April 24, 2015

Catatan Pembuka



"I'm afraid, if I don't choose a path soon, life will choose one for me."
― Human of New York (Facebook Page)

Kalimat tersebut meninggalkan kesan istimewa saat kali pertama aku membacanya. Tidak hanya membuatku mempertanyakan jalan hidup yang telah dan sedang kulalui, angan dan mimpi yang seakan menua, muncul kembali. Hebatnya arus kebutuhan yang telah menggilas sadis bumbu-bumbu kehidupan, menyisakan hanya lajur demi lajur rutinitas yang diam-diam justru mematikan.

Aku menyusuri waktu, kembali ke masa enam tahun lalu, saat awal kedatanganku di kota rantau yang jauh dari ayah ibu. Aku datang dengan bekal mimpi, cita-cita, angan, khayalan tingkat tinggi, dan tak sedikit fantasi. Tak peduli setinggi apa mereka semua, kutuliskan satu demi satu pada selembar kertas baru. Dan rasanya, belum satupun mewujud sesuai bayanganku dulu.

Hidup memang penuh kejutan dan ketidakpastian. Sedemikian rapi dan rinci alur yang kubuat untuk ceritaku, hidup selalu punya cara untuk membelokkannya, menukiktajamkannya, bahkan meremukkannya berkeping-keping. Tugas manusialah untuk memaknai tiap kejadian, untuk lalu berreaksi, bukan sekedar merutuk dan meratapi. Sayangnya, tingkat kesadaran ini lebih sering mati suri, mungkin juga akibat rutinitas sehari-hari.

Aku, di penghujung usia 24 tahun, jelang seperempat abad kehidupanku, memutuskan untuk berreaksi pada gejala demi gejala aksi yang hidup berikan padaku. Aku, calon sarjana manajemen dengan masa studi lebih lama dari semestinya, yang lebih tertarik mendalami dunia kepenulisan dan seni lukis, memutuskan untuk berhenti diperdaya hidup, dan menentukan sendiri nasib demi nasib yang tak pernah menentu. Lebih pastinya apa itu, nanti kalian akan tahu.

Untuk segala risiko dan tantangan yang menanti di depan, aku nyatakan kesiapan, meski dengan sedikit ketakutan. Semoga kesiapanku dapat menjadi obor semangat saat menghadapi masa-masa sulit dan rasa takutku bisa menjadi pengingat di saat keadaan di atas awan, bahwa ketidakpastian itu abadi, maka tak sepantasnya kita congkak dan arogan.

Maka izinkan kututup catatan pembuka ini dengan satu kutipan favoritku, dari seorang penulis hebat yang sudah jauh lebih dulu memahami potensi keindahan sekaligus akal busuk kehidupan, maka dengan penuh kesadaran ia turut berperan aktif dalam memegang kendali hidupnya, sekecil apapun itu.

“There is only one thing that makes a dream impossible to achieve: the fear of failure.”
― Paulo Coelho, The Alchemist

Januari 19, 2014

Rain in January


I love rain in January
Though it pours daily
It cures my little weary
Thoughts of you especially

I hate rain in January
Besides the floods around the city
It keeps me getting angry
About thoughts of you especially



 Jakarta, 18012014


______________________________________________________
Pict Source: http://indosurflife.com/wp-content/uploads/2012/12/RainDrops.jpg

Desember 19, 2013

Dari Soekarno hingga Muhammad

“Sometimes beautiful things come into our lives out of nowhere. We can't always understand them, but we have to trust in them. I know you want to question everything, but sometimes it pays to just have a little faith.” 
― Lauren KateTorment


Berawal dari rasa penasaranku setelah membaca ulasan seorang teman tentang film karya Hanung Bramantyo yang beberapa hari lalu mulai tayang di bioskop, malam ini berakhir dengan dua buah film Indonesia yang kutonton secara maraton: "Soekarno" dan "99 Cahaya di Langit Eropa". Tulisanku kali ini bukanlah ulasan secara mendetil tentang kedua film tersebut, melainkan catatan pribadi tentang kesan dan pengalaman yang timbul usai menonton kedua film tersebut dikaitkan dengan kejadian yang kualami dalam kehidupanku belakangan. 

Baiklah, kita mulai dari "Soekarno" yang berhasil membuatku menitikkan air mata dan beberapa kali terharu berkat racikan adegan, dialog, music score, dan keindahan gambarnya. Hanung Bramantyo menunjukkan kelasnya dalam dunia perfilman melalui karya terbarunya ini. "Soekarno" bercerita tentang perjuangan sang Proklamator Indonesia, presiden pertama RI sekaligus pencetus Pancasila, Soekarno dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Pelajar yang benar-benar membaca buku sejarah dan para sejarawan pasti setuju bahwa film ini hanya menceritakan sekelumit sepak terjang Bung Karno di Indonesia. Namun adegan demi adegan yang ditayangkan dalam alur cerita film cukup menggambarkan seorang Bung Karno yang pandai menarik hati rakyat melalui pidato-pidatonya, cinta pada tanah air dan rakyatnya, tidak takut pada penjajah, serta mudah jatuh hati pada perempuan. 

Setelah dua jam lebih dimanjakan dengan visualisasi mengagumkan perpaduan akting ciamik para aktor, pilihan apik tempat dan gambar yang mewakili latar waktu cerita, dialog-dialog cerdas, kuat, dan pada beberapa adegan menggetarkan hati, serta keindahan music score yang classy namun tidak membosankan, pikiranku tertaut pada satu adegan di dalam mobil. Bung Hatta 'mempertanyakan' dirinya sendiri (dan Bung Karno yang ada di sampingnya) apakah mereka siap memimpin Indonesia yang begitu besar dengan banyaknya penduduk yang ada, apakah mereka dapat menjamin di masa mendatang tidak terjadi kesenjangan antar daerah di Indonesia dan mereka dapat mengelola kekayaan Indonesia dengan baik hingga menyejahterakan rakyatnya. Setelah akhirnya Bung Karno menjawab tegas "Siap!", dia menambahkan yang kurang lebih begini, "Lebih baik kita yakin dan melakukan sesuatu meski pada akhirnya mungkin gagal atau salah, daripada bersembunyi di balik kekhawatiran dan terlalu takut untuk melakukan apa-apa". 

Diam-diam aku tersentak, tidak hanya oleh dialog padat yang heroik dan penuh arti tersebut, namun oleh alam sadar dan ingatanku akan pengalaman hidup yang tengah kuhadapi. Dalam enam bulan terakhir, aku menjalani hidup seolah bersembunyi dari kekhawatiran dan ketakutan-ketakutan yang aku sendiri tak pernah hadapi langsung, tentang masa depan, tentang mimpi-mimpiku yang dianggap kecil dan kurang berarti, tentang langkah yang akan kutempuh. Aku memilih berdiam dan menunggu apa yang akan aku temui dan dapatkan, bukan maju untuk mengambil langkah-langkah sendiri dan mencoba meski mungkin gagal atau malah salah. Bahkan ketika akhirnya aku sadar dan mulai menyusun keberanianku untuk beranjak dan menyingkirkan tembok kekhawatiran itu, dengan mudahnya aku kembali ke balik tembok hanya karena dianggap "sok tahu" dan sombong. 

Belum hilang sensasi sentakan adegan tersebut, tiba-tiba pandanganku tertuju pada poster film "99 Cahaya di Langit Eropa". Ketika kutanya pada sahabatku yang ternyata sudah menonton film tersebut, dia terdiam sejenak untuk akhirnya mengekspresikan bagaimana film tersebut dapat membuatnya makin mencintai Islam. Lagi-lagi sebuah ingatan menyesak keluar dan cukup menyakitkan, yakni ketika tiada angin dan hujan tiba-tiba aku dihadapkan pada pertanyaan "Apa pendapatmu tentang Allah juga mungkin salah?" Pertanyaan yang diawali dengan pertanyaan pembuka "Tahukah kamu bahwa Al Qur'an menyebutkan bumi ini datar?", kemudian berlanjut pada pernyataan pribadinya bahwa agama yang kuanut merupakan agama dengan obligasi paling banyak dan berat. Tiba-tiba disampaikan pula cerita tentang sahabatnya yang keluar dari Islam setelah pencarian panjang yang berakhir pada perasaan telah dibohongi berpuluh-puluh tahun lamanya oleh keyakinannya selama ini. Entah apa maksud dan tujuannya, aku mengambil satu pesan positif pada saat itu, tentang kelebihan manusia memiliki akal untuk berinterpretasi dan dibebaskan mengambil keputusan dalam hidup. 

Meski lanjutan cerita-cerita yang menyiksa tersebut adalah tentang kehidupan, fenomena masa kini, dan lebih merucut pada masa depanku, rasa sakit akibat cerita-cerita dan pertanyaan menyudutkan yang membuatku seolah tak berdaya dan tak mampu membela diri itu membekas hingga sekarang. Maksudku, aku memang belum menjadi muslim yang memahami Islam sepenuhnya dan masih pada taraf melakukan ibadah karena perintah-Nya atau meninggalkan sesuatu karena larangan-Nya. Maka ketika aku dihadapkan pertanyaan-pertanyaan yang meyangsikan keyakinanku tersebut dengan dasar-dasar logika yang kuat, bisa dipastikan aku akan bungkam, karena aku memang belum tahu jawabannya. Berkat rasa sakit itu dan komentar sahabatku tentang film "99 Cahaya di Langit Eropa", kakiku langsung menuju loket untuk membeli tiket film yang dijadwalkan akan tayang 20 menit lagi itu.

Secara teknis film, mungkin tidak adil jika aku membandingkan antara film "Soekarno" yang kutonton sebelumnya dengan "99 Cahaya di Langit Eropa" garapan Guntur Soeharjanto. Oleh karenanya, aku mempersilakan para pembaca untuk menonton sendiri film tersebut dan menikmati scene-scene indah pojok-pojok Vienna dan Paris yang menjadi latar film yang ternyata seri pertama ini. Mungkin saranku, janganlah menonton kedua film tersebut berurutan sepertiku karena secara tanpa sadar kau akan membandingkan kedua film tersebut secara teknis. 

Pesan penting yang sangat kuat kutangkap dari film ini adalah bahwa seorang muslim, dimanapun ia berada, selayaknya berperan sebagai agen Islam yang membawa kedamaian di muka bumi. Seperti kisah Nabi Muhammad SAW yang melanjutkan perjuangan Abu Bakar ash Shiddiq memberi makan seorang Yahudi tua yang tak dapat melihat bahkan menyuapinya meski orang tersebut, yang mengira Muhammad adalah Abu Bakar, tak henti-hentinya memaki-maki sang Nabi ketika beliau tengah memberinya makan. Salah seorang tokoh dalam film, muslimah asal Turki yang sering mendapat perlakuan kurang menyenangkan di Austria, membayarkan makan dua orang turis Inggris yang sebelumnya mengolok-olok Turki dan Islam. Baginya, kebencian tidak semestinya dilawan dengan kebencian karena hanya akan menyulut api. Dia dengan caranya sendiri, justru menampakkan wajah Islam yang damai dan penuh kasih. Bagiku, film ini memberikan keindahannya sendiri yang tidak dapat digambarkan dan dijabarkan dengan kata-kata. Setidaknya, keresahanku sedikit terobati, meski tidak sepenuhnya dilegakan. 

Masih di bawah pengaruh rasa sakit yang kusebutkan tadi, sesampainya di kamar, aku kembali mencari dan mencari apa yang mungkin dapat melegakan hatiku. Sedetik berikutnya, di hadapanku terpampang halaman website tentang tanya jawab antar agama yang justru menyudutkan Islam, perbandingan penulis dengan agama yang dianutnya. Bukannya aku anti dan berhenti, aku malah menuntaskan bacaan panjang tersebut, dan mengarahkan kursorku menyorot kolom "Muhammad". Lagi-lagi aku teringat pada cerita tadi, bahwa dalam pencarian spiritual sang Sahabat yang akhirnya keluar dari Islam itu, berbagai sosok Illahi muncul seperti Yesus, Gandhi, bahkan Budha, namun tidak ada Muhammad di sana. Benar saja, tulisan-tulisan tentang Muhammad dalam website tersebut benar-benar mencitrakan negatif sosok Muhammad yang selama ini kupercaya sebagai teladanku. 

Keraguan dan kegamangan semacam ini pasti pernah dialami oleh muslim di berbagai penjuru dunia pada berbagai era. Bagiku, pertanyaan dan keraguan ini justru memacuku untuk terus mencari. Aku masih mengingat sosok Marina Silvia K. yang melakukan perjalanan spiritualnya justru ke India dan Thailand, tempat Hindu dan Budha berkembang pesat, serta pertemuan dan interaksinya dengan sahabat-sahabatnya di penjuru Eropa baik yang Kristen, Katholik, Agnostik, hingga Atheis. Segala pengalaman tersebut ia tuangkan dalam dua bukunya "Back 'Euro' Pack: Keliling Eropa 6 Bulan hanya 1000 Dolar" dan "Jingga: Perjalanan ke India dan Thailand Mencari Surga di Bumi". Pertanyaan dan keraguannya justru mengantarkannya pada pengalaman spiritual yang hanya dia yang tahu betapa dahsyatnya. Aku juga masih mengenal sosok Fahd Djibran, penulis yang sekaligus mantan seniorku di kampus dulu, yang berhasil menuangkan keindahan Islam dalam karya-karyanya yang tidak menggurui dan dibalut dengan logika yang kuat. Orang-orang seperti mereka tentunya telah menempuh perjalanan spiritualnya masing-masing hingga akhirnya teguh pada keyakinannya dan, meminjam istilah dalam film yang baru kutonton, menjalankan perannya sebagai agen Islam yang tak perlu diragukan lagi. 

Sebenarnya aku ingin berterima kasih pada Bung Karno, Marina Silvia K., Kang Fahd, dan siapapun yang berhasil menggoyah imanku. Dalam satu malam, kalian berhasil membangunkan serigala putihku yang telah lama tertidur. Aku tidak akan lagi membiarkan langkahku terhenti oleh kekhawatiran dan ketakutan yang tidak benar-benar kuhadapi untuk mewujudkan mimpi-mimpiku. Aku tidak akan lagi berdiam apalagi bersikap kalah ketika Agamaku, Tuhanku, dan Nabiku dipojokkan oleh orang. Aku tidak akan pernah berhenti menjelajah bumi untuk mencari tanda-tanda kebesaran-Nya karena aku ingin tunduk sujudku tidak hanya berdasar pada perintah belaka, namun ada cinta di sana. 

“Love, like everything else in life, should be a discovery, an adventure, and like most adventures, you don’t know you’re having one until you’re right in the middle of it.” 
― E.A. BucchianeriBrushstrokes of a Gadfly


---
Sumber gambar:

September 27, 2013

Pungguk


"Bagaikan pungguk merindukan bulan". 

Peribahasa selalu mengena sekaligus menohok saat konotasi dan kiasan terdengar begitu denotatif dan nyata. 

Ah, si Pungguk harus berhenti menatap idolanya, sang Bulan, sebelum dia tergerak melakukan upaya. Rasa sakitnya bukan ketika terjatuh, namun ketika sesal menyusulnya. Sesal karena dia tahu kapasitasnya yg tak akan pernah menjangkau bulan namun tetap diupayakannya. Maka jatuh hanyalah kepastian yg menunggu, dan penyesalan telah mencoba, sedikit banyak berbunga malu. Apalagi ketika sang Bulan tak sedikit pun mendapat impresi dari upayanya.

Jauh di lubuk hatinya, dan ini yang paling menyakitkan di antara semuanya, si Pungguk telah lama mengetahui bahwa sang Bulan tak pernah mengharapkannya melakukan upaya. Namun tetap saja dia berupaya.

Oh Pungguk, dia harus segera terbangun dan mulai melihat sisi kanan kirinya. Mendongak utk Bulan memang menyenangkan, namun dia sendiri mulai mengeluhkan waktunya yg terbuang sia-sia tanpa mendapat suatu apa. Dia sendiri sadar hidupnya mulai tak berarah dan mungkin banyak gamangnya. Tuhan mungkin saja menyiapkan banyak hal indah lain di sekitarnya, bukan di atas sana.

Diam-diam pungguk menyeka air matanya. Bukan tersebab nasib ia terlahir sebagai pungguk yg tak mungkin menjangkau bulan, bukan pula karena upaya yg akhirhya ia lakukan malah berbuah sesal dan sia-sia, namun karena ia masih saja merindukan sang Bulan.



...

Jakarta, 27 September 2013
12.02

Sumber gambar:
http://sukmaerlangga.blogspot.com/
http://www.deviantart.com/art/Empty-Heart-and-No-Hope-195626922

Mei 22, 2013

"Nyanyian Tanah Merdeka": Tontonan Seni, Pelajaran Sehari-hari, dan Sindiran untuk Negeri


Dua tahun lamanya sejak konser terakhirku bersama The Indonesia Choir (TIC) dan The Indonesia Children Choir (TICC). Ketika itu, aku bernyanyi dalam rangkaian konser "Dua Kisah Nusantara" yang diselenggarakan di Usmar Ismail Concert Hall pada Kamis, 10 November 2011, kemudian berlanjut ke dua konser kunjungan di Solo dan Jogja bertajuk "Nyanyian Sepanjang Boulevard". Masih dapat kurasakan terangnya sorot lampu panggung besar pertamaku, sedikit membuatku linglung dan sulit mengenali sosok-sosok di bangku penonton. Konser interaktif pertama dan terakhirku bersama teman-teman TIC dan TICC. 

Malam tadi, Selasa, 21 Mei 2013 masih di panggung yang sama, Mas Jay (sapaan akrab Jay Wijayanto oleh para anggota TIC, termasuk aku) kembali menggelar sebuah tontonan paduan suara yang dikolaborasikan dengan berbagai seni pertunjukan lain. Konser kali ini bertajuk "Nyanyian Tanah Merdeka" (NTM), diambil dari judul lagu musisi Indonesia yang lebih dikenal dengan karya-karya musik jalanan dan memiliki penggemar dalam komunitas-komunitas, yakni Leo Kristi. Menurut media rilisnya, NTM digelar menyambut peringatan Kebangkitan Nasional yang jatuh sehari sebelum konser digelar sekaligus peringatan lima tahun berdirinya TIC sejak 2008. NTM juga menjadi persiapan awal TICC sebelum keberangkatannya ke "Hong Kong International Youth & Children's Choir Festival" pada Juli mendatang. Termasuk dalam agenda konser adalah peluncuran buku "Merek Indonesia Harus Bisa" oleh Mas Arto (Arto Subiantoro).

Beberapa artis kenamaan Indonesia turut mendukung kemeriahan konser yang berlangsung kurang lebih 3,5 jam. Sebut saja Mba Ade (Adelaide Simbolon), pianis wanita Indonesia yang mengenyam pendidikan musik (piano) dari Rusia hingga Amerika Serikat (Wisconsin Conservatory of Music); Om Jubing (Jubing Kristianto), gitaris gaya jari Indonesia yang menggunakan gitar klasik sebagai instrumennya; Mas Andreas (Andreas Arianto), akordeonis yang menyebut dirinya pemusik lepas dan menjadikan musik sebagai bagian tak terlepaskan dari hidupnya, menghidupi dan untuk dihidupi; serta sederet pemusik dengan alat musik yang pada dasarnya tidak berasal dari Indonesia namun dikenal meramu musik khas tradisi Indonesia seperti biola, saluang, dan cajon. Ada pula sembilan penari remaja dari Grup Tari Swargaloka yang mempersembahkan "Tari Tekad" sebagai pembuka konser, serta empat penari "tak kenal pusing" dari Rumah Rumi Whirling Dancer mengiringi lagu daerah Jambi, "Dodoi si Dodoi". 

Jika pada konser sebelumnya aku berdiri di panggung sebagai penyanyi, malam itu aku duduk di bangku penonton. Maka, ulasanku kali ini mungkin akan lebih komprehensif dari sudut pandang anggota TIC yang pernah menyanyi dalam konser-konsernya, anggota TIC yang turut terlibat dalam sekelumit kerumitan persiapan konser, anggota TIC yang memegang tiket penonton dan mengikuti jalannya konser dari awal hingga akhir dari kursi penonton, serta anggota TIC yang berinteraksi dengan anggota TIC lain setelah konser.

...

Total 16 lagu yang dibagi dalam dua sesi konser, delapan buah lagu ditampilkan untuk masing-masing sesi. Penonton disambut dengan lagu "Indonesia Raya" versi orkestra yang kemudian dilanjutkan oleh "Tari Tekad" sebagai pembuka konser. Narasi pertama yang dibawakan Mas Jay sebelum mengantarkan penonton pada lagu pertama adalah sejarah "Indonesia Raya", dimana teks aslinya yang ditulis pada tahun 1928 terdiri dari tiga stanza pada akhirnya hanya dipakai satu stanza setelah melalui revisi pada tahun 1958. Masih tentang lagu kebangsaan, Mas Jay beralih ke Singapura, yang ternyata lagu kebangsaannya berjudul "Majulah Singapura" merupakan ciptaan Zubir Said, putra Indonesia kelahiran Bukittinggi. Jika boleh kutambahkan, lagu kebangsaan Malaysia "Negaraku" pun bisa dibilang merupakan buah karya putra Indonesia, Saiful Bahri, pemilik hak kekayaan intelektual atas lagu "Terang Bulan" yang melodinya mirip sekali dengan "Negaraku". Pada titik ini, aku mulai melihat betapa penggunaan kata 'baik dan bodoh' sering tertukar tempat.

Lagu pertama yang dibawakan oleh TIC, dengan iringan piano Mba Ade, adalah "Nusantara" karya F.A. Warsono, solis Alice C. Putri. Mas Jay, masih dengan gaya khasnya yang santai dan kocak dalam memandu konser-konsernya, mengangkat satu topik yang mungkin terlupakan khususnya oleh pemuda Indonesia, yakni Trisakti. 

BERDAULAT dalam POLITIK
BERDIKARI dalam EKONOMI
dan BERKEPRIBADIAN dalam BUDAYA

 Nampaknya kesaktian tiga semboyan yang Bung Karno dalam rumusan Trisakti belum [tak] mampu diwujudkan oleh bangsa yang telah 67 tahun merdeka. Bagaimana bisa berdaulat, jika RI 1 saja dapat diperintah oleh pimpinan perusahaan multinasional yang telah menggerogoti kekayaan alam bangsa? Bagaimana bisa berdikari jika untuk konsumsi penduduk justru lebih mengedepankan impor dari negara lain? Cukup berkepribadiankah negara yang penduduknya lebih bangga menjadi ahli modernisasi dengan segala bentuk kebudayaan asing ketimbang mempelajari tarian daerah kelahirannya? 

Narasi tersebut disampaikan sebagai pengantar lagu kedua "Nyiur Hijau" yang dia sebut sebagai lagu wajib sekolah yang ter[di]lupakan. Dibawakan acapella tanpa iringan musik, TIC berhasil membuat beberapa penonton merinding dan seolah tak rela dunia tak tahu, membagikan pengalaman tersebut melalui twitter. Aku pribadi sangat menyukai lagu ciptaan A.J. Sudjasman hasil aransemen Arvin Zeinullah ini. Ada "rindu kampung halaman " yang menyeruak saat teman-teman TIC membawakan lagu ini merdu. Terlebih pada lirik bait kedua "Padi mengembang | Kuning merayu | Burung burung | Bernyanyi gembira", rasa kehilangan muncul berikutnya, mengingat padi yang digantikan dengan gedung pencakar langit, kuning merayu dirampas oleh kelabu, dan alih-alih burung-burung yang bernyanyi gembira, di Jakarta ini yang ada adalah mobil-mobil yang lalu-lalang-macet dan berklakson ria. 

Narasi berikutnya mengangkat topik pertanian. Menurut observasi Mas Jay terhadap data sejarah, politisi yang berhasil haruslah memiliki basis ekonomi yang kokoh. Logis memang, karena basis ekonomi yang kuat akan mendukung basis sosial yang diperlukan oleh seorang politisi, yang nantinya mampu menopang basis politik manakala sang politisi memegang kuasa. Tren politisi Indonesia bisa dibilang anti-mainstream karena kebanyakan politisi menghujani dirinya dengan isu-isu politik, lalu memperkuat basis sosial, dalam rangka memperoleh basis ekonomi. Hal ini sedikit banyak menjelaskan mengapa korupsi di Indonesia bertumbuh subur melebihi padi di sawah pak tani.

Lagu daerah pertama, hasil aransemen Farman Purnama, yakni lagu daerah Maluku "Mande-Mande" yang dibawakan lembut mengalun dengan solis seorang tenor, Yeremia Lalisang. Dalam penceritaannya yang tetap khas, Mas Jay menceritakan makna lagu tersebut sebelum dinyanyikan, yakni penantian para wanita Maluku yang ditinggal merantau oleh kekasih mereka. Kalau  sudah kaya, pulanglah mereka melamar kekasihnya dan menikah. 

Lagu selanjutnya diambil dari salah satu lagu kompetisi yang diikuti TIC dengan perolehan medali emas di Vietnam berjudul "Segalariak". Dibawakan saling sahut antar kelompok suara satu dan lain dengan bersemangat membuat lagu tersebut berkarisma. Pasukan TIC silam, digantikan 33 anak dan remaja. Sembari mengisi perpindahan, Mas Jay kembali mengisi sesi dialog dan bincang-bincang dengan penonton. Kali ini dialog dibuka dengan sebuah guyonan. Dalam perjalanan hidupnya, Mas Jay sering mendengar bahwa tentara Indonesia didominasi dan dikuasai oleh agama tertentu: AD (Angkatan Darat) dikuasai oleh pemeluk Islam sementara AU (Angkatan Udara) dikuasai oleh umat Kristiani. Mas Jay berkelakar dengan menyebut AL adalah yang paling Islami mengingat hampir semua nama masjid memiliki "AL" di dalamnya: AL Ikhlas, AL Barokah, AL Hidayah.

Sebelum masuk ke lagu berikutnya yang akan dibawakan oleh TICC, Mas Jay melontarkan pertanyaan pada penonton: Berapa usia WR. Supratman saat mencipta Indonesia Raya? Kebangkitan Nasional ditandai dengan apa? Penonton yang dipilih untuk menjawab adalah pemuda. Benang merah dapat ditarik dari sini, bahwa kata dasar "muda" menjadi titik berat topik dialog kali ini. WR. Supratman pertama kali menciptakan lagu Indonesia Raya pada usia 21 tahun; Kebangkitan Nasional ditandai dengan dua peristiwa penting yang keduanya "dipentaskan" oleh para pemuda, berdirinya Boedi Oetomo dan diucapkannya ikrar Sumpah Pemuda; kedua pertanyaan yang jawabannya berkata kunci "muda" tak dapat dijawab oleh para penonton muda.

Selanjutnya, giliran TICC unjuk gigi. Mereka membawakan dua lagu kompetisi di Hong Kong nanti, yakni "Tanctnota" dan "Salve Regina". Alunan nada-nada rumit dengan tempo yang berubah terus menerus, ditambah bahasa asing dengan aksen tak umum untuk lidah Indonesia, berhasil dibawakan rampung oleh TICC meski penulis pribadi merasa suara yang diproduksi belum maksimal diproyeksikan ke depan. Toh suara mereka pun mulai panas pada lagu berikutnya, kali ini lagu ciptaan Leo Kristi yang diaransemen oleh Nindya Tri Harbanu, "Salam Dari Desa". Mungkin karena faktor bahasa yang lebih mudah dilafalkan oleh anak-anak tersebut ditambah iringan musik akordion Mas Andreas dan gitar Om Jubing yang lincah dan jenaka, TICC membawakan "Salam Dari Desa" lebih lepas dan riang. Kemudian kakak-kakak TIC melanjutkan trek lagu Leo Kristi dengan membawakan "Gulagalugu Suara Nelayan", masih dengan aransemen buah tangan Nindya dan iringan musik yang sama sebagai penutup sesi pertama. 

Sesi kedua dibuka dengan lagu daerah Sumatera Barat "Indang", aransemen buah tangan Lilik Sugiarto. Akordion dan gitar memulai melodi lagu, disambut oleh Jhorlin Darwis Sitinjak, Rama Sentausa, dan Linda Samosir sebagai solis yang menyanyikan harmoni nada dengan indah. Seolah memang dibawakan di awal sesi kedua untuk membangun atmosfer ceria bersemangat, "Indang" dilanjutkan oleh "Arjuna Mencari Cinta" ciptaan Ahmad Dhani dan diaransemen oleh Indira Fransiska. Kali ini, Fajri Prabowo dari golongan suara bass menjadi solis dan membawakan lagu tersebut cukup komikal dengan bahasa tubuh yang lucu. Tidak cukup sampai di situ, penonton dibuat tergelak dengan layar yang menampilkan foto Eyang Subur dikelilingi wanita-wanita "seksi" seperti Angelina Jolie dan Ratu Elizabeth. 

Masih tentang bentuk ekspresi cinta seorang lelaki, lagu berikutnya adalah "Wanita" karya Ismail Marzuki dan diaransemen oleh Lilik Sugiarto. Mas Jay kali ini masuk dalam barisan tenor yang memimpin lagu tersebut. Ini adalah lagu favoritku yang lain. Selain nada-nada ajaib yang mengalun indah, lirik lagu "Wanita" begitu puitis dan berdaya sihir. 


Seindah mawar | semurni nan hati | dikau cemerlang wanita
Semerbak wangi | sejinak merpati | dikau selalu di cinta
Gerak gayamu ringan, mengikat hati mudah terlelap
Mata bersinar menyilaukan matamu
Halus wanita | bak sutra dewata | senyuman lunturkan mahkota

Seperti halnya tradisi konser interaktif TIC dan TICC, penonton diminta bernyanyi bersama lagu "Indonesia Pusaka" aransemen karya Yudia Pancaputra. TIC silam, tinggallah TICC yang selanjutnya membawakan lagu lain untuk kompetisi yang sama, "Kalera Gazteak". Lagu ini menjadi lagu terakhir persembahan TICC yang kemudian silam dan digantikan oleh kakak-kakak TIC.

Jambi selanjutnya direpresentasikan dalam lagu "Dodoi Si Dodoi" aransemen Mas Jay sendiri dengan solis Saftianingsih. Lagu dibuka dengan alunan nada menyayat hati dari saluang dan biola serta ratapan sang pemain saluang yang memang laki-laki Minang. Dijelaskan sebelumnya bahwa lagu ini mengisahkan seorang ibu yang tengah menimang-nimang anaknya sembari meratap rindu akan sosok suaminya yang belum pulang. 

"Twa Tanbou" karya Sydney Guillaume kemudian menggeser suasana yang tadinya sendu menjadi bersemangat. Lagu yang berasal dari salah satu suku di Afrika ini mengisahkan tentang perbincangan antara tiga buah kendang yang masing-masing berpendapat bahwa suaranyalah yang paling keras. Akhirnya, konser ditutup dengan karya Ahmad Dhani yang lain, kali ini hasil kolaborasinya dengan Bebi Romeo, "Andai Aku Bisa" yang diaransemen oleh Ily Matthew Maniano dengan solis seorang alto, Christine Nataly Panggabean.

...

Aku akui, ulasanku dimulai dari babak kedua konser memang tidak selengkap ulasan babak pertama. Selain aku tidak membawa catatan untuk membuat ringkasan jalannya konser, aku memang memilih lebih menikmati lagi sisa waktu yang kupunya untuk lebih menikmati "Nyanyian Tanah Merdeka". 

Terakhir, aku teringat satu dialog lagi yang belum aku paparkan di atas terkait bahasa Indonesia. Mungkin aku tak sendiri merasakan tamparan tentang fakta bahwa orang Indonesia lebih bangga dengan bahasa Inggris atau bahasa asing lain ketimbang bahasa Indonesia sendiri. Namun, jika Mas Jay membaca tulisan ini, dia boleh lega karena ulasanku kali ini murni menggunakan bahasa Indonesia, kecuali pada nama dan istilah yang memang tidak semestinya diterjemahkan.

Juli 29, 2012

Untitled 3





Kesadaran akan adanya cacat besar dalam diri sendiri menuntun kita pada titik pendewasaan yang hanya bisa kita takar dan rasakan sendiri. Setiap pengalaman pribadi adalah unik layaknya sidik jari yang tak akan pernah sama sepenuhnya dengan orang lain. Sebelum mencari ke luar, sebaiknya mendalami lebih jauh ke dalam.

Segala bentuk temuan baru maupun ingatan lama selanjutnya perlu kita respon dalam segala rupa rencana dan pembekalan diri menyongsong hari esok. Atau, kita hanya akan terpuruk pada lubang gelap yang membusukkan akal sehat dan menggerogoti kadar kepercayaan.

Salam,
Jan Phaiz


. . .

Sumber gambar:
http://fc03.deviantart.net/fs30/f/2008/162/9/3/Introspection_by_machine_guts.jpg

Juli 25, 2012

Surat untuk Seorang Sahabat



Yogyakarta, November 2008

Teruntuk Sahabatku,

Malam ini, untuk kesekian kalinya aku menulis. Pikiranku beradu begitu keras. Sulit sekali bagiku untuk sekedar memejamkan mata ini. Kepalaku berdenyut mengikuti irama marah, dadaku bergetar bak gemuruh benci, dan badanku tegang laiknya dendam tanpa ampun. Begitulah malam demi malam kujalani dengan berat.
Sobat, apa kau tahu kenapa malamku tak setentram tidur pulasmu? Apa kau mengerti kenapa jiwaku tak setenang hembusan napasmu di kala tidur? Kenapa pula perasaanku tak sedamai dengkuranmu? Itu semua karenamu sobat. Kau yang menyebabkanku demikian sengsara di malamku.
Tapi kau tak salah padaku. Tak ada yang bisa kusalahkan darimu. Kau tak pernah menggangguku hingga mataku senantiasa terbuka. Kau pun takkan mengusik malamku hanya untuk memancing amarahku. Apalagi provokasi yang tak pernah kau ciptakan demi keresahan jiwaku.
Lalu, apa penyebab itu semua?
Kau.
Kaulah penyebabnya.
Memang kau penyebabnya.

*******

Kau masih ingat saat-saat kebersamaan kita di waktu kecil? Kita bermain bersama tak kenal waktu. Pagi hari saat mataku masih menyipit, kau menjemputku dengan senyum lebar. Ceria telah terbit di wajahmu. Kita pun pergi menembus kabut menyapa sang fajar. Kau membantuku mengumpulkan semangat pagi.
Raja siang menyengat kulit kita. Namun tawamu tak surut dimakan terik. Kejar-kejaran di pematang sawah adalah favorit kita, kau ingat itu? Tubuh kecilmu senantiasa mudah kugulingkan, dan kita tertawa.
Oh, matahari hendak pulang ke peraduan di Barat Bumi. Lukisan alam mulai berubah. Aku tak akan lupa warna merah langit yang selalu kau sanjung dan sesekali kau coba lukiskan pada kaos putihmu. Warnanya menjadi cokelat, kau ingat?
Sisa energi dalam tubuhmu tak kau hiraukan adanya. Kaki kecilmu terus menyusuri setapak menuju rumahku. Kau mengantarku lantaran kau yang menjemputku. Saat tiba di rumah, sumber cahaya tinggallah sang rembulan. Namun senyum manismu tak pernah tawar dalam pandanganku. Bahkan di sisa harimu.
Sobat, memori indah masa kecil kita terpatri hingga ke relung hati kecilku. Kepolosan sekaligus ketulusanmu tak tergantikan oleh orang lain.

*******

Waktu berjalan seiring berkurangnya jatah hidup kita di dunia. Angka sebelas dan dua belas mendeklarasikan diri sebagai usia kita. Seragam pun tak lagi putih merah bak sang dwi warna. Putih birumu yang terlihat kebesaran, selalu membuatku tertawa. Meski pada akhirnya nanti, kau yang menertawakan pertumbuhan tubuhku yang ternyata telah terhenti. Tinggiku tak lebih dari daun telingamu.
Pada masa-masa ini, berbagai gejolak jiwa pun kita alami. Rasa ingin tahu yang menyumbul batas kemampuan kita, terkadang membawa kita pada masalah.
Kau ingat komputer sekolah yang rusak karena eksperimen hasil rasa ingin tahu kita? Hukuman dari bu guru sungguh ringan kujalani. Itu karenamu. Karena kita menjalaninya bersama. Saat itu, membersihkan toliet siswa yang luar biasa bau dan kotor menjadi ajang permainan paling berkesan dalam hidupku.
Tahun kedua kita di sekolah baru menjadi waktu kedekatan kita yang teramat. Hampir tak pernah kita tak nampak bersama. Hingga banyak orang yang iri dengan persahabatan kita. Belajar bersama, bermain bersama, makan siang bersama, berbincang soal perempuan, ah aku tak akan lupa dengan gadis pujaanmu yang ternyata justru mempermalukanmu karena sifat-sifat terpendamnya. Tenang sobat, kau hanya terbuai dengan keindahan fisiknya. Siapa saja bisa berbuat khilaf. Haha...
Baik, aku tidak akan membahas masa lalumu itu. Kembali lagi ke perbincangan awal. Kau pun senantiasa mendengar ceritaku tentang dia. Tentang gadis pengusik waktu tidurku. Tentang bayang-bayangnya yang mendominasi penglihatanku. Tentang gundah gulanaku meladeni perasaan aneh yang bergejolak begitu keras saat itu. Ya, kita memang baru menginjak masa remaja. Beruntung sekali aku memilikimu untuk berbagi.
Meski tak ada yang mengarahkan dan tak ada yang diarahkan, tapi demikianlah seharusnya sebuah persahabatan. Tak ada satu yang di depan saat yang lain di belakang, tak ada yang memimpin dan tak ada yang dipimpin, tak ada yang lebih tinggi dari yang lain. Posisi kita senantiasa kita sejajarkan dalam kebersamaan. Kita jalani hari demi hari bersama berdampingan, bergandengan, dan saling menjaga. Indah benar masa remajaku bersamamu sobat.
Lalu kita lanjutkan kebersamaan kita hingga kita tanggalkan seragam putih biru yang telah usang. Era baru persahabatan kita mulai menapaki kedewasaan dan sebentar lagi akan masuk pada lingkungan pendewasaan itu.

*******

Sobat, seragam kita sudah putih abu-abu sekarang. Kembali kita disatukan dalam satu lingkungan belajar, satu sekolah. Ah, tinggimu sudah menyamai tinggiku.
Gejolak batin yang dulu pernah mendominasi diri kita di awal usia remaja, kini menggemuruh dan makin keras. Lebih banyak pertanyaan tentang ini dan itu. Lebih banyak tantangan menghadang jalan kita. Lebih banyak ujian menempa kedewasaan kita. Lebih banyak pilihan menguji kejernihan pikiran kita. Lebih banyak keraguan menyergap tiap langkah yang hendak kita tempuh. Lebih banyak desiran rasa menghiasi hari-hari kita. Lebih banyak watak dan kepribadian kita pelajari langsung maupun tak langsung. Lebih banyak ini dan itu. Dan lebih banyak yang tidak kita tahu.
Kau mulai menjauh. Kau sibuk dengan urusanmu, aku larut dalam kepadatan hari-hariku. Kita bahkan hanya bisa saling berucap “Hei!” saat berpapasan. Tak banyak yang bisa kita bicarakan lagi. Tak banyak yang bisa kita bahas lagi. Kita seperti hidup di dimensi berbeda.

*******


Tiba akhirnya kita pada pintu keluar SMA. Pintu besar menakutkan yang makin mengancam tahun ini. Dengan enam buah gembok baja berduri lembut tersamar. Sangat mengancam keselamatan kita keluar dari gerbang tersebut. Salah-salah, kita akan terjebak di dalam sini, atau lepas berdarah-darah, atau mungkin tidak selamat sama sekali. Aku sangat mengutuki keberadaan gerbang bergembok enam yang suram dan horor itu. Kau tahu itu.
Ya, kau tahu itu. Tapi kau seolah tak berada di sisiku lagi. Kau hanya menjadi penonton di antara kerumunan orang yang juga termangu-mangu sambil memprovokasi para pejuang di arena. Kau membiarkanku maju ke arena sendiri, sobat. Dan itu tak pernah kau lakukan semenjak kita menjadi sahabat.
Mulai saat itulah, kita terpisahkan jurang perbedaan. Jurang itu makin lebar dan makin dalam, sobat. Kau bahkan hampir hilang dari pandanganku. Atau mungkin kau akan merasa aku yang meninggalkan pandangan rasionalmu.

*******

Kini, malam-malamku semakin berat dan tak menentu. Sungguh aku seperti penderita insomnia akut. Tak semenitpun dapat kupejam mata ini. Otakku terlalu keras bekerja, tak sama sekali mengenal lelah, setidaknya mempersilahkan pemiliknya kelelahan. Aku tak tahu harus berbuat apa lagi untuk meladeni pikiran-pikiran yang berkecamuk tanpa henti tiap malam. Aku lelah. Aku mau lelah. Tapi tidak bisa.
Aku terus memikirkan hidup ini, status mahasiswaku, keluargaku yang makin melarat, empat orang adik perempuanku, biaya kuliah yang aduhai, godaan hedonisme, krisis keuangan global, pemilihan umum, korupsi, bagaimana makan sehari tiga kali, selalu kekurangan uang tiap bulannya, demam mutilasi, uang habis, dosen yang selalu dirasa kurang, UU Pornografi, kondisi pertanian negeri petani ini, dan kau.
Semuanya menghantui waktu malamku hampir tak mengenal lelah. Satu per satu, beruntun, saling bertubrukan, saling menyerang. Dengan berbagai cara. Dan kau. Kau selalu muncul menjadi hal terakhir yang kupikirkan.
Dan kaulah yang menjadi satu-satunya yang paling kusalahkan. Karena ketidakhadiranmu dikala susahku sekarang, keacuhanmu melihat penderitaanku, kepergianmu sejak dewasaku menyemai, keberadaanmu yang entah di mana, pengkhianatanmu, semua yang telah kau lakukan sejak aku justru menapak keluar dari masa kecil dan remaja.
Tak jarang aku menangis. Menangisi semua ini. Menangisi statusku yang seolah tak berbuat banyak untuk orang lain, menangisi kemelaratan keluargaku, menangisi kerapuhan negeri ini, menangisi sadisisme di masyarakat, menangisi ketidakpunyaan, menangisi kau. Lagi-lagi kau yang terakhir berperan dalam drama panjang malamku. Selalu dirimu, sobat.

*******

Surat ini kutulis sekarang. Baru sekarang setelah selama ini aku menderita tanpamu. Tidak dari dulu saat kau pertama kali menghilang dari sampingku. Tidak sejak pertama insomnia menyergap malam-malamku. Namun baru sekarang.
Itu karena kemunculanmu yang tiba-tiba tadi malam. Dalam mimpiku. Ya, dalam tidur tak disengaja, kau muncul dalam sosok yang kukenal saat hari pertama sekolah dasar. Tubuh mungilmu tampak bugar seperti biasanya. Kau berdiri mantap di sana. Memandangku.
Kau memandangku dengan mata yang lain. Bukan matamu yang dulu. Mata yang sangat pilu. Mungkin terlalu sering menangis. Atau mungkin kurang tidur, sama sepertiku. Bola matamu sayu tak seperti badanmu yang tak nampak sakit sedikitpun. Pandanganmu redup tak seperti tubuhmu yang selalu enerjik. Kau seperti ... kau ... apa kau juga merasakan hal yang sama? Denganku?
Aku melihat kilat mataku dalam matamu. Tak salah lagi. Kau menderita sahabatku. Kau kelelahan. Kau pun seperti kehilangan diriku. Kau seperti ... merasa dikhianati. Kau seperti muak dengan kealpaanku dalam hari-harimu. Namun kau senang sekarang. Setelah akhirnya kita bertemu lagi. Kau menunjukkannya dengan lengkung indah di bibirmu.
Kau menghampiriku malam ini, tapi ekspresimu justru menampakkan keterkejutan karena keberadaanku. Seolah aku yang menghampirimu.
Sebenarnya apa yang terjadi di antara kita? Siapa meninggalkan siapa? Siapa menghampiri siapa? Semuanya sangat membingunkan sekaligus mencerahkan. Pertemuan kita tadi malam dalam mimpiku (atau mungkin mimpimu), memberi peluang jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku seputar keadaanmu (mungkin juga menjawab pertanyaan-pertanyaanmu seputar diriku). Ah, membingungkan sekali, sobat. Dan aku terbangun. Cepat sekali rasanya tidurku ini.
Makanya kutulis surat ini untukmu. Aku ingin kita bertemu lebih lama. Berbincang tentang kehidupan masing-masing. Tentang keadaanmu, tentang alasan-alasan kepergianmu, tentang (yang kurasa sebagai) pengkhianatanmu, tentang semuanya. Itu alasan awal. Hingga kuingat sorot matamu itu.
Jangan-jangan aku yang meninggalakanmu. Jangan-jangan aku yang memisahkan diri darimu. Jangan-jangan aku yang mengkhianatimu. Jangan-jangan itu yang kau rasakan. Dan, jangan-jangan memang demikian adanya. Aku makin bingung, sobat. Aku makin tidak mengerti. Sebenarnya ada apa di antara kita?

*******

Kembalilah sobat. Dan itu pula yang akan kulakukan, kembali padamu. Aku pun akan mencarimu, agar kau juga mencariku. Aku akan merangkulmu, agar kau merangkulku seperti dulu. Aku tidak akan lagi menyalahkan dirimu, agar kau tak pernah lagi menyalahkan diriku.
Aku ingin seperti dulu. Saat kita menyapa sang Fajar dengan senyum bersama. Saat kita berguling-guling mengejar capung di bawah terik mentari. Saat kita berboncengan di atas sepeda keliling desa hingga penghabisan hari. Saat kita menyelinap keluar bersama dalam malam, sekedar berlomba menghitung  ‘ketombe’ di kulit sang Langit.
Hah! Kita berdebat apakah ‘ketombe-ketombe’ itu bisa dihitung atau tidak. ‘Ketombe’ yang bisa berkerlap-kerlip seperti lampu hias. Akhirnya kita sepakat mengganti namanya menjadi ‘lampu hias’. Kau yang megusulkannya. “Ketombe tak mungkin berkelap-kerlip,” katamu dulu. Saat itu usia kita baru empat tahun. Gara-gara ibuku berketombe, kita pun mengira langit itu kepala raksasa perempuan yang serupa ibuku namun sangat pemalu. Mungkin ia malu karena ketombenya banyak sekali. “Atau mungkin ia juga berjerawat!” celetukmu. Kita terpingkal-pingkal di halaman samping rumah. Sering sekali kita berbincang hal-hal lucu seperti itu. Namun semua itu bagi kita dulu adalah hal serius. Bahkan kau pernah menginap di rumahku lantaran kau takut langit yang barusan kita ejek murka dan menelanmu. Hahaha... Aku menertawaimu dan kita tidak tidur malam itu.
Kenangan-kenangan seperti itu senantiasa tersimpan dalam memori indah masa kecilku. Masa ketika aku memilikimu. Atau ketika kau memilikiku. Masa ketika kau menemaniku. Atau ketika aku menemani hari-harimu. Semuanya menjadi antara aku dan kau. Antara kau dan aku. Kita memang satu. Kita tak bisa dipisahkan seharusnya. Kecuali kita saling melupakan.
Ya. Yang terakhir mungkin adalah jawabannya. Mungkin kau melupakanku. Atau aku melupakanmu. Lag-lagi, harus kuakui. Yang terakhir mungkin adalah jawabannya. Akulah yang telah melupakanmu. Aku yang meninggalkanmu. Aku yang membatasi diri denganmu. Aku yang mengkhianatimu. Aku, sobat. Bukan kau.
Melalui surat ini, yang aku sendiri tak tahu harus mengirimkannya ke mana, aku mengundangmu kembali, sobat. Tidak. Maksudku, aku akan menghamiprimu kembali. Aku membutuhkanmu.



dari seseorang
yang telah lama kehilangan sebagian hidupnya
lantaran merasa ditinggalkan
kebahagiaan