Belakangan hidupku tak berjalan 'sebagaimana mestinya'. Rencana hidup yang kususun jauh hari sebelum hari ini, berantakan sudah. Proposal masa depan yang telah rapi terbukukan dalam benak, berserakan entah. Inikah akhir hidupku?
...
Dulu dengan berapi-api, kuajukan daftar keinginan pasca-SMA ke orangtua. Dengan gaya penuh percaya diri pula, kutambah penyedap mimpi dan asa yang mungkin tergapai setelah meraihnya. Ayahkku, tak usah diragu, pasti mengagguk setuju, asal itu yang kumau. Ayah selalu begitu, sedari dulu, mendukung langkahku. Sementara ibu diam sejenak, duduk terhenyak, tak ada mencak-mencak. Ibu memang tak lunak, tak pula buatku sesak, tapi bijak.
Dulu dengan semangat membara, kudatangi ayah dan ibu, akan kabar gembiraku. Satu langkah berhasil kutapaki. Hasil ujianku membolehkanku meraup ilmu sastra yang kudamba, di universitas ternama pula. Ayah mencium pipiku, dan kudapat senyum ibu. Namun hidup mulai bekerja, maksudku, hidupku. Kehidupan yang sesungguhnya, mulai menyapa. Tak dapat kuinjakkan kaki, di tanah impian yang sejatinya t'lah kuraih.
Dulu dengan tekad membulat, kupasang senyum terindahku, untuk ayah dan ibu. Pertanda tak sedikitpun aku menyalahkan mereka. Bahkan proposal lain t'lah usai kususun cukup dalam semalam. Ini tentang hidupku, lagi-lagi. Ayah sedikit meragu, bukan padaku, dan kubilang padanya "bukan salahmu". Ibu tak sesaat dalam diam, dia menatapku dalam, "percayalah" bisikku, "ibu tak boleh muram".
Dulu dengan keyakinan tanpa beban, kusodorkan apa yang telah kudapatkan. Hanya demi mereka, batinku. Ilmu Hubungan Internasional di universitas Islam, tak kalah nama atas yang lain. Senyumku hanya karena senyum mereka, atau mungkin keadaan. Mimpiku tersusun hanya untuk mereka, atau mungkin keadaan. Aku belum menyadarinya. Hanya perlu menjalaninya.
Kemarin dengan kehampaan, aku pulang dari perantauan. Tak ada lagi kalimat berapi-api, atau semangat yang membara, atau tekad yang bulat, bahkan keyakinan dalam diri. Aku berdiri di hadapan ayah dan ibu, dengan apa adanya, begitu saja. Ayah kini yang diam, tak berdaya dalam muram, auranya kelam. Ibu mengangguk tenang, seolah badai tak pernah datang, bahkan seperti menang. Aku menangis, ayah mengerti, ibu pun berdiri. Aku meratap, ayah berharap, ibu mulai berucap. Dan saat itulah, detik itulah, hidupku berubah. Maksudku, caraku memandang hidup berubah.
Sekarang, tak lagi kusandang, status mahasiswa yang agung dipuja. Bukan ku tak bangga, bukan pula ku kecewa, melainkan belum waktunya. Bukan tentang waktu yang tepat, karena tak ada waktu yang tepat, yang ada tindakan yang tepat. Ini memang saatnya kulakukan hal lain, hal ini, yang sekarang kuhadapi.
Sekarang, tak ada mata kuliah menghiasi hari-hariku, atau teman aktivis dengan seabrek kegiatan. Bukan maksud hati meninggalkan, apalagi menyia-nyiakan, hanya sebentuk perpisahan. Begitulah esensi pertemuan, untuk sebuah perpisahan, keabadian bukan milik makhluk Tuhan. Sudah semestinya kuisi hari-hariku dengan hal lain, hal ini, yang sekarang kuhadapi.
Sekarang, sedang kumulai hidup baru, di bawah langit yang biru. Aku berdiri di depan pintu sambil menatap hidupku yang baru. Satu hal yang kutahu pasti, aku tak pernah sendiri*. Tak ada waktu untuk sesal, tak pula kuingin membual, hidupku masih normal. Ini tentang hidupku, kehidupan, dengan segala apa yang dirahasiakannya. Ada banyak hal dalam hidupku yang tak berjalan sebagaimana mestinya. Tapi saat kutatap langit luas, hal itu tak berarti apa-apa*.
Sekarang, pertanyaan menghujaniku, sedikit mengganggu namun kubersyukur tentu. Walau tak jujur kumenjawab mereka, bukan berarti ku mendusta, apalagi tak percaya. Walau kadang ku suka bergurau, tak berarti ku tak hirau, ku hanya tak ingin menjadai kacau. Kawan-kawanku adalah nafas semangatku, perhatian mereka adalah pemacu energiku, jadi tak mungkin mereka hanya berlalu. Untuk mereka yang begitu besar perhatian padaku, namun begitu kecil jawabku, maafkan aku.
...
Belakangan hidupku tak berjalan sebagaimana yang kuinginkan. Rencana hidup yang kususun jauh hari sebelum hari ini, berantakan sudah, tapi tak pecah. Proposal masa depan yang telah rapi terbukukan dalam benak, berserakan entah, namun tak punah. Ini bukan akhir hidupku. Justru inilah awal hidupku, yang sesungguhnya ...
*diambil dari lirik lagu Jepang berjudul Sangatsu Kokonoka atau dalam bahasa Inggris berarti March 9 yang telah diterjemahkan.
Sumber gambar:
http://orriel.deviantart.com/art/Intersection-37696510
...
Dulu dengan berapi-api, kuajukan daftar keinginan pasca-SMA ke orangtua. Dengan gaya penuh percaya diri pula, kutambah penyedap mimpi dan asa yang mungkin tergapai setelah meraihnya. Ayahkku, tak usah diragu, pasti mengagguk setuju, asal itu yang kumau. Ayah selalu begitu, sedari dulu, mendukung langkahku. Sementara ibu diam sejenak, duduk terhenyak, tak ada mencak-mencak. Ibu memang tak lunak, tak pula buatku sesak, tapi bijak.
Dulu dengan semangat membara, kudatangi ayah dan ibu, akan kabar gembiraku. Satu langkah berhasil kutapaki. Hasil ujianku membolehkanku meraup ilmu sastra yang kudamba, di universitas ternama pula. Ayah mencium pipiku, dan kudapat senyum ibu. Namun hidup mulai bekerja, maksudku, hidupku. Kehidupan yang sesungguhnya, mulai menyapa. Tak dapat kuinjakkan kaki, di tanah impian yang sejatinya t'lah kuraih.
Dulu dengan tekad membulat, kupasang senyum terindahku, untuk ayah dan ibu. Pertanda tak sedikitpun aku menyalahkan mereka. Bahkan proposal lain t'lah usai kususun cukup dalam semalam. Ini tentang hidupku, lagi-lagi. Ayah sedikit meragu, bukan padaku, dan kubilang padanya "bukan salahmu". Ibu tak sesaat dalam diam, dia menatapku dalam, "percayalah" bisikku, "ibu tak boleh muram".
Dulu dengan keyakinan tanpa beban, kusodorkan apa yang telah kudapatkan. Hanya demi mereka, batinku. Ilmu Hubungan Internasional di universitas Islam, tak kalah nama atas yang lain. Senyumku hanya karena senyum mereka, atau mungkin keadaan. Mimpiku tersusun hanya untuk mereka, atau mungkin keadaan. Aku belum menyadarinya. Hanya perlu menjalaninya.
Kemarin dengan kehampaan, aku pulang dari perantauan. Tak ada lagi kalimat berapi-api, atau semangat yang membara, atau tekad yang bulat, bahkan keyakinan dalam diri. Aku berdiri di hadapan ayah dan ibu, dengan apa adanya, begitu saja. Ayah kini yang diam, tak berdaya dalam muram, auranya kelam. Ibu mengangguk tenang, seolah badai tak pernah datang, bahkan seperti menang. Aku menangis, ayah mengerti, ibu pun berdiri. Aku meratap, ayah berharap, ibu mulai berucap. Dan saat itulah, detik itulah, hidupku berubah. Maksudku, caraku memandang hidup berubah.
Sekarang, tak lagi kusandang, status mahasiswa yang agung dipuja. Bukan ku tak bangga, bukan pula ku kecewa, melainkan belum waktunya. Bukan tentang waktu yang tepat, karena tak ada waktu yang tepat, yang ada tindakan yang tepat. Ini memang saatnya kulakukan hal lain, hal ini, yang sekarang kuhadapi.
Sekarang, tak ada mata kuliah menghiasi hari-hariku, atau teman aktivis dengan seabrek kegiatan. Bukan maksud hati meninggalkan, apalagi menyia-nyiakan, hanya sebentuk perpisahan. Begitulah esensi pertemuan, untuk sebuah perpisahan, keabadian bukan milik makhluk Tuhan. Sudah semestinya kuisi hari-hariku dengan hal lain, hal ini, yang sekarang kuhadapi.
Sekarang, sedang kumulai hidup baru, di bawah langit yang biru. Aku berdiri di depan pintu sambil menatap hidupku yang baru. Satu hal yang kutahu pasti, aku tak pernah sendiri*. Tak ada waktu untuk sesal, tak pula kuingin membual, hidupku masih normal. Ini tentang hidupku, kehidupan, dengan segala apa yang dirahasiakannya. Ada banyak hal dalam hidupku yang tak berjalan sebagaimana mestinya. Tapi saat kutatap langit luas, hal itu tak berarti apa-apa*.
Sekarang, pertanyaan menghujaniku, sedikit mengganggu namun kubersyukur tentu. Walau tak jujur kumenjawab mereka, bukan berarti ku mendusta, apalagi tak percaya. Walau kadang ku suka bergurau, tak berarti ku tak hirau, ku hanya tak ingin menjadai kacau. Kawan-kawanku adalah nafas semangatku, perhatian mereka adalah pemacu energiku, jadi tak mungkin mereka hanya berlalu. Untuk mereka yang begitu besar perhatian padaku, namun begitu kecil jawabku, maafkan aku.
...
Belakangan hidupku tak berjalan sebagaimana yang kuinginkan. Rencana hidup yang kususun jauh hari sebelum hari ini, berantakan sudah, tapi tak pecah. Proposal masa depan yang telah rapi terbukukan dalam benak, berserakan entah, namun tak punah. Ini bukan akhir hidupku. Justru inilah awal hidupku, yang sesungguhnya ...
*diambil dari lirik lagu Jepang berjudul Sangatsu Kokonoka atau dalam bahasa Inggris berarti March 9 yang telah diterjemahkan.
Sumber gambar:
http://orriel.deviantart.com/art/Intersection-37696510