April 24, 2012

E [L] M [O] P [V] T [E] Y



Kosong
Bukan tak ada kata, melainkan tak kutemukan rupa
Bukan tak tergagas, ku hanya tak mampu menangkap yang sekilas
Bukan pula tanpa rasa, justru ini asing berjuta makna
Maka bukannya 'ia' tak ada, 'ia' sangatlah nyata

Kosong
Bagaimana kau memberi nama pada apa yang telah kau dustai sedemikian rupa?
Bagaimana kau mampu menangkap kilas yang senantiasa kau tutup buka?
Bagaimana rasa tak membingungkan jika kau tak benar-benar menerima?
Bagaimana 'ia' tak mewujud jika kau tak kenal cinta?

Cinta
Mungkin ia cinta, satu kata berjuta makna
Penyembuh yang sekarat, penawar racun berat
Mewujud dalam ribuan rupa, jutaan wajah, dan nama yang tak terhingga
Penggugah imajinasi, pemicu fantasi

Cinta
Mungkin saja cinta, satu makna berjuta kata
Pemicu sekarat pada yang sehat, racun ganas bagi yang tak kuat
Satu nama, satu wajah, satu rupa, tak terhingga kamuflasenya
Pembunuh kreativitas, perusak batas

Apa itu cinta?
...
[kosong]

Siapa itu cinta?
...
[kosong]

Mengapa ada cinta?
...
[kosong]

Maka kuputuskan berdiam dalam kosong
Sesaat berikutnya, 'ia' muncul begitu saja
'Kaukah itu cinta?'
...
[kosong]

Ah, mungkin cintaku mewujud dalam kekosongan



...
Sumber gambar:

Februari 04, 2012

Dear Master


What am I suppose to do when silence calls critics and actions are always been wrong? If I'm not the one who is expected to be or maybe I'm a fool wasting my time in this world doing nothing, and it hurts your long experience about life, I'm sorry. But I am the one who feel the pain to be put down down and down, again and again with your words. I really don't know if I can still bare all of this.

Yes, I'm weak, loser, poor, stupid, coward, and know nothing about life. And you know the best way to make me think even worse. Am I such a criminal in your eyes?

I just want to believe, that life is never-ending learning. NEVER! Especially about people, people's feeling. And I hope you learn about that too, beside all of the knowledge you've mastered.

Sincerely


. . .

Sumber gambar:
http://fc02.deviantart.net/fs70/f/2011/213/e/5/e52ecee28560d4590b1319f3a8bccd02-d42d3ir.jpg

Januari 13, 2012

From a Fool (2)

They say I took too long to get close with you,
They say I am a coward not to confess or make you my girl,
They say I did too many consideration just to say "it" out to you,
Maybe they think I'm an anti-mainstream in this field..

I would say "I don't care"
I enjoy the special case that I have here..
I never think of how long I must wait or must hold it, I just want you to feel comfortable..
That's it.

. . .


*the only exception playing*


sumber gambar:
http://th02.deviantart.net/fs8/PRE/i/2005/321/b/6/Here_with_you_by_limey404.jpg

Desember 22, 2011

Tentang Seseorang

Tentang seseorang aku tak pernah bosan menatap wajahnya
Garis-garis usia bermunculan seiring senyum yang datang dan pergi silih berganti dengan air mata

Tentang seseorang aku sering kecewakan dengan tingkah laku atau sekedar kata-kata
Punggungnya mulai membungkuk bukti kian rapuh badannya, sekaligus kian besar upayanya melindungi buah hatinya

Tentang seseorang aku sering lupa dalam sukaku, namun adalah orang pertama dalam curahan dukaku
Meski raganya tak lagi sekuat dulu saat mampu menggendongku keliling komplek, rasa sayangnya tak sedikitpun berkurang untukku

Sungguh tak sebanding usiaku dengan kasih sayang dan pengorbanannya
Tak pula terhitung berapa banyak luka yang kutoreh di hatinya, yang terus menerus dapat dia sembuhkan
Dalam harapan-harapan yang terselip pada tiap do'a malamnya,
Dalam nasihat-nasihat sederhana yang terucap lewat sambungan jarak jauh,
Atau sekedar sapaan lembut 'sudah sholat Nak?' yang tak pernah dia lewatkan sekalipun

Dan tentang seseorang yang sangat kurindu dan ingin kucium meski hanya lewat lagu,
Orang itu adalah Ibu...

[Selamat Hari Ibu, Mah]
. . .
Jakarta, 22 Desember 2011
01:38 WIB

November 17, 2011

"Dua Kisah Nusantara": Concert for Papua



Kamis, 10 November 2011 menjadi hari bersejarah khususnya dalam kehidupanku. Konser Interaktif "Dua Kisah Nusantara" menjadi konser pertamaku sekaligus pengalaman bathin tak ternilai harganya yang kudapatkan dari proses lima bulan persiapan konser.

Nama The Indonesia Choir kudengar dari seorang sahabat yang sama-sama anggota paduan suara kampus. Aku akhirnya diterima menjadi anggota The Indonesia Choir dengan segala keterbatasan dan kekurangan setelah mencoba beberapa range nada yang dimainkan sang guru, Jay Wijayanto, dan menyanyikan satu bait lagu "Mad World" sebagai lagu audisiku. Apa yang kulihat, kudengar, dan kurasakan selanjutnya selama hari-hari latihan di markas TIC yakni di Jalan Kyai Maja (lebih akrab disebut "Maja"), sungguh di luar ekspektasi-ekspektasi bahkan bayanganku tentang dunia paduan suara.

Pada awalnya kupikir proses audisi TIC terlalu sederhana bahkan cenderung bersifat formalitas karena untuk ukuran paduan suara profesional yang sudah beberapa kali menggelar konser besar, kualitas suara dan teknik vokal yang kumiliki lolos diterima begitu mudahnya. Terlebih saat tahu bahwa aku pun akan turut serta dalam konser besar TIC selanjutnya yang dilaksanakan di bulan November 2011. Setelah melewati prasangka-prasangka awal tersebut, aku mendapati satu nilai yang dimiliki oleh TIC yang benar-benar membuatku bangga menjadi salah satu anggotanya. Mas Jay (sapaan akrab sang guru), pada satu pertemuan menjelang konser berkata, "Konser tinggal hitungan hari, segala jenis persiapan telah kita lakukan, latihan vokal, latihan koreografi, persiapan kostum, pemusik, hingga dana yang tak kecil jumlahnya. Semua itu akan sia-sia kalau kalian, para 'artis' konser nanti tidak dapat menjadi api bagi dirinya sendiri. Bekal apapun yang kalian punya, kualitas apapun yang kalian miliki, tak akan berarti apa-apa jika kalian tidak menggunakannya dengan maksimal. Perlu kalian ingat, TIC tidak menerima anggota yang sudah menjadi bintang. Kalian datang dengan segala keterbatasan dan kalian telah melalui berbagai bentuk tempaan. Sekarang saatnya kalian tunjukkan hasil tempaan tersebut. Kalian harus bisa menjadi bintang di konser kita nanti." Selanjutnya, apapun yang kudapatkan, kuterima, dan kuhadapi dalam hari-hari latihan seolah menjadi penyemangat untuk tidak menyia-nyiakan keterbatasan yang mendapat kesempatan untuk diekspresikan dalam konser nanti.

Seperti halnya konser-konser TIC sebelumnya, nuansa nusantara menjadi nilai jual utama konser yang kali ini bertajuk "Dua Kisah Nusantara". Mengangkat perbedaan yang mencolok antara Indonesia bagian barat serta timur khususnya dalam segi budaya dan standard kehidupan. Mukadimah tentang konser mungkin sudah dibicarakan dengan baik di berbagai publikasi tentang konser "Dua Kisah Nusantara". Satu hal yang ingin kuangkat dalam tulisanku kali ini adalah tentang Papua.

Konser "Dua Kisah Nusantara" memang mengangkat tentang dua wilayah di Indonesia (Barat dan Timur) yang kontras baik secara budaya, gaya hidup, hingga jenis musik. Namun totalitas Mas Jay dalam mengeksplorasi Papua sebagai representasi wilayah Timur Indonesia patut diacungi jempol. Papua yang pernah disebut sebagai Netherland New Guinea, Irian Barat, serta Irian Jaya (hingga tahun 2002) merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia paling Timur yang mendiami pulau terbesar kedua di dunia, pulau Papua. Sejarah dari sudut pandang Geologi mengatakan bahwa Papua merupakan pecahan benua Australia yang terpisah oleh lautan di penghujung zaman es. Dari sudut pandang budaya dan antropologi, penduduk Papua yang oleh orang Barat disebut kaum Melanesia (karena memiliki warna kulit gelap; Mela adalah bahasa Yunani yang artinya gelap) merupakan bangsa Asia Tenggara asli yang datang menggunakan perahu dan 'terjebak' dalam dahsyatnya alam tanah Papua sehingga tak dapat meninggalkan wilayah tersebut bahkan terisolasi dari modernitas wilayah sekitarnya. Sejarah kerajaan nusantara menyebutkan adanya koneksi antara Papua dengan kerajaan-kerajaan besar yang pernah ada di Nusantara, misalnya burung cendrawasih, burung asli tanah Papua, digunakan raja-raja Majapahit untuk sesembahan dan disebut sebagai 'burung dari taman surga'. Ada sumber yang mengatakan bahwa Papua tercantum dalam beberapa kitab seperti Nagara Kartagama serta kitab Prapanca sebagai wilayah kerajaan Majapahit.

Dalam konser "Dua Kisah Nusantara", Mas Jay mempersiapkan empat buah lagu dari Papua, tiga diantaranya dipesan khusus oleh The Indonesia Choir untuk pementasan Kamis malam itu. Yamko Rambe Yamko menjadi lagu Papua pertama yang kami bawakan dengan iringan perkusi berbagai alat musik daerah timur, serta penampilan spesial dari Corp Seni Brimob. Sejak kecil, aku mengenal lagu Yamko Rambe Yamko ini sebagai lagu Papua tanpa kutahu artinya bahkan hingga sekarang. Pada saat kami melakukan interpretasi lagu bersama, Mas Jay bahkan bilang hingga saat ini belum ada yang tahu pasti makna lagu tersebut. Liriknya terbilang sederhana dengan banyak pengulangan kata, namun bahkan tidak semua orang Papua tahu makna lagunya. Berbagai milis maupun website komunitas pecinta Papua bahkan mengangkat tema 'arti lagu Yamko Rambe Yamko' dalam diskusi mereka. Adapun terjemahan kasar lagu tersebut adalah sebagai berikut:
Hai jalan yang dicari sayang perjanjian
sungguh pembunuhan di dalam negri
sebagai bunga bangsa
bunga bangsa, bunga bangsa, bunga bangsa
bunga bertaburan
bunga bangsa, bunga bangsa, bunga bertumbuh
di taman pahlawan

Namun sekali lagi, belum kutemukan ada penelaahan sejarah, makna, maupun interpretasi komprehensif mengenai lirik tersebut. Sekilas fenomena ini terkesan aneh sekaligus menggelitik. Telusur punya telusur, hingga tahun 1963, dimana ada sekitar 700.000 populasi penduduk di Papua, 500.000 diantaranya berbicara dalam 200 macam bahasa yang berbeda dan tidak dipahami oleh kaum atau suku lain. Dengan rasio populasi dan banyaknya bahasa yang digunakan, satu bahasa paling hanya dikuasai oleh sekitar 50 orang. Hingga saat ini tercatat ada 243 bahasa pengantar yang digunakan di Papua, dengan beberapa diantaranya telah punah karena meninggalnya orang yang memahami bahasa tersebut. Maka jangan heran jika lagu-lagu dari tanah Papua banyak yang terkesan misterius karena tak diketahui maknanya. Padahal mungkin saja lagu tersebut tidak benar-benar mengandung interpretasi lain selain apa yang bisa diterjemahkan seperti halnya lagu 'Seal Lullaby' karya Eric Whitacre yang murni benar-benar menceritakan seorang ibu tunggal menyanyikan lagu nina bobo untuk anaknya.

Lagu berikutnya diberi judul WOR, medley lagu tarian tradisional daerah Biak yakni Kankarem dan Morenkim aransemen Budi Susanto Yohanes. Berbeda jauh dengan kesan pertama yang mungkin muncul saat mendengar judulnya, lagu ini tidak bercerita mengenai perang, tetapi tentang pelangi, keindahan. Dua lagu selanjutnya adalah lagu pesanan khusus TIC untuk konser Dua Kisah Nusantara: Diru Diru Nina aransemen . . . dan Yapo Mama Cica aransemen Arvin Zeinullah. Tiga lagu Papua ini kami bawakan lengkap dengan koreografi arahan tim dari Jecko Dancer yakni Nambe. Gaya menombak dan melompat mendominasi gerakan-gerakan dalam koregrafi yang cukup menguras energi ditambah kami harus menjaga pitch dan choral sound saat bernyanyi.

. . .

Sejujurnya, tulisan di atas telah kutulis cukup lama dan mengendap di draft blogger entah menanti apa. Aku mengalami titik stagnan dimana aku tak bergerak maju pun tak berbelok arah, melainkan berdiam di tempat. Mungkin semua orang pernah mengalaminya, yang membedakan bagi tiap orang adalah seberapa lama dia bertahan di tempat yang sama dan tidak menghasilkan apa-apa. Aku sudah cukup lama mengendapkan tulisan ini dan kurasa apapun bentuknya, selesai atau tidak selesai, harus kupublish demi menuntaskan tanggung jawabku yang telah memulai.


Cheers,
Jan Phaiz (Setya Nurul Faizin)

Sumber:
http://sejarahbangsaindonesia.blogdetik.com/2011/05/28/sejarah-papua-tidak-terlepas-dari-masa-lalu-indonesia/
http://sejarah-papua.blogspot.com/
http://sejarah.kompasiana.com/2011/07/07/sejarah-papua-menurut-kompas/
http://real-mistery.blogspot.com/2009/07/misteri-pulau-papua.html
http://tunas63.wordpress.com/2008/09/22/makna-lagu-yamko-rambe-yamko/

Intermezzo II


Semester lima memang belum usai, tapi intermezzo kali ini rasanya tak bisa lagi menunggu untuk ditulis. Memang sempat kutulis tentang angan-angan untuk menempuh hidup yang sedikit lebih waras dan sehat di semester lima ini. Dengan berakhirnya masa jabatan di Himpunan yang penuh dengan acara dan kegiatan, tadinya kupikir dengan naik level di tingkat Senat yang tidak terlalu banyak event akan sedikit mengurangi aktivitas. Dan ya, semester lima sejauh ini tidak menunjukkan grafik penurunan aktivitas atau peningkatan waktu tidur malam. Terlebih sejak bergabungnya aku dengan The Indonesia Choir.

Bagiku, menyanyi bukanlah hobi namun tidak bisa pula dikatakan sebagai bakat. Menyanyi seperti bahasa ibu yang kubawa sejak kecil, di samping bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Dalam sehari, mungkin porsiku menggunakan bahasa Indonesia dan 'bahasa menyanyi' hampir sama saking seringnya aku menyanyi. Saat mendapat ajakan dari seorang teman untuk ikut audisi The Indonesia Choir, tentu aku sangat tertarik. Singkat cerita, aku resmi menjadi anggota saat TIC tengah mempersiapkan konser ke-5 dengan tajuk Dua Kisah Nusantara. Berawal dari rasa penasaran dan ketertarikan pribadi, jadilah aktivitas di TIC menjadi rutinitas yang mengisi hari-hariku di semester lima ini. Dimulai dari latihan rutin Rabu malam yang tepat ada di sela-sela rutinitas kampus, serta latihan Minggu siang yang seringkali kupakai untuk tidur usai shift malam sebelumnya, hingga latihan intensif menjelang konser yang bisa memakan waktu setengah hari di hari Rabu, Sabtu, dan Minggu. Tambahan kegiatan ini tidak menghilangkan rutinitas yang sudah ada seperti kuliah untuk enam mata kuliah, latihan paduan suara kampus, rapat-rapat rutin Senat, serta kerja 'rodi' shift malamku sebagai barista.

Tulisanku selanjutnya akan mereview tentang konser kelima TIC yang merupakan konser pertama dalam hidupku. Berhubung aku terlibat langsung sebagai 'artis' dalam pagelaran tersebut, mungkin tulisanku tidak akan banyak membahas tentang penampilan dan pertunjukkan secara keseluruhan dari bangku penonton, namun lebih pada pengalaman-pengalaman selama persiapan hingga konser dan thethek bengek tentang konser dari sudut pandangku.




Sumber gambar:
http://fc04.deviantart.net/fs4/i/2004/199/8/f/All_The_World__s_A_STAGE.jpg

September 23, 2011

Bulan yang Merindu Sang Hujan


Untuk kamu,
Malam ini diguyur hujan

Menyembunyikan bulan sang pujaan

Meski tak ku jumpaimu tadi siang

Balasan pesanmu cukup melegakan
Setidaknya tak perlu kumerasa diabaikan

Untuk hujan yang malam ini mengguyur,
Kau turun membasahi tanah

Ke seluruh jalan sambil menyebarkan bau basah

Seolah hadirmu mengabarkan resah

Yang nyatanya hadir saat datang kabar tentangnya
Dia yang mengingat namanya membuatku gelisah


Untuk bulan yang sosoknya selalu dia kagumi,
Kau memang absen dari langit malam ini
Tapi kutahu kau hanya sembunyi

Seperti halnya aku yang seringkali memandanginya seorang diri

Dari sudut tak nampak, siap lari saat dia pergoki

Seakan menyapanya perlu ribuan nyali


Untuk kamu yang mungkin merindukan sang bulan malam ini,

Aku tahu kamu tahu bulan tak tengah menghilang

Namun cuaca menjadikan langit serasa ada yang kurang

Sebagaimana hubungan kita hingga sekarang

Jawabmu atas tanyaku tak pernah berpanjang

Sikapmu terhadapku tak pernah cukup terang


Wahai hujan yang kian merintik dan hendak habis,

Hadirmu sekejap namun basah yang kau tinggalkan tak sebentar

Menyisakan genang air serta aroma yang masih menguar

Apa kau tahu betapa waktuku bersamanya tak pernah longgar

Namun memori yang kukecap seolah begitu besar

Ingin sekali kuyakin bahwa rasaku pun menjadi rasanya


Oh bulan yang mulai mengintip,

Kau memang tak memiliki cahaya itu

Namun pesonamu seolah membuatnya terpaku

Tahukah betapa aku iri padamu?

Saat dia mengagumi dan mengagungkan indahmu

Anganku terbang mengandaikan namaku yang dia sebut

Untuk hujan dan sang bulan,

Hadirmu bergantian tak nampak bersama

Seolah dimensi kalian sungguh berbeda
Dalam gelap malam hujan, bulan tentu tiada

Begitupun saat langit benderang cahya bulan, tak ada hujan di sana

Entah mengapa hidup kalian serupa denganku dan dia


Untuk kamu dan hanya kamu,
Mungkin bulan dan aku tak akan pernah sepadan

Namun dirimu sungguh serupa hujan di waktu malam

Dalam munculmu yang tak seberapa, ada sisa rasa yang membekas dalam
Dalam deras yang kau guyurkan, ada kesan yang justru menentramkan

Dan dalam anganku tentangmu, ada bulan yang merindu sang hujan



Jakarta, 23 September 02.57
Jan Phaiz (Setya Nurul Faizin)


~ Ditulis di dalam bus transjakarta saat malam hujan menggunakan ponsel, diselesaikan dan diposting melalui laptop pada dini hari di tengah-tengah shift kerja malam. Takut momennya hilang =P ~

. . .


Sumber gambar:
http://fc03.deviantart.net/fs70/i/2011/130/d/5/braving_the_night_rain_3_by_dannyst-d3g2fzc.jpg