November 17, 2011

"Dua Kisah Nusantara": Concert for Papua



Kamis, 10 November 2011 menjadi hari bersejarah khususnya dalam kehidupanku. Konser Interaktif "Dua Kisah Nusantara" menjadi konser pertamaku sekaligus pengalaman bathin tak ternilai harganya yang kudapatkan dari proses lima bulan persiapan konser.

Nama The Indonesia Choir kudengar dari seorang sahabat yang sama-sama anggota paduan suara kampus. Aku akhirnya diterima menjadi anggota The Indonesia Choir dengan segala keterbatasan dan kekurangan setelah mencoba beberapa range nada yang dimainkan sang guru, Jay Wijayanto, dan menyanyikan satu bait lagu "Mad World" sebagai lagu audisiku. Apa yang kulihat, kudengar, dan kurasakan selanjutnya selama hari-hari latihan di markas TIC yakni di Jalan Kyai Maja (lebih akrab disebut "Maja"), sungguh di luar ekspektasi-ekspektasi bahkan bayanganku tentang dunia paduan suara.

Pada awalnya kupikir proses audisi TIC terlalu sederhana bahkan cenderung bersifat formalitas karena untuk ukuran paduan suara profesional yang sudah beberapa kali menggelar konser besar, kualitas suara dan teknik vokal yang kumiliki lolos diterima begitu mudahnya. Terlebih saat tahu bahwa aku pun akan turut serta dalam konser besar TIC selanjutnya yang dilaksanakan di bulan November 2011. Setelah melewati prasangka-prasangka awal tersebut, aku mendapati satu nilai yang dimiliki oleh TIC yang benar-benar membuatku bangga menjadi salah satu anggotanya. Mas Jay (sapaan akrab sang guru), pada satu pertemuan menjelang konser berkata, "Konser tinggal hitungan hari, segala jenis persiapan telah kita lakukan, latihan vokal, latihan koreografi, persiapan kostum, pemusik, hingga dana yang tak kecil jumlahnya. Semua itu akan sia-sia kalau kalian, para 'artis' konser nanti tidak dapat menjadi api bagi dirinya sendiri. Bekal apapun yang kalian punya, kualitas apapun yang kalian miliki, tak akan berarti apa-apa jika kalian tidak menggunakannya dengan maksimal. Perlu kalian ingat, TIC tidak menerima anggota yang sudah menjadi bintang. Kalian datang dengan segala keterbatasan dan kalian telah melalui berbagai bentuk tempaan. Sekarang saatnya kalian tunjukkan hasil tempaan tersebut. Kalian harus bisa menjadi bintang di konser kita nanti." Selanjutnya, apapun yang kudapatkan, kuterima, dan kuhadapi dalam hari-hari latihan seolah menjadi penyemangat untuk tidak menyia-nyiakan keterbatasan yang mendapat kesempatan untuk diekspresikan dalam konser nanti.

Seperti halnya konser-konser TIC sebelumnya, nuansa nusantara menjadi nilai jual utama konser yang kali ini bertajuk "Dua Kisah Nusantara". Mengangkat perbedaan yang mencolok antara Indonesia bagian barat serta timur khususnya dalam segi budaya dan standard kehidupan. Mukadimah tentang konser mungkin sudah dibicarakan dengan baik di berbagai publikasi tentang konser "Dua Kisah Nusantara". Satu hal yang ingin kuangkat dalam tulisanku kali ini adalah tentang Papua.

Konser "Dua Kisah Nusantara" memang mengangkat tentang dua wilayah di Indonesia (Barat dan Timur) yang kontras baik secara budaya, gaya hidup, hingga jenis musik. Namun totalitas Mas Jay dalam mengeksplorasi Papua sebagai representasi wilayah Timur Indonesia patut diacungi jempol. Papua yang pernah disebut sebagai Netherland New Guinea, Irian Barat, serta Irian Jaya (hingga tahun 2002) merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia paling Timur yang mendiami pulau terbesar kedua di dunia, pulau Papua. Sejarah dari sudut pandang Geologi mengatakan bahwa Papua merupakan pecahan benua Australia yang terpisah oleh lautan di penghujung zaman es. Dari sudut pandang budaya dan antropologi, penduduk Papua yang oleh orang Barat disebut kaum Melanesia (karena memiliki warna kulit gelap; Mela adalah bahasa Yunani yang artinya gelap) merupakan bangsa Asia Tenggara asli yang datang menggunakan perahu dan 'terjebak' dalam dahsyatnya alam tanah Papua sehingga tak dapat meninggalkan wilayah tersebut bahkan terisolasi dari modernitas wilayah sekitarnya. Sejarah kerajaan nusantara menyebutkan adanya koneksi antara Papua dengan kerajaan-kerajaan besar yang pernah ada di Nusantara, misalnya burung cendrawasih, burung asli tanah Papua, digunakan raja-raja Majapahit untuk sesembahan dan disebut sebagai 'burung dari taman surga'. Ada sumber yang mengatakan bahwa Papua tercantum dalam beberapa kitab seperti Nagara Kartagama serta kitab Prapanca sebagai wilayah kerajaan Majapahit.

Dalam konser "Dua Kisah Nusantara", Mas Jay mempersiapkan empat buah lagu dari Papua, tiga diantaranya dipesan khusus oleh The Indonesia Choir untuk pementasan Kamis malam itu. Yamko Rambe Yamko menjadi lagu Papua pertama yang kami bawakan dengan iringan perkusi berbagai alat musik daerah timur, serta penampilan spesial dari Corp Seni Brimob. Sejak kecil, aku mengenal lagu Yamko Rambe Yamko ini sebagai lagu Papua tanpa kutahu artinya bahkan hingga sekarang. Pada saat kami melakukan interpretasi lagu bersama, Mas Jay bahkan bilang hingga saat ini belum ada yang tahu pasti makna lagu tersebut. Liriknya terbilang sederhana dengan banyak pengulangan kata, namun bahkan tidak semua orang Papua tahu makna lagunya. Berbagai milis maupun website komunitas pecinta Papua bahkan mengangkat tema 'arti lagu Yamko Rambe Yamko' dalam diskusi mereka. Adapun terjemahan kasar lagu tersebut adalah sebagai berikut:
Hai jalan yang dicari sayang perjanjian
sungguh pembunuhan di dalam negri
sebagai bunga bangsa
bunga bangsa, bunga bangsa, bunga bangsa
bunga bertaburan
bunga bangsa, bunga bangsa, bunga bertumbuh
di taman pahlawan

Namun sekali lagi, belum kutemukan ada penelaahan sejarah, makna, maupun interpretasi komprehensif mengenai lirik tersebut. Sekilas fenomena ini terkesan aneh sekaligus menggelitik. Telusur punya telusur, hingga tahun 1963, dimana ada sekitar 700.000 populasi penduduk di Papua, 500.000 diantaranya berbicara dalam 200 macam bahasa yang berbeda dan tidak dipahami oleh kaum atau suku lain. Dengan rasio populasi dan banyaknya bahasa yang digunakan, satu bahasa paling hanya dikuasai oleh sekitar 50 orang. Hingga saat ini tercatat ada 243 bahasa pengantar yang digunakan di Papua, dengan beberapa diantaranya telah punah karena meninggalnya orang yang memahami bahasa tersebut. Maka jangan heran jika lagu-lagu dari tanah Papua banyak yang terkesan misterius karena tak diketahui maknanya. Padahal mungkin saja lagu tersebut tidak benar-benar mengandung interpretasi lain selain apa yang bisa diterjemahkan seperti halnya lagu 'Seal Lullaby' karya Eric Whitacre yang murni benar-benar menceritakan seorang ibu tunggal menyanyikan lagu nina bobo untuk anaknya.

Lagu berikutnya diberi judul WOR, medley lagu tarian tradisional daerah Biak yakni Kankarem dan Morenkim aransemen Budi Susanto Yohanes. Berbeda jauh dengan kesan pertama yang mungkin muncul saat mendengar judulnya, lagu ini tidak bercerita mengenai perang, tetapi tentang pelangi, keindahan. Dua lagu selanjutnya adalah lagu pesanan khusus TIC untuk konser Dua Kisah Nusantara: Diru Diru Nina aransemen . . . dan Yapo Mama Cica aransemen Arvin Zeinullah. Tiga lagu Papua ini kami bawakan lengkap dengan koreografi arahan tim dari Jecko Dancer yakni Nambe. Gaya menombak dan melompat mendominasi gerakan-gerakan dalam koregrafi yang cukup menguras energi ditambah kami harus menjaga pitch dan choral sound saat bernyanyi.

. . .

Sejujurnya, tulisan di atas telah kutulis cukup lama dan mengendap di draft blogger entah menanti apa. Aku mengalami titik stagnan dimana aku tak bergerak maju pun tak berbelok arah, melainkan berdiam di tempat. Mungkin semua orang pernah mengalaminya, yang membedakan bagi tiap orang adalah seberapa lama dia bertahan di tempat yang sama dan tidak menghasilkan apa-apa. Aku sudah cukup lama mengendapkan tulisan ini dan kurasa apapun bentuknya, selesai atau tidak selesai, harus kupublish demi menuntaskan tanggung jawabku yang telah memulai.


Cheers,
Jan Phaiz (Setya Nurul Faizin)

Sumber:
http://sejarahbangsaindonesia.blogdetik.com/2011/05/28/sejarah-papua-tidak-terlepas-dari-masa-lalu-indonesia/
http://sejarah-papua.blogspot.com/
http://sejarah.kompasiana.com/2011/07/07/sejarah-papua-menurut-kompas/
http://real-mistery.blogspot.com/2009/07/misteri-pulau-papua.html
http://tunas63.wordpress.com/2008/09/22/makna-lagu-yamko-rambe-yamko/

Intermezzo II


Semester lima memang belum usai, tapi intermezzo kali ini rasanya tak bisa lagi menunggu untuk ditulis. Memang sempat kutulis tentang angan-angan untuk menempuh hidup yang sedikit lebih waras dan sehat di semester lima ini. Dengan berakhirnya masa jabatan di Himpunan yang penuh dengan acara dan kegiatan, tadinya kupikir dengan naik level di tingkat Senat yang tidak terlalu banyak event akan sedikit mengurangi aktivitas. Dan ya, semester lima sejauh ini tidak menunjukkan grafik penurunan aktivitas atau peningkatan waktu tidur malam. Terlebih sejak bergabungnya aku dengan The Indonesia Choir.

Bagiku, menyanyi bukanlah hobi namun tidak bisa pula dikatakan sebagai bakat. Menyanyi seperti bahasa ibu yang kubawa sejak kecil, di samping bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Dalam sehari, mungkin porsiku menggunakan bahasa Indonesia dan 'bahasa menyanyi' hampir sama saking seringnya aku menyanyi. Saat mendapat ajakan dari seorang teman untuk ikut audisi The Indonesia Choir, tentu aku sangat tertarik. Singkat cerita, aku resmi menjadi anggota saat TIC tengah mempersiapkan konser ke-5 dengan tajuk Dua Kisah Nusantara. Berawal dari rasa penasaran dan ketertarikan pribadi, jadilah aktivitas di TIC menjadi rutinitas yang mengisi hari-hariku di semester lima ini. Dimulai dari latihan rutin Rabu malam yang tepat ada di sela-sela rutinitas kampus, serta latihan Minggu siang yang seringkali kupakai untuk tidur usai shift malam sebelumnya, hingga latihan intensif menjelang konser yang bisa memakan waktu setengah hari di hari Rabu, Sabtu, dan Minggu. Tambahan kegiatan ini tidak menghilangkan rutinitas yang sudah ada seperti kuliah untuk enam mata kuliah, latihan paduan suara kampus, rapat-rapat rutin Senat, serta kerja 'rodi' shift malamku sebagai barista.

Tulisanku selanjutnya akan mereview tentang konser kelima TIC yang merupakan konser pertama dalam hidupku. Berhubung aku terlibat langsung sebagai 'artis' dalam pagelaran tersebut, mungkin tulisanku tidak akan banyak membahas tentang penampilan dan pertunjukkan secara keseluruhan dari bangku penonton, namun lebih pada pengalaman-pengalaman selama persiapan hingga konser dan thethek bengek tentang konser dari sudut pandangku.




Sumber gambar:
http://fc04.deviantart.net/fs4/i/2004/199/8/f/All_The_World__s_A_STAGE.jpg