa adegan menggetarkan hati, serta keindahan music score yang classy namun tidak membosankan, pikiranku tertaut pada satu adegan di dalam mobil. Bung Hatta 'mempertanyakan' dirinya sendiri (dan Bung Karno yang ada di sampingnya) apakah mereka siap memimpin Indonesia yang begitu besar dengan banyaknya penduduk yang ada, apakah mereka dapat menjamin di masa mendatang tidak terjadi kesenjangan antar daerah di Indonesia dan mereka dapat mengelola kekayaan Indonesia dengan baik hingga menyejahterakan rakyatnya. Setelah akhirnya Bung Karno menjawab tegas "Siap!", dia menambahkan yang kurang lebih begini, "Lebih baik kita yakin dan melakukan sesuatu meski pada akhirnya mungkin gagal atau salah, daripada bersembunyi di balik kekhawatiran dan terlalu takut untuk melakukan apa-apa". 

Diam-diam aku tersentak, tidak hanya oleh dialog padat yang heroik dan penuh arti tersebut, namun oleh alam sadar dan ingatanku akan pengalaman hidup yang tengah kuhadapi. Dalam enam bulan terakhir, aku menjalani hidup seolah bersembunyi dari kekhawatiran dan ketakutan-ketakutan yang aku sendiri tak pernah hadapi langsung, tentang masa depan, tentang mimpi-mimpiku yang dianggap kecil dan kurang berarti, tentang langkah yang akan kutempuh. Aku memilih berdiam dan menunggu apa yang akan aku temui dan dapatkan, bukan maju untuk mengambil langkah-langkah sendiri dan mencoba meski mungkin gagal atau malah salah. Bahkan ketika akhirnya aku sadar dan mulai menyusun keberanianku untuk beranjak dan menyingkirkan tembok kekhawatiran itu, dengan mudahnya aku kembali ke balik tembok hanya karena dianggap "sok tahu" dan sombong. 

Belum hilang sensasi sentakan adegan tersebut, tiba-tiba pandanganku tertuju pada poster film "99 Cahaya di Langit Eropa". Ketika kutanya pada sahabatku yang ternyata sudah menonton film tersebut, dia terdiam sejenak untuk akhirnya mengekspresikan bagaimana film tersebut dapat membuatnya makin mencintai Islam. Lagi-lagi sebuah ingatan menyesak keluar dan cukup menyakitkan, yakni ketika tiada angin dan hujan tiba-tiba aku dihadapkan pada pertanyaan "Apa pendapatmu tentang Allah juga mungkin salah?" Pertanyaan yang diawali dengan pertanyaan pembuka "Tahukah kamu bahwa Al Qur'an menyebutkan bumi ini datar?", kemudian berlanjut pada pernyataan pribadinya bahwa agama yang kuanut merupakan agama dengan obligasi paling banyak dan berat. Tiba-tiba disampaikan pula cerita tentang sahabatnya yang keluar dari Islam setelah pencarian panjang yang berakhir pada perasaan telah dibohongi berpuluh-puluh tahun lamanya oleh keyakinannya selama ini. Entah apa maksud dan tujuannya, aku mengambil satu pesan positif pada saat itu, tentang kelebihan manusia memiliki akal untuk berinterpretasi dan dibebaskan mengambil keputusan dalam hidup. 

Meski lanjutan cerita-cerita yang menyiksa tersebut adalah tentang kehidupan, fenomena masa kini, dan lebih merucut pada masa depanku, rasa sakit akibat cerita-cerita dan pertanyaan menyudutkan yang membuatku seolah tak berdaya dan tak mampu membela diri itu membekas hingga sekarang. Maksudku, aku memang belum menjadi muslim yang memahami Islam sepenuhnya dan masih pada taraf melakukan ibadah karena perintah-Nya atau meninggalkan sesuatu karena larangan-Nya. Maka ketika aku dihadapkan pertanyaan-pertanyaan yang meyangsikan keyakinanku tersebut dengan dasar-dasar logika yang kuat, bisa dipastikan aku akan bungkam, karena aku memang belum tahu jawabannya. Berkat rasa sakit itu dan komentar sahabatku tentang film "99 Cahaya di Langit Eropa", kakiku langsung menuju loket untuk membeli tiket film yang dijadwalkan akan tayang 20 menit lagi itu.

Secara teknis film, mungkin tidak adil jika aku membandingkan antara film "Soekarno" yang kutonton sebelumnya dengan "99 Cahaya di Langit Eropa" garapan Guntur Soeharjanto. Oleh karenanya, aku mempersilakan para pembaca untuk menonton sendiri film tersebut dan menikmati scene-scene indah pojok-pojok Vienna dan Paris yang menjadi latar film yang ternyata seri pertama ini. Mungkin saranku, janganlah menonton kedua film tersebut berurutan sepertiku karena secara tanpa sadar kau akan membandingkan kedua film tersebut secara teknis. 

Pesan penting yang sangat kuat kutangkap dari film ini adalah bahwa seorang muslim, dimanapun ia berada, selayaknya berperan sebagai agen Islam yang membawa kedamaian di muka bumi. Seperti kisah Nabi Muhammad SAW yang melanjutkan perjuangan Abu Bakar ash Shiddiq memberi makan seorang Yahudi tua yang tak dapat melihat bahkan menyuapinya meski orang tersebut, yang mengira Muhammad adalah Abu Bakar, tak henti-hentinya memaki-maki sang Nabi ketika beliau tengah memberinya makan. Salah seorang tokoh dalam film, muslimah asal Turki yang sering mendapat perlakuan kurang menyenangkan di Austria, membayarkan makan dua orang turis Inggris yang sebelumnya mengolok-olok Turki dan Islam. Baginya, kebencian tidak semestinya dilawan dengan kebencian karena hanya akan menyulut api. Dia dengan caranya sendiri, justru menampakkan wajah Islam yang damai dan penuh kasih. Bagiku, film ini memberikan keindahannya sendiri yang tidak dapat digambarkan dan dijabarkan dengan kata-kata. Setidaknya, keresahanku sedikit terobati, meski tidak sepenuhnya dilegakan. 

Masih di bawah pengaruh rasa sakit yang kusebutkan tadi, sesampainya di kamar, aku kembali mencari dan mencari apa yang mungkin dapat melegakan hatiku. Sedetik berikutnya, di hadapanku terpampang halaman website tentang tanya jawab antar agama yang justru menyudutkan Islam, perbandingan penulis dengan agama yang dianutnya. Bukannya aku anti dan berhenti, aku malah menuntaskan bacaan panjang tersebut, dan mengarahkan kursorku menyorot kolom "Muhammad". Lagi-lagi aku teringat pada cerita tadi, bahwa dalam pencarian spiritual sang Sahabat yang akhirnya keluar dari Islam itu, berbagai sosok Illahi muncul seperti Yesus, Gandhi, bahkan Budha, namun tidak ada Muhammad di sana. Benar saja, tulisan-tulisan tentang Muhammad dalam website tersebut benar-benar mencitrakan negatif sosok Muhammad yang selama ini kupercaya sebagai teladanku. 

Keraguan dan kegamangan semacam ini pasti pernah dialami oleh muslim di berbagai penjuru dunia pada berbagai era. Bagiku, pertanyaan dan keraguan ini justru memacuku untuk terus mencari. Aku masih mengingat sosok Marina Silvia K. yang melakukan perjalanan spiritualnya justru ke India dan Thailand, tempat Hindu dan Budha berkembang pesat, serta pertemuan dan interaksinya dengan sahabat-sahabatnya di penjuru Eropa baik yang Kristen, Katholik, Agnostik, hingga Atheis. Segala pengalaman tersebut ia tuangkan dalam dua bukunya "Back 'Euro' Pack: Keliling Eropa 6 Bulan hanya 1000 Dolar" dan "Jingga: Perjalanan ke India dan Thailand Mencari Surga di Bumi". Pertanyaan dan keraguannya justru mengantarkannya pada pengalaman spiritual yang hanya dia yang tahu betapa dahsyatnya. Aku juga masih mengenal sosok Fahd Djibran, penulis yang sekaligus mantan seniorku di kampus dulu, yang berhasil menuangkan keindahan Islam dalam karya-karyanya yang tidak menggurui dan dibalut dengan logika yang kuat. Orang-orang seperti mereka tentunya telah menempuh perjalanan spiritualnya masing-masing hingga akhirnya teguh pada keyakinannya dan, meminjam istilah dalam film yang baru kutonton, menjalankan perannya sebagai agen Islam yang tak perlu diragukan lagi. 

Sebenarnya aku ingin berterima kasih pada Bung Karno, Marina Silvia K., Kang Fahd, dan siapapun yang berhasil menggoyah imanku. Dalam satu malam, kalian berhasil membangunkan serigala putihku yang telah lama tertidur. Aku tidak akan lagi membiarkan langkahku terhenti oleh kekhawatiran dan ketakutan yang tidak benar-benar kuhadapi untuk mewujudkan mimpi-mimpiku. Aku tidak akan lagi berdiam apalagi bersikap kalah ketika Agamaku, Tuhanku, dan Nabiku dipojokkan oleh orang. Aku tidak akan pernah berhenti menjelajah bumi untuk mencari tanda-tanda kebesaran-Nya karena aku ingin tunduk sujudku tidak hanya berdasar pada perintah belaka, namun ada cinta di sana. 

“Love, like everything else in life, should be a discovery, an adventure, and like most adventures, you don’t know you’re having one until you’re right in the middle of it.” 
― E.A. BucchianeriBrushstrokes of a Gadfly


---
Sumber gambar: