Ketika pertama kali Israel meluncurkan serangan udara ke jantung Gaza City dan diikuti serangan udara lain secara bertubi-tubi hingga beberapa hari berikutnya, aku seperti melihat kenyataan dalam mimpi, atau melihat mimpi dalam kenyataan. Entahlah. Hampir tak bisa kubedakan.
Sesaat, tubuhku yang menyaksikan berita aktual di televisi seperti lenyap dari kehidupan nyata dan terjebak entah di mana. Hanya ada aku yang mematung dan kotak elektronik yang menayangkan rekaman sebuah kota pemukiman padat penduduk beserta ledakan demi ledakan yang tak terhitung jumlahnya. Pada titik ini, aku menganggap diriku sedang bermimpi. Mimpi yang memberikan gambaran nyata yang terjadi di dunia riil.
Sesaat, tubuhku yang menyaksikan berita aktual di televisi seperti lenyap dari kehidupan nyata dan terjebak entah di mana. Hanya ada aku yang mematung dan kotak elektronik yang menayangkan rekaman sebuah kota pemukiman padat penduduk beserta ledakan demi ledakan yang tak terhitung jumlahnya. Pada titik ini, aku menganggap diriku sedang bermimpi. Mimpi yang memberikan gambaran nyata yang terjadi di dunia riil.
Sesaat berikutnya, sekonyong-konyong aku kembali ke ruang tempat televisi tadi berada lengkap dengan teman-teman asrama yang tengah menonton bersamaku saat itu. Aku mengutuki diri sendiri bahwa aku terjaga. Tidak sedang bermimpi. Namun logikaku tak bisa menerima apa yang kusaksikan. Gumpalan awan panas hasil ledakan bom-bom mortil Israel di beberapa titik di Palestina seperti sebuah mimpi. Sangat tidak masuk akal walaupun sangat mungkin. Seperti menonton "Ripleys, Believe it or Not!".
Mari kita runut kembali dari awal (sejauh awal yang bisa kujangkau tentunya). Konflik Israel-Palestina memang tak pernah absen sebagai konflik terpanas di Timur Tengah yang panas, bahkan di bumi yang tengah memanas pula. Setelah melalui serangkaian perang dan perundingan tiada akhir, siklus perang kembali bergulir. Namun kali ini berbeda. Berbeda sama sekali.
Bagaimana tidak. Serangan Israel kali ini kelewat brutal, frontal, dan represif. Setelah diawali dengan serangan udara berkali-kali, Israel melanjutkan serangan darat tanpa ampun. Tak hanya itu, HPI (Hukum Perang Internasional) yang telah lama menjadi norma perang dan dijunjung dunia internasional, tak sekedar dilanggar tapi diaduk-aduk, diacak-acak, bahkan diinjak-injak. Target serangan bukan hanya markas militer, transportasi perang, artileri, atau gudang persenjataan, melainkan rumah penduduk, sekolah, rumah sakit, dan tempat-tempat umum yang dipenuhi warga sipil lainnya. Bahkan Israel menahan bala bantuan dalam bentuk apa pun yang telah menumpuk dari segala penjuru. Israel seolah membiarkan para korban yang membutuhkan pangan dan obat menderita untuk menjadi tambahan korban tewas berikut dan berikutnya. Sementara alasan atas semua tragedi dan penderitaan di Gaza City adalah serangan bom lontar Hamas yang ibarat hanya lemparan batu yang mengenai satu dua penduduk sipil Israel. Sama sekali tak sebanding dengan bom-bom Israel baik di darat maupun di udara yang menewaskan lebih dari 700 orang dan ribuan terluka termasuk wanita dan anak-anak. Entah aku bermimpi atau menyaksikan mimpi.
Dunia gempar sudah pasti. Kecaman datang silih berganti baik dari tokoh perorangan, atas nama negara, atau organisasi internasional. Pernyataan pedas dan pahit terhadap kebiadaban Israel bak berondong yang telah matang berkeletuk dalam panci. Hampir semua pihak mengutuk, menyumpah serapah, dan melaknat tindakan Israel yang keji. Obama sebagai aktor dunia yang sedang naik daun pun angkat bicara setelah bungkam beberapa hari. Walaupun pernyataannya abu-abu tak pasti. Tak ketinggalan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turut andil dalam adu caci maki. Lalu apa? Berpengaruhkah? Apa arti kecaman untuk bangsa yang telah tutup telinga? Apa makna sumpah serapah untuk negeri yang begitu keji? Apa guna pinta paksa untuk kaum yang seolah kebal hukum? Entah aku bermimpi atau menyaksikan mimpi.
Gerakan kemanusiaan serempak ambil tindakan dari berbagai penjuru dunia. Dari pangan, sandang, obat-obatan, hingga bantuan medis dan bahkan relawan perang. Kotak-kotak bertuliskan "Solidaritas untuk Palestina" berhamburan di mana-mana memohon uang receh serelanya. Rekening-rekening bank atas nama "Solidaritas untuk Palestina" pun dibuka dan menanti uluran tangan memberi. Namun kendala justru tampak begitu nyata. Sangat minim bantuan negara-negara Arab di sekitar Palestina. Tapi kenapa? Tidakkah mereka masih merasa satu buyut dengan Palestina? Sudahkah mereka tunduk pada ego dan rasa takut akan dunia? Adakah indikasi benih-benih penyakit berbahaya kaum muslim mulai menyemai? Kecintaan berlebihan akan dunia dan ketakutan akan kematian. Entah aku bermimpi atau menyaksikan mimpi.
Perang dua wilayah secara terbuka, brutal, dan tidak berimbang; hukum perang dilanggar sejadi-jadinya; darah tak berdosa menggenang tak terkira banyaknya; nyawa penerus bangsa diberangus tanpa rasa; mayat bergelimangan entah pria maupun wanita; bala bantuan hampir mustahil diterima; reaksi dunia sekedar melalui suara bukan langkah nyata; bahkan sanak saudara tak kunjung bangkit turut membantu walau terjadi di depan mata. Entah aku bermimpi atau menyaksikan mimpi, belum dapat ku menjawabnya. Aku tak mau bermimpi bahwa ini adalah nyata; pun tak ingin mengatakan itu mimpi yang kulihat di dunia nyata. Membingungkan bukan?
Sama dengan fakta-fakta membingungkan di atas. Bagaimana serangan seterbuka itu bisa dengan langgeng berlangsung hingga sekarang? Bagaimana mungkin dunia internasional hanya berkata-kata dan tak melakukan apa-apa? Dan bagaimana bisa dunia Islam di sekitar Palestina tak banyak ambil langkah? Benarkah Israel sehebat itu? Atau dunia terlalu tolol dan begitu mudah dibungkam bahkan dipecah belah oleh sebuah kekuatan yang merupakan bagian dari dunia itu sendiri? Entah aku bermimpi atau menyaksikan mimpi, aku tak mengharapkan keduanya. Dan aku akan mengakhirinya sekarang juga.
Aku harus bertindak. Aku harus berbuat. Sungguh. Tapi apa?
Beberapa hari sejak serangan pertama Israel, rekan-rekan aktivis mahasiswa di kampus menyerukan bentuk keprihatinan mereka akan tragedi di Gaza City. Selain orasi dan kotak-kotak amal, seorang mahasiswa memegang poster besar yang saya lupa tulisannya. Fokus saya waktu itu tertuju pada gambar-gambar di bagian bawah poster. Tidak seluruhnya, tapi sebagian besar aku mengenalnya sebagai logo sebuah merek atau perusahaan. Tanpa perlu menyebut merek, ada produk minuman bersoda, air mineral, snack ringan, produk kecantikan dan kebersihan, restoran cepat saji, hingga merek handphone. Semua itu sangat familiar dan sering kutemui di kehidupan sehari-hari. Bahkan beberapa pernah atau sering kupakai dan kugunakan.
Sang Mahasiswa yang memegang poster tersebut dengan senyumnya yang cukup ramah berkata: "Diketahui profit perusahaan-perusahaan ini sebagian disumbangkan untuk biaya perang para zionis Yahudi". Lalu aku tahu arah kalimat tersebut.
Pada awalnya aku hampir tidak bisa menerima alasan apa pun yang mengatakan "Jangan pernah gunakan produk Yahudi karena berarti kita mendukung aktivitas Yahudi termasuk perang di Palestina oleh Israel!". Pada awalnya otakku menciptakan spekulasi-spekulasi dan berbagai penyangkalan seandainya aku mengikuti instruksi tersebut. "Produk-produk itu begitu dekat dan sangat familiar. Bagaimana mungkin aku berhenti menggunakan produk 'A'? Setahuku hampir semua produk kebersihan dan kecantikan yang selama ini kugunakan berlabelkan 'A'. Lalu aku menggunakan apa? Snack-snack dari produk 'B' hampir semua kusuka. Nikmat dan sehat. Aku tak mungkin berhenti menikmati snack-snack tersebut. Apalagi air mineral 'C'. Mana mungkin aku disuruh berhenti menggunakan merek tersebut? Lalu aku pulang dengan kesimpulan "pasti ada jalan lain" untuk turut membantu Palestina.
Hari demi hari berganti. Merek demi merek Yahudi menyambangi badan hingga perutku. Perang pun masih bergulir menambah liter darah yang mengalir. Dan aku masih tak menemukan suatu langkah konkret untuk ikut andil dalam upaya membantu saudara-saudara seiman di Palestina. Hingga suatu hari seorang dosen yang cukup kritis dan brilian dalam pemikiran akan sebuah kasus sekaligus perumusan jalan keluar menyatakan sikap tegasnya akan produk-produk tersebut.
Teman, aku pernah membaca sebuah tulisan yang mengatakan bahwa manusia lebih sering menyibukkan diri sendiri dengan kemungkinan-kemungkinan dan berbagai bentuk spekulasi sebagai akibat suatu tindakan ketimbang menilik kembali maksud dan tujuan tindakan tersebut sebagai respon akan kenyataan-kenyataan yang ada. Seperti pada kasus global warming, ketika ada imbauan untuk mengurangi bahkan menghentikan penggunaan kendaraan berbahan bakar minyak yang mengeluarkan gas emisi (sepeda motor) dan menggantinya dengan sepeda atau jalan kaki, respon spontan yang muncul adalah pemikiran kemungkinan yang spekulatif akan hasil dari tindakan tersebut. "Mana mungkin berhenti menggunakan kendaraan bermotor? Jika semua orang di seluruh dunia memilih menggunakan sepeda atau jalan kaki, maka perusahaan kendaraan bermotor di seluruh dunia akan bangkrut. Jika itu terjadi, pasti akan ada krisis besar karena perusahaan kendaraan bermotor cukup signifikan dalam roda ekonomi dunia. Belum lagi pengangguran yang akan meledak tiada ampun jika perusahaan-perusahaan tersebut tutup". Akhirnya, teriakan-teriakan serupa bagaikan lolongan anjing yang tak perlu diperhatikan. Buktinya, produksi sepeda motor tetap dan bahkan terus meningkat. Jika ada yang mengikuti anjuran tersebut, akan dikucilkan dan dianggap aneh oleh mata dunia.
Padahal yang dibutuhkan bukan itu, melainkan tindakan nyata. Kita tidak akan melakukan apa-apa jika otak kita dipenuhi spekulasi akan apa yang belum tentu terjadi. Kita hanya makin memperparah kenyataan yang sudah terjadi yang butuh tindakan segera. Untuk dua paragraf terakhir ini, inspirasiku adalah tulisan di blog Dewi Lestari (http://dee-idea.blogspot.com/search/label/Nature-Green-EcoLiving) berjudul "Dua Pertanyaan yang Berarti".
Melalui dua inspirasi itulah (pernyataan dosen dan tulisan di blog) aku mulai bertindak kecil-kecilan. Dimulai dengan teliti ketika membeli. Ya, temanku cukup kesal melihat tingkahku yang mengamat-amati produk-produk yang akan kubeli dan seringkali menanyakan "Ini produk dalam negeri kan?" Di sisi lain, aku justru menemukan titik terang dari keraguan tak beralasanku selama ini. Karena setelah diperhatikan dengan seksama, tidak semua produk yang ada di pasaran itu produk impor atau dari perusahaan multinasional (atau seperti yang diserukan sahabat-sahabat mahasiswa, produk Yahudi). Cukup banyak pula produk dalam negeri yang berkualitas dan tak kalah dengan produk-produk yang menguasai periklanan Indonesia itu. Memang benar, dengan tindakan kecil, kita akan tahu hal-hal baru yang selama ini tak sempat terpikirkan atau dianggap mustahil.
Maka melalui blog ini, dengan segala keterbatasan yang kumiliki, aku hanya ingin mengajak diriku sendiri, ya benar-benar diriku sendiri. Aku tak bermaksud mengajak siapa pun. Perkara pembaca ikut terpengaruh dan mengikuti ajakanku nantinya, maka kuanggap hal itu sebagai dampak positif.
Aku mengajak diriku sendiri, untuk tak sekedar mendo'akan namun berperan aktif dan nyata dalam membantu Palestina dan memerangi kedzaliman yang dilakukan Israel dengan berkomitmen mencintai produk dalam negeri, dan sebisa mungkin menghindari penggunaan produk impor, apalagi yang terdaftar sebagai produk pendukung gerakan zionisme Yahudi. Aku percaya dan yakin, niatku akan secara langsung berperan walau kecil. Sekali lagi, kita butuh langkah konkret, bukan kalimat manis.
Sebagai penutup, aku akan menegaskan sekali lagi, aku tak sedang bermimpi, tak pula menyaksikan mimpi. Aku sadar sepenuhnya dan menyaksikan kenyataan, bukan dalam mimpi, tapi dalam dunia nyata. Maka yang kubutuhkan bukan angan dan mimpi semata, tapi tindakan nyata.
Sumber gambar:
http://images.epilogue.net/users/straubart/Dreaming_tree.jpg
http://mpjc.org/images/palestine.jpg
http://www.dakwatuna.com/wp-content/uploads/2008/04/anak-palestina-korban-israel.jpg
http://3.bp.blogspot.com/_F4jkkfjqfSw/RfjRhDh8xPI/AAAAAAAAACM/UpYmvdS-5Rs/s1600-h/pengungsi+di+irak.jpg
http://qitori.files.wordpress.com/2007/07/palestina1.jpg
Bagaimana tidak. Serangan Israel kali ini kelewat brutal, frontal, dan represif. Setelah diawali dengan serangan udara berkali-kali, Israel melanjutkan serangan darat tanpa ampun. Tak hanya itu, HPI (Hukum Perang Internasional) yang telah lama menjadi norma perang dan dijunjung dunia internasional, tak sekedar dilanggar tapi diaduk-aduk, diacak-acak, bahkan diinjak-injak. Target serangan bukan hanya markas militer, transportasi perang, artileri, atau gudang persenjataan, melainkan rumah penduduk, sekolah, rumah sakit, dan tempat-tempat umum yang dipenuhi warga sipil lainnya. Bahkan Israel menahan bala bantuan dalam bentuk apa pun yang telah menumpuk dari segala penjuru. Israel seolah membiarkan para korban yang membutuhkan pangan dan obat menderita untuk menjadi tambahan korban tewas berikut dan berikutnya. Sementara alasan atas semua tragedi dan penderitaan di Gaza City adalah serangan bom lontar Hamas yang ibarat hanya lemparan batu yang mengenai satu dua penduduk sipil Israel. Sama sekali tak sebanding dengan bom-bom Israel baik di darat maupun di udara yang menewaskan lebih dari 700 orang dan ribuan terluka termasuk wanita dan anak-anak. Entah aku bermimpi atau menyaksikan mimpi.
Dunia gempar sudah pasti. Kecaman datang silih berganti baik dari tokoh perorangan, atas nama negara, atau organisasi internasional. Pernyataan pedas dan pahit terhadap kebiadaban Israel bak berondong yang telah matang berkeletuk dalam panci. Hampir semua pihak mengutuk, menyumpah serapah, dan melaknat tindakan Israel yang keji. Obama sebagai aktor dunia yang sedang naik daun pun angkat bicara setelah bungkam beberapa hari. Walaupun pernyataannya abu-abu tak pasti. Tak ketinggalan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turut andil dalam adu caci maki. Lalu apa? Berpengaruhkah? Apa arti kecaman untuk bangsa yang telah tutup telinga? Apa makna sumpah serapah untuk negeri yang begitu keji? Apa guna pinta paksa untuk kaum yang seolah kebal hukum? Entah aku bermimpi atau menyaksikan mimpi.
Gerakan kemanusiaan serempak ambil tindakan dari berbagai penjuru dunia. Dari pangan, sandang, obat-obatan, hingga bantuan medis dan bahkan relawan perang. Kotak-kotak bertuliskan "Solidaritas untuk Palestina" berhamburan di mana-mana memohon uang receh serelanya. Rekening-rekening bank atas nama "Solidaritas untuk Palestina" pun dibuka dan menanti uluran tangan memberi. Namun kendala justru tampak begitu nyata. Sangat minim bantuan negara-negara Arab di sekitar Palestina. Tapi kenapa? Tidakkah mereka masih merasa satu buyut dengan Palestina? Sudahkah mereka tunduk pada ego dan rasa takut akan dunia? Adakah indikasi benih-benih penyakit berbahaya kaum muslim mulai menyemai? Kecintaan berlebihan akan dunia dan ketakutan akan kematian. Entah aku bermimpi atau menyaksikan mimpi.
Perang dua wilayah secara terbuka, brutal, dan tidak berimbang; hukum perang dilanggar sejadi-jadinya; darah tak berdosa menggenang tak terkira banyaknya; nyawa penerus bangsa diberangus tanpa rasa; mayat bergelimangan entah pria maupun wanita; bala bantuan hampir mustahil diterima; reaksi dunia sekedar melalui suara bukan langkah nyata; bahkan sanak saudara tak kunjung bangkit turut membantu walau terjadi di depan mata. Entah aku bermimpi atau menyaksikan mimpi, belum dapat ku menjawabnya. Aku tak mau bermimpi bahwa ini adalah nyata; pun tak ingin mengatakan itu mimpi yang kulihat di dunia nyata. Membingungkan bukan?
Sama dengan fakta-fakta membingungkan di atas. Bagaimana serangan seterbuka itu bisa dengan langgeng berlangsung hingga sekarang? Bagaimana mungkin dunia internasional hanya berkata-kata dan tak melakukan apa-apa? Dan bagaimana bisa dunia Islam di sekitar Palestina tak banyak ambil langkah? Benarkah Israel sehebat itu? Atau dunia terlalu tolol dan begitu mudah dibungkam bahkan dipecah belah oleh sebuah kekuatan yang merupakan bagian dari dunia itu sendiri? Entah aku bermimpi atau menyaksikan mimpi, aku tak mengharapkan keduanya. Dan aku akan mengakhirinya sekarang juga.
Aku harus bertindak. Aku harus berbuat. Sungguh. Tapi apa?
Beberapa hari sejak serangan pertama Israel, rekan-rekan aktivis mahasiswa di kampus menyerukan bentuk keprihatinan mereka akan tragedi di Gaza City. Selain orasi dan kotak-kotak amal, seorang mahasiswa memegang poster besar yang saya lupa tulisannya. Fokus saya waktu itu tertuju pada gambar-gambar di bagian bawah poster. Tidak seluruhnya, tapi sebagian besar aku mengenalnya sebagai logo sebuah merek atau perusahaan. Tanpa perlu menyebut merek, ada produk minuman bersoda, air mineral, snack ringan, produk kecantikan dan kebersihan, restoran cepat saji, hingga merek handphone. Semua itu sangat familiar dan sering kutemui di kehidupan sehari-hari. Bahkan beberapa pernah atau sering kupakai dan kugunakan.
Sang Mahasiswa yang memegang poster tersebut dengan senyumnya yang cukup ramah berkata: "Diketahui profit perusahaan-perusahaan ini sebagian disumbangkan untuk biaya perang para zionis Yahudi". Lalu aku tahu arah kalimat tersebut.
Pada awalnya aku hampir tidak bisa menerima alasan apa pun yang mengatakan "Jangan pernah gunakan produk Yahudi karena berarti kita mendukung aktivitas Yahudi termasuk perang di Palestina oleh Israel!". Pada awalnya otakku menciptakan spekulasi-spekulasi dan berbagai penyangkalan seandainya aku mengikuti instruksi tersebut. "Produk-produk itu begitu dekat dan sangat familiar. Bagaimana mungkin aku berhenti menggunakan produk 'A'? Setahuku hampir semua produk kebersihan dan kecantikan yang selama ini kugunakan berlabelkan 'A'. Lalu aku menggunakan apa? Snack-snack dari produk 'B' hampir semua kusuka. Nikmat dan sehat. Aku tak mungkin berhenti menikmati snack-snack tersebut. Apalagi air mineral 'C'. Mana mungkin aku disuruh berhenti menggunakan merek tersebut? Lalu aku pulang dengan kesimpulan "pasti ada jalan lain" untuk turut membantu Palestina.
Hari demi hari berganti. Merek demi merek Yahudi menyambangi badan hingga perutku. Perang pun masih bergulir menambah liter darah yang mengalir. Dan aku masih tak menemukan suatu langkah konkret untuk ikut andil dalam upaya membantu saudara-saudara seiman di Palestina. Hingga suatu hari seorang dosen yang cukup kritis dan brilian dalam pemikiran akan sebuah kasus sekaligus perumusan jalan keluar menyatakan sikap tegasnya akan produk-produk tersebut.
Teman, aku pernah membaca sebuah tulisan yang mengatakan bahwa manusia lebih sering menyibukkan diri sendiri dengan kemungkinan-kemungkinan dan berbagai bentuk spekulasi sebagai akibat suatu tindakan ketimbang menilik kembali maksud dan tujuan tindakan tersebut sebagai respon akan kenyataan-kenyataan yang ada. Seperti pada kasus global warming, ketika ada imbauan untuk mengurangi bahkan menghentikan penggunaan kendaraan berbahan bakar minyak yang mengeluarkan gas emisi (sepeda motor) dan menggantinya dengan sepeda atau jalan kaki, respon spontan yang muncul adalah pemikiran kemungkinan yang spekulatif akan hasil dari tindakan tersebut. "Mana mungkin berhenti menggunakan kendaraan bermotor? Jika semua orang di seluruh dunia memilih menggunakan sepeda atau jalan kaki, maka perusahaan kendaraan bermotor di seluruh dunia akan bangkrut. Jika itu terjadi, pasti akan ada krisis besar karena perusahaan kendaraan bermotor cukup signifikan dalam roda ekonomi dunia. Belum lagi pengangguran yang akan meledak tiada ampun jika perusahaan-perusahaan tersebut tutup". Akhirnya, teriakan-teriakan serupa bagaikan lolongan anjing yang tak perlu diperhatikan. Buktinya, produksi sepeda motor tetap dan bahkan terus meningkat. Jika ada yang mengikuti anjuran tersebut, akan dikucilkan dan dianggap aneh oleh mata dunia.
Padahal yang dibutuhkan bukan itu, melainkan tindakan nyata. Kita tidak akan melakukan apa-apa jika otak kita dipenuhi spekulasi akan apa yang belum tentu terjadi. Kita hanya makin memperparah kenyataan yang sudah terjadi yang butuh tindakan segera. Untuk dua paragraf terakhir ini, inspirasiku adalah tulisan di blog Dewi Lestari (http://dee-idea.blogspot.com/search/label/Nature-Green-EcoLiving) berjudul "Dua Pertanyaan yang Berarti".
Melalui dua inspirasi itulah (pernyataan dosen dan tulisan di blog) aku mulai bertindak kecil-kecilan. Dimulai dengan teliti ketika membeli. Ya, temanku cukup kesal melihat tingkahku yang mengamat-amati produk-produk yang akan kubeli dan seringkali menanyakan "Ini produk dalam negeri kan?" Di sisi lain, aku justru menemukan titik terang dari keraguan tak beralasanku selama ini. Karena setelah diperhatikan dengan seksama, tidak semua produk yang ada di pasaran itu produk impor atau dari perusahaan multinasional (atau seperti yang diserukan sahabat-sahabat mahasiswa, produk Yahudi). Cukup banyak pula produk dalam negeri yang berkualitas dan tak kalah dengan produk-produk yang menguasai periklanan Indonesia itu. Memang benar, dengan tindakan kecil, kita akan tahu hal-hal baru yang selama ini tak sempat terpikirkan atau dianggap mustahil.
Maka melalui blog ini, dengan segala keterbatasan yang kumiliki, aku hanya ingin mengajak diriku sendiri, ya benar-benar diriku sendiri. Aku tak bermaksud mengajak siapa pun. Perkara pembaca ikut terpengaruh dan mengikuti ajakanku nantinya, maka kuanggap hal itu sebagai dampak positif.
Aku mengajak diriku sendiri, untuk tak sekedar mendo'akan namun berperan aktif dan nyata dalam membantu Palestina dan memerangi kedzaliman yang dilakukan Israel dengan berkomitmen mencintai produk dalam negeri, dan sebisa mungkin menghindari penggunaan produk impor, apalagi yang terdaftar sebagai produk pendukung gerakan zionisme Yahudi. Aku percaya dan yakin, niatku akan secara langsung berperan walau kecil. Sekali lagi, kita butuh langkah konkret, bukan kalimat manis.
Sebagai penutup, aku akan menegaskan sekali lagi, aku tak sedang bermimpi, tak pula menyaksikan mimpi. Aku sadar sepenuhnya dan menyaksikan kenyataan, bukan dalam mimpi, tapi dalam dunia nyata. Maka yang kubutuhkan bukan angan dan mimpi semata, tapi tindakan nyata.
Sumber gambar:
http://images.epilogue.net/users/straubart/Dreaming_tree.jpg
http://mpjc.org/images/palestine.jpg
http://www.dakwatuna.com/wp-content/uploads/2008/04/anak-palestina-korban-israel.jpg
http://3.bp.blogspot.com/_F4jkkfjqfSw/RfjRhDh8xPI/AAAAAAAAACM/UpYmvdS-5Rs/s1600-h/pengungsi+di+irak.jpg
http://qitori.files.wordpress.com/2007/07/palestina1.jpg
7 komentar:
Saat aku melihat roket roket melayang di jalur gaza lewat televisi, entah kenapa justru aku ga tahan lama-lama untuk melihat berita itu..
Malam diwarnai cahaya terang, tapi itu bukan lampu, bukan kembang api. Tapi itu adalah kebiadaban israel..
PBB pun ga bisa bantu..
Rasanya ingin jadi superhero yang bisa menolong palestina..
Tapi ga bisa.. terima kasih untuk menjadi inspirasiku..
Saya mencoba mendukung palestina dengan kata2 di blog saya
sebuah lingkaran setan yang dianugerahkan kepada kita, dan belum ada satupun yang bisa merombaknya...
Ada tindakan nyata yang lain?
Kadang masih perlu selektif terhadap produk dalam negeri..!
Tolong jangan dirusak restoran cepat saji dari Amerika, karena itu menggunakan sistem franchise. Kalau dirusak, malah pengusaha lokal yang rugi.
Jadi kalau mau, kita harus lebih pintar. Kita harus buat sesuatu yang baru. Ambil pangsa pasar resto cepat saji tersebut dengan membuat saingan.
Tindakan pengrusakan malah merugikan kita. Setuju?
@Danta:
begitulah keadannya,, memasuki hari ke-20, palestina masih digempur,, waktu tiga jam gencatan senjata tak begitu membantu,,
apa artinya tiga jam tenang untuk menghadapi 21jam penuh debar gelisah,,
korban regang nyawa mencapai angka seribu,,
upaya-upaya bantuan dari luar tak lebih dari tuntutan untuk damai,, desakan negosiasi,, tak lebih,,
aku senang jika berguna,,
bahkan walaupun aku telah mengatakan langkah ini sangat pribadi, sangat sulit, rumit, dan tak sama sekali bermaksud intervensi,,
masih ada beberapa kepala yg meragukan,,
mengajukan pertanyaan-pertanyaan klasik ttg kemustahilan menghindari produk Yahudi,,
entahlah apakah dia sudah mencoba atau belum,,
setahuku, jika kita hanya menggaungkan pertanyaan-pertanyaan itu, jalan buntu ada di mana-mana,,
yang dibutuhkan hanya tindakan,,
toh, masih ada kemungkinan 'dalam keadaan terdesak' atau 'tidak ada pilihan lain',,
bahkan dalam Islam pun hal tersebut masih ada,,
sekarang pun aku menggunakan komputer dengan processor intel, yang mana merek tersebut terdaftar sebagai buatan yahudi,,
lalu apakah aku harus berhenti menggunakan komputer dalam keadaan apapun?? aku harus membuang dan melaknat semua komputer yang menggunakan chip intel?? berarti aku menjadi musuh pemilik komputer di seluruh dunia,,
bukan itu yang kumaksud,,
sekarang bandingkan dengan penggunaan shampoo,,
merek produk ini ada banyak sekali,, jika salah satu tersebut sebagai merek 'hitam', dan ada merek lain, kenapa kita tidak beralih??
atau makanan,, jika jelas-jelas ada merek lokal yang tak kalah baik, sebut saja Ayam Goreng Ny. Suharti di Jogja atau Ayam Goreng Tantene di Purwoekerto, kenapa kita harus pergi ke KFC, McDonald, atau PizzaHut untuk mengisi perut??
Hal ini memang rumit dan sulit,, tapi bukan tidak mungkin,,
Semangat!!
@vendy:
seperti kemiskinan dan pengangguran,,
hal ini memang lingkaran setan yang diciptakan oleh manusia itu sendiri,,
jadi hanya manusialah yang bisa merombaknya,,
tinggal kita mau bertindak atau cukup berangan-angan saja??
@blog cantik:
tindakan nyata lain??
terbang ke palestina,,
menjadi sukarelawan atau pasukan perang jihad,,
atau membuat merek tandingan untuk merek-merek yahudi yang merajalela di dunia,,
sebenarnya tergantung kita saja,, kita mengonsumsi untuk kebutuhan atau kepuasan dan prestise?? karena kebutuhan tak membutuhkan prestise untuk dipenuhi,, yang berlebih-lebihan kan tidak baik??
^_^
@globalizacktion:
SETUJU!!
dalam hal ini yang kita lawan adalah kejeniusan,, jadi tak cukup otot dan suara,, kita juga harus jenius,,
yahudi begitu cerdas dan hebat, kenapa kita tidak mencerdaskan diri sendiri baru bertindak??
itu salah satu tindakan nyata lain,,
jangan sia-siakan waktu kita di dunia untuk hal-hal bodoh saja,,
kita tahu sendiri, menurut penelitian saja, jumlah bacaan orang yahudi per minggu bisa bertumpuk buku,,sementara bacaan muslim, hanya satu/beberapa lembar,, (aku lupa penelitian dari mana),,
lucu sekaligus memprihatinkan ya??
terkadang aku ingin marah kepada diriku sendiri....
kenapa aku tak mampu menjadi orang luar biasa yang mampu menyelesaikan masalah yang luar biasa......
seandainya aku mampu berbuat,, tak hanya berharap.....
tulisan yang baguz...
saya sudah mencobanya & alhmd bisa, keluarga di rumah juga mulai mencoba.
walaupun mungkin belum semua, karena ada beberapa produk yang belum ada penggantinya seperti komputer (t'masuk ngga sih?)
jangka panjangnya, emang kita harus bikin produk sendiri.
Posting Komentar