Juli 14, 2011

From a Fool

Honestly, I didn't expect you to come out directly with direct words. I swear to God it's a big heart attack for me yet surprising in a positive way. And the other fact is, I didn't also feel like you meant that posting to me. That's why I put an '?' on it. Maybe I was too attracted in your previous writings, which means, I did realize, somehow, that those were for me. That's why I response it through a post.

I feel bad. I know I'm not good in shouting out loud my feeling directly, especially towards a person like you. I'm so not good in expressing naturally what comes to my mind through my face, body, or words [spoken], again, especially towards you. And believe me, I'm struggling to fix it, even sometimes I feel like I'm faking it. I want to be just my self, but something convince me to act more than just me. I know it's bad and stupid, but well, maybe I'm just such a fool. Hell I am the most successful fool person in dealing with 'this' thing.

I feel bad. You know, when I read something about you, my mind would be really reactive that I couldn't handle it sometimes. A lot of things, like you said A-Z, came to my mind and I was like picking it from a spread items. Worse, I made an assumption or even string up a perception. Though I knew I need to communicate, something related to my past told me not to. I was frightened of my own self, I was afraid that I took a wrong decision which will carry you away.

I feel bad. Now I know [a little bit more] what's really going on here. I have said my part once in front of you, and you've said yours in all the way you were at that time. We've walked the path even though only an inch far forward and things happened on you, on me, on its own part. Maybe you've been looking for more me, and all I've been giving was just a little, vice versa. Maybe the only thing we need, or I need, is to be more sincere, open, and perceivable(?).

Of course, it's emm if you still want to continue walking on it.

To close this posting, let me write down a lyric which is recently sung in my mind from John Mayer titled "Clarity", and if you can hear me, I'm singing it too ;)

Clarity
by John Mayer

I worry, I weigh three times my body
I worry, I throw my fear around
But this morning, there's a calm I can't explain

The rock candy's melted, only diamonds now remain


Ooh ooh ooh ooh


By the time I recognize this moment

This moment will be gone

But I will bend the light, pretend that it somehow lingered on

Well all I got's


Ooh ooh ooh ooh


And I will wait
to find
If this will last forever

And I will wait to find

If this will last forever

And I will pay no mind

When it won't and it won't because it can't

It just can't
It's not supposed to

Was there a second of time that I looked around?
Did I sail through or drop my anchor down

Was anything enough to kiss the ground?

And say I'm here now and she's here now


Ooh ooh ooh ooh
Ooh ooh ooh ooh

So much wasted in the afternoon
So much sacred in the month of June

How bout you


And I will wait to find

If this will last forever

And I will wait to find
That it won't and it won't

Because it won't

And I will waste no time

Worried 'bout no rainy weather

And I will waste no time

Remaining in our lives together





Picture taken from
http://jjwbhufugp.deviantart.com/art/Clarity-119931993?q=boost%3Apopular%20clarity&qo=37

Dear Sister (?)

I used to think that you realize my existence.
I used to think that what you did back then was somehow signals for me.
I used to be happy, over-excited, and sleep-less when you seemed giving me feedback.
I used to tell a close friend of mine that 'here it is', you weren't a doubt.
I used to talk with my self about you all night.

Then there you were, telling me how what I've been thinking all these time was wrong.
You made me stop expecting, stop wondering, and even stop over-thinking about you-signal-me.
I was screwed a bit that finally I kept telling myself it's just another first step.

Then there you were, ruining my life with your story for being dumped out of someone.
You made me start thinking again, this time in all-negatives-way about 'someone' you mean.
I was confused at first and worrying but then I reminded myself it's just another empty-wishes.

Now I use to think that I'm nothing for you but a stranger.
Now I use to think that what you do in your life has nothing to do with me.
Now I use to be such a "NUMB" person rather than a broken-heart.
Now I use to tell a close friend of mine nothing, especially about you.
Now I use to talk with myself about me, just me.

Then there you are, showing up right in front of my face through your awakened media.
...

What am I supposed to do?
If only you ask me to call you, I'll call.
If only you ask me to show up in front of you, I'll come.
If only you say you want me to make a joke, I'll bring you unforgettable awkward-face of mine to make you laugh, since I'm not really good at jokes.
If only you ask me to smile, I'll give my best.
...

But if you keep in silence, I assume that this 'writing' isn't even read or touched by you, or worse, means nothing for you.

Juli 08, 2011

Saat (Tuan) Setan Galau dan Meracau


Minggu, 3 Juli 2011 pukul 18.07 di panggung utama Pesta Buku Jakarta, Istora Senayan, usai bincang bersama Fahd Djibran (dan Tuan Setan), akhirnya aku mendapatkan buku “Yang Galau Yang Meracau” lengkap dengan tanda tangan penulisnya. Terakhir kali kami bertatap muka secara langsung mungkin sekitar dua tahun yang lalu, saat aku mengenyam pendidikan tinggi di Kota Pelajar, dan berkesempatan bergabung dalam forum “Ruang Tengah” yang diprakarsai kang Fahd. Pada saat itu, aku mengenal kang Fahd melalui bukunya “Insomnia | Amnesia” dan lebih dekat melalui tulisan-tulisan di blog ruangtengah hingga meluncurnya “A Cat in My Eyes” sebagai penyempurnaan karya terdahulunya “Kucing”. Tuan Setan sendiri mulai ‘eksis’ dalam ranah karyanya melalui buku “Curhat Setan”.

Ide pengangkatan fenomena ‘galau’ yang sedang populer bahkan bisa dibilang menjamur di kalangan pemuda saat ini memang sangat menjual, sebagaimana ide-ide judul dan cover buku-buku kang Fahd yang selalu mengundang perhatian dan penasaran. Mengingat ratusan bahkan ribuan kata ‘galau’ yang muncul dalam keseharian tweet para pengguna twitter, maka kang Fahd yang notabene-nya masih pemuda, menghadirkan sebuah karya yang dikemas dengan gaya populer, namun tetap ber-ciri-khas tulisan-tulisannya yang kritis, mendalam, dan tidak terkesan menggurui. Kembali kali ini kang Fahd menyuguhkan berbagai ide dan pengalaman melalui curhatan atau dalam buku ini disebut racauan Tuan Setan. Jika selama ini kita bosan melihat hashtag orang-orang bertajuk ‘galau’ dan yang di’racau’kan melulu pada permasalahan itu saja, maka kang Fahd menghadirkan sosok Tuan Setan yang sedang ‘galau’ dan akhirnya ‘meracau’ tentang kehidupan, manusia, bahkan cinta dan Tuhan.

Buku ini terbagi ke dalam tiga sub-tema, yakni Setan, Cinta, dan Tuhan (setan-cinta-Tuhan). Pada karya pertama berjudul “Mabuk”, kang Fahd menuliskan sepenggal kalimat yang berbunyi “Each day is a gift and not a given right..”. Mungkin sebagian besar dari kita pernah mendengar atau membaca kata-kata mutiara tersebut. Namun adakah diantara kita yang pernah menduga bahwa kata-kata tersebut justru merupakan peringatan dan nasihat Tuan Setan kepada seorang manusia bernama Rayya saat ia sedang melakukan dosa? Tuan Setan mengajak Rayya kembali mengingat sejarah, bahwa pada saat Tuhan menyuruh Setan menyembah manusia, Setan menolak dan terjadi negosiasi di sana. Setan meminta kehidupan yang kekal dan dia berjanji akan menggoda manusia dari berbagai arah, selamanya. Pada titik ini, Tuan Setan dengan bangga mengatakan bahwa hidupnya adalah hak maka kewajibannyalah untuk menggoda umat manusia. Sementara manusia tidak bernegosiasi dengan Tuhan tentang kehidupan, manusia diberi kehidupan, dan jika Tuhan berbaik hati, maka manusia berhutang untuk membalasnya dengan mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Maka manusia bisa memilih, untuk berbuat kebaikan, atau mengikuti Setan berbuat keburukan dan mendustai Tuhan.

Selanjutnya, dalam “Only God Knows Why”, Tuan Setan makin menggalau dan racauannya kali ini makin menampar siapapun yang merasa dirinya manusia. Kita semua tahu bahwa manusia diciptakan sempurna karena memiliki akal. Tapi apakah kita semua paham letak kesempurnaan akal? Tuan Setan hidup abadi dan senantiasa menggoda manusia melakukan kejahatan dan menggiring manusia ke arah keburukan. Di sisi lain, malaikat adalah makhluk Tuhan yang senantiasa berbuat baik, lurus, sesuai perintah dan tak mungkin membangkang Tuhan. Manusia, dengan segala kesempurnaannya, diberikan kedua sifat tersebut. Dua jalan membentang di depannya, jika yang satu ke arah setan, yang satunya ke arah malaikat. Dan keputusan selalu ada di tangan manusia itu sendiri. Maka, tidak berlebihan jika akhirnya Tuan Setan galau karena kaumnya selalu dituding sebagai sumber malapetaka dan bencana yang diakibatkan keburukan manusia. Padahal, Tuan Setan merasa kaumnya hanya menggoda dan mengajak manusia ke jalannya, sementara bentuk perbuatannya adalah modifikasi dan kreativitas tiap-tiap manusia yang menjalankannya. Ya, manusia memang bisa jauh lebih ‘setan’ dari setan itu sendiri, sebagaimana manusia bisa jauh lebih ‘malaikat’ dari para malaikat.

Tulisan demi tulisan, racauan demi racauan, rasanya tak hentinya menyentil dan menampar kesadaran kita sebagai manusia, terlebih sosok yang mengungkapkannya adalah setan, sosok yang selama ini hampir tidak pernah kita pandang secara humani. Pada karya “Just Enjoy the Show”, Tuan Setan hadir dengan wajah yang sedikit lebih ceria dan bercerita sambil bernyanyi sekaligus memainkan piano. Tuan Setan berkisah tentang takdirnya yang dihukum oleh-Nya lantaran menolak menyembah manusia. Padahal baginya, tak ada zat yang pantas disembah selain-Nya. Di satu sisi dia tidak terima, di sisi lain dia tahu dia bukanlah apa-apa di hadapan keagungan-Nya, hingga akhirnya dia merasa terperangkap di tengah-tengah sebuah sistem agung yang tak dia mengerti. Cintanya pada Tuhan yang membuatnya tak mau menyembah manusia, justru menjadikannya tertuduh sebagai pengkhianat dan pembangkang perintah Tuhan. Amarah, murka, dan kesombongan pun meledak hingga dia menganggap dirinya lebih baik dari Tuhan. Pada titik ini, Tuan Setan memberikan nasihat indah kepada Rayya, untuk menerima semesta kemahatiba-tibaan-Nya sebagai bagian dari hidup, jika bahagia bersyukurlah dengan waspada karena ketiba-tibaan lain menunggu di hadapan. Pun sebaliknya. “Bila kau tak kuat menjalaninya, bisikanlah ke dalam hatimu bahwa Ia tak akan memberimu peran yang kau sendiri tak sanggup menjalaninya. Laa yukallifullahu nafsan illa wusy’aha, begitu kata-Nya kira-kira.” (Just Enjoy The Show, halaman 73). Selanjutnya, Tuan Setan berpesan pada Rayya bahwa sejarahnya adalah pengorbanannya, “Terkutuklah kau jika tak menghargai pengorbananku! Cintailah kecintaanku, sebab aku hanya bisa mencintai-Nya dari jauh. Bila sempat, dalam doamu, bisikanlah kepada-Nya bahwa betapa aku masih mencintai-Nya.”

Demikianlah kang Fahd, melalui Tuan Setan mengobrak-abrik, mengaduk-aduk, dan menampar bolak-balik hati, pikiran, dan perasaanku selaku pembaca yang dalam hal ini adalah manusia. Dengan curhatan, racauan, dan nasihat-nasihat Tuan Setan tentang hidup dan cinta pada-Nya, aku pun turut menggalau, dalam bentuk lain, yang lebih kontemplatif. Masih banyak racauan Tuan Setan yang tidak bisa tidak akan mengajak kita berpikir dan kembali melihat ke dalam diri kita, sejauh apa kita mengenal diri kita, eksistensi kita dalam hidup, dan lebih jauh, peran serta kecintaan kita di hadapan-Nya.

. . .

Pada bagian selanjutnya, kang Fahd mengawali bagian “cinta” dengan cerita “Perpisahan Termanis”. Sebagaimana, tulisan-tulisan lain dalam buku ini yang dilengkapi dengan satu judul lagu sebagai soundtrack cerita, kali ini lagu dengan judul yang sama “Perpisahan Termanis” oleh Lovarian akan mampu membawa kita hanyut dalam rimba kata penuh makna kisah cinta antara Raka dan Hera. Fenomena perpisahan, putus, atau cinta bertepuk sebelah tangan memang merupakan salah satu tema ’galau’ paling hits sekaligus paling ampuh melumpuhkan remaja. Dengan tidak menampik kemungkinan adanya hal tersebut, kang Fahd justru menampilkan ‘perpisahan’ dalam bentuk yang indah, yang manis. “Dari ribuan sejarah manusia yang sedih, barangkali aku salah satunya, tapi haruskah aku menghabiskan hidup hanya untuk menjadi karang-pantai yang bersedih?” … “Tidak, kataku dalam hati”… “Barangkali aku gagal menjadi kekasihmu, tetapi cinta tetap ada: untuk apa dan untuk siapa, biarlah ia menentukan nasibnya sendiri...” (Perpisahan Termanis, halaman 99).

Ciri khas kang Fahd yang selalu mengagumkan adalah pemaknaan[kembali] hal-hal yang selama ini kita anggap sepele dan kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Dua karya dalam bagian ‘cinta’, adalah “Cantik itu Luka” dan “Perahu Kertas”. Karya yang pertama, adalah surat Rayya kepada Alivya, menanggapi pertanyaan Alivya “Rayya, seandainya kamu terlahir jadi perempuan, apa yang akan kamu lakukan terhadap hidupmu?” Tak disangka, pertanyaan sederhana yang terkesan dilontarkan secara iseng tersebut, mampu memunculkan penghargaan seorang Rayya pada sosok perempuan, yang dia tuangkan melalui lagu Eminem berjudul “Beautiful”. And to the rest of the world | God gave you shoes to fit you | So put ‘em on and wear ‘em | Be yourself man, be proud of who you are | Even if it sounds corny | Don’t ever let anyone tell you you ain’t beautiful. Dalam “Perahu Kertas”, langkah-demi-langkah proses pembuatan perahu kertas dari selembar kertas dimaknai sebagai fase-fase kehidupan dimulai dari takdir penciptaannya, perjalanan hidupnya, hingga pada akhirnya “Setiap detiknya, hidup adalah perjalanan menemukan bentuk. Seberapa jauh manusia harus berjalan untuk bisa disebut sebagai manusia? Berapa peristiwa yang harus dialami untuk bisa mengerti semuanya? Hanya kamu yang tahu, setiap orang punya kuasa atas hidupnya sendiri-sendiri, atas perahu kertasnya sendiri…” (Perahu Kertas, halaman 121).

Karya-karya lain tentang cinta yang tak kalah indah dan menggugah dengan apik disajikan dalam lembar-demi-lembar buku “Yang Galau Yang Meracau”. Topik-topik tentang pernikahan, kehidupan rumah tangga dikisahkan melalui lagu, sajak, bahkan gambar pemandangan. Kang Fahd menutup bagian cinta dengan karya “Ziarah Ingatan”, mengajak kita mengenang, mengingat-ingat, dan berziarah, tidak hanya pada orang-orang yang telah tiada, namun orang-orang yang telah lama tak kita singgahi.

. . .

Apa jadinya jika di suatu subuh, kita mendapati satu pemberitahuan: Tuhan mencolek Anda di Facebook, dan ada pilihan “colek kembali” atau “abaikan”. Lalu bagaimana seorang ibu harus bersikap jika anaknya menanyakan tentang rumah Tuhan, masjid, yang dibom belakangan ini. Sang Anak mengakhiri dengan simpulan polos, bukan kita yang harus takut pada teroris, namun Tuhan yang rumah-nya terancam dibom. Membaca tulisan-tulisan kang Fahd tentang spiritualitas, tentang Tuhan, sekilas seperti membaca tulisan ngawur tentang Tuhan. Perumpamaan-perumpamaan, pertanyaan-pertanyaan, bahkan plesetan-plesetan yang dibuat terkesan meledek dan mempertanyakan eksistensi Tuhan. Eits, setan saja bisa bijak dan berpikir dalam, sebaiknya kita telaah lebih jauh tulisan-tulisan kang Fahd ini sebelum kita menyimpulkan tulisan ini menyesatkan, bid'ah, atau terlarang.

Mungkin sekali dalam hidup, kita pernah mempertanyakan tentang Tuhan. Sebagaimana Maria kecil yang menanyakan rumah Tuhan pada ibunya, atau sosok aku yang menanyakan siapa Tuhan kepada ustadznya di karya "Sesa(a)t". Sadar atau tidak, sebagai makhluk merdeka yang dianugerahi akal pikiran, pertanyaan tentang Tuhan tidak akan dapat dihindari. Dalam tulisan-tulisannya, kang Fahd tidak melarang apalagi mengharamkan pertanyaan akan Tuhan. Malahan, melalui potongan-potongan karyanya yang tersebar dalam dua belas tulisan tentang Tuhan, kang Fahd mengajak kita mengalami dan menjalani, karena pada dasarnya, pengalamanlah yang lebih berharga dan akan menuntun pada pencarian kita.

Dalam "Mengakal(i) Tuhan", Rayya kembali menulis surat kepada Alivya berbagi tentang pengalaman ber'Tuhan'nya. Baginya, ketika kita memikirkan "ada atau tiada"nya Tuhan atau "masuk akal atau tidak"nya Tuhan, pada dasarnya kita memikirkan Tuhan sebagai keutuhan: Ia yang melampaui "ada dan tiada", melampaui sifat "masuk akal atau tidak masuk akal". Tuhan setidaknya "ada" dalam pikiran saat dipikirkan, Ia "masuk akal" sebagai bagian dari pikiran (akal) saat dipikirkan. (Mengakal[i] Tuhan, Hal. 181). "Itulah 'pengalaman' ber-Tuhanku, Alivya. Bagiku, pada saatnya pengalaman itu akan melengkapi pemahaman atau pengetahuan kita tentang 'Tuhan'. Sampai di sini, menurutku, jika kita menolah Tuhan dalam akal kita (artinya tidak 'mengingat' dan 'menyebutnya'), Tuhan berarti bukan 'tidak ada' tetapi 'tidak bersama kita'!" (Mengakal[i] Tuhan, hal. 185).

. . .

Sumber gambar:

http://akubunda.files.wordpress.com/2011/06/camera-effects.jpg

Pesona Dee, Pesona Madre


Sudah dua tahun berselang sejak terakhir kali aku membeli karya Dee yang juga merupakan kumpulan cerita berbalut lagu soundtrack untuk tiap judulnya, Recto Verso. Keakrabanku dengan karya-karyanya memang belum seberapa jika dibanding dengan kedekatanku dan karya-karya penulis lain, namun sensasi tiap kali membaca tulisan dan rangkaian kata-kata yang mengalir di dalamnya selalu sama, dan akrab. Sensasi yang hanya mampu dihadirkan oleh pesona seorang Dee. Sensasi yang juga hadir di tengah penelusuranku dalam samudera kata Madre.

Kembali dengan antologi berbagai tulisan yang kali ini terwujud dalam 13 karya fiksi dan prosa pendek kumpulan karya Dee selama lima tahun terakhir, Madre membuatku bernostalgia dengan Filosofi Kopi. Jika di awal buku Filosofi Kopi kita diajak berpetualang bersama Ben meracik, menerjemahkan, menikmati, dan mendeskripsikan kopi dari berbagai cara memandang, Madre mengajak pembaca berkenalan, mengakrabi, dan menggauli Madre, biang roti yang menjadi resep turun-temurun dan pembawa sejarah Tan de Baker, toko roti usang di pinggiran Kota Tua, Jakarta. Kisah-kisah selanjutnya, seperti halnya dalam kisah-kisah antologi Filosofi Kopi, bernuansa cerita sederhana dengan pemilihan kata-kata yang apik, merangkai serpihan-serpihan makna, yang berinduk pada tema-tema besar: hidup, cinta, dan Tuhan.

Madre, yang merupakan bahasa Spanyol berarti ibu, mengisahkan seorang pemuda gimbal bernama Tansen yang menjalani hidup serba-tak-teratur, dan mendapati dirinya adalah pewaris tunggal sebuah peninggalan tua keluarga Tiong Hoa turun-temurun, sebuah fakta tak terduga yang seketika mengubah sejarah hidupnya. Halaman baru perjalanan hidupnya seolah diawali dengan lembar kertas yang benar-benar baru dari segi tekstur, bahan dasar, hingga warna. Surat wasiat tersebut membawanya pada sosok Pak Hadi, yang ternyata kerabat dekat kakek leluhur sekaligus orang yang mengenalkannya pada Madre. Berkenalan dengan Madre dan Pak Hadi berarti harus berkenalan dan mengakrabi kehidupan Jakarta yang bergerak serba cepat, gaya hidup yang sangat dihindari Tansen sepanjang hidupnya. Di sisi lain, muncul sosok-sosok orang tua yang nantinya menemani episode baru Tansen bersama Tan De Baker. Juga sosok Mei yang pada akhirnya membuka mata Tansen tentang betapa berartinya jejak sejarah, betapa berharganya memelihara tradisi dan betapa indahnya cinta yang dimiliki Pak Hadi dan rekan-rekannya yang tak usang oleh waktu pada Tan de Baker.

Dari toko roti tua di daerah Kota Tua Jakarta, Dee selanjutnya membawa kita ke Byron Bay, titik paling utara benua Australia. Sepucuk surat sakti dari seorang gadis berumur 12 tahun lebih muda yang baru sebulan dikenal Howard di kantornya, membawanya terbang ribuan mil dari Jakarta ke Australia. Perjalanan yang memperkenalkannya dengan Darma, pemuda Amerika berdarah 12,5 persen Indonesia yang hobi berselancar dan tengah menikmati hari-hari liburannya di pantai berombak tersebut. Howard menyeberangi Samudera Hindia karena instruksi tertulis dalam surat yang ditulis oleh Intan Cahaya, untuk pergi ke mercusuar di Byron Bay, mengambil cuti lima hari kerja, meninggalkan istri dan dua orang anak di Jakarta. Sebuah keputusan gila dan mahal yang sangat mengejutkan bagi Howard sendiri yang selama ini menjalani hidup lurus dan penuh dengan pertimbangan logika. Ungtunglah dia bertemu Darma yang cenderung blak-blakan dan apa adanya, menjadi partner berdebat dan berselisih dalam berbagai hal, sekaligus pelengkap pemikiran yang tak mampu hinggap di benak Howard. Perjalanan spekulatif, nekat, dan tak masuk diakal, dalam pencariannya akan sebuah bukti kehidupan masa lalu yang diyakini benar oleh Intan Cahaya sebagai janji di kehidupan lalu antara dirinya dan Howard.

Bagiku, Dee menghadirkan kisah cinta abstrak yang dibumbui konsep belahan jiwa dan reinkarnasi dengan caranya sendiri, yang apik dan cantik. Dalam cerita “Guruji”, Dee dengan terang-terangan menyajikan ide reinkarnasi dan belahan jiwa dalam petikan cerita berikut: Seketika sorot matanya menangkap sorot mataku, bersama kami tenggelam dalam sebuah arus misterius. Tanpa perlu lagi proses hipnosis. Dengan mantapnya dia berbisik, “Kita pernah bertemu.”(Guruji, hal.114). Selanjutnya, konflik yang dihadirkan tidak mencukupkan pada konsep pemahaman kita akan cinta, belahan jiwa, atau bahkan reinkarnasi. Tapi lebih dari itu semua, Dee mengaduk-aduk perasaan pembaca melalui konflik tak biasa di antara dua insan yang pernah yakin sebagai belahan jiwa yang akhirnya dipertemukan. Tidak selalu berujung pada kata bersatu, cerita-ceritanya justru mengedepankan pengalaman menyeluruh para tokohnya dalam memahami konsep hidupnya. Dee memang nampaknya tidak mengharapkan pembaca melompat dari awal cerita ke akhir cerita untuk mendapati satu ending, namun justru membawa pembaca menjelajahi samudera kehidupan yang dihadirkan potong-demi-potong dalam tiap alur cerita yang dihadirkan di tiap cerita pendeknya.

Jika dalam cerita pendeknya Dee lebih banyak memasukkan unsur cinta, dalam prosa-prosa dan tulisan lainnya, Dee lebih banyak mengangkat tema-tema kehidupan dan spiritualitas. Sebut saja “Perempuan dan Rahasia”, sajak yang ia tulis pada tahun 2006, menggambarkan sosok perempuan bagi laki-laki melalui perumpamaan halus dan indah burung, kupu-kupu, dan bunga. Sejak dulu saya sangat mengagumi kelihaian Dee memilih dan merangkai kata-demi-kata. Kemudian ada “Semangkuk Acar untuk Cinta dan Tuhan” sebagai buah karya-nya men[coba]definisikan cinta dan Tuhan melalui semangkuk acar. Jawaban pasti memang bukan tujuan akhir yang ingin disampaikan oleh Dee melalui setiap tulisannya, karena seperti peringatan pada kata pengantarnya, “… tidak semua perenungan berujung pada jawaban.” Bagaikan mengupas bawang merah, seringkali proses bertanya justru menemui lapisan pertanyaan-pertanyaan lain yang jika dilakukan terus menerus malah berakhir pada kehampaan. Bukan berarti sia-sia, tetapi apalah arti hidup jika pada akhirnya ‘jawaban’ sudah kita dapatkan. Bukankah hidup hanya akan berakhir saat ruh ditarik melalui ubun-ubun kita? Maka hidup memang akan terus berproses sepanjang nafas masih milik kita.

“Barangkali Cinta” menjadi sajak penutup antologi Madre. Sebelumnya, saya sendiri sudah membaca sajak ini di blog pribadi Dee. Karena ini adalah salah satu sajak favorit saya, izinkan saya mengutip beberapa kata di dalamnya:

Barangkali cinta

Jika darahku mendesirkan gelombang yang tertangkap

oleh darahmu

dan engkau beriak karenanya

Darahku dan darahmu

terkunci dalam nadi yang berbeda

Namun berpadu dalam badai yang sama


Barangkali cinta

Jika napasmu merambatkan api yang menjalar ke

paru-paruku

dan aku terbakar karenanya

Napasmu dan napasku

bangkit dari rongga dada yang berbeda

Namun lebur dalam bara yang Satu


Barangkali cinta

. . .

(Barangkali Cinta, 2007. Hal. 159-160, “Madre”)



sumber gambar:
http://www.inibuku.com/25075/madre.html

Intermezzo


Semester empat sejauh ini menjadi semester terpadat baik secara mata kuliah, jadwal kerja, organisasi, dan kegalauan-kegalauan lain yang memadati waktu-waktu longgar yang tak seberapa. Diawali dengan persiapan event akbar Himpunan yang sudah dimulai di awal semester meski acaranya sendiri diadakan di akhir semester (MagStorm-red); susun-tumpuk-ulang laporan pertanggungjawaban tahunan Himpunan yang menguras waktu-pikiran-dan-[bukan]-uang-[pribadi] dan menghamburkan beratus lembar kertas; inisiasi Senat Mahasiswa yang sangat tak diduga, tak direncana, namun cukup memenuhi jadwal satu bulan hingga penutupan di Maleber, Puncak; penyesuaian lingkungan kerja yang tak lagi se-fleksibel dulu dengan hadirnya Store Manager baru yang begitu kaku dan semua-harus-sesuai-standard-freak; jadwal-jadwal rapat baru dengan para senator berkecimpung dalam dunia ormawa kampus; hingga tugas akhir tiap mata kuliah yang meminta persembahan berupa final paper maupun presentasi akhir. Seandainya dosen bahasa Indonesia berkesempatan membaca kalimat barusan, mungkin indeks nilaiku akan didegradasi lagi karena penggunaan kalimat yang terlalu panjang. Ups.

Baiklah, akhirnya tiba pada minggu pertama bulan Juli dimana hampir kesemua aktivitas di atas menemui titik habisnya, kecuali titik yang memang baru diawali. Di tengah padatnya jadwal Senat Mahasiswa khususnya Komisi I berhadapan dengan Proposal Program Kerja berbagai Himpunan dan UKMA, serta di tengah jadwal shift kerja pagi yang sangat mengganggu rutinitas (nasib anak midnight sejak store baru buka Agustus lalu), masih ada penghiburan dengan hadirnya dua eksemplar buku berwarna sampul mirip yang masing-masing bertanda tangan penulisnya langsung. Buku pertama dengan judul berbahasa Spanyol, “Madre”, antologi ketiga Dewi “Dee” Lestari setelah “Filosofi Kopi” dan “Recto Verso”. Buku kedua kudapat langsung saat launching pertama dan bincang-bincang bersama penulis yang sudah cukup lama kukenal (dari karya-karyanya dan beberapa kali forumnya), “Yang Galau Yang Meracau” karya Fahd Djibran. Maka, dua buku tersebut seolah menjadi penghilang dahaga, semprotan penyegar, yang mengaliri keringnya ladang jiwaku, menyegarkan kembali indera ‘perasa’ku.




Sumber gambar:
http://anabelismo.deviantart.com/art/Intermezzo-61414065