Desember 16, 2008

Fajar-Senja

Aku ingat saat ayah menceritakan hari kelahiranku. Saat itu adalah fajar. Ibu menyambut putra sulungnya dengan senyum manis seindah langit pagi. Beliau menggendongku yang masih merah dengan penuh kehangatan (meskipun aku belum bisa merasakannya, tapi aku meyakini itu) umpama sinar mentari pagi.

...


Tulisan ini kumulai saat fajar di suatu pagi yang berkabut.

Beberapa saat kupandangi lukisan langit timur nan kusanjung sejak dulu. Entah sejak kapan. Kegelapan telah raib digantikan warna-warni mistis berbingkai kesuraman namun sarat keindahan. Suhu pagi ini cukup rendah untuk menciptakan tebaran putih keabu-abuan yang seolah menyelimuti pepohonan dengan kesunyian dan kebisuan. Lengang.

Lalu semburat kemerahan memecah buram menjadi temaram. Masih di ufuk timur. Sisa-sisa bintang malam tadi tak kuasa digantikan sang fajar. Bau basah dapat kuhirup dengan leluasa. Bau yang tak kutahu seperti apa.



Tak lama lagi, langit merah menguning dan berakhir membiru. Saat kehangatan turut serta dalam fenomena pagi. Saat pepohonan telah dapat kulihat hijau tak lagi suram. Saat burung-burung seriti menghambur dari kediamannya untuk mencicitkan nyanyian paginya.

Sensasi ini tak bernama. Yang kutahu, aku bisa berlama-lama berdiri memandang langit yang berganti-ganti warna. Sesekali memejamkan mata sambil menelentangkan tangan menghirup bau pagi yang entah seperti apa. Merasakan kesejukan yang mengelus halus kulitku dan kehangatan yang hadir belakangan mengusir sisa-sisa kantuk.

Saat kusadar sepenuhnya fajar telah menyingsing, langit secerah seharusnya, dan suara manusia beraktivitas cukup bising, kutahu, hari baru saja dimulai.


...

Seperti apa hari ini tak bisa lepas dari penyambutanku terhadap pagi. Hari-hariku tak pernah sama. Seperti penyambutanku terhadap pagi yang tak pernah sama.

Aku dapat merasakan 'dingin' sepanjang hari kemarin. Saat pagi yang hujan dan dingin menusuk kusambut dengan dingin di balik selimut. Sisa hariku seolah dipenuhi hujan dan 'dingin'. Tak peduli seberapa gerah sepanjang siang yang mendung. Meskipun peluh merembesi kaos joger putihku. Walau aku harus telanjang dada di dalam kamar. Bagiku, hari itu 'dingin'.

Hari ini, sebagaimana kusambut pagi yang benderang dengan penuh kehangatan dan senyum, aku melihat senyum di setiap sudut jalan yang kulalui. Aku merasakan hangat di tiap ruang yang kutempati. Walau sempat geram karena terlalu lama menunggu dosen yang terlambat, sang Dosen muncul dengan senyum yang [kurasa] hangat satu jam kemudian. Walau tingkah temanku membuat alisku bertemu sesaat, detik berikutnya, aku dengan mudah memaafkannya.

Begitu pula hari-hari lain yang cukup terpengaruh oleh penyambutanku pada hari-hari tersebut di pagi hari.

Seperti yin dan yang. Ada penutup untuk sesuatu yang telah dibuka. Ada keburukan untuk tiap kebaikan. Ada kekurangan sebagai penyeimbang kelebihan. Ada petaka jika ada berkah. Ada akhir untuk sebuah awal. Ada hitam dan putih. Sebuah filosofi yang selalu berujung pada satu inti ajaran besar: selalu ada kematian untuk setiap kehidupan.

Satu hari bagiku dimulai saat mentari mengintip untuk terbit, dan diakhiri dengan kepulangannya ke haribaan langit barat. Dari waktu-waktu dalam satu hari, favoritku adalah waktu pagi dan sore hari. Fajar dan senja. Bukan berarti aku menjalani hidup di siang hari dengan setengah hati. Namun dua waktu ini seolah menjadi puncak kegairahan hidup atau sebaliknya--kelesuan--yang berpengaruh terhadap waktu siang.

Pagi dan sore bagaikan kembaran yang terpisahkan oleh dimensi ruang dan waktu. Keduanya sama. Sama-sama memiliki keindahan tak terperi. Sama-sama memancarkan kehangatan. Sama-sama memberikan lukisan megah penuh nuansa kuning keemasan.

Jika pagi hari menjadi tolok ukur berjalannya satu hari, maka sore hari menjadi sarana meditasi memutar ulang (flash back) jalannya hari yang hendak berakhir. Seperti halnya aktivitasku di pagi hari menatap langit timur, aku bisa berdiam diri memandang langit barat dalam ketenangan lain.

Saat-saat itu kugunakan untuk mengendurkan otot dan urat tubuh. Puluhan jam yang kulalui tadi tak akan dapat kuulang di hari lain. Peluang, kejadian, event, khilaf, berkah dan thethek bengek yang kujumpai hari itu hanyalah milik hari itu. Maka sore-soreku pun tak pernah sama.

Kadang muncul kepuasan. Tak jarang penyesalan yang ada. Atau rasa penasaran yang enggan menyingkir. Kadang kurasakan kebahagiaan yang mendalam. Sesekali ada kesedihan. Aku bisa men-syukuri hari itu. Aku pun bisa mengutukinya.

Saat-saat itulah, panorama senja sungguh indah tak hanya di mata, tapi di hati.

...


Dimulai dengan angin sore yang menebarkan baunya tersendiri (aku pun tak tahu seperti baunya). Matahari mulai menyentuh cakrawala. Umpama bola raksasa yang jatuh ke lumpur hidup, perlahan-lahan ia pun tenggelam, ditelan waktu.

Semburat-semburat kuning di permukaan awan, umpama gumpalan gulali berlapiskan emas. Langit biru telah berubah menjadi kekuningan di ujung barat sana. Hangatnya matahari sore tak sama dengan mentari pagi, namun sama indahnya. Pada detik ini, belum cukup decak kekagumanku.

Detik selanjutnya, lukisan telah ditebali tinta emas. Warna langit kian memukau dan indah. Matahari hanya tinggal separuh lingkaran. Semakin lama, semakin indah. Aku teringat masa kecilku saat aku bisa berlama-lama terpukau menonton pertunjukkan langit dari balik jeruji jendela rumah paling belakang yang tepat menghadap barat. Kebiasaan yang sudah jarang kulakukan mengingat waktu-waktu puncak pentas, bertepatan dengan kumandang adzan maghrib.

Hari ini, aku bernostalgia dengan berdiri mematung di balkon kamar asrama untuk menyaksikan senja sore. Kebetulan, tinta alam begitu pekat melapisi sore. Karena pentas tidak diadakan setiap hari tentunya. Ada kalanya langit sore tak ubahnya hamparan kuning pucat yang dipenuhi awan kelabu. Namun tidak sore itu. Langit sore mengucapkan kata perpisahan dengan aksi indah bernuansakan emas. Megah. Mewah. Sungguh indah.

Maka aku mengakhiri tulisan ini saat hari tengah bersiap menyambut senja.


...

Aku pernah [dan masih] berdo'a: "Tuhan, aku ingin Engkau memerintahkan malaikat-Mu menjemputku saat senja yang indah. Sebagaimana kau menurunkanku ke dunia saat fajar yang juga indah tentunya."






Sumber Foto:
http://www.lailalalami.com/blog-old/archives/MistyMorning.jpg
http://www.sarpysam.net/gallery/albums/sunrise/sunrise10232007.sized.jpg
http://www.whitehouse.gov/news/releases/2002/08/images/20020809-1_ranch1-1-515h.jpg
http://www.atpm.com/10.10/sunsets/images/sunsets-6.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEivxJd3NxBuic8HRrGCM4t_-_1OXjxJMGev8EglPlzMl_oj-xKUYo9H5oYpwcp-PclvkbSwWygICUsQ88P5bQIbS_XG-KSiPW7PcXeD6h9pjjFcy-bVZhjMHYirOeQrVs5juHPXTwwSPXc/s1600-h/senja.gif

11 komentar:

david santos mengatakan...

Yes, I know to say a little the language of Indonesia, but he liked to know more. We can wake up and teach one to the other, ok?
This is inglese.

Sim, eu sei falar um pouco da língua Indonésia, mas gostava de sabar mais. Nós podemos aprender um com o outro, está bem?
This is portuguese.

GOD BLESS!!!!!!! (I love Indonesia) (Eu amo a Indonésia)

David Santos - Portugal

Zakky Rafany mengatakan...

Hmmm...tulisannya puitis banget Jan. Tulisanmu sudah mulai 'berbentuk'. Bagus Jan, teruskan nulisnya....

lista lis gallery mengatakan...

Ketika terang dan gelap masih berpadu mewarnai langit, fajar,

tak perlu cermin, aku dapat melihat wajahku sendiri mulai tersenyum kecil seraya memandang ke langit luas, memandang bumi dengan permukaan alam di sekitarku..
Merasakan embun, mendengarkan kicauan burung, menyimak lambaian rerumputan dan pepohonan..
Menikmati dan menghayatinya di dalam hati, mendatangkan rasa syukur yang dengan sendirinya mengisi seluruh ruang hatiku..
Sangat bahagia.
Dan sangat terima kasih untuk sambutan cerahnya pagi ini..



Ketika terang dan gelap kembali berpadu mewarnai langit, senja,

aku telah melakukan sebagian aktivitas untuk hari ini.
Jenuh yang kadang muncul dapat diatasi oleh kesederhanaan yang dihadirkan oleh senja, oranye kebiru-biruan, warna yang begitu teduh..
Kicauan burung masih terdengar, Rumput-rumput dan pohon-pohon masih melambai-lambai, dan udara masih menyapaku.. Aku tidak sendirian di sini.. Aku, ada bersama alam..
dan dalam hati kuberkata, aku, amat bahagia.

Aku, juga kamu, dan juga mereka, menyukai fajar maupun senja..
Momen yang tidak bisa dibeli.. tapi ada untuk dihayati..


Thanks to fajar-senja, sebuah tulisan yang mengapresiasi kehadiran dan keindahan alam.. =)

Setya Nurul Faizin mengatakan...

@lista:
ya, aku percaya semua orang menyukai fajar dan senja,, momen-momen itu memang sungguh tak layak untuk diabaikan,,
hhh,,sayang sekali, aku kesiangan hari ini,, tak sempat sama sekali untuk sekedar mengintip sang surya,,
hari yang melelahkan,,

@globalizacktion:
alhhamdulillah,,
mudah-mudahan bentuknya gag buruk ya??
^_^

@david santos:
woww,,that's great!! i'm so happy to know there is someone out there loves Indonesia,,
however, some (young) indonesian starts forgetting their nasionalism and find another country to be loved,, T_T
i (always) hope Indonesia will always be loved not only by ou, and I, but all people,,
^_^

thank u, david,,

espero que será um bom amigo
(is it right?? ^_^)

david santos mengatakan...

Sim. Nós vamos ser bons amigos.
Terima Kasih

Zakky Rafany mengatakan...

Beneran keren, Jan. Kamu ibarat melukis dengan tulisan dibandingkan sekedar menulis...

Unknown mengatakan...

Wah, tulisanmu makin bagus nih. teruslah membaca dan menulis, mulailah serius. kok nggak pernah main ke ruang tengah lagi? datanglah.

ea_12h34 mengatakan...

hay salam kenal...

kamu percaya kebetulan?dan pertanda?

tulisan mu mengingatkan ku pada tokoh hasil percintaan ku dengan imajinasi yang terbengkalai..

beberapa waktu yg lalu aku menulis sesuatu dengan tokoh utamanya

Langit Merah...

dan membaca tulisan mu sy tiba-tiba merindukan dia lagi hehehe

Setya Nurul Faizin mengatakan...

@david santos:
^_^

@globalizacktion:
wahh,, aku baru dengar,, melukis dengan tulisan,, indah sekali kegiatan itu nampaknya,,
sepertinya aku sering melakukan apa yang kamu bilang "melukis dengan tulisan",, (dan akan lebih sering lagi ^_^)
makasih zack,,

@fahd djibran:
iya nih kang,, belakangan kondisi badan kurang fit,,
sudah dua minggu lebih batuknya ngga sembuh-sembuh,, (tapi insya Allah bukan TBC kok ^_^)
kemarin juga kebetulan di samping motor lagi dibawa pulang, ada sesuatu yang harus dikerjakann,,
minggu ini hari rabu aku pulang (jadi ngga bisa ikut acaranya IMM FISIPOL,,)
kalau semuanya sudah berjalan seperti sedia kala, aku pasti kembali berkunjung ke ruangtengah,,
aku juga belum mengembalikan buku relativitas,, ^_^ (maaf ya)

iya kang, aku tengah dan akan terus berjuang,,
dan pasti serius,,
^_^

@ea_12h34
wah kalau mengenai kebetulan, aku punya pendapat dan pemikiran yang cukup rumit untuk dijelaskan,,
kang fahd juga sudah menuliskannya di blog www.ruangtengah.co.nr,,
tulisannya cukup mewakilkan,,
dimensi kebetulan yang antara ada dan tiada,,
coba baca sendiri saja,,
judulnya "kebetulan",,dipost cukup lama,,

langit merah,,
pasti tokoh yang sangat menyenangkan,,
dan indah dipandang,,
kalau rindu, temuilah dia,,
jangan biarkan dia merana karena ketidaksempurnaannya,,
kau yang menciptakannya, maka kaulah yang akan diminta pertanggungjawaban atasnya bukan??
jika belum-belum kau sudah menelantarkannya, aku yakin dia menderita dan tak seindah seharusnya,,

aku harap kau akan datang [lagi] memberitahukan kabar baik tentang "langit merah"mu yang telah seindah semestinya,,

^_^

ea_12h34 mengatakan...

iyah jadi merasa bersalah dengan langit merah huhuhuhuh semoga libur bisa memberi ruang lagi untuk bercinta dengannya hehhehehe

senang berkenalan dengan anda

Setya Nurul Faizin mengatakan...

@ ea:
kutunggu kabar baikmu bersama langit merahmu,,
^_^