April 30, 2015

Naik Naik ke Puncak Gunung, Tinggi.. Tinggi Sekali

Pernahkah terlintas di benak kalian sebuah gagasan, kalian tuliskan dalam daftar keinginan, kemudian hidup seolah menjauhkan kemungkinan perwujudannya melalui kesibukan ini dan itu, hingga gagasan dan keinginan mengendap dalam ingatan. Suatu ketika, alam seolah memberikan pertanda, membangkitkan ingatan kita pada keinginan lama itu. Hari berikutnya, kalian terbangun di tengah apa yang dulu hanya berupa gagasan, atau beberapa orang lebih memilih untuk menyebutnya mimpi. 

Sekiranya hal itulah yang kualami di penghujung tahun 2013 kemarin. Dua buah gagasan yang pernah masuk dalam daftar keinginan dan telah tenggelam dalam arus keseharian, akhirnya mewujud. Mengingat begitu beragamnya pengalaman yang kukecap dari kedua peristiwa tersebut, aku akan membaginya ke dalam dua tulisan terpisah. Agar sesuai dengan kronologi waktu, biarlah kumulai dengan yang pertama. 

Sejauh yang kuingat, meskipun aku dilahirkan di kaki gunung terbesar di pulau Jawa, gagasan untuk benar-benar naik ke puncak gunung baru muncul di bangku SMA ketika aku mengenal kelompok Pecinta Alam. Gagasan itu semakin kuat menjadi keinginan setelah membaca novel "5 Cm." masih di bangku sekolah yang sama. Lalu ia berubah menjadi mimpi yang aku sendiri merasa berat untuk mengupayakannya setelah tenggelam dalam ritme cepat kehidupan ibukota. 

4 November 2013, bertepatan satu tahun masehi meninggalnya adik kandungku, aku mencapai puncak tertinggi di pulau Jawa, puncak Semeru. Setelah diperkenankan menghirup udara gratis 23 tahun lamanya di bumi dan puluhan tahun sejak aku menyanyikan lagu "Naik-Naik ke Puncak Gunung", akhirnya aku dapat menyanyikannya dengan lantang dan bangga:

"Naik naik ke puncak gunung, tinggi.. tinggi sekali
Kiri kanan kulihat saja banyak pohon cemara"

Tulisanku selanjutnya merupakan jurnal perjalananku bersama teman-teman seperjuanganku menyambangi gunung yang tengah menjadi selebriti berkat buku dan film: Gunung Semeru. Aku mungkin tidak akan benar-benar membagikan sedetil mungkin pengalaman sepanjang pendakian karena memang ada hal-hal yang kurang berkenan dan cukup merusak suasana. Syukurlah, hal indah yang dapat kukecap jauh lebih manis dan menyenangkan untuk dibagikan di sini. 

...


Berangkat
Kami memulai perjalanan dari Stasiun Senen Jakarta pada tanggal 31 Oktober 2013. Kami di sini terdiri dari aku, Nino, Aven, Ale, Hasna dan Acong. Karena satu dan lain hal, perjalanan kereta kami cukup panjang tidak langsung menuju ke Malang. Kami berangkat dari Jakarta pukul 15.20 dan tiba di Kediri pukul 7.40 hari berikutnya untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Malang menggunakan kereta ekspres lokal dan sampai tujuan pukul 12.15. Sampai di stasiun Malang Kota, kami melanjutkan perjalanan menggunakan angkot yang kami carter menuju desa Tumpang, yakni lokasi yang dekat dari gerbang menuju Semeru. Setelah istirahat sebentar dan makan siang di Tumpang, kami melanjutkan perjalanan menggunakan truk ke Ranu Pane. 

Ada perubahan peraturan rute yang berlaku di jalur utama menuju Ranu Pane. Jika sebelum-sebelumnya Jeep dan Truk dapat mengantar pendaki hingga Ranu Pane, sekarang sudah ada satu poin pemberhentian kendaraan besar pengantar pendaki. Dari poin tersebut, pendaki harus berjalan kaki sekitar 3 Km untuk sampai di poin berikutnya yang dipenuhi oleh motor-motor ojek. Dari poin inilah pendaki akan diantarkan ke Ranu Pane.

Kami tiba di Ranu Pane dalam dua gelombang dimana aku, Nino dan Aven pertama sampai untuk mengejar registrasi yang tutup jam 4 sore. Belakangan petugas Kehutanan membatasi pendaki per harinya demi menjaga kondisi jalur Semeru. Apalagi melihat antusiasme pendaki Semeru yang terus meningkat dan mencapai puncaknya tahun ini. Ale, Hasna dan Acong menyusul karena Acong belum makan siang sejak dari Tumpang. Tadinya memang direncanakan kami akan langsung naik ke Ranu Kumbolo menempuh perjalanan malam. Tapi karena alasan penyesuaian suhu tubuh terhadap suhu Ranu Pane yang jauh lebih dingin dari Jakarta, kami memutuskan bermalam dan memulai perjalanan keesokan paginya. 

Ranu Kumbolo - Momen Intim dengan Alam

2 November 2013 pukul 8.35, perjalanan kami mulai setelah menyantap sarapan bubur instan. Mungkin ada baiknya aku perkenalkan sedikit lebih banyak nama-nama yang sudah kusebutkan. Acong adalah yang tertua di antara kami, dialah yang paling berpengalaman mendaki dan menurut penuturannya, ini adalah kali ketiga dia mendaki Semeru. Aven, teman satu angkatanku di kampus, baru tahun lalu mendaki Semeru, jadi kami cukup bersandar pada ingatannya yang masih segar dalam membimbing kami melewati trek pendakian. Ale, Nino dan Hasna adalah trio Kendari yang meramaikan hari-hariku selama pendakian yang mendadak berlogat Kendari. Jika dengan Ale yang masih satu angkatan aku cukup akrab, Nino dan Hasna adalah teman baruku. Nino adalah yang paling tinggi di antara kami, sementara Hasna adalah yang paling muda dan paling perempuan di antara kami. Maksudku, dia satu-satunya perempuan. Sama sepertiku, trio Kendari juga baru pertama kali melakukan pendakian ke puncak gunung. Dan dari kami berempat, mungkin akulah yang paling diragukan dan disangsikan untuk selamat naik-turun. :D

Perjalanan menuju Ranu Kumbolo berjarak tempuh kurang lebih 11 Km dengan jalur hutan melewati satu bukit. Karena perjalanan siang, suhu dingin tidak terlalu menyiksa dan pemandangan yang dapat kami nikmati membayar kelelahan kami. Ada total empat pos peristirahatan sebelum akhirnya sampai ke Ranu Kumbolo. Kami tidak benar-benar hanya berhenti di empat pos tersebut, apalagi dengan bawaan logistik yang sangat berat. Oya, di antara lima cowok, akulah yang membawa tas carrier paling ringan. Setelah beberapa kali berganti peran siapa yang jadi leader dan siapa yang jadi sweeper, aku menjadi orang pertama yang tiba di titik Ranu Kumbolo yang indah dapat dilihat jelas. Karena kesalahanku, kami tidak melewati pos terakhir dan malah mengitari danau dari sisi yang berbeda menuju area perkemahan. Pukul 13.50 kami tiba di spot pilihan untuk beristirahat dan membuat makan siang kami sebelum memutuskan untuk melanjutkan perjalanan atau istirahat lebih lama lagi. 

Setelah kabut tebal turun cukup membasahi area perkemahan dan dua buah tenda kami berdiri, kami sepakat untuk bermalam di Ranu Kumbolo, melanjutkan perjalanan keesokan paginya. Apalagi ditambah kondisi Ale yang kurang memungkinkan karena tiba-tiba saja dia sakit karena tidak kuat dingin. 

Aku ingat, usai santap makan malam, kami sempat bersenda gurau sebelum masing-masing beranjak ke alam mimpi. Waktu itu aku memilih duduk di luar tenda meski suhu dingin menusuk. Permukaan danau diselimuti kabut tebal seperti asap pada panggung pertunjukkan dan langit yang jernih berhiaskan miliaran bintang. Sambil menyeruput kopi yang dengan cepatnya menjadi dingin dan mengisap rokok yang kubeli di Ranu Pane, aku benar-benar menikmati malam itu sebagai momen intimku dengan alam.




Kalimati - Permulaan



3 November 2013 di jam yang hampir sama dengan hari sebelumnya, kami melanjutkan perjalanan. Jalur pertama yang harus kami lalui adalah Bukit Cinta yang belakangan ketenarannya bertengger di peringkat atas bukit-bukit di pegunungan Indonesia. Bodohnya, meski aku sadar betul legenda tentang Bukit Cinta sangatlah kekanakan, aku memikirkan satu nama ketika menaiki bukit yang menanjak hampir 45 derajat sambil benar-benar menahan diri untuk tidak menoleh. Legenda sialan! Hahaha..

Semestinya, bukit cinta berujung dengan pemandangan padang lavender yang ungu di baliknya. Sayangnya, berkat cuaca buruk yang menyelimuti Semeru sebulan belakangan, padang yang semestinya ungu tersebut berubah menjadi cokelat tua karena lavender yang kering. Maka kami melintasi padang lavender cukup cepat sampai ke poin selanjutnya, Cemoro Kandang. 




Perjalanan berikutnya mungkin cocok sambil menyanyikan lagu "Naik-Naik ke Puncak Gunung" karena treknya lebih banyak menanjak dan pohon cemara cukup melimpah di kiri kanan. Dalam perjalanan ini, aku lebih banyak berjalan dengan Hasna dan di sanalah logat Kendariku makin terasah. 




Tujuan kami selanjutnya adalah Kalimati, batas perkemahan terakhir sebelum pendakian yang sebenarnya menuju puncak Semeru. Seperti perjalanan-perjalanan sebelumnya, kami terpisah-pisah. Aku adalah orang ketiga yang tiba di Kalimati setelah Ale dan Nino. Mereka memang sengaja berjalan paling cepat agar sampai terlebih dahulu karena mereka yang membawa bahan makanan. Tujuannya, setidaknya nasi matang ketika kami semua sampai. Lucunya, dari kami berenam, hanya mereka berdua yang tidak membawa persediaan air. Alhasil, mereka harus mengambil air di satu-satunya mata air terdekat kurang lebih 2 Km dari lokasi perkemahan setelah aku sampai. 

Acong, Aven dan Hasna muncul terakhir hampir bertepatan dengan hujan deras yang tiba-tiba mengguyur. Setelah memindahkan barang-barang dan mendapatkan spot yang cukup lapang, mereka bertiga mendirikan tenda sementara aku berjaga di tempat awal menunggu Ale dan Nino kembali. Tanpa direncanakan, aku yang merasa mati gaya berdiri menunggu Ale dan Nino di tengah hujan yang mulai reda, memutuskan untuk menyusul mereka ke sumber air. Menurut informasi dari salah satu pendaki yang tengah beristirahat di tendanya, aku hanya perlu mengikuti jalur yang dibuat dari pasir. 

Sebenarnya aku berekspektasi akan bertemu mereka di tengah jalan atau tak jauh dari tempatku tadi. Nyatanya, ratusan meter aku berjalan, tak kunjung kutemui kedua temanku itu. Situasi mulai mencekam ketika tiba-tiba aku sadar betapa sendirinya aku saat itu. Lebih seramnya lagi, semakin jauh aku berjalan mengikuti jalur pasir itu, makin tidak masuk akal jalur yang kulalui. Ditambah tak satupun pendaki kutemui berpapasan padahal seingatku ada banyak pendaki yang mengambil air. Ketakutanku memuncak ketika kutemui batu besar menghalangi jalurku, yang segera kutepis dengan insting terus berjalan bahkan meski harus melewati jalur yang sangat sempit sekalipun.

Dan detik-detik menegangkan itu pun mulai cair ketika akhirnya aku berpapasan dengan satu dan dua pendaki yang bilang lokasi mata air sudah dekat. Benar saja, ada sekitar 15 pendaki yang ada di lokasi. Ternyata mata air yang dimaksud adalah satu buah pancuran yang mengalirkan air jernih tidak terlalu deras. Pendaki yang hendak mengambil harus mengantri. Ketika sampai, aku menghampiri Ale yang sedang berteduh di bawah tebing batu besar karena gerimis mulai turun lagi, sementara Nino sedang mengantri. Kalimat pertama yang dilontarkan Ale dan seketika membuatku melongo adalah "Orang-orang mengambil air sebelum sore karena kalau sore tempat ini berbahaya, Fa. Banyak harimau berkeliaran katanya."

Singkat cerita, setelah puas berfoto-foto dengan edelweis yang kami temui di jalan menuju tenda, kami pun sampai dengan membawa dua botol besar dan satu dirijen air jernih pegunungan. Sejak kami berkemah di Ranu Kumbolo, air telah menjadi barang berharga dan kami tak segan meminum air danau sekalipun. 


Di Kalimati, giliran Aven yang kurang sehat. Diputuskan, kami beristirahat sejak sore hingga malam untuk selanjutnya menentukan siapa saja yang akan melanjutkan pendakian ke puncak (summit). Aku sama sekali tidak bisa tidur pada saat itu. Selain karena tidak terbiasa tidur cepat, pikiranku justru sangat aktif dan berputar-putar hingga Acong membangunkan kami semua. Maka di saat yang lain memiliki bekal tidur yang cukup, aku akan naik ke puncak dengan kondisi belum tidur sama sekali. Sambil santap malam, masing-masing menimbang apakah akan lanjut atau tidak. 

Suhu 2 derajat dan angin yang bertiup sangat kencang bertalu-talu di luar tenda seolah membuat situasi semakin dilematis, khususnhya bagi Aven dan Hasna. Acong sudah bulat tidak melanjutkan pendakian dengan alasan kaki kanannya yang di malam sebelumnya sempat naik otot masih belum sembuh sepenuhnya dan dia merasa tidak yakin bisa turun meskipun dia bisa sampai ke puncak. Aven bahkan ragu bisa sampai ke puncak dengan kondisinya yang tidak fit. Hasna, satu-satunya kaum Hawa dalam tim kami, sangat ingin melanjutkan tapi sangat takut tidak dapat mencapai puncak, apalagi sepatunya sobek. Akhirnya, diputuskan aku, Ale dan Nino lah yang akan melanjutkan summit

Puncak
Perjalanan kami dimulai jam 23.20 bersama rombongan pendaki lain. Kami bertiga telah siap dengan perlengkapan dan logistik secukupnya dalam satu tas carrier yang dibawakan oleh Ale. Karena perjalanan malam dan angin bertiup sangat kencang, perlengkapan wajib adalah sebagai berikut: lampu kepala atau senter, pakaian hangat sehangat hangatnya meliputi tutup kepala, kacamata diutamakan yang bisa dipakai dalam gelap, masker, syal, sarung tangan, jaket gunung anti angin, sepatu mendaki yang kuat dan kokoh. 

Di awal perjalanan, Ale geli melihatku yang menggunakan tutup kepala dua, syal dua, sarung tangan dua, sweater dan jaket sekaligus, serta kaos kaki dua. Ale beranggapan dalam perjalanan yang terus menanjak nanti kami akan merasakan gerah. Aku pun berangkat dengan perlengkapan tersebut yang mungkin membuat berat badanku bertambah beberapa kilo. Satu-satunya yang luput adalah, aku mengenakan sandal gunung, bukan sepatu. 

Nino memimpin di depan, Ale yang membawa tas logistik di tengah, sementara aku di belakang. Mungkin lagu yang cocok dinyanyikan untuk sisa pendakian kami adalah "Naik-naik ke puncak gunung, tinggi..tinggi sekali. Kiri kanan kulihat saja, banyak pohon dan jurang."

Trek resmi dari Kalimati ke Arcopodo memang hanya satu, namun cukup berbahaya. Di samping trek yang terus menanjak dengan lebar lintasan yang lebih sempit dan hanya dibatasi pohon atau bebatuan, kanan kiri kami di luar trek mirip seperti jurang yang jika salah diinjak mungkin bisa mengundang maut.

Di Arcopodo, ada beberapa tenda yang ditinggalkan pemiliknya, tentu mereka adalah pendaki yang sudah sampai sejak siang atau sore dan memilih mendirikan tenda di Arcopodo ketimbang di Kalimati. Padahal, suhu di Arcopodo bisa membunuh orang. Literally. Itulah mengapa ada cukup banyak nisan di sana. 

Selewat dari Arcopodo, giliranku membawa tas logistik. Lebih tepatnya, sebelum memulai jalur paling berbahaya dari pendakian Semeru, yakni jalur pasir. Bayangkan sebuah jalur dengan kemiringan menanjak mungkin hingga 60 derajat yang permukaannya diselimuti oleh pasir, kerikil dan bebatuan ukuran sedang hingga besar. Ketika tiba di bibir pasir, sejauh mata memandang ke depan, yang bisa kulihat adalah kegelapan dengan beberapa titik lampu dari senter para pendaki yang telah lebih dulu naik. 

Benar pesan Aven untuk sebisa mungkin tidak melihat ke arah puncak ketika mendaki dan lebih fokus pada tanah (pasir) yang kita hadapi. Karena, ketika kita melihat ke arah puncak, titik terjauh kita adalah lampu senter pendaki yang berada paling depan. Tanpa sadar kita menganggap di sanalah puncak Semeru, padahal mungkin puncak sebenarnya masih sepuluh atau dua puluh kali lebih jauh dari titik tersebut. Maka tidak heran jika banyak yang memberikan julukan "Gunung PHP" pada Semeru. Di tengah perjalanan, keluhan-keluhan seperti 'Kok nggak sampai sampai si!' akan sangat wajar dan semakin sering terdengar.

Kurang lebih seperempat perjalanan telah kami tempuh. Beban tas carrier di punggungku membuat gerakanku paling lamban di antara yang lain. Di samping itu, karena kebodohanku memakai sandal gunung, bukannya sepatu, sepanjang perjalananku naik dan turun nanti, siksaan terbesarku adalah kerikil dan batu yang masuk ke dalam sandal dan serasa menusuk-nusuk telapak kakiku. Asal kalian tahu, kerikil dan bebatuan Semeru tidak bulat-bulat seperti di film, selain tidak berbentuk, banyak yang tajam. Melihatku yang bergerak lambat, Nino menawarkan untuk bergantian menggendong tas karena dari tadi Nino dan Ale selalu ada di depanku.

Benar saja, seolah separuh bebanku hilang dan langkah-langkah berikutnya terasa jauh lebih ringan. Sebagai gambaran, dataran yang kami hadapi memiliki kemiringan sangat curam dengan pasir dan kerikil tebal sebagai pelapisnya. Bayangkan ketika kalian menginjakkan satu kaki sejauh mungkin, ia akan tenggelam ke dalam pasir dan turun kembali hampir ke tempat awal. Banyak yang memberi perumpamaan "tiga langkah naik, dua langkah turun", artinya tiga langkah tenaga yang dikeluarkan hanya mengantarkan kita satu langkah lebih jauh. Jadi ketika kubilang ringan, murni hanya bagian punggung dan pundak yang terbebas dari tas carrier, tidak untuk bagian lain, tidak.

Semenjak awal perjalanan di jalur pasir, aku melihat Nino berubah drastis. Saking miringnya medan, wajar memang jika banyak yang akhirnya memilih berjalan merangkak menggunakan kaki dan tangan. Karena sejak awal aku menggendong ransel, maka aku memang sering merangkak untuk menjaga keseimbangan, tapi setelah tas berpindah ke Nino, aku bisa dengan tanpa takut berdiri dan berjalan di atas kedua kakiku saja. Tidak begitu dengan Nino yang sejak awal perjalanan, meski dia tidak menggendong tas, dia merangkak dengan kaki dan tangannya. Saat kutanya, dia hanya menjawab "Sa hanya takut sa jatuh." Sekarang, setelah menggendong tas, giliran gerakan Nino yang melambat, kelewat lambat malah. Sementara Ale yang sejak tadi menjadi sangat pendiam bergerak sangat cepat seolah lupa pada kami berdua. Yang lebih tidak kumengerti lagi, kira-kira di tengah perjalanan, Ale meminta izin untuk berjalan lebih dulu karena dia sangat kedinginan. Dia menunjuk satu titik di mana ada banyak lampu senter menggerombol, "Kita bertemu sana". Ya, memang di antara kami, pakaian dia yang paling tidak hangat. Maka tinggallah aku dan Nino di belakang.

Kira-kira setengah perjalanan, gerakan Nino yang sangat lambat justru sangat melelahkan untuk diikuti. Maka aku putuskan untuk membiarkan dia berjalan lebih dulu sementara aku duduk meluruskan kaki sambil menikmati pemandangan lampu kota Malang dan bintang-bintang yang bertebaran di langit. Setelah jarak kami cukup jauh, aku akan menyusul dengan ritme kecepatanku sendiri hingga aku sedikit menyusulnya untuk duduk kembali membiarkan dia berjalan di depanku lagi. Tapi setelah cukup lama menggunakan metode ini, aku malah mengantuk karena terlalu banyak istirahat. Akhirnya, tas carrier pun kembali ke punggungku. Dengan demikian, aku dan Nino memiliki ritme gerak yang sama. Kami pun bergerak beriringan dan tidak saling meninggalkan. Kami membuat target-target kecil, mulai dari jalan tiga menit, istirahat satu menit dan seterusnya sampai akhirnya mengesampingkan target waktu dan menggantinya dengan target langkah "25 langkah lalu istirahat, Oke?". Semakin tinggi dan semakin tebal pasir yang kami injak, 25 langkah mungkin hanya membawa kami 10 langkah lebih jauh.

Energi kami nyata-nyata terkuras hingga di 3/4 perjalanan. Kami tidak kunjung bertemu dengan Ale yang pada titik ini entah berada di mana. Aku dan Nino makin sering istirahat namun tetap saling mendukung satu sama lain. Dalam hal ini, siksaan dan penderitaan terbesarku adalah kaki yang serasa disayat sayat, sementara Nino memiliki masalah lain. Dia memang belum menyampaikannya padaku, tapi raut mukanya bercerita banyak. Gerakan merangkak yang dia pertahankan hingga sejauh ini sejak permulaan, ekspresi yang senantiasa kosong seperti orang ketakutan, hingga keputusannya untuk tidak duduk saat kami istirahat (dia memilih berhenti dan tidak bergerak sama sekali sementara aku berbalik badan untuk duduk meluruskan kaki sambil menghadap ke udara bebas). Memang pada akhirnya aku berhasil memaksanya untuk duduk karena pasti sangat melelahkan mempertahankan posisi yang sama sepanjang perjalanan.

Jam tanganku menunjukkan waktu pukul 4 dini hari. Langit masih gelap, dan jarak terjauh lampu sorot di atas masih tidak berubah dengan jarak kami. Aku berkali-kali merutuk dalam hati "Kapan sampainya? Kapan sampainya? Kapan sampainya?" sementara Nino tetap menjadi pendiam. Cokelat dan air sudah berkurang hampir separuh setelah kami makan dan minum  di beberapa titik istirahat. Ale belum juga kami temui. Jujur aku kesal pada saat itu karena hal terakhir yang kutahu, dia meminta izin jalan lebih dulu dan berjanji akan menunggu kami di satu titik, tapi sekarang dia menghilang begitu saja. Sementara Nino lebih merasa khawatir karena logistik ada di tas yang kubawa, dengan kata lain Ale tidak akan bisa makan atau minum sepanjang perjalanan ke atas. Tiba-tiba aku merasa bersalah karena kesal padanya.

Hingga garis merah di langit sisi kiri kami muncul, kami tahu kami tidak akan sampai di atas pada saat matahari terbit. Pupus sudah harapan menyaksikan sunrise dari puncak Semeru. Dan di saat mulai terang seperti ini, kami dapat melihat sekeliling kami jauh lebih jelas. Aku melihat betapa panjang jalur yang telah kami lewati dan betapa banyak pendaki yang sama-sama berjuang bersama kami baik di atas (depan) maupun yang masih di bawah (belakang) kami. Jam 5.30, kabar gembira yang dapat dipastikan bukan kabar palsu pun kami dengar, bahwa "sebentar lagi sampai". Memang, kata-kata itu menjadi semacam kata-kata penyemangat sekaligus kebohongan sepanjang perjalanan malam tadi. Tapi kali ini, aku bisa melihat bebatuan besar yang di baliknyalah puncak Semeru. Hingga detik-detik terakhir mendekati bebatuan besar tersebut, aku dan Nino merangkak tidak hanya menggunakan kaki dan tangan tapi juga dada kami, saking habisnya energi.

Aku sampai di depan bebatuan besar lebih dulu, lalu menyemangati Nino "Ayo No! Dikit lagi!", ketika tiba-tiba Ale muncul dari balik bebatuan. Perasaanku campur aduk antara lega akhirnya bertemu dengannya dan kesal karena dia meninggalkan kami berdua. Bahkan sebelum aku bertanya "Bagaimana sunrise-nya? Bagus?" Ale dengan cepat, lagi-lagi, meminta izin untuk berjalan lebih dulu. Aku hampir meledak saat itu. Setelah dia berjalan lebih dulu naik dan sampai di puncak lebih dulu, sekarang dia akan berjalan turun lebih dulu juga? Keadaan semakin di luar kendali dan dialog demi dialog berikutnya mungkin sedikit dramatis seperti adegan film

"Fa, ini sudah di luar batas saya. Saya tidak bisa lagi naik ke atas. Saya phobia tinggi, Fa. Kamu lanjutkan saya ke puncak, foto-foto, kalau boleh, saya mau nyusul Ale turun," Nino menjelaskan sambil berusaha keras menahan diri untuk tidak freak out karena akhirnya dia melihat ke bawah setelah semalaman hal yang paling menakutkan baginya tidak nampak karena gelap.

"Bentar bentar! Nggak bisa gitu donk No. Kita sampai atas bareng-bareng, sampai puncak juga harus bareng. Kalau lu ngerasa nggak bisa sampai puncak yaudah gue juga ga usah ke puncak!" nada bicaraku yang awalnya kujaga tetap tenang pun meninggi di akhir kalimat.

"Kalau gitu kita istirahat dulu Fa. Saya perlu sarapan," akhirnya setelah jeda cukup panjang.

Jadilah kami beristirahat di balik batu tempat Ale muncul tiba-tiba, menyantap satu bungkus roti yang kami bawa, sambil menunggu Nino merapikan kembali keberaniannya. Bahkan ketika kami melewati bebatuan besar dan puncak sudah nampak di depan mata, Nino lagi-lagi terduduk lemas dan tidak mau melanjutkan untuk sekedar meresmikan pendakian kami ke titik tertinggi, bukan hanya bisa mengendus udaranya dari dekat. Aku teringat kata-katanya di salah satu peristirahatan kami ketika aku akhirnya berhasil memaksanya untuk berbalik badan dan duduk menyaksikan keindahan langit dan lampu kota, "Kita sudah hampir sampai Fa. Nanti sampai di atas kita berpelukan. Oke?" lalu dia tersenyum. Sekarang, bahkan ketika bendera merah putih yang ditancapkan di puncak dan berkibar-kibar telah nampak jelas, dia mau menyerah.

"Nino! Entah lu inget atau nggak, semangat lu tadi itu luar biasa. Dan setelah lu bisa ngelawan rasa takut sampai titik saat ini, lu tinggal beberapa langkah lagi dan lu mau nyerah?" kubiarkan kalimatku menggantung di udara, "Kalau lu keras kepala, gue juga bisa keras kepala. Gue nggak akan ke sana (sambil menunjuk area di mana para pendaki mengambil foto dan berpose dengan ekspresi puas), kalau lu juga nggak ke sana. Kita foto-foto di sini juga nggak apa-apa. Udah cukup kita kehilangan Ale dalam tim kita, gue nggak mau jadi satu-satunya yang berhasil nginjekin kaki ke titik tertinggi itu. Titik."

Well, setidaknya kalimat-kalimat itulah yang ada di kepalaku saat itu. Entah seperti apa bentuk penyampaianku pada Nino, aku lupa. Yang jelas aku berhasil sekali lagi memaksanya melawan rasa takutnya. Kami pun menginjakkan kaki kami di titik tertinggi Semeru, 3676 mdpl.

Tadinya kami berharap matahari yang sudah penuh dapat sedikit menghangatkan tubuh kami di tengah suhu yang mungkin minus di puncak. Nyatanya, dingin dan angin yang bertalu-talu hanya mampu membuat kami bertahan di puncak sekitar sepuluh menit. Jam sudah menunjukkan pukul 6.30 ketika kami memutuskan untuk turun. Tujuh jam untuk sepuluh menit.





Akhirnya, tibalah kita pada adegan dramatis terakhir antara aku dan Nino, dimana Nino lagi-lagi kalah oleh rasa takutnya dan merasa tidak sanggup berjalan turun dengan pemandangan dari ketinggian yang akan terus menerus dia hadapi. Aku hampir tidak mau komentar dan bersusah payah ceramah lagi saking kesalnya. Maka aku hanya menunggu dan menunggu sambil kedinginan dan (kakiku) kesakitan.

Hampir tiga puluh menit kami berdiam diri.

(Nino yang merenung sambil berjuang melawan takut)

"Nino," aku memulai dengan sangat hati-hati, "Ketakutan lo itu ada di dalam pikiran. Dan dia akan tetap ada bahkan tumbuh ketika lo justru mikirin hal-hal yang bikin lo takut. Coba deh, sekarang mulai pikirin hal-hal yang bikin lo seneng."

"Nggak bisa saya, Fa. Ini udah di luar batas."

"Coba dulu No. Coba."

"Nggak bisa," aku mendengar suaranya mulai bergetar.

"Yaudah! Sekarang pikirkan ini baik-baik! Kalau lo nggak mau turun, oke. Tapi lo tahu kan akibatnya? Mungkin lo akan mati di sini No! Bisa apa lo diem di sini nyerah dan ngebiarin rasa takut ngelumpuhin lo? Pelan-pelan lo akan mati dan semua pengalaman dan memori kita ngelakuin perjalanan ini juga akan mati. Ya. Kita! Karena kalau lo nggak mau turun, gue juga nggak akan turun. Sekarang gue tanya, lo mau mati di sini? Gue si enggak! Gue mau balik dari sini sesakit apa kaki gue, secapek apa badan gue. Gue mau turun, balik lagi ke tenda, dan pulang ke Jakarta, ke rumah. Gue mau cerita ke semua orang yang deket sama gue pengalaman gue di sini. Gue mau bagi ke sebanyak mungkin orang betapa Indonesia ini luar biasa. Tapi lagi-lagi, gue balik ke statement awal, gue nggak akan sendiri dan nggak akan biarin lo sendiri. Sekarang ambil waktu dan gue serahin sepenuhnya ke lo. Gue tunggu jawabannya."

Tak disangka, tak perlu waktu lama untuk akhirnya dia mau turun meski dengan menyeret pantatnya dalam posisi duduk. Kali ini, aku akan ajak kalian berfantasi lagi. Bayangkan medan turunan curam dengan lapisannya adalah pasir dan kerikil. Pasir yang kalian injak memang akan tenggalam, tapi karena perjalanan kita kali ini menurun, longsornya pasir justru meringankan langkah kita. Percayalah, berjam jam kami tempuh untuk naik sampai puncak, tidak ada satu jam kami turun sampai di Arcopodo. Jika naik terasa berat dan penuh derita, turun ini justru ringan dan menyenangkan.

Nino yang awalnya tidak mau mencoba dan keukeuh dengan menyeret pantatnya di pasir sambil turun, akhirnya mau mencoba setelah untuk terakhir kalinya aku bersikap seperti orang tuanya yang kehilangan kesabaran oleh tingkah laku anaknya. Aku tarik paksa tangannya dan kutuntun untuk langkah demi langkah menginjak pasir menurun. Setelah beberapa langkah dia menemukan ritmenya, dia melepaskan tanganku dan sedetik kemudian telah jauh meninggalkanku di depan. Tragis memang, sementara aku masih harus menderita karena kaki yang rasanya seperti hancur dan harus beberapa kali istirahat membuang kerikil yang masuk ke dalam sandal, Nino malah seperti lupa dan terus berjalan jauh meninggalkanku.



Dari Arcopodo kembali ke Kalimati adalah hal lain. Setelah energi terkuras dan kaki remuk, langkahku sangat lambat. Jam setengah sepuluh pagi kami baru sampai tenda, mendapati Ale sudah pulas tidur. Aku sebenarnya berharap aku masih bisa beristirahat di Kalimati, kalau perlu bermalam di sana untuk kemudian melanjutkan perjalanan besoknya. Tapi Acong sudah menetapkan kami akan melanjutkan perjalanan jam 11. Apa boleh buat, tidak ada satu jam aku memaksakan istirahat, kami berangkat kembali menuju Ranu Kumbolo.

Jika boleh jujur, aku sudah kehabisan semangat dan sikap positif. Sisa perjalanan kami pulang ke Ranu Pane, aku merasa menjadi orang yang sangat merepotkan. Tiba di Ranu Kumbolo, hujan turun. Aku yang sudah sangat malas dan hampir tak mau memikirkan apapun malah membiarkan diriku kehujanan sementara yang lain bergegas mencari tempat berteduh. Lalu saat kami beristirahat di Pos 4 (lepas dari Ranu Kumbolo menuju Ranu Pane), aku hanya berganti pakaian kering dan tidak mau makan sementara yang lain makan siang. Dalam kepalaku saat itu adalah aku bisa cepat-cepat sampai Ranu Pane dan bisa tidur sepuasnya.

Ternyata keputusan bodohku justru membawa petaka. Perjalanan kembali ke Ranu Pane kami mulai jam 15.40. Dalam keadaan normal, paling lama jam 18.30 kami sudah bisa sampai Ranu Pane. Tapi aku membuat rombongan kami begitu lambat. Nino dan Hasna berangkat sekitar 45 menit lebih dulu, disusul aku dan Ale, lalu Aven dan Acong. Aku yang tiba-tiba mendapat semangat baru, berjalan begitu cepat meninggalkan Ale, Aven dan Acong. Aku terus berjalan tanpa beristirahat karena aku tahu betul setiap aku berhenti, energi dan semangatku akan ikut berhenti dan kadang tertinggal di sana. Ketika akhirnya melewati pos 3, langkahku mulai melambat. Tak lama kemudian, Acong menyalipku setengah berlari, diikuti Aven dan Ale, mereka benar-benar berlari. Aku biarkan saja mereka lewat karena aku mulai lelah dan kedinginan.

Hari mulai gelap, langkahku makin berat meski belum sekalipun aku hentikan untuk istirahat. Namun teman-temanku tidak nampak dan aku mulai merasa takut. Aku membayangkan jika mereka meninggalkanku, artinya aku harus melewati hutan ini seorang diri di tengah kegelapan. Iya kalau aku bisa sampai ke sana. Bagaimana jika aku pingsan, atau jatuh ke jurang, atau salah jalur? Saat pikiran-pikiran itu muncul, Ale dan Aven muncul. Ternyata mereka menungguku. Sedikit ada kelegaan meski tiba-tiba semangatku luntur. Ketika aku sendiri tadi, aku merasa harus kuat dan harus terus bergerak. Namun saat aku bersama mereka, aku menjadi lemah dan sering istirahat. Seolah aku berpikir, toh ada mereka jadi aku pasti selamat meskipun lemah dan malas. Padahal yang aku rasakan saat itu dan yang paling menyiksaku adalah: aku hampir belum tidur sejak kemarin dan telah menempuh pendakian ke puncak, aku kehujanan dan kedinginan, aku belum makan dan perut kosong, kakiku masih sakit bukan main. Satu persatu dan kadang sekaligus, hal-hal tersebut menyerangku, merontokkan semangat dan sikap positifku.

Ketika akhirnya aku, Ale, dan Aven bertemu Acong, Nino dan Hasna yang sudah menunggu di Pos kedua, aku makin menyebalkan. Sisa perjalanan itu, aku menjadi beban untuk mereka semua. Aku berjalan terseok-seok, sesekali menggigil, pandangan tidak fokus, lambat, dan terlalu sering minta istirahat. Nino bahkan akhirnya membawakan tas carrierku, sementara tas carriernya sendiri begitu besar dan tinggi menjulang. Aku yang hanya membawa diri ditopang tongkat yang kutemukan di perjalanan waktu sendiri tadi, seperti kakek tua renta yang hanya bisa menyusahkan. Aku memang tidak banyak bicara dan menolak hampir semua tawaran bantuan mereka, karena aku tidak mau semakin menyusahkan. Namun sikap ini justru jauh lebih menyebalkan, karena mereka tak tahu apa mauku, dan apa yang harus mereka perbuat menghadapiku.

Selewat pos pertama, ketika jarak ke Ranu Pane akhirnya ditempuh di atas aspal, jalanku dengan tongkat temuanku makin tak jelas. Berkali-kali aku jalan miring, menjatuhkan tongkat, menjatuhkan kacamata, berhenti menggigil, namun tiap mereka menawariku untuk digendong, aku menolak. Hingga akhirnya, Acong yang mungkin sudah sangat kesal menghadapiku, menggendongku paksa, setengah berlari, membawaku ke pos peristirahatan Ranu Pane tempat pertama kami bermalam.

Kedatangan Acong dengan aku di punggungnya menarik perhatian pendaki-pendaki lain yang tengah istirahat juga di sana. Hebatnya, mereka menyambut kami seperti bagian dari rombongan mereka. Seketika mereka tahu bahwa aku terkena hypothermia karena suhu badanku yang dingin dan nampak terus turun, badan menggigil, kesadaran hanya separuh. Seketika mereka menyiapkan tempat untukku berbaring, salah satu dari mereka mengajakku bicara, memperkenalkan diri, memintaku untuk tidak tidur. Sangat penting untuk penderita hypothermia tetap terjaga. Salah-salah, ketika dia tertidur, dia tak bisa bangun lagi karena suhu badannya terus turun hingga habis. Maka satu persatu dari mereka yang mengerubungiku merawatku, mengganti pakaian basahku, meminjamkanku segala pakaian hangat mereka, menyuapiku makanan, menempelkan barang-barang panas di badanku untuk menjaga suhu, mengajakku bicara. Dalam keadaan normal, perlakuan mereka mungkin akan sangat annoying karena mereka terus membuatku sibuk sementara yang kuinginkan sejak tadi adalah tidur. Beberapa kali aku memintanya dan mereka melarangku dengan halus. Antara kesal dan terharu karena aku tahu betul mereka justru mengkhawatirkanku, orang asing yang baru mereka temui.

Aku tak ingat nama mereka satu per satu, bahkan sekarang aku tak ingat muka mereka, yang kuingat, mereka banyak datang dari Jakarta juga. Setelah perut terisi dan suhu kembali normal, mereka mengizinkanku tidur. Aku tak tahu bagaimana dengan Nino, Ale, Hasna, Aven dan Acong di luar sana. Aku ingin mengkhawatirkan mereka, namun keinginanku untuk tidur mengalahkan segalanya.

Keesokan paginya, aku terbangun diantara orang-orang asing yang serasa seperti teman serombongan sendiri yang semalaman sibuk ke sana kemari melakukan segala hal untuk memulihkan kondisiku dan membiarkanku istirahat bersama mereka. Ingin sekali rasanya aku mengingat mereka semua dengan nama dan kontak, agar di masa depan setidaknya aku bisa berterima kasih dengan cara yang lebih baik. Dan akhirnya aku hanya diam melihat mereka satu persatu, berusaha mengingat-ingat yang mana yang memijitku, yang mana yang menyuapi beng-beng, yang mana yang memberiku rokok, yang mana yang membuatkanku mie rebus, yang mana yang pertama kali mengenalkan diri. Gagal. Aku tidak ingat. Maka aku menunggu mereka bangun satu per satu. Ketika masing-masing mulai packing dan beraktivitas, aku berkeliling, menyalami mereka satu per satu, tak henti-hentinya berterima kasih. Mereka telah menjadi penyelamatku. Lalu aku pamitan, dan menuju ke tenda timku yang mereka dirikan di depan. Acong, Hasna dan Aven sedang menyiapkan sarapan, sementara Ale dan Nino masih tidur. Aku ingin sekali mengucapkan terima kasih dan membuat satu 'scene' drama terakhirku dalam perjalanan ini, bahwa mereka telah sangat luar biasa menghadapiku, dan aku sangat berterima kasih pada mereka, namun aku hanya diam sambil senyum-senyum sendiri, apalagi setelah Aven menggodaku karena mendapat perlakuan istimewa dari banyak orang. Hahahaha...

“Wherever you go becomes a part of you somehow.”
Anita Desai



(Ditulis sesaat setelah turun dari gunung, diselesaikan 30 April 2015)
*foto-foto lain menyusul ya

April 24, 2015

Catatan Pembuka



"I'm afraid, if I don't choose a path soon, life will choose one for me."
― Human of New York (Facebook Page)

Kalimat tersebut meninggalkan kesan istimewa saat kali pertama aku membacanya. Tidak hanya membuatku mempertanyakan jalan hidup yang telah dan sedang kulalui, angan dan mimpi yang seakan menua, muncul kembali. Hebatnya arus kebutuhan yang telah menggilas sadis bumbu-bumbu kehidupan, menyisakan hanya lajur demi lajur rutinitas yang diam-diam justru mematikan.

Aku menyusuri waktu, kembali ke masa enam tahun lalu, saat awal kedatanganku di kota rantau yang jauh dari ayah ibu. Aku datang dengan bekal mimpi, cita-cita, angan, khayalan tingkat tinggi, dan tak sedikit fantasi. Tak peduli setinggi apa mereka semua, kutuliskan satu demi satu pada selembar kertas baru. Dan rasanya, belum satupun mewujud sesuai bayanganku dulu.

Hidup memang penuh kejutan dan ketidakpastian. Sedemikian rapi dan rinci alur yang kubuat untuk ceritaku, hidup selalu punya cara untuk membelokkannya, menukiktajamkannya, bahkan meremukkannya berkeping-keping. Tugas manusialah untuk memaknai tiap kejadian, untuk lalu berreaksi, bukan sekedar merutuk dan meratapi. Sayangnya, tingkat kesadaran ini lebih sering mati suri, mungkin juga akibat rutinitas sehari-hari.

Aku, di penghujung usia 24 tahun, jelang seperempat abad kehidupanku, memutuskan untuk berreaksi pada gejala demi gejala aksi yang hidup berikan padaku. Aku, calon sarjana manajemen dengan masa studi lebih lama dari semestinya, yang lebih tertarik mendalami dunia kepenulisan dan seni lukis, memutuskan untuk berhenti diperdaya hidup, dan menentukan sendiri nasib demi nasib yang tak pernah menentu. Lebih pastinya apa itu, nanti kalian akan tahu.

Untuk segala risiko dan tantangan yang menanti di depan, aku nyatakan kesiapan, meski dengan sedikit ketakutan. Semoga kesiapanku dapat menjadi obor semangat saat menghadapi masa-masa sulit dan rasa takutku bisa menjadi pengingat di saat keadaan di atas awan, bahwa ketidakpastian itu abadi, maka tak sepantasnya kita congkak dan arogan.

Maka izinkan kututup catatan pembuka ini dengan satu kutipan favoritku, dari seorang penulis hebat yang sudah jauh lebih dulu memahami potensi keindahan sekaligus akal busuk kehidupan, maka dengan penuh kesadaran ia turut berperan aktif dalam memegang kendali hidupnya, sekecil apapun itu.

“There is only one thing that makes a dream impossible to achieve: the fear of failure.”
― Paulo Coelho, The Alchemist

Januari 19, 2014

Rain in January


I love rain in January
Though it pours daily
It cures my little weary
Thoughts of you especially

I hate rain in January
Besides the floods around the city
It keeps me getting angry
About thoughts of you especially



 Jakarta, 18012014


______________________________________________________
Pict Source: http://indosurflife.com/wp-content/uploads/2012/12/RainDrops.jpg

Desember 19, 2013

Dari Soekarno hingga Muhammad

“Sometimes beautiful things come into our lives out of nowhere. We can't always understand them, but we have to trust in them. I know you want to question everything, but sometimes it pays to just have a little faith.” 
― Lauren KateTorment


Berawal dari rasa penasaranku setelah membaca ulasan seorang teman tentang film karya Hanung Bramantyo yang beberapa hari lalu mulai tayang di bioskop, malam ini berakhir dengan dua buah film Indonesia yang kutonton secara maraton: "Soekarno" dan "99 Cahaya di Langit Eropa". Tulisanku kali ini bukanlah ulasan secara mendetil tentang kedua film tersebut, melainkan catatan pribadi tentang kesan dan pengalaman yang timbul usai menonton kedua film tersebut dikaitkan dengan kejadian yang kualami dalam kehidupanku belakangan. 

Baiklah, kita mulai dari "Soekarno" yang berhasil membuatku menitikkan air mata dan beberapa kali terharu berkat racikan adegan, dialog, music score, dan keindahan gambarnya. Hanung Bramantyo menunjukkan kelasnya dalam dunia perfilman melalui karya terbarunya ini. "Soekarno" bercerita tentang perjuangan sang Proklamator Indonesia, presiden pertama RI sekaligus pencetus Pancasila, Soekarno dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Pelajar yang benar-benar membaca buku sejarah dan para sejarawan pasti setuju bahwa film ini hanya menceritakan sekelumit sepak terjang Bung Karno di Indonesia. Namun adegan demi adegan yang ditayangkan dalam alur cerita film cukup menggambarkan seorang Bung Karno yang pandai menarik hati rakyat melalui pidato-pidatonya, cinta pada tanah air dan rakyatnya, tidak takut pada penjajah, serta mudah jatuh hati pada perempuan. 

Setelah dua jam lebih dimanjakan dengan visualisasi mengagumkan perpaduan akting ciamik para aktor, pilihan apik tempat dan gambar yang mewakili latar waktu cerita, dialog-dialog cerdas, kuat, dan pada beberapa adegan menggetarkan hati, serta keindahan music score yang classy namun tidak membosankan, pikiranku tertaut pada satu adegan di dalam mobil. Bung Hatta 'mempertanyakan' dirinya sendiri (dan Bung Karno yang ada di sampingnya) apakah mereka siap memimpin Indonesia yang begitu besar dengan banyaknya penduduk yang ada, apakah mereka dapat menjamin di masa mendatang tidak terjadi kesenjangan antar daerah di Indonesia dan mereka dapat mengelola kekayaan Indonesia dengan baik hingga menyejahterakan rakyatnya. Setelah akhirnya Bung Karno menjawab tegas "Siap!", dia menambahkan yang kurang lebih begini, "Lebih baik kita yakin dan melakukan sesuatu meski pada akhirnya mungkin gagal atau salah, daripada bersembunyi di balik kekhawatiran dan terlalu takut untuk melakukan apa-apa". 

Diam-diam aku tersentak, tidak hanya oleh dialog padat yang heroik dan penuh arti tersebut, namun oleh alam sadar dan ingatanku akan pengalaman hidup yang tengah kuhadapi. Dalam enam bulan terakhir, aku menjalani hidup seolah bersembunyi dari kekhawatiran dan ketakutan-ketakutan yang aku sendiri tak pernah hadapi langsung, tentang masa depan, tentang mimpi-mimpiku yang dianggap kecil dan kurang berarti, tentang langkah yang akan kutempuh. Aku memilih berdiam dan menunggu apa yang akan aku temui dan dapatkan, bukan maju untuk mengambil langkah-langkah sendiri dan mencoba meski mungkin gagal atau malah salah. Bahkan ketika akhirnya aku sadar dan mulai menyusun keberanianku untuk beranjak dan menyingkirkan tembok kekhawatiran itu, dengan mudahnya aku kembali ke balik tembok hanya karena dianggap "sok tahu" dan sombong. 

Belum hilang sensasi sentakan adegan tersebut, tiba-tiba pandanganku tertuju pada poster film "99 Cahaya di Langit Eropa". Ketika kutanya pada sahabatku yang ternyata sudah menonton film tersebut, dia terdiam sejenak untuk akhirnya mengekspresikan bagaimana film tersebut dapat membuatnya makin mencintai Islam. Lagi-lagi sebuah ingatan menyesak keluar dan cukup menyakitkan, yakni ketika tiada angin dan hujan tiba-tiba aku dihadapkan pada pertanyaan "Apa pendapatmu tentang Allah juga mungkin salah?" Pertanyaan yang diawali dengan pertanyaan pembuka "Tahukah kamu bahwa Al Qur'an menyebutkan bumi ini datar?", kemudian berlanjut pada pernyataan pribadinya bahwa agama yang kuanut merupakan agama dengan obligasi paling banyak dan berat. Tiba-tiba disampaikan pula cerita tentang sahabatnya yang keluar dari Islam setelah pencarian panjang yang berakhir pada perasaan telah dibohongi berpuluh-puluh tahun lamanya oleh keyakinannya selama ini. Entah apa maksud dan tujuannya, aku mengambil satu pesan positif pada saat itu, tentang kelebihan manusia memiliki akal untuk berinterpretasi dan dibebaskan mengambil keputusan dalam hidup. 

Meski lanjutan cerita-cerita yang menyiksa tersebut adalah tentang kehidupan, fenomena masa kini, dan lebih merucut pada masa depanku, rasa sakit akibat cerita-cerita dan pertanyaan menyudutkan yang membuatku seolah tak berdaya dan tak mampu membela diri itu membekas hingga sekarang. Maksudku, aku memang belum menjadi muslim yang memahami Islam sepenuhnya dan masih pada taraf melakukan ibadah karena perintah-Nya atau meninggalkan sesuatu karena larangan-Nya. Maka ketika aku dihadapkan pertanyaan-pertanyaan yang meyangsikan keyakinanku tersebut dengan dasar-dasar logika yang kuat, bisa dipastikan aku akan bungkam, karena aku memang belum tahu jawabannya. Berkat rasa sakit itu dan komentar sahabatku tentang film "99 Cahaya di Langit Eropa", kakiku langsung menuju loket untuk membeli tiket film yang dijadwalkan akan tayang 20 menit lagi itu.

Secara teknis film, mungkin tidak adil jika aku membandingkan antara film "Soekarno" yang kutonton sebelumnya dengan "99 Cahaya di Langit Eropa" garapan Guntur Soeharjanto. Oleh karenanya, aku mempersilakan para pembaca untuk menonton sendiri film tersebut dan menikmati scene-scene indah pojok-pojok Vienna dan Paris yang menjadi latar film yang ternyata seri pertama ini. Mungkin saranku, janganlah menonton kedua film tersebut berurutan sepertiku karena secara tanpa sadar kau akan membandingkan kedua film tersebut secara teknis. 

Pesan penting yang sangat kuat kutangkap dari film ini adalah bahwa seorang muslim, dimanapun ia berada, selayaknya berperan sebagai agen Islam yang membawa kedamaian di muka bumi. Seperti kisah Nabi Muhammad SAW yang melanjutkan perjuangan Abu Bakar ash Shiddiq memberi makan seorang Yahudi tua yang tak dapat melihat bahkan menyuapinya meski orang tersebut, yang mengira Muhammad adalah Abu Bakar, tak henti-hentinya memaki-maki sang Nabi ketika beliau tengah memberinya makan. Salah seorang tokoh dalam film, muslimah asal Turki yang sering mendapat perlakuan kurang menyenangkan di Austria, membayarkan makan dua orang turis Inggris yang sebelumnya mengolok-olok Turki dan Islam. Baginya, kebencian tidak semestinya dilawan dengan kebencian karena hanya akan menyulut api. Dia dengan caranya sendiri, justru menampakkan wajah Islam yang damai dan penuh kasih. Bagiku, film ini memberikan keindahannya sendiri yang tidak dapat digambarkan dan dijabarkan dengan kata-kata. Setidaknya, keresahanku sedikit terobati, meski tidak sepenuhnya dilegakan. 

Masih di bawah pengaruh rasa sakit yang kusebutkan tadi, sesampainya di kamar, aku kembali mencari dan mencari apa yang mungkin dapat melegakan hatiku. Sedetik berikutnya, di hadapanku terpampang halaman website tentang tanya jawab antar agama yang justru menyudutkan Islam, perbandingan penulis dengan agama yang dianutnya. Bukannya aku anti dan berhenti, aku malah menuntaskan bacaan panjang tersebut, dan mengarahkan kursorku menyorot kolom "Muhammad". Lagi-lagi aku teringat pada cerita tadi, bahwa dalam pencarian spiritual sang Sahabat yang akhirnya keluar dari Islam itu, berbagai sosok Illahi muncul seperti Yesus, Gandhi, bahkan Budha, namun tidak ada Muhammad di sana. Benar saja, tulisan-tulisan tentang Muhammad dalam website tersebut benar-benar mencitrakan negatif sosok Muhammad yang selama ini kupercaya sebagai teladanku. 

Keraguan dan kegamangan semacam ini pasti pernah dialami oleh muslim di berbagai penjuru dunia pada berbagai era. Bagiku, pertanyaan dan keraguan ini justru memacuku untuk terus mencari. Aku masih mengingat sosok Marina Silvia K. yang melakukan perjalanan spiritualnya justru ke India dan Thailand, tempat Hindu dan Budha berkembang pesat, serta pertemuan dan interaksinya dengan sahabat-sahabatnya di penjuru Eropa baik yang Kristen, Katholik, Agnostik, hingga Atheis. Segala pengalaman tersebut ia tuangkan dalam dua bukunya "Back 'Euro' Pack: Keliling Eropa 6 Bulan hanya 1000 Dolar" dan "Jingga: Perjalanan ke India dan Thailand Mencari Surga di Bumi". Pertanyaan dan keraguannya justru mengantarkannya pada pengalaman spiritual yang hanya dia yang tahu betapa dahsyatnya. Aku juga masih mengenal sosok Fahd Djibran, penulis yang sekaligus mantan seniorku di kampus dulu, yang berhasil menuangkan keindahan Islam dalam karya-karyanya yang tidak menggurui dan dibalut dengan logika yang kuat. Orang-orang seperti mereka tentunya telah menempuh perjalanan spiritualnya masing-masing hingga akhirnya teguh pada keyakinannya dan, meminjam istilah dalam film yang baru kutonton, menjalankan perannya sebagai agen Islam yang tak perlu diragukan lagi. 

Sebenarnya aku ingin berterima kasih pada Bung Karno, Marina Silvia K., Kang Fahd, dan siapapun yang berhasil menggoyah imanku. Dalam satu malam, kalian berhasil membangunkan serigala putihku yang telah lama tertidur. Aku tidak akan lagi membiarkan langkahku terhenti oleh kekhawatiran dan ketakutan yang tidak benar-benar kuhadapi untuk mewujudkan mimpi-mimpiku. Aku tidak akan lagi berdiam apalagi bersikap kalah ketika Agamaku, Tuhanku, dan Nabiku dipojokkan oleh orang. Aku tidak akan pernah berhenti menjelajah bumi untuk mencari tanda-tanda kebesaran-Nya karena aku ingin tunduk sujudku tidak hanya berdasar pada perintah belaka, namun ada cinta di sana. 

“Love, like everything else in life, should be a discovery, an adventure, and like most adventures, you don’t know you’re having one until you’re right in the middle of it.” 
― E.A. BucchianeriBrushstrokes of a Gadfly


---
Sumber gambar:

September 27, 2013

Pungguk


"Bagaikan pungguk merindukan bulan". 

Peribahasa selalu mengena sekaligus menohok saat konotasi dan kiasan terdengar begitu denotatif dan nyata. 

Ah, si Pungguk harus berhenti menatap idolanya, sang Bulan, sebelum dia tergerak melakukan upaya. Rasa sakitnya bukan ketika terjatuh, namun ketika sesal menyusulnya. Sesal karena dia tahu kapasitasnya yg tak akan pernah menjangkau bulan namun tetap diupayakannya. Maka jatuh hanyalah kepastian yg menunggu, dan penyesalan telah mencoba, sedikit banyak berbunga malu. Apalagi ketika sang Bulan tak sedikit pun mendapat impresi dari upayanya.

Jauh di lubuk hatinya, dan ini yang paling menyakitkan di antara semuanya, si Pungguk telah lama mengetahui bahwa sang Bulan tak pernah mengharapkannya melakukan upaya. Namun tetap saja dia berupaya.

Oh Pungguk, dia harus segera terbangun dan mulai melihat sisi kanan kirinya. Mendongak utk Bulan memang menyenangkan, namun dia sendiri mulai mengeluhkan waktunya yg terbuang sia-sia tanpa mendapat suatu apa. Dia sendiri sadar hidupnya mulai tak berarah dan mungkin banyak gamangnya. Tuhan mungkin saja menyiapkan banyak hal indah lain di sekitarnya, bukan di atas sana.

Diam-diam pungguk menyeka air matanya. Bukan tersebab nasib ia terlahir sebagai pungguk yg tak mungkin menjangkau bulan, bukan pula karena upaya yg akhirhya ia lakukan malah berbuah sesal dan sia-sia, namun karena ia masih saja merindukan sang Bulan.



...

Jakarta, 27 September 2013
12.02

Sumber gambar:
http://sukmaerlangga.blogspot.com/
http://www.deviantart.com/art/Empty-Heart-and-No-Hope-195626922

Mei 22, 2013

"Nyanyian Tanah Merdeka": Tontonan Seni, Pelajaran Sehari-hari, dan Sindiran untuk Negeri


Dua tahun lamanya sejak konser terakhirku bersama The Indonesia Choir (TIC) dan The Indonesia Children Choir (TICC). Ketika itu, aku bernyanyi dalam rangkaian konser "Dua Kisah Nusantara" yang diselenggarakan di Usmar Ismail Concert Hall pada Kamis, 10 November 2011, kemudian berlanjut ke dua konser kunjungan di Solo dan Jogja bertajuk "Nyanyian Sepanjang Boulevard". Masih dapat kurasakan terangnya sorot lampu panggung besar pertamaku, sedikit membuatku linglung dan sulit mengenali sosok-sosok di bangku penonton. Konser interaktif pertama dan terakhirku bersama teman-teman TIC dan TICC. 

Malam tadi, Selasa, 21 Mei 2013 masih di panggung yang sama, Mas Jay (sapaan akrab Jay Wijayanto oleh para anggota TIC, termasuk aku) kembali menggelar sebuah tontonan paduan suara yang dikolaborasikan dengan berbagai seni pertunjukan lain. Konser kali ini bertajuk "Nyanyian Tanah Merdeka" (NTM), diambil dari judul lagu musisi Indonesia yang lebih dikenal dengan karya-karya musik jalanan dan memiliki penggemar dalam komunitas-komunitas, yakni Leo Kristi. Menurut media rilisnya, NTM digelar menyambut peringatan Kebangkitan Nasional yang jatuh sehari sebelum konser digelar sekaligus peringatan lima tahun berdirinya TIC sejak 2008. NTM juga menjadi persiapan awal TICC sebelum keberangkatannya ke "Hong Kong International Youth & Children's Choir Festival" pada Juli mendatang. Termasuk dalam agenda konser adalah peluncuran buku "Merek Indonesia Harus Bisa" oleh Mas Arto (Arto Subiantoro).

Beberapa artis kenamaan Indonesia turut mendukung kemeriahan konser yang berlangsung kurang lebih 3,5 jam. Sebut saja Mba Ade (Adelaide Simbolon), pianis wanita Indonesia yang mengenyam pendidikan musik (piano) dari Rusia hingga Amerika Serikat (Wisconsin Conservatory of Music); Om Jubing (Jubing Kristianto), gitaris gaya jari Indonesia yang menggunakan gitar klasik sebagai instrumennya; Mas Andreas (Andreas Arianto), akordeonis yang menyebut dirinya pemusik lepas dan menjadikan musik sebagai bagian tak terlepaskan dari hidupnya, menghidupi dan untuk dihidupi; serta sederet pemusik dengan alat musik yang pada dasarnya tidak berasal dari Indonesia namun dikenal meramu musik khas tradisi Indonesia seperti biola, saluang, dan cajon. Ada pula sembilan penari remaja dari Grup Tari Swargaloka yang mempersembahkan "Tari Tekad" sebagai pembuka konser, serta empat penari "tak kenal pusing" dari Rumah Rumi Whirling Dancer mengiringi lagu daerah Jambi, "Dodoi si Dodoi". 

Jika pada konser sebelumnya aku berdiri di panggung sebagai penyanyi, malam itu aku duduk di bangku penonton. Maka, ulasanku kali ini mungkin akan lebih komprehensif dari sudut pandang anggota TIC yang pernah menyanyi dalam konser-konsernya, anggota TIC yang turut terlibat dalam sekelumit kerumitan persiapan konser, anggota TIC yang memegang tiket penonton dan mengikuti jalannya konser dari awal hingga akhir dari kursi penonton, serta anggota TIC yang berinteraksi dengan anggota TIC lain setelah konser.

...

Total 16 lagu yang dibagi dalam dua sesi konser, delapan buah lagu ditampilkan untuk masing-masing sesi. Penonton disambut dengan lagu "Indonesia Raya" versi orkestra yang kemudian dilanjutkan oleh "Tari Tekad" sebagai pembuka konser. Narasi pertama yang dibawakan Mas Jay sebelum mengantarkan penonton pada lagu pertama adalah sejarah "Indonesia Raya", dimana teks aslinya yang ditulis pada tahun 1928 terdiri dari tiga stanza pada akhirnya hanya dipakai satu stanza setelah melalui revisi pada tahun 1958. Masih tentang lagu kebangsaan, Mas Jay beralih ke Singapura, yang ternyata lagu kebangsaannya berjudul "Majulah Singapura" merupakan ciptaan Zubir Said, putra Indonesia kelahiran Bukittinggi. Jika boleh kutambahkan, lagu kebangsaan Malaysia "Negaraku" pun bisa dibilang merupakan buah karya putra Indonesia, Saiful Bahri, pemilik hak kekayaan intelektual atas lagu "Terang Bulan" yang melodinya mirip sekali dengan "Negaraku". Pada titik ini, aku mulai melihat betapa penggunaan kata 'baik dan bodoh' sering tertukar tempat.

Lagu pertama yang dibawakan oleh TIC, dengan iringan piano Mba Ade, adalah "Nusantara" karya F.A. Warsono, solis Alice C. Putri. Mas Jay, masih dengan gaya khasnya yang santai dan kocak dalam memandu konser-konsernya, mengangkat satu topik yang mungkin terlupakan khususnya oleh pemuda Indonesia, yakni Trisakti. 

BERDAULAT dalam POLITIK
BERDIKARI dalam EKONOMI
dan BERKEPRIBADIAN dalam BUDAYA

 Nampaknya kesaktian tiga semboyan yang Bung Karno dalam rumusan Trisakti belum [tak] mampu diwujudkan oleh bangsa yang telah 67 tahun merdeka. Bagaimana bisa berdaulat, jika RI 1 saja dapat diperintah oleh pimpinan perusahaan multinasional yang telah menggerogoti kekayaan alam bangsa? Bagaimana bisa berdikari jika untuk konsumsi penduduk justru lebih mengedepankan impor dari negara lain? Cukup berkepribadiankah negara yang penduduknya lebih bangga menjadi ahli modernisasi dengan segala bentuk kebudayaan asing ketimbang mempelajari tarian daerah kelahirannya? 

Narasi tersebut disampaikan sebagai pengantar lagu kedua "Nyiur Hijau" yang dia sebut sebagai lagu wajib sekolah yang ter[di]lupakan. Dibawakan acapella tanpa iringan musik, TIC berhasil membuat beberapa penonton merinding dan seolah tak rela dunia tak tahu, membagikan pengalaman tersebut melalui twitter. Aku pribadi sangat menyukai lagu ciptaan A.J. Sudjasman hasil aransemen Arvin Zeinullah ini. Ada "rindu kampung halaman " yang menyeruak saat teman-teman TIC membawakan lagu ini merdu. Terlebih pada lirik bait kedua "Padi mengembang | Kuning merayu | Burung burung | Bernyanyi gembira", rasa kehilangan muncul berikutnya, mengingat padi yang digantikan dengan gedung pencakar langit, kuning merayu dirampas oleh kelabu, dan alih-alih burung-burung yang bernyanyi gembira, di Jakarta ini yang ada adalah mobil-mobil yang lalu-lalang-macet dan berklakson ria. 

Narasi berikutnya mengangkat topik pertanian. Menurut observasi Mas Jay terhadap data sejarah, politisi yang berhasil haruslah memiliki basis ekonomi yang kokoh. Logis memang, karena basis ekonomi yang kuat akan mendukung basis sosial yang diperlukan oleh seorang politisi, yang nantinya mampu menopang basis politik manakala sang politisi memegang kuasa. Tren politisi Indonesia bisa dibilang anti-mainstream karena kebanyakan politisi menghujani dirinya dengan isu-isu politik, lalu memperkuat basis sosial, dalam rangka memperoleh basis ekonomi. Hal ini sedikit banyak menjelaskan mengapa korupsi di Indonesia bertumbuh subur melebihi padi di sawah pak tani.

Lagu daerah pertama, hasil aransemen Farman Purnama, yakni lagu daerah Maluku "Mande-Mande" yang dibawakan lembut mengalun dengan solis seorang tenor, Yeremia Lalisang. Dalam penceritaannya yang tetap khas, Mas Jay menceritakan makna lagu tersebut sebelum dinyanyikan, yakni penantian para wanita Maluku yang ditinggal merantau oleh kekasih mereka. Kalau  sudah kaya, pulanglah mereka melamar kekasihnya dan menikah. 

Lagu selanjutnya diambil dari salah satu lagu kompetisi yang diikuti TIC dengan perolehan medali emas di Vietnam berjudul "Segalariak". Dibawakan saling sahut antar kelompok suara satu dan lain dengan bersemangat membuat lagu tersebut berkarisma. Pasukan TIC silam, digantikan 33 anak dan remaja. Sembari mengisi perpindahan, Mas Jay kembali mengisi sesi dialog dan bincang-bincang dengan penonton. Kali ini dialog dibuka dengan sebuah guyonan. Dalam perjalanan hidupnya, Mas Jay sering mendengar bahwa tentara Indonesia didominasi dan dikuasai oleh agama tertentu: AD (Angkatan Darat) dikuasai oleh pemeluk Islam sementara AU (Angkatan Udara) dikuasai oleh umat Kristiani. Mas Jay berkelakar dengan menyebut AL adalah yang paling Islami mengingat hampir semua nama masjid memiliki "AL" di dalamnya: AL Ikhlas, AL Barokah, AL Hidayah.

Sebelum masuk ke lagu berikutnya yang akan dibawakan oleh TICC, Mas Jay melontarkan pertanyaan pada penonton: Berapa usia WR. Supratman saat mencipta Indonesia Raya? Kebangkitan Nasional ditandai dengan apa? Penonton yang dipilih untuk menjawab adalah pemuda. Benang merah dapat ditarik dari sini, bahwa kata dasar "muda" menjadi titik berat topik dialog kali ini. WR. Supratman pertama kali menciptakan lagu Indonesia Raya pada usia 21 tahun; Kebangkitan Nasional ditandai dengan dua peristiwa penting yang keduanya "dipentaskan" oleh para pemuda, berdirinya Boedi Oetomo dan diucapkannya ikrar Sumpah Pemuda; kedua pertanyaan yang jawabannya berkata kunci "muda" tak dapat dijawab oleh para penonton muda.

Selanjutnya, giliran TICC unjuk gigi. Mereka membawakan dua lagu kompetisi di Hong Kong nanti, yakni "Tanctnota" dan "Salve Regina". Alunan nada-nada rumit dengan tempo yang berubah terus menerus, ditambah bahasa asing dengan aksen tak umum untuk lidah Indonesia, berhasil dibawakan rampung oleh TICC meski penulis pribadi merasa suara yang diproduksi belum maksimal diproyeksikan ke depan. Toh suara mereka pun mulai panas pada lagu berikutnya, kali ini lagu ciptaan Leo Kristi yang diaransemen oleh Nindya Tri Harbanu, "Salam Dari Desa". Mungkin karena faktor bahasa yang lebih mudah dilafalkan oleh anak-anak tersebut ditambah iringan musik akordion Mas Andreas dan gitar Om Jubing yang lincah dan jenaka, TICC membawakan "Salam Dari Desa" lebih lepas dan riang. Kemudian kakak-kakak TIC melanjutkan trek lagu Leo Kristi dengan membawakan "Gulagalugu Suara Nelayan", masih dengan aransemen buah tangan Nindya dan iringan musik yang sama sebagai penutup sesi pertama. 

Sesi kedua dibuka dengan lagu daerah Sumatera Barat "Indang", aransemen buah tangan Lilik Sugiarto. Akordion dan gitar memulai melodi lagu, disambut oleh Jhorlin Darwis Sitinjak, Rama Sentausa, dan Linda Samosir sebagai solis yang menyanyikan harmoni nada dengan indah. Seolah memang dibawakan di awal sesi kedua untuk membangun atmosfer ceria bersemangat, "Indang" dilanjutkan oleh "Arjuna Mencari Cinta" ciptaan Ahmad Dhani dan diaransemen oleh Indira Fransiska. Kali ini, Fajri Prabowo dari golongan suara bass menjadi solis dan membawakan lagu tersebut cukup komikal dengan bahasa tubuh yang lucu. Tidak cukup sampai di situ, penonton dibuat tergelak dengan layar yang menampilkan foto Eyang Subur dikelilingi wanita-wanita "seksi" seperti Angelina Jolie dan Ratu Elizabeth. 

Masih tentang bentuk ekspresi cinta seorang lelaki, lagu berikutnya adalah "Wanita" karya Ismail Marzuki dan diaransemen oleh Lilik Sugiarto. Mas Jay kali ini masuk dalam barisan tenor yang memimpin lagu tersebut. Ini adalah lagu favoritku yang lain. Selain nada-nada ajaib yang mengalun indah, lirik lagu "Wanita" begitu puitis dan berdaya sihir. 


Seindah mawar | semurni nan hati | dikau cemerlang wanita
Semerbak wangi | sejinak merpati | dikau selalu di cinta
Gerak gayamu ringan, mengikat hati mudah terlelap
Mata bersinar menyilaukan matamu
Halus wanita | bak sutra dewata | senyuman lunturkan mahkota

Seperti halnya tradisi konser interaktif TIC dan TICC, penonton diminta bernyanyi bersama lagu "Indonesia Pusaka" aransemen karya Yudia Pancaputra. TIC silam, tinggallah TICC yang selanjutnya membawakan lagu lain untuk kompetisi yang sama, "Kalera Gazteak". Lagu ini menjadi lagu terakhir persembahan TICC yang kemudian silam dan digantikan oleh kakak-kakak TIC.

Jambi selanjutnya direpresentasikan dalam lagu "Dodoi Si Dodoi" aransemen Mas Jay sendiri dengan solis Saftianingsih. Lagu dibuka dengan alunan nada menyayat hati dari saluang dan biola serta ratapan sang pemain saluang yang memang laki-laki Minang. Dijelaskan sebelumnya bahwa lagu ini mengisahkan seorang ibu yang tengah menimang-nimang anaknya sembari meratap rindu akan sosok suaminya yang belum pulang. 

"Twa Tanbou" karya Sydney Guillaume kemudian menggeser suasana yang tadinya sendu menjadi bersemangat. Lagu yang berasal dari salah satu suku di Afrika ini mengisahkan tentang perbincangan antara tiga buah kendang yang masing-masing berpendapat bahwa suaranyalah yang paling keras. Akhirnya, konser ditutup dengan karya Ahmad Dhani yang lain, kali ini hasil kolaborasinya dengan Bebi Romeo, "Andai Aku Bisa" yang diaransemen oleh Ily Matthew Maniano dengan solis seorang alto, Christine Nataly Panggabean.

...

Aku akui, ulasanku dimulai dari babak kedua konser memang tidak selengkap ulasan babak pertama. Selain aku tidak membawa catatan untuk membuat ringkasan jalannya konser, aku memang memilih lebih menikmati lagi sisa waktu yang kupunya untuk lebih menikmati "Nyanyian Tanah Merdeka". 

Terakhir, aku teringat satu dialog lagi yang belum aku paparkan di atas terkait bahasa Indonesia. Mungkin aku tak sendiri merasakan tamparan tentang fakta bahwa orang Indonesia lebih bangga dengan bahasa Inggris atau bahasa asing lain ketimbang bahasa Indonesia sendiri. Namun, jika Mas Jay membaca tulisan ini, dia boleh lega karena ulasanku kali ini murni menggunakan bahasa Indonesia, kecuali pada nama dan istilah yang memang tidak semestinya diterjemahkan.

Juli 29, 2012

Untitled 3





Kesadaran akan adanya cacat besar dalam diri sendiri menuntun kita pada titik pendewasaan yang hanya bisa kita takar dan rasakan sendiri. Setiap pengalaman pribadi adalah unik layaknya sidik jari yang tak akan pernah sama sepenuhnya dengan orang lain. Sebelum mencari ke luar, sebaiknya mendalami lebih jauh ke dalam.

Segala bentuk temuan baru maupun ingatan lama selanjutnya perlu kita respon dalam segala rupa rencana dan pembekalan diri menyongsong hari esok. Atau, kita hanya akan terpuruk pada lubang gelap yang membusukkan akal sehat dan menggerogoti kadar kepercayaan.

Salam,
Jan Phaiz


. . .

Sumber gambar:
http://fc03.deviantart.net/fs30/f/2008/162/9/3/Introspection_by_machine_guts.jpg