Juli 08, 2011

Pesona Dee, Pesona Madre


Sudah dua tahun berselang sejak terakhir kali aku membeli karya Dee yang juga merupakan kumpulan cerita berbalut lagu soundtrack untuk tiap judulnya, Recto Verso. Keakrabanku dengan karya-karyanya memang belum seberapa jika dibanding dengan kedekatanku dan karya-karya penulis lain, namun sensasi tiap kali membaca tulisan dan rangkaian kata-kata yang mengalir di dalamnya selalu sama, dan akrab. Sensasi yang hanya mampu dihadirkan oleh pesona seorang Dee. Sensasi yang juga hadir di tengah penelusuranku dalam samudera kata Madre.

Kembali dengan antologi berbagai tulisan yang kali ini terwujud dalam 13 karya fiksi dan prosa pendek kumpulan karya Dee selama lima tahun terakhir, Madre membuatku bernostalgia dengan Filosofi Kopi. Jika di awal buku Filosofi Kopi kita diajak berpetualang bersama Ben meracik, menerjemahkan, menikmati, dan mendeskripsikan kopi dari berbagai cara memandang, Madre mengajak pembaca berkenalan, mengakrabi, dan menggauli Madre, biang roti yang menjadi resep turun-temurun dan pembawa sejarah Tan de Baker, toko roti usang di pinggiran Kota Tua, Jakarta. Kisah-kisah selanjutnya, seperti halnya dalam kisah-kisah antologi Filosofi Kopi, bernuansa cerita sederhana dengan pemilihan kata-kata yang apik, merangkai serpihan-serpihan makna, yang berinduk pada tema-tema besar: hidup, cinta, dan Tuhan.

Madre, yang merupakan bahasa Spanyol berarti ibu, mengisahkan seorang pemuda gimbal bernama Tansen yang menjalani hidup serba-tak-teratur, dan mendapati dirinya adalah pewaris tunggal sebuah peninggalan tua keluarga Tiong Hoa turun-temurun, sebuah fakta tak terduga yang seketika mengubah sejarah hidupnya. Halaman baru perjalanan hidupnya seolah diawali dengan lembar kertas yang benar-benar baru dari segi tekstur, bahan dasar, hingga warna. Surat wasiat tersebut membawanya pada sosok Pak Hadi, yang ternyata kerabat dekat kakek leluhur sekaligus orang yang mengenalkannya pada Madre. Berkenalan dengan Madre dan Pak Hadi berarti harus berkenalan dan mengakrabi kehidupan Jakarta yang bergerak serba cepat, gaya hidup yang sangat dihindari Tansen sepanjang hidupnya. Di sisi lain, muncul sosok-sosok orang tua yang nantinya menemani episode baru Tansen bersama Tan De Baker. Juga sosok Mei yang pada akhirnya membuka mata Tansen tentang betapa berartinya jejak sejarah, betapa berharganya memelihara tradisi dan betapa indahnya cinta yang dimiliki Pak Hadi dan rekan-rekannya yang tak usang oleh waktu pada Tan de Baker.

Dari toko roti tua di daerah Kota Tua Jakarta, Dee selanjutnya membawa kita ke Byron Bay, titik paling utara benua Australia. Sepucuk surat sakti dari seorang gadis berumur 12 tahun lebih muda yang baru sebulan dikenal Howard di kantornya, membawanya terbang ribuan mil dari Jakarta ke Australia. Perjalanan yang memperkenalkannya dengan Darma, pemuda Amerika berdarah 12,5 persen Indonesia yang hobi berselancar dan tengah menikmati hari-hari liburannya di pantai berombak tersebut. Howard menyeberangi Samudera Hindia karena instruksi tertulis dalam surat yang ditulis oleh Intan Cahaya, untuk pergi ke mercusuar di Byron Bay, mengambil cuti lima hari kerja, meninggalkan istri dan dua orang anak di Jakarta. Sebuah keputusan gila dan mahal yang sangat mengejutkan bagi Howard sendiri yang selama ini menjalani hidup lurus dan penuh dengan pertimbangan logika. Ungtunglah dia bertemu Darma yang cenderung blak-blakan dan apa adanya, menjadi partner berdebat dan berselisih dalam berbagai hal, sekaligus pelengkap pemikiran yang tak mampu hinggap di benak Howard. Perjalanan spekulatif, nekat, dan tak masuk diakal, dalam pencariannya akan sebuah bukti kehidupan masa lalu yang diyakini benar oleh Intan Cahaya sebagai janji di kehidupan lalu antara dirinya dan Howard.

Bagiku, Dee menghadirkan kisah cinta abstrak yang dibumbui konsep belahan jiwa dan reinkarnasi dengan caranya sendiri, yang apik dan cantik. Dalam cerita “Guruji”, Dee dengan terang-terangan menyajikan ide reinkarnasi dan belahan jiwa dalam petikan cerita berikut: Seketika sorot matanya menangkap sorot mataku, bersama kami tenggelam dalam sebuah arus misterius. Tanpa perlu lagi proses hipnosis. Dengan mantapnya dia berbisik, “Kita pernah bertemu.”(Guruji, hal.114). Selanjutnya, konflik yang dihadirkan tidak mencukupkan pada konsep pemahaman kita akan cinta, belahan jiwa, atau bahkan reinkarnasi. Tapi lebih dari itu semua, Dee mengaduk-aduk perasaan pembaca melalui konflik tak biasa di antara dua insan yang pernah yakin sebagai belahan jiwa yang akhirnya dipertemukan. Tidak selalu berujung pada kata bersatu, cerita-ceritanya justru mengedepankan pengalaman menyeluruh para tokohnya dalam memahami konsep hidupnya. Dee memang nampaknya tidak mengharapkan pembaca melompat dari awal cerita ke akhir cerita untuk mendapati satu ending, namun justru membawa pembaca menjelajahi samudera kehidupan yang dihadirkan potong-demi-potong dalam tiap alur cerita yang dihadirkan di tiap cerita pendeknya.

Jika dalam cerita pendeknya Dee lebih banyak memasukkan unsur cinta, dalam prosa-prosa dan tulisan lainnya, Dee lebih banyak mengangkat tema-tema kehidupan dan spiritualitas. Sebut saja “Perempuan dan Rahasia”, sajak yang ia tulis pada tahun 2006, menggambarkan sosok perempuan bagi laki-laki melalui perumpamaan halus dan indah burung, kupu-kupu, dan bunga. Sejak dulu saya sangat mengagumi kelihaian Dee memilih dan merangkai kata-demi-kata. Kemudian ada “Semangkuk Acar untuk Cinta dan Tuhan” sebagai buah karya-nya men[coba]definisikan cinta dan Tuhan melalui semangkuk acar. Jawaban pasti memang bukan tujuan akhir yang ingin disampaikan oleh Dee melalui setiap tulisannya, karena seperti peringatan pada kata pengantarnya, “… tidak semua perenungan berujung pada jawaban.” Bagaikan mengupas bawang merah, seringkali proses bertanya justru menemui lapisan pertanyaan-pertanyaan lain yang jika dilakukan terus menerus malah berakhir pada kehampaan. Bukan berarti sia-sia, tetapi apalah arti hidup jika pada akhirnya ‘jawaban’ sudah kita dapatkan. Bukankah hidup hanya akan berakhir saat ruh ditarik melalui ubun-ubun kita? Maka hidup memang akan terus berproses sepanjang nafas masih milik kita.

“Barangkali Cinta” menjadi sajak penutup antologi Madre. Sebelumnya, saya sendiri sudah membaca sajak ini di blog pribadi Dee. Karena ini adalah salah satu sajak favorit saya, izinkan saya mengutip beberapa kata di dalamnya:

Barangkali cinta

Jika darahku mendesirkan gelombang yang tertangkap

oleh darahmu

dan engkau beriak karenanya

Darahku dan darahmu

terkunci dalam nadi yang berbeda

Namun berpadu dalam badai yang sama


Barangkali cinta

Jika napasmu merambatkan api yang menjalar ke

paru-paruku

dan aku terbakar karenanya

Napasmu dan napasku

bangkit dari rongga dada yang berbeda

Namun lebur dalam bara yang Satu


Barangkali cinta

. . .

(Barangkali Cinta, 2007. Hal. 159-160, “Madre”)



sumber gambar:
http://www.inibuku.com/25075/madre.html

Tidak ada komentar: