Juli 25, 2012

Surat untuk Seorang Sahabat



Yogyakarta, November 2008

Teruntuk Sahabatku,

Malam ini, untuk kesekian kalinya aku menulis. Pikiranku beradu begitu keras. Sulit sekali bagiku untuk sekedar memejamkan mata ini. Kepalaku berdenyut mengikuti irama marah, dadaku bergetar bak gemuruh benci, dan badanku tegang laiknya dendam tanpa ampun. Begitulah malam demi malam kujalani dengan berat.
Sobat, apa kau tahu kenapa malamku tak setentram tidur pulasmu? Apa kau mengerti kenapa jiwaku tak setenang hembusan napasmu di kala tidur? Kenapa pula perasaanku tak sedamai dengkuranmu? Itu semua karenamu sobat. Kau yang menyebabkanku demikian sengsara di malamku.
Tapi kau tak salah padaku. Tak ada yang bisa kusalahkan darimu. Kau tak pernah menggangguku hingga mataku senantiasa terbuka. Kau pun takkan mengusik malamku hanya untuk memancing amarahku. Apalagi provokasi yang tak pernah kau ciptakan demi keresahan jiwaku.
Lalu, apa penyebab itu semua?
Kau.
Kaulah penyebabnya.
Memang kau penyebabnya.

*******

Kau masih ingat saat-saat kebersamaan kita di waktu kecil? Kita bermain bersama tak kenal waktu. Pagi hari saat mataku masih menyipit, kau menjemputku dengan senyum lebar. Ceria telah terbit di wajahmu. Kita pun pergi menembus kabut menyapa sang fajar. Kau membantuku mengumpulkan semangat pagi.
Raja siang menyengat kulit kita. Namun tawamu tak surut dimakan terik. Kejar-kejaran di pematang sawah adalah favorit kita, kau ingat itu? Tubuh kecilmu senantiasa mudah kugulingkan, dan kita tertawa.
Oh, matahari hendak pulang ke peraduan di Barat Bumi. Lukisan alam mulai berubah. Aku tak akan lupa warna merah langit yang selalu kau sanjung dan sesekali kau coba lukiskan pada kaos putihmu. Warnanya menjadi cokelat, kau ingat?
Sisa energi dalam tubuhmu tak kau hiraukan adanya. Kaki kecilmu terus menyusuri setapak menuju rumahku. Kau mengantarku lantaran kau yang menjemputku. Saat tiba di rumah, sumber cahaya tinggallah sang rembulan. Namun senyum manismu tak pernah tawar dalam pandanganku. Bahkan di sisa harimu.
Sobat, memori indah masa kecil kita terpatri hingga ke relung hati kecilku. Kepolosan sekaligus ketulusanmu tak tergantikan oleh orang lain.

*******

Waktu berjalan seiring berkurangnya jatah hidup kita di dunia. Angka sebelas dan dua belas mendeklarasikan diri sebagai usia kita. Seragam pun tak lagi putih merah bak sang dwi warna. Putih birumu yang terlihat kebesaran, selalu membuatku tertawa. Meski pada akhirnya nanti, kau yang menertawakan pertumbuhan tubuhku yang ternyata telah terhenti. Tinggiku tak lebih dari daun telingamu.
Pada masa-masa ini, berbagai gejolak jiwa pun kita alami. Rasa ingin tahu yang menyumbul batas kemampuan kita, terkadang membawa kita pada masalah.
Kau ingat komputer sekolah yang rusak karena eksperimen hasil rasa ingin tahu kita? Hukuman dari bu guru sungguh ringan kujalani. Itu karenamu. Karena kita menjalaninya bersama. Saat itu, membersihkan toliet siswa yang luar biasa bau dan kotor menjadi ajang permainan paling berkesan dalam hidupku.
Tahun kedua kita di sekolah baru menjadi waktu kedekatan kita yang teramat. Hampir tak pernah kita tak nampak bersama. Hingga banyak orang yang iri dengan persahabatan kita. Belajar bersama, bermain bersama, makan siang bersama, berbincang soal perempuan, ah aku tak akan lupa dengan gadis pujaanmu yang ternyata justru mempermalukanmu karena sifat-sifat terpendamnya. Tenang sobat, kau hanya terbuai dengan keindahan fisiknya. Siapa saja bisa berbuat khilaf. Haha...
Baik, aku tidak akan membahas masa lalumu itu. Kembali lagi ke perbincangan awal. Kau pun senantiasa mendengar ceritaku tentang dia. Tentang gadis pengusik waktu tidurku. Tentang bayang-bayangnya yang mendominasi penglihatanku. Tentang gundah gulanaku meladeni perasaan aneh yang bergejolak begitu keras saat itu. Ya, kita memang baru menginjak masa remaja. Beruntung sekali aku memilikimu untuk berbagi.
Meski tak ada yang mengarahkan dan tak ada yang diarahkan, tapi demikianlah seharusnya sebuah persahabatan. Tak ada satu yang di depan saat yang lain di belakang, tak ada yang memimpin dan tak ada yang dipimpin, tak ada yang lebih tinggi dari yang lain. Posisi kita senantiasa kita sejajarkan dalam kebersamaan. Kita jalani hari demi hari bersama berdampingan, bergandengan, dan saling menjaga. Indah benar masa remajaku bersamamu sobat.
Lalu kita lanjutkan kebersamaan kita hingga kita tanggalkan seragam putih biru yang telah usang. Era baru persahabatan kita mulai menapaki kedewasaan dan sebentar lagi akan masuk pada lingkungan pendewasaan itu.

*******

Sobat, seragam kita sudah putih abu-abu sekarang. Kembali kita disatukan dalam satu lingkungan belajar, satu sekolah. Ah, tinggimu sudah menyamai tinggiku.
Gejolak batin yang dulu pernah mendominasi diri kita di awal usia remaja, kini menggemuruh dan makin keras. Lebih banyak pertanyaan tentang ini dan itu. Lebih banyak tantangan menghadang jalan kita. Lebih banyak ujian menempa kedewasaan kita. Lebih banyak pilihan menguji kejernihan pikiran kita. Lebih banyak keraguan menyergap tiap langkah yang hendak kita tempuh. Lebih banyak desiran rasa menghiasi hari-hari kita. Lebih banyak watak dan kepribadian kita pelajari langsung maupun tak langsung. Lebih banyak ini dan itu. Dan lebih banyak yang tidak kita tahu.
Kau mulai menjauh. Kau sibuk dengan urusanmu, aku larut dalam kepadatan hari-hariku. Kita bahkan hanya bisa saling berucap “Hei!” saat berpapasan. Tak banyak yang bisa kita bicarakan lagi. Tak banyak yang bisa kita bahas lagi. Kita seperti hidup di dimensi berbeda.

*******


Tiba akhirnya kita pada pintu keluar SMA. Pintu besar menakutkan yang makin mengancam tahun ini. Dengan enam buah gembok baja berduri lembut tersamar. Sangat mengancam keselamatan kita keluar dari gerbang tersebut. Salah-salah, kita akan terjebak di dalam sini, atau lepas berdarah-darah, atau mungkin tidak selamat sama sekali. Aku sangat mengutuki keberadaan gerbang bergembok enam yang suram dan horor itu. Kau tahu itu.
Ya, kau tahu itu. Tapi kau seolah tak berada di sisiku lagi. Kau hanya menjadi penonton di antara kerumunan orang yang juga termangu-mangu sambil memprovokasi para pejuang di arena. Kau membiarkanku maju ke arena sendiri, sobat. Dan itu tak pernah kau lakukan semenjak kita menjadi sahabat.
Mulai saat itulah, kita terpisahkan jurang perbedaan. Jurang itu makin lebar dan makin dalam, sobat. Kau bahkan hampir hilang dari pandanganku. Atau mungkin kau akan merasa aku yang meninggalkan pandangan rasionalmu.

*******

Kini, malam-malamku semakin berat dan tak menentu. Sungguh aku seperti penderita insomnia akut. Tak semenitpun dapat kupejam mata ini. Otakku terlalu keras bekerja, tak sama sekali mengenal lelah, setidaknya mempersilahkan pemiliknya kelelahan. Aku tak tahu harus berbuat apa lagi untuk meladeni pikiran-pikiran yang berkecamuk tanpa henti tiap malam. Aku lelah. Aku mau lelah. Tapi tidak bisa.
Aku terus memikirkan hidup ini, status mahasiswaku, keluargaku yang makin melarat, empat orang adik perempuanku, biaya kuliah yang aduhai, godaan hedonisme, krisis keuangan global, pemilihan umum, korupsi, bagaimana makan sehari tiga kali, selalu kekurangan uang tiap bulannya, demam mutilasi, uang habis, dosen yang selalu dirasa kurang, UU Pornografi, kondisi pertanian negeri petani ini, dan kau.
Semuanya menghantui waktu malamku hampir tak mengenal lelah. Satu per satu, beruntun, saling bertubrukan, saling menyerang. Dengan berbagai cara. Dan kau. Kau selalu muncul menjadi hal terakhir yang kupikirkan.
Dan kaulah yang menjadi satu-satunya yang paling kusalahkan. Karena ketidakhadiranmu dikala susahku sekarang, keacuhanmu melihat penderitaanku, kepergianmu sejak dewasaku menyemai, keberadaanmu yang entah di mana, pengkhianatanmu, semua yang telah kau lakukan sejak aku justru menapak keluar dari masa kecil dan remaja.
Tak jarang aku menangis. Menangisi semua ini. Menangisi statusku yang seolah tak berbuat banyak untuk orang lain, menangisi kemelaratan keluargaku, menangisi kerapuhan negeri ini, menangisi sadisisme di masyarakat, menangisi ketidakpunyaan, menangisi kau. Lagi-lagi kau yang terakhir berperan dalam drama panjang malamku. Selalu dirimu, sobat.

*******

Surat ini kutulis sekarang. Baru sekarang setelah selama ini aku menderita tanpamu. Tidak dari dulu saat kau pertama kali menghilang dari sampingku. Tidak sejak pertama insomnia menyergap malam-malamku. Namun baru sekarang.
Itu karena kemunculanmu yang tiba-tiba tadi malam. Dalam mimpiku. Ya, dalam tidur tak disengaja, kau muncul dalam sosok yang kukenal saat hari pertama sekolah dasar. Tubuh mungilmu tampak bugar seperti biasanya. Kau berdiri mantap di sana. Memandangku.
Kau memandangku dengan mata yang lain. Bukan matamu yang dulu. Mata yang sangat pilu. Mungkin terlalu sering menangis. Atau mungkin kurang tidur, sama sepertiku. Bola matamu sayu tak seperti badanmu yang tak nampak sakit sedikitpun. Pandanganmu redup tak seperti tubuhmu yang selalu enerjik. Kau seperti ... kau ... apa kau juga merasakan hal yang sama? Denganku?
Aku melihat kilat mataku dalam matamu. Tak salah lagi. Kau menderita sahabatku. Kau kelelahan. Kau pun seperti kehilangan diriku. Kau seperti ... merasa dikhianati. Kau seperti muak dengan kealpaanku dalam hari-harimu. Namun kau senang sekarang. Setelah akhirnya kita bertemu lagi. Kau menunjukkannya dengan lengkung indah di bibirmu.
Kau menghampiriku malam ini, tapi ekspresimu justru menampakkan keterkejutan karena keberadaanku. Seolah aku yang menghampirimu.
Sebenarnya apa yang terjadi di antara kita? Siapa meninggalkan siapa? Siapa menghampiri siapa? Semuanya sangat membingunkan sekaligus mencerahkan. Pertemuan kita tadi malam dalam mimpiku (atau mungkin mimpimu), memberi peluang jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku seputar keadaanmu (mungkin juga menjawab pertanyaan-pertanyaanmu seputar diriku). Ah, membingungkan sekali, sobat. Dan aku terbangun. Cepat sekali rasanya tidurku ini.
Makanya kutulis surat ini untukmu. Aku ingin kita bertemu lebih lama. Berbincang tentang kehidupan masing-masing. Tentang keadaanmu, tentang alasan-alasan kepergianmu, tentang (yang kurasa sebagai) pengkhianatanmu, tentang semuanya. Itu alasan awal. Hingga kuingat sorot matamu itu.
Jangan-jangan aku yang meninggalakanmu. Jangan-jangan aku yang memisahkan diri darimu. Jangan-jangan aku yang mengkhianatimu. Jangan-jangan itu yang kau rasakan. Dan, jangan-jangan memang demikian adanya. Aku makin bingung, sobat. Aku makin tidak mengerti. Sebenarnya ada apa di antara kita?

*******

Kembalilah sobat. Dan itu pula yang akan kulakukan, kembali padamu. Aku pun akan mencarimu, agar kau juga mencariku. Aku akan merangkulmu, agar kau merangkulku seperti dulu. Aku tidak akan lagi menyalahkan dirimu, agar kau tak pernah lagi menyalahkan diriku.
Aku ingin seperti dulu. Saat kita menyapa sang Fajar dengan senyum bersama. Saat kita berguling-guling mengejar capung di bawah terik mentari. Saat kita berboncengan di atas sepeda keliling desa hingga penghabisan hari. Saat kita menyelinap keluar bersama dalam malam, sekedar berlomba menghitung  ‘ketombe’ di kulit sang Langit.
Hah! Kita berdebat apakah ‘ketombe-ketombe’ itu bisa dihitung atau tidak. ‘Ketombe’ yang bisa berkerlap-kerlip seperti lampu hias. Akhirnya kita sepakat mengganti namanya menjadi ‘lampu hias’. Kau yang megusulkannya. “Ketombe tak mungkin berkelap-kerlip,” katamu dulu. Saat itu usia kita baru empat tahun. Gara-gara ibuku berketombe, kita pun mengira langit itu kepala raksasa perempuan yang serupa ibuku namun sangat pemalu. Mungkin ia malu karena ketombenya banyak sekali. “Atau mungkin ia juga berjerawat!” celetukmu. Kita terpingkal-pingkal di halaman samping rumah. Sering sekali kita berbincang hal-hal lucu seperti itu. Namun semua itu bagi kita dulu adalah hal serius. Bahkan kau pernah menginap di rumahku lantaran kau takut langit yang barusan kita ejek murka dan menelanmu. Hahaha... Aku menertawaimu dan kita tidak tidur malam itu.
Kenangan-kenangan seperti itu senantiasa tersimpan dalam memori indah masa kecilku. Masa ketika aku memilikimu. Atau ketika kau memilikiku. Masa ketika kau menemaniku. Atau ketika aku menemani hari-harimu. Semuanya menjadi antara aku dan kau. Antara kau dan aku. Kita memang satu. Kita tak bisa dipisahkan seharusnya. Kecuali kita saling melupakan.
Ya. Yang terakhir mungkin adalah jawabannya. Mungkin kau melupakanku. Atau aku melupakanmu. Lag-lagi, harus kuakui. Yang terakhir mungkin adalah jawabannya. Akulah yang telah melupakanmu. Aku yang meninggalkanmu. Aku yang membatasi diri denganmu. Aku yang mengkhianatimu. Aku, sobat. Bukan kau.
Melalui surat ini, yang aku sendiri tak tahu harus mengirimkannya ke mana, aku mengundangmu kembali, sobat. Tidak. Maksudku, aku akan menghamiprimu kembali. Aku membutuhkanmu.



dari seseorang
yang telah lama kehilangan sebagian hidupnya
lantaran merasa ditinggalkan
kebahagiaan

Tidak ada komentar: