Desember 02, 2008

Rindu

Tiba saatnya bagiku untuk menulis. Setelah puluhan hari sibuk dijejali rutinitas, disesaki aktivitas, dan tercerabut dari penyendirian. Inilah saat yang tepat untuk menulis. Saat kelam malam begitu pekat tak menyisakan penat seharian. Saat hanya nyanyian jangkrik dan jeritan serangga semak-semak bertaluan. Saat sabit di luar sana indah melengkung bagai senyum tanda rindu telah berujung. Rindu. Kata itulah yang bisa merepresentasikan gundah gulana sejak seminggu lalu. Mengendap. Menumpuk tiada ampun.


Di sini | di dalam hati ini | ada galau | yang membiru || pilu | kecu


Kegalauanku bukan tanpa alasan. Kesalahan waktu itu cukup menjadi alasan. Keluarga, teman. Aku tengah membicarakan keluarga. Ayah dan Ibuku lebih tepatnya. Seolah telah menjadi naluri, ego senantiasa menjadi pamungkas pemisah jurang anak dan orang tua. Anak yang [entah kenapa] merasa berpikiran lebih baik dan masuk akal dibanding orang tua. Orang tua yang [entah kenapa juga] selalu dan pasti mengedepankan gengsi atas nama nominal usia. Terus dan akan tetap menjadi pokok munculnya sekat antar keduanya.

Di sini | di balik rusuk ini | ada sepi | tak terperi || sunyi | sendiri

Dan atas nama kebesaran ego itulah, teman. Aku dapat mendengar kesunyian dalam tiap malam yang kuhabiskan. Seperti malam ini. Dadaku naik turun tak teratur. Setengah sesak namun tetap leluasa. Seolah terjadi gemuruh di dalam sana. Yang timbul tenggelam, sedikit demi sedikit. Namun alam begitu senyap meninabobokan makhluk bumi.

Belum pernah sejak kepergianku dari rumah untuk merantau ke tanah orang, aku putus kontak dengan orang tua untuk jangka waktu yang cukup lama [bagiku tentu]. Walaupun terkadang dering telepon dari mereka terdengar menyebalkan, selalu ada sensasi pribadi yang tak teridentifikasi saat suara ayah berkata "Sedang apa Mas?" Seketika segala kesah menguap seiring suara orang kedua setelah perpindahan tangan handphone dari ayah. Suara kedua tidaklah sama dengan suara pertama yang ringan dan terkesan santai. Jaga diri kau di tanah orang! Kau pasti bisa! Begitu kira-kira terjemahan nada suara ayah. Namun suara kedua yang selalu menanyakan "Sudah sholat Mas?" adalah sihir lain. Magis verbal yang meluluhlantakkan kecongkakkan dan kealpaan. Karena dalam suaranya yang berat tertahan seolah berkata Walaupun ibu tahu kau akan baik-baik di sana, ibu tak bisa menahankan ini, ibu rindu padamu, Nak! Biasanya badanku lemas dan hanya bisa menjawab "iya","sudah","bisa","baik", atau sesekali tertawa mendengar cerita ibu tentang adik bungsuku yang makin pandai saja memainkan ponsel ayah. Menirukan gaya orang berbicara di telepon. Padahal usianya belum genap satu tahun.

Di sini | di dalam benakku | ada gundah | tanpa arah || resah | gelisah

Penyesalan ibarat pahlawan yang selalu datang terlambat, pahlawan kesiangan. Serasa paling baik dan pantas keberadaannya, namun tak dapat berbuat apa-apa. Seperti fatamorgana. Menggiurkan untuk digapai, tapi tak ada yang bisa didapat setelahnya. Penyesalan juga adalah misteri hidup yang takkan pernah bisa dipecahkan manusia. Tak ada yang tahu asal-muasal rasa sesal kecuali dari kesalahan yang telah dilakukan. Namun berulang kali, kesalahan serupa bahkan sama akan terus dilakukan dan memunculkan penyesalan baru. Tak peduli setua apa manusianya, ia pasti melakukan sebuah kesalahan untuk disesali. Penyesalan tak pernah dapat dipelajari.

Hari itu, tanpa perlu kuceritakan detilnya, aku melakukan kesalahan. Serta merta aku mengutuki keadaan yang tak menguntungkan bagiku waktu itu tanpa sedikitpun membiarkan adanya kemungkinan. Entah kemungkinan baik atau terburuk, aku sungguh bodoh (jika lebih menghaluskan kata tolol) membiarkan ego merajai beserta emosi sebagai ratu atas diriku sendiri. Pasangan tersebut terlalu kompak mengendalikan rasionalitas yang ada untuk tak sekedar melongok keluar. Jadilah aku terperangkap pada kesalahan serupa dengan hasil akhir sebuah penyesalan. Itu beberapa hari yang lalu.

Malam ini, setelah membaca sebuah tulisan tentang rumah, kesadaranku terguncang sedemikian rupa. Begitu hebat hingga meruntuhkan tembok besar yang telah dibangun pasangan ego dan emosi. Namun begitu lembut menyentuh alam bawah sadarku. Membisikkan kenangan-kenangan indah masa kecilku.

Ah, masa kecilku, teman. Kalian tidak akan menyangka bahwa masa kecilku bahkan tak akan bisa dibuat cerpen. Kisah-kisahnya terlalu berarti untuk disingkat dalam sebuah cerita pendek. Dengan ayah dan ibu sebagai tokoh kunci dalam kehidupan kecil tokoh utama, lengkap sudah cerita ini menjadi memoar indah masa kanak-kanakku.

Aku yang selalu meminta apa pun yang tertulis dalam daftar keinginan, akan selalu mendapatkannya. Karena ancamanku adalah ancaman terburuk anak kecil usia empat tahun saat itu. Aku ingat saat orang satu kampung (teman, aku serius, benar-benar satu kampung saat itu) kocar-kacir berpencar ke seluruh pelosok desa. Pencarian yang memakan waktu berjam-jam itu demi menemukan seorang bocah yang sedang ngambek dan minggat dari rumah hanya karena tidak dibelikan permen aneh berbentuk badut di swalayan. Alhasil, si bocah ditemukan nun di ambang masuk hutan saat petang. Lebih kurang ajar, saat permen badut sudah dibelikan, bocah itu dengan enteng bilang "Aku sudah nggak pingin lagi".

Baik ayah maupun ibu memiliki cara unik menghadapi anak pertamanya yang super nakal ini. Ayah dengan sikap tenang dan santai selalu terkesan mengacuhkanku, padahal dialah yang paling pening dibuatnya. Belakangan setelah dewasa, ayah memberitahuku bahwa aku pernah dikencinginya saat mandi. Tradisi orang jawa katanya. Untuk menjinakkan anak laki-laki. Sementara ibuku lain lagi. Dia selalu berusaha memberikan apa yang kumau. Kehadiranku sebagai anak pertama memang terlalu berarti baginya yang terbilang muda menjadi seorang ibu. Jadilah hari-hari rumah tangga ayah dan ibuku dengan anak pertamanya menjadi adegan-adegan film komedi keluarga bagi lingkungan rumah yang kerapkali menjadi penonton ulah hebohku.

Di sini | tepat dalam dada | ada nama | yang kurindu || ayah | ibu

Maka rumah dan wajah ayah dan ibu telah beberapa hari ini berseliweran di kepalaku, seperti gerombolan kupu-kupu kuning yang mengelilingi pohon berbunga di kampus tadi siang. Saat kugetarkan pokok pohon itu, ratusan kupu-kupu pecah ke sana kemari sangat indah. Namun mereka tak pergi jauh. Karena sejurus kemudian kembali mengerumuni bunga-bunga bernektar di pohon. Seperti saat kucoba menggeleng-gelengkan kepalaku, bayangan itu pudar sesaat untuk menjelma menjadi rupa-rupa ayah dan ibu dalam berbagai ekspresi lain.

Aku tidak tahu apa yang mereka pikirkan tentang aku yang dengan lancangnya mematikan handphone selama beberapa hari ini agar tak bisa dihubungi. Aku pun tak mau ambil pusing dengan kiriman yang belum datang juga padahal bulan telah berganti, walaupun harus berhutang lagi pada temanku yang lain. Aku hanya ingin cepat-cepat menyelesaikan minggu ini. Menghabiskan hari-hari sebelum idul adha nanti. Empat hari ke depan. Aku hanya ingin berlari kencang atau jika perlu melompati waktu untuk berada pada sabtu malam saat aku telah tiba di rumah setelah menaiki kereta malam jurusan Jogja-Purwokerto. Aku hanya ingin cepat-cepat mencium tangan ayahku yang selalu bau asap rokok. Serta memeluk ibu yang [selalu] makin kurus saja. Aku ingin kembali sejenak dari segala kepenatan di Jogja. Aku ingin mengakhiri rezim ego dan emosi yang menggelontorkan penyesalan tiada ampun. Aku ingin pulang.

Teman, aku beri tahu sebuah rahasia. Ini tentang kata FAMILY yang merupakan sebuah singkatan:

Father
And
Mother
I
Love
You ...




sumber gambar :
http://www.dotservices.com.au/DOTS%20happy%20family%20cartoon.gif

9 komentar:

Unknown mengatakan...

Hallo Fhafha... tulisanmu makin bagus. aku suka. teruslah menulis. Teruslah membaca.

Menulis adalah berjuang.

Fahd

Setya Nurul Faizin mengatakan...

@ Kang Fahd
pasti kang,,
pasti saya akan terus berjuang,,
hidup menulis!!

atur nuhun kang,,

aziz miring mengatakan...

lam kenal,,,

susah, ya...
nyari blogger ank pwt.....

bnyk g sih, bloger di pwt....????

Nabio mengatakan...

By the time I write this comment, you must have been home for a couple of days.. I could understand very well what you were facing those days. I was once through it. I remember an expression, "you don't miss your water till the wells run dry..." right?..

Setya Nurul Faizin mengatakan...

@ aziz si anak kost:
apa iya ya??
mungkin banyak,, cuma belum menunjukkan taringnya saja,,
;p macan kali unjuk taring!!
coba di search aja kota purwokertonya,,
emank kenapa nyari yang purwokerto??
kamu asli purwokerto??

lam kenal juga ziz,,


@miss nana:
you're absolutely right,,
you know what?? i'm still here,, in purwokerto (my beloved town),,
yeahh,, this disease was truly s*ck!!
maybe sunday i'll go back to YK,,
don't miss me miss,,
hehhehee,,

Anonim mengatakan...

mantan anak pwt....

jd bsa tau pwt skrng ky apa....

lista lis gallery mengatakan...

slm kenal, jan phaiz...
tulisannya bagus..=)

father mother i love you.. pertama aku tahu itu dari buku ariesandi setyono yg judulnya hypnoparenting..

jadi inget, kdg ego jg menguasai sy sebegitunya.. tapi kalo inget masa kecil, bisa terharu n menyesal.. harus terus berjuang melepaskan ego nih.. hehe, thanks for satu dari di antaranya..=)

Setya Nurul Faizin mengatakan...

kalau aku, pertama kali baca kepanjangan itu di buku Hikmah Dari Seberang terbitan Pustaka Zawiyah,,
tapi sekarang bukunya sulit dicari,,
penulisnya pun tidak diketahui (unknown author),,
Karena itu kumpulan cerita dari berbagai negara yang tersebar di berbagai jurnal, artikel, blog yang tidak mencantumkan nama penulis,,

thank God if it has been the one among the others,,

blog danang mengatakan...

kamu hebat fha,, bukan kamu kalo tulisanmu gak menyentuh...

keep writing,, q yakin km bakal jadi penulis besar....