November 17, 2008

Ketika Bertanya Menjadi Kemewahan Hidup


“Makna serupa pintu keluar yang selalu kita cari ketika kita tersesat dalam sebuah labirin ketidakpastian. Kita selalu berusaha menemukan pintu itu. Namun, labirin selalu memaksa kita untuk berputar di situ-situ saja, atau—lebih parah—membuat kita harus kembali ke tempat saat kita bermula.”

(Fahd Djibran, Labirin)


Manusia memang terlahir untuk mencari tahu makna. Anak kecil bertanya pada ibunya, ”Apa itu?”. Lalu sang Ibu menjawab ”Itu gubuk”, si Bocah akan bertanya lagi, ”Gubuk itu apa?”. ”Gubuk itu tempat istirahatnya Pak Tani”. ”Kenapa Pak Tani tidak istirahat di rumah?”. ”Karena Pak Tani harus bekerja lagi”. ”Tapi, gubuk itu sempit”. ”Itu sudah cukup untuk Pak Tani”. ”Untuk apa gubuk itu ditaruh di tengah sawah?”. ”Untuk istirahat Pak Tani, kan sudah Ibu bilang”. ”Tapi gubuknya bisa diletakkan di rumah kan? Gubuk itu kan kecil?”

Begitulah anak kecil dengan rasa ingin tahu meledak-ledak yang diliputi kepolosan dan kesederhanaannya. Dunia bagaikan ladang pertanyaan yang menyumbul-nyumbul untuk disemai dalam jawaban-jawaban. Seringkali ia tak begitu saja puas memetik satu buah jawaban untuk satu pertanyaan. Sang Anak akan mencerabut saja apa yang bisa ia raih. Namun ia justru akan makin banyak bertanya. Makin ingin tahu banyak. Makin menjengkelkan bagi orang dewasa.

Lalu bagaimana dengan dunia orang dewasa yang (katanya) tak lagi sesederhana dunia anak-anak? Dunia penuh hiruk pikuk kepentingan dan kebutuhan. Dunia sibuk tak mengenal rehat untuk meraih satu tujuan yang membawa pada tujuan lain tak berakhir dan tak berujung. Dunia dengan rutinitas monoton dengan warna hitam putih. Orang dewasa cenderung menjudge sesuatu benar (putih) dan salah (hitam).

Perbedaan mendasar antara kedua dunia yang seolah berada pada dimensi berbeda tersebut adalah cara memandang dan menjalani kehidupan di dunia masing-masing. Anak kecil cenderung akan mendekati sesuatu yang unik dan mengusik rasa ingin tahunya. Entah untuk diambil dan dibawa pulang, atau sekedar dipandang di tempat hingga puas, atau paling sederhana dipertanyakan pada orang dewasa ”Apa itu?”. Sementara orang dewasa dengan kesibukannya tak cukup hirau dengan keberadaan benda-benda unik bahkan indah di sekitar mereka. Orientasi hidup mereka telah terpatri sesuai tujuan masing-masing tanpa perlu sekedar melirik bunga yang tumbuh di pinggir jalan misalnya. Bagi anak kecil, tak ada hal kecil dalam dunia ini yang tak pantas dinikmati atau ’dimainkan’.

Anak-anak cenderung memperlakukan benda tak penting bagi orang dewasa sebagai permainan baru. Sementara orang dewasa, lagi-lagi hanya fokus pada tujuan hidupnya. Seorang bocah yang melihat kubangan lumpur di kebun, akan menganggapnya wahana bermain yang seru yang menyenangkan. Ia tak mengenal kotor sebagai sesuatu yang jahat, yang pastinya akan dimaki orang dewasa. Orang dewasa akan mencak-mencak hanya karena angin sore merusak tatanan rambutnya sementara anak kecil akan menelentangkan kedua tangannya umpama ia sedang terbang terbawa angin.

Untuk sementara, dapat kita simpulkan, semakin tua usia seseorang, semakin kecil gairah untuk mencari makna atau menikmati makna itu sendiri.

Di sini saya tidak bermaksud berbicara tentang anak kecil dan orang dewasa. Saya hanya ingin memulai dengan mengajak pembaca kembali pada masa kecil mereka yang (pastinya) sudah jauh berbeda dengan masa dewasanya. Sesuatu yang juga ditawarkan oleh buku ”A Cat in My Eyes: Karena Bertanya Tak Membuatmu Berdosa” karangan Fahd Djibran ini, yaitu tentang cara seseorang memandang hidup, atau lebih gampang saya katakan cara seseorang menanyakan hidup.

Buku yang berisi kumpulan prosa, sajak, puisi, dan tulisan-tulisan lain yang sekilas nampak tercerai berai ini membuktikan betapa sebuah aktivitas sederhana—bertanya, dapat menjadi karya tak ternilai harganya. Lebih jauh, dapat saya katakan, bertanya telah menjadi kemewahan tersendiri dalam hidup penulis. Yang membawa penulis pada penemuan-penemuan gemilang akan hidup, cinta, dan Tuhan.

Seperti pada tulisan pertama dalam bukunya, ”Tubuh”. Fahd menyoroti sebuah kata sifat yang selama ini telah di[salah]artikan oleh kebanyakan orang yaitu "cantik". Definisi cantik yang selama ini dibilang berambut panjang, hitam pekat, lurus, berbadan ramping bak gitar spanyol, kulit putih mulus tak berjerawat, dan wangi menjadi ganjalan bagi Fahd dan Marva (sahabat penanya, kekasihnya, atau dirinya sendiri yang lain, entahlah). Melalui proses pencarian makna yang rumit dan panjang: mencari arti di kamus, di internet, dan buku-buku referensi tentang kecantikan, seakan membawa pembaca berputar-putar pada labirin yang tak berujung atau terlalu panjang untuk ditemukan ujungnya.

Di saat semua orang menyerah atau malas menanyakan konsep cantik dan mencari tahu tentang cantik hingga terjebak pada definisi cantik yang justru membatasi makna sesungguhnya dari cantik itu sendiri, Fahd sampai pada kesimpulan yang tak terduga, bahwa cantik itu sebuah jawaban. Untuk apa mencari jawaban atas sebuah jawaban yang sudah jadi? Cantik adalah cantik itu sendiri.

Suasana cinta dan romantisme sangat terasa ketika membaca ”Matamu yang Sepi” sebagai luapan kerinduan tak terperi pada sosok ibu yang telah lama tak dapat ia rasakan keberadaannya. Serta sebuah sajak indah berjudul ”Membencimu”. Kelihaiannya memainkan kata dan menyusun sebuah perumpamaan menjadikan tulisan-tulisannya yang walaupun terkesan sederhana, menjadi dalam maknanya. Tidak percaya? Berikut saya kutip tulisannya:

"serupa cuaca, aku mencintaimu, selalu terikat waktu,, serupa udara, aku menyayangimu, selalu terikat ruang,, seperti hujan, aku membencimu, sewaktu-waktu" (Membencimu)

Begitu pula dengan buah kontemplasinya akan Tuhan yang terwujud dalam ”Ke Mana Kau Siang Tadi, Tuhan?” yang menggelitik sekaligus menyentak alam kesadaran siapa saja yang membacanya. Fahd mampu memainkan emosi pembaca dengan perumpamaan sederhana namun mengandung sentilan-sentilan yang tak jarang memaksa saya untuk berrefleksi. Sejauh mana saya mengenal Tuhan? Sejauh mana saya mampu berkomunikasi dengan Tuhan?Seperti tulisan lain yang mengandung spiritualitas seperti ”Pertem[p]u[r]an dengan Tuhan” terasa sangat hidup dan mampu mengaduk-aduk emosi pembaca dalam mendalami kehidupan mereka yang terkadang jauh dari Tuhan, namun di saat lain seperti dekat sekali dengan Tuhan.

Semua itu adalah hasil suatu proses bertanya yang tak sekedar melelahkan karena berputar-putar dalam labirin panjang [seolah] tak berujung demi sebuah pintu. Tapi karena bertanya adalah kemewahan dalam hidup. Maka kemewahan jalan mencapai jawaban hingga kemewahan akan jawaban itu sendiri menanti untuk disemai. Dalam hal ini, Fahd Djibran telah menunjukkan kemewahan tersebut dalam "A Cat in My Eyes: Karena Bertanya Tak Membuatmu Berdosa".

Daya tarik buku ini ada pada sampul yang atraktif dan menarik khususnya untuk kaum muda, serta pemilihan judul yang membuat orang bertanya-tanya (suatu kesuksesan awal dalam mengajak orang meneruskan tradisi bertanya pada hal-hal sederhana). Dengan kertas daur ulang yang ringan dan tak terlalu mencolok, buku ini makin mudah dibawa ke manapun untuk dinikmati kapan pun. Dan pastinya, harganya yang ekonomis dan sesuai kantong semua kalangan, membuatnya sangat mungkin ditemukan di ruang baca banyak kalangan. Tentunya itu semua di luar kelebihan dari isi buku ini sendiri.

Akhirnya, ada dua pendapat umum orang-orang setelah membaca karya-karya dalam buku ”A Cat in My Eyes”: "tulisan-tulisannya membingungkan" atau "tulisan-tulisannya mencerahkan". Sekali lagi, cara pandang seseorang memang akan membentuk pemahaman yang berbeda bagi tiap orang yang melihatnya.






9 komentar:

Nabio mengatakan...

wow! do you know to what my "wow" refers? it goes to your own review. The way you reviewed the book is so attractive--and it's a good news for the marketing dept. This book by Fahd is excellent, I believe, but your retelling the book is even more inviting. you're absolutely outstanding, fa.. salut..
and by the way, i feel like buying that book. how can i get it? that would be great.. so?
i cannot really respond to the book for now as i haven't read it. but i'm willing to soon after I do..

Setya Nurul Faizin mengatakan...

ohh, it's too much miss,,
didn't u read the shoutout from zack on my shoutbox??
he said "looks like there are still some aspects you haven't mentioned from Fahd's book (probably)"
;-p

btw,,
thx a lot,,
i'll buy the book for you,,


,,

(then you pay it to me)


;-p



yea,, the book is that excellent,,

Nabio mengatakan...

yea, for sure. it is your review that's so marketable. if the judge is fair and is able to look through your work more carefully, you're going to win in any competition, though. except, if you're just being unlucky :p okay fa, please bring the book next Wednesday, i feel like reading it after reading your review, hehe.. but maybe would not be able to finish it soon because i have to prepare to study exam materials for this cpns test in the following saturday ;)have a great life!...

Anonim mengatakan...

Subhanallah ternyata selama ini ada seorang penulis jenius di dekatku.
Sejak pertama baca blogmu aku langsung tahu kalau Setya Nurul Faizin, asli Rempoah punya bakat untuk menjadi penulis besar. Kemana saja kau selama ini?

Tulislah sebuah buku Fa, jika kau menulisnya seperti ini, aku yakin bukumu bakal menjadi best seller.

ger-ger

Setya Nurul Faizin mengatakan...

@ Miss Nana:
yeaaa,, just hope judges read your comment, and consider it as a good idea,,;-p
actually i've bought the book on saturday evening,, but yea, only in wednesday morning we could meet each other,eh?? (and saturday morning in the class, hehee),,

@ger-ger :
ah kamu bisa aja gar,,
itu belum apa-apa,,
aku belum apa-apa,,
semuanya masih butuh pembelajaran,,
sungguh,,
tapi, ya!! aku pasti akan menulis (buku maksudnya),, karena memang itu salah satu mimpiku (becoming a best seller and nobel prize winner writter,,aamiin,,)
eh, pa kabar Ayat-ayat kauni?? lama kamu ngga nge-post??
padahal ditunggu lho info-info terbarunya,,
kamu juga berbakat jadi penulis non-fiksi,,alamiah,,
siapa tahu bisa kaya Harun Yahya?? Robert T. Kiyosaki??
aamiin,,,

Anonim mengatakan...

lagi vakum Fa, kuliah ternyata sangat menyita waktu....tunggu aja ya, insya Allah jika ada waktu.

ger-ger

lista lis gallery mengatakan...

beautiful..

sy suka baca analogi anak kecil - org dewasanya..



sempet ngerasa seneng, krn sy masih suka melirik bunga di pinggir jalan..

kalo begitu sy masih sperti anak kecil dong..(huahaha..) ngga lah, kebetulan aja sy interested ama pertamanan.. =)

terus nulis ya.. tulisannya enak dibaca.. ;)

Setya Nurul Faizin mengatakan...

@Lista:
iya,,aku juga suka menelentangkan tangan umpama sedang terbang ketika angin sore bertiup,,berarti aku juga anak kecil ya??

i believe i can fly,,
^_^

blog danang mengatakan...

Benar...

Seandainya kita ini "selalu menjadi anak kecil" tentu kita akan semakin dapat memaknai hidup ini....

Bahkan terkadang kini aku -yang dalam kategori usia mendekati dewasa- malu untuk bertanya akan sesuatu yang seharusnya aku ketahui...

Tetap semangat fha!!! Sukses untuk berangkat ke J*****!!!