Yogyakarta, November 2008
Teruntuk Sahabatku,
Malam ini, untuk kesekian kalinya aku
menulis. Pikiranku beradu begitu keras. Sulit sekali bagiku untuk sekedar
memejamkan mata ini. Kepalaku berdenyut mengikuti irama marah, dadaku bergetar
bak gemuruh benci, dan badanku tegang laiknya dendam tanpa ampun. Begitulah
malam demi malam kujalani dengan berat.
Sobat, apa kau tahu kenapa malamku tak
setentram tidur pulasmu? Apa kau mengerti kenapa jiwaku tak setenang hembusan
napasmu di kala tidur? Kenapa pula perasaanku tak sedamai dengkuranmu? Itu
semua karenamu sobat. Kau yang menyebabkanku demikian sengsara di malamku.
Tapi kau tak salah padaku. Tak ada yang
bisa kusalahkan darimu. Kau tak pernah menggangguku hingga mataku senantiasa
terbuka. Kau pun takkan mengusik malamku hanya untuk memancing amarahku.
Apalagi provokasi yang tak pernah kau ciptakan demi keresahan jiwaku.
Lalu, apa penyebab itu semua?
Kau.
Kaulah penyebabnya.
Memang kau penyebabnya.
*******
Kau masih ingat saat-saat kebersamaan kita
di waktu kecil? Kita bermain bersama tak kenal waktu. Pagi hari saat mataku
masih menyipit, kau menjemputku dengan senyum lebar. Ceria telah terbit di
wajahmu. Kita pun pergi menembus kabut menyapa sang fajar. Kau membantuku
mengumpulkan semangat pagi.
Raja siang menyengat kulit kita. Namun
tawamu tak surut dimakan terik. Kejar-kejaran di pematang sawah adalah favorit
kita, kau ingat itu? Tubuh kecilmu senantiasa mudah kugulingkan, dan kita
tertawa.
Oh, matahari hendak pulang ke peraduan di
Barat Bumi. Lukisan alam mulai berubah. Aku tak akan lupa warna merah langit
yang selalu kau sanjung dan sesekali kau coba lukiskan pada kaos putihmu.
Warnanya menjadi cokelat, kau ingat?
Sisa energi dalam tubuhmu tak kau hiraukan
adanya. Kaki kecilmu terus menyusuri setapak menuju rumahku. Kau mengantarku
lantaran kau yang menjemputku. Saat tiba di rumah, sumber cahaya tinggallah
sang rembulan. Namun senyum manismu tak pernah tawar dalam pandanganku. Bahkan
di sisa harimu.
Sobat, memori indah masa kecil kita
terpatri hingga ke relung hati kecilku. Kepolosan sekaligus ketulusanmu tak
tergantikan oleh orang lain.
*******
Waktu berjalan seiring berkurangnya jatah
hidup kita di dunia. Angka sebelas dan dua belas mendeklarasikan diri sebagai
usia kita. Seragam pun tak lagi putih merah bak sang dwi warna. Putih birumu
yang terlihat kebesaran, selalu membuatku tertawa. Meski pada akhirnya nanti,
kau yang menertawakan pertumbuhan tubuhku yang ternyata telah terhenti.
Tinggiku tak lebih dari daun telingamu.
Pada masa-masa ini, berbagai gejolak jiwa
pun kita alami. Rasa ingin tahu yang menyumbul batas kemampuan kita, terkadang
membawa kita pada masalah.
Kau ingat komputer sekolah yang rusak
karena eksperimen hasil rasa ingin tahu kita? Hukuman dari bu guru sungguh
ringan kujalani. Itu karenamu. Karena kita menjalaninya bersama. Saat itu,
membersihkan toliet siswa yang luar biasa bau dan kotor menjadi ajang permainan
paling berkesan dalam hidupku.
Tahun kedua kita di sekolah baru menjadi
waktu kedekatan kita yang teramat. Hampir tak pernah kita tak nampak bersama.
Hingga banyak orang yang iri dengan persahabatan kita. Belajar bersama, bermain
bersama, makan siang bersama, berbincang soal perempuan, ah aku tak akan lupa
dengan gadis pujaanmu yang ternyata justru mempermalukanmu karena sifat-sifat
terpendamnya. Tenang sobat, kau hanya terbuai dengan keindahan fisiknya. Siapa
saja bisa berbuat khilaf. Haha...
Baik, aku tidak akan membahas masa lalumu
itu. Kembali lagi ke perbincangan awal. Kau pun senantiasa mendengar ceritaku
tentang dia. Tentang gadis pengusik waktu tidurku. Tentang bayang-bayangnya
yang mendominasi penglihatanku. Tentang gundah gulanaku meladeni perasaan aneh
yang bergejolak begitu keras saat itu. Ya, kita memang baru menginjak masa
remaja. Beruntung sekali aku memilikimu untuk berbagi.
Meski tak ada yang mengarahkan dan tak ada
yang diarahkan, tapi demikianlah seharusnya sebuah persahabatan. Tak ada satu
yang di depan saat yang lain di belakang, tak ada yang memimpin dan tak ada
yang dipimpin, tak ada yang lebih tinggi dari yang lain. Posisi kita senantiasa
kita sejajarkan dalam kebersamaan. Kita jalani hari demi hari bersama
berdampingan, bergandengan, dan saling menjaga. Indah benar masa remajaku
bersamamu sobat.
Lalu kita lanjutkan kebersamaan kita
hingga kita tanggalkan seragam putih biru yang telah usang. Era baru
persahabatan kita mulai menapaki kedewasaan dan sebentar lagi akan masuk pada
lingkungan pendewasaan itu.
*******
Sobat, seragam kita sudah putih abu-abu
sekarang. Kembali kita disatukan dalam satu lingkungan belajar, satu sekolah.
Ah, tinggimu sudah menyamai tinggiku.
Gejolak batin yang dulu pernah mendominasi
diri kita di awal usia remaja, kini menggemuruh dan makin keras. Lebih banyak
pertanyaan tentang ini dan itu. Lebih banyak tantangan menghadang jalan kita.
Lebih banyak ujian menempa kedewasaan kita. Lebih banyak pilihan menguji
kejernihan pikiran kita. Lebih banyak keraguan menyergap tiap langkah yang
hendak kita tempuh. Lebih banyak desiran rasa menghiasi hari-hari kita. Lebih
banyak watak dan kepribadian kita pelajari langsung maupun tak langsung. Lebih
banyak ini dan itu. Dan lebih banyak yang tidak kita tahu.
Kau mulai menjauh. Kau sibuk dengan
urusanmu, aku larut dalam kepadatan hari-hariku. Kita bahkan hanya bisa saling
berucap “Hei!” saat berpapasan. Tak banyak yang bisa kita bicarakan lagi. Tak
banyak yang bisa kita bahas lagi. Kita seperti hidup di dimensi berbeda.
*******
Tiba akhirnya kita pada pintu keluar SMA.
Pintu besar menakutkan yang makin mengancam tahun ini. Dengan enam buah gembok
baja berduri lembut tersamar. Sangat mengancam keselamatan kita keluar dari
gerbang tersebut. Salah-salah, kita akan terjebak di dalam sini, atau lepas
berdarah-darah, atau mungkin tidak selamat sama sekali. Aku sangat mengutuki
keberadaan gerbang bergembok enam yang suram dan horor itu. Kau tahu itu.
Ya, kau tahu itu. Tapi kau seolah tak
berada di sisiku lagi. Kau hanya menjadi penonton di antara kerumunan orang
yang juga termangu-mangu sambil memprovokasi para pejuang di arena. Kau
membiarkanku maju ke arena sendiri, sobat. Dan itu tak pernah kau lakukan
semenjak kita menjadi sahabat.
Mulai saat itulah, kita terpisahkan jurang
perbedaan. Jurang itu makin lebar dan makin dalam, sobat. Kau bahkan hampir
hilang dari pandanganku. Atau mungkin kau akan merasa aku yang meninggalkan
pandangan rasionalmu.
*******
Kini, malam-malamku semakin berat dan tak
menentu. Sungguh aku seperti penderita insomnia akut. Tak semenitpun dapat
kupejam mata ini. Otakku terlalu keras bekerja, tak sama sekali mengenal lelah,
setidaknya mempersilahkan pemiliknya kelelahan. Aku tak tahu harus berbuat apa
lagi untuk meladeni pikiran-pikiran yang berkecamuk tanpa henti tiap malam. Aku
lelah. Aku mau lelah. Tapi tidak bisa.
Aku terus memikirkan hidup ini, status
mahasiswaku, keluargaku yang makin melarat, empat orang adik perempuanku, biaya
kuliah yang aduhai, godaan hedonisme, krisis keuangan global, pemilihan umum,
korupsi, bagaimana makan sehari tiga kali, selalu kekurangan uang tiap
bulannya, demam mutilasi, uang habis, dosen yang selalu dirasa kurang, UU
Pornografi, kondisi pertanian negeri petani ini, dan kau.
Semuanya menghantui waktu malamku hampir
tak mengenal lelah. Satu per satu, beruntun, saling bertubrukan, saling
menyerang. Dengan berbagai cara. Dan kau. Kau selalu muncul menjadi hal
terakhir yang kupikirkan.
Dan kaulah yang menjadi satu-satunya yang
paling kusalahkan. Karena ketidakhadiranmu dikala susahku sekarang, keacuhanmu
melihat penderitaanku, kepergianmu sejak dewasaku menyemai, keberadaanmu yang
entah di mana, pengkhianatanmu, semua yang telah kau lakukan sejak aku justru
menapak keluar dari masa kecil dan remaja.
Tak jarang aku menangis. Menangisi semua
ini. Menangisi statusku yang seolah tak berbuat banyak untuk orang lain,
menangisi kemelaratan keluargaku, menangisi kerapuhan negeri ini, menangisi
sadisisme di masyarakat, menangisi ketidakpunyaan, menangisi kau. Lagi-lagi kau
yang terakhir berperan dalam drama panjang malamku. Selalu dirimu, sobat.
*******
Surat ini kutulis sekarang. Baru sekarang
setelah selama ini aku menderita tanpamu. Tidak dari dulu saat kau pertama kali
menghilang dari sampingku. Tidak sejak pertama insomnia menyergap
malam-malamku. Namun baru sekarang.
Itu karena kemunculanmu yang tiba-tiba
tadi malam. Dalam mimpiku. Ya, dalam tidur tak disengaja, kau muncul dalam
sosok yang kukenal saat hari pertama sekolah dasar. Tubuh mungilmu tampak bugar
seperti biasanya. Kau berdiri mantap di sana. Memandangku.
Kau memandangku dengan mata yang lain.
Bukan matamu yang dulu. Mata yang sangat pilu. Mungkin terlalu sering menangis.
Atau mungkin kurang tidur, sama sepertiku. Bola matamu sayu tak seperti badanmu
yang tak nampak sakit sedikitpun. Pandanganmu redup tak seperti tubuhmu yang
selalu enerjik. Kau seperti ... kau ... apa kau juga merasakan hal yang sama?
Denganku?
Aku melihat kilat mataku dalam matamu. Tak
salah lagi. Kau menderita sahabatku. Kau kelelahan. Kau pun seperti kehilangan
diriku. Kau seperti ... merasa dikhianati. Kau seperti muak dengan kealpaanku
dalam hari-harimu. Namun kau senang sekarang. Setelah akhirnya kita bertemu
lagi. Kau menunjukkannya dengan lengkung indah di bibirmu.
Kau menghampiriku malam ini, tapi
ekspresimu justru menampakkan keterkejutan karena keberadaanku. Seolah aku yang
menghampirimu.
Sebenarnya apa yang terjadi di antara
kita? Siapa meninggalkan siapa? Siapa menghampiri siapa? Semuanya sangat
membingunkan sekaligus mencerahkan. Pertemuan kita tadi malam dalam mimpiku
(atau mungkin mimpimu), memberi peluang jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku
seputar keadaanmu (mungkin juga menjawab pertanyaan-pertanyaanmu seputar
diriku). Ah, membingungkan sekali, sobat. Dan aku terbangun. Cepat sekali
rasanya tidurku ini.
Makanya kutulis surat ini untukmu. Aku
ingin kita bertemu lebih lama. Berbincang tentang kehidupan masing-masing.
Tentang keadaanmu, tentang alasan-alasan kepergianmu, tentang (yang kurasa
sebagai) pengkhianatanmu, tentang semuanya. Itu alasan awal. Hingga kuingat
sorot matamu itu.
Jangan-jangan aku yang meninggalakanmu.
Jangan-jangan aku yang memisahkan diri darimu. Jangan-jangan aku yang
mengkhianatimu. Jangan-jangan itu yang kau rasakan. Dan, jangan-jangan memang
demikian adanya. Aku makin bingung, sobat. Aku makin tidak mengerti. Sebenarnya
ada apa di antara kita?
*******
Kembalilah sobat. Dan itu pula yang akan
kulakukan, kembali padamu. Aku pun akan mencarimu, agar kau juga mencariku. Aku
akan merangkulmu, agar kau merangkulku seperti dulu. Aku tidak akan lagi
menyalahkan dirimu, agar kau tak pernah lagi menyalahkan diriku.
Aku ingin seperti dulu. Saat kita menyapa
sang Fajar dengan senyum bersama. Saat kita berguling-guling mengejar capung di
bawah terik mentari. Saat kita berboncengan di atas sepeda keliling desa hingga
penghabisan hari. Saat kita menyelinap keluar bersama dalam malam, sekedar
berlomba menghitung ‘ketombe’ di kulit
sang Langit.
Hah! Kita berdebat apakah
‘ketombe-ketombe’ itu bisa dihitung atau tidak. ‘Ketombe’ yang bisa
berkerlap-kerlip seperti lampu hias. Akhirnya kita sepakat mengganti namanya
menjadi ‘lampu hias’. Kau yang megusulkannya. “Ketombe tak mungkin
berkelap-kerlip,” katamu dulu. Saat itu usia kita baru empat tahun. Gara-gara
ibuku berketombe, kita pun mengira langit itu kepala raksasa perempuan yang
serupa ibuku namun sangat pemalu. Mungkin ia malu karena ketombenya banyak
sekali. “Atau mungkin ia juga berjerawat!” celetukmu. Kita terpingkal-pingkal
di halaman samping rumah. Sering sekali kita berbincang hal-hal lucu seperti
itu. Namun semua itu bagi kita dulu adalah hal serius. Bahkan kau pernah
menginap di rumahku lantaran kau takut langit yang barusan kita ejek murka dan
menelanmu. Hahaha... Aku menertawaimu dan kita tidak tidur malam itu.
Kenangan-kenangan seperti itu senantiasa
tersimpan dalam memori indah masa kecilku. Masa ketika aku memilikimu. Atau
ketika kau memilikiku. Masa ketika kau menemaniku. Atau ketika aku menemani
hari-harimu. Semuanya menjadi antara aku dan kau. Antara kau dan aku. Kita
memang satu. Kita tak bisa dipisahkan seharusnya. Kecuali kita saling melupakan.
Ya. Yang terakhir mungkin adalah
jawabannya. Mungkin kau melupakanku. Atau aku melupakanmu. Lag-lagi, harus
kuakui. Yang terakhir mungkin adalah jawabannya. Akulah yang telah melupakanmu.
Aku yang meninggalkanmu. Aku yang membatasi diri denganmu. Aku yang
mengkhianatimu. Aku, sobat. Bukan kau.
Melalui surat ini, yang aku sendiri tak
tahu harus mengirimkannya ke mana, aku mengundangmu kembali, sobat. Tidak.
Maksudku, aku akan menghamiprimu kembali. Aku membutuhkanmu.
dari seseorang
yang telah lama kehilangan
sebagian hidupnya
lantaran merasa ditinggalkan
kebahagiaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar