Februari 01, 2009

in memoriam


Sesuatu baru akan benar-benar berharga dan kita sadari arti keberadaannya saat kita kehilangannya.

Belum pernah dalam hidupku aku merasakan sebuah rasa yang selalu menakutkan bahkan hanya untuk dipikirkan: kehilangan. Maksudku, rasa kehilangan yang sesungguhnya, yang selalu kuhindari untuk sekedar memikirkannya, yang tak pernah dapat kumengerti hingga hari itu. Bukan kehilangan bolpoin yang hampir selalu kualami semasa sekolah (aku memang ceroboh), atau kehilangan genggaman tangan Bapak hingga aku 'hilang' di supermarket pada waktu masih kecil, atau kehilangan buku yang baru kuberi beberapa hari (seperti saat aku kehilangan "A Cat In My Eyes" secara misterius), atau kehilangan uang karena kecerobohanku sendiri, atau bahkan kehilangan handphone berfitur canggih pertama yang kumiliki. Kehilangan-kehilangan seperti itu memang menyakitkan dan semuanya pernah kualami dalam hidup tepat seperti yang kudefinisikan di atas. Tapi aku sama sekali tidak merasa harus takut untuk merasakan kehilangan serupa (walau dengan tidak disengaja), karena nyatanya, kehilangan semacam itu akan selalu kutemui dalam keseharian. Bukan. Sekali lagi bukan. Kehilanganku kali ini terlalu berbeda. Terlalu berat untuk kupikul bahkan kuterima kehadirannya.

Ayah dari ibuku yang dengan hangat kusapa dengan sapaan embah kakung telah pergi meninggalkan alam fana ini pada Kamis siang pukul 13.30 dengan tenang. Kukakatakan tenang bukan karena ingin memperhalus istilah, tapi karena embah kakung memang benar-benar meninggal dalam ketenangan. Beliau hanya cukup memejamkan mata karena ada sedikit rasa sakit di dadanya, dan dengan sedikit gerakan memiringkan tubuh ke kiri, beliau pergi. Tak ada sakaratul maut yang berkepanjangan atau bahkan tampak. Tak ada erangan, teriakan, atau kejang yang menciptakan ketegangan. Tak ada wajah-wajah suram anak cucu yang menungguinya di rumah sakit. Yang ada, sekali lagi, ketenangan.

Kabar itu tiba padaku secara gamblang melalui tangisan embah putri yang seperti lolongan orang sakit yang sangat menderita di dalam kamarnya. Seketika lututku gemetar hebat, wajahku memanas siap meledakkan apapun yang secara tiba-tiba membara, lidahku kelu, dan otakku tak henti bekerja memutar memori tentangnya, tentang embah kakung.

Seketika aku merasakan sebuah sensasi hebat yang harus kuakui baru pertama kali kurasakan. Sebuah perasaan yang sangat rumit dan tak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Seperti sebuah penyesalan, kesedihan, amarah, penolakan, dan kebuntuan yang kurasakan dalam satu waktu secara serentak.

Menyesal. Kenapa aku hanya menyempatkan diri menjaganya di rumah sakit untuk beberapa jam saja? Kenapa tidak dapat kuterjemahkan satu pun bahasa firasat yang mungkin mendahului memperingatkan? Kenapa aku tak bisa lebih bertindak sebagai cucu yang baik selama ini? Kenapa tak pernah kupikirkan betapa sayangnya dia padaku? Kenapa begitu cepat? Kenapa?

Sedih. Pada akhirnya aku sadar akan satu hal, dari kesemua embah yang kupunya, embah kakung dari ibu dan embah putri dari bapaklah yang paling berbeda perlakuannya padaku. Kenyataannya, justru keduanya telah lebih dulu pergi (embah putri dari bapak meninggal pada November 2008). Tiba-tiba, aku merasakan kesedihan ganda, kehilangan dua kali dalam satu waktu.

Marah. Pada diri sendiri tentunya untuk alasan-alasan yang sebelumnya sempat kutulis. Aku marah karena setelah semua kebaikan mereka, aku baru menyadari betapa sedikit kebaikanku untuk mereka. Aku marah karena bahkan mereka pergi sebelum aku mampu menjadi cucu yang membanggakan darah keturunannya.

. . .


Sumber gambar:
http://www.crystalxp.net/galerie/img/img-wallpapers-candle-light_water-priyadarsh-sarwade-7769.jpg

Tidak ada komentar: