September 24, 2008

Di Balik Tragedi "Zakat Berdarah", Siapa Bersalah??

Sebelumnya maaf, karena judul di atas pasti dianggap sangat basi. Tapi tak ada salahnya aku mengangkat kisah tersebut. Toh, masih suasana ramadhan.

Senin (15/9) tepatnya di Mushola Al Roudhatul Jannah Desa Purutrejo, Kelurahan Purworejo, Pasuruan terjadi fenomena "langka" yang "terduga". Sekitar 20-an orang (tidak jelas pastinya, ada yang bilang 21, ada juga yang bilang 23) meninggal karena berdesak-desakan. Penyebabnya bisa karena kehabisan napas, fisik lemah, terinjak-injak. Tapi bukan penyebab kematian biologis yang akan dibahas di sini.

Adalah seorang bernama H. Saikhon yang ingin membagikan hartanya kepada lima ribu fakir miskin di Desa Purutrejo, Pasuruan menyelenggarakan pembakian zakat senilai Rp30.000 per orang. Berita tersebut menyebar ke seantero desa melalui radio. Sementara pembagian uang dilaksanakan pada hari Senin, 15 September 2008. Tak ayal, pada hari H, mushola dipadati orang-orang yang mendeklarasikan dirinya sebagai fakir miskin. Saking banyaknya "fakir miskin" yang datang, dari kejauhan orang akan mengira sedang ada konser The Changcuters atau Dewi Persik di sana.

Keadaan memanas. Panitia penyelenggara cukup kewalahan meladeni para fakir dan miskin yang bejibun menengadahkan tangan mereka demi uang Rp30.000. Desak-desakan dan aksi saling mendorong pun tak dapat terhindarkan. Setelah beberapa saat keadaan makin emosional, puncak tragedi pun terjadi. Beberapa orang tumbang dalam pergulatan memperebutkan uang Rp30.000 dan tak tanggung, lebih dari dua puluh diantaranya tak tertolong, alias meninggal dunia.

...

Beberapa hari setelah kejadian itu mencuat ke publik, reaksi media sudah dapat ditebak. Hampir semua orang mengacungkan jari telunjuk ke pihak keluarga H. Saikhon sebagai orang yang bersalah dan menjadi penyebab kematian dua puluh orang lebih.

Aku sendiri hampir terbawa arus dan ikut men-judge H. Saikhon bertanggung jawab penuh atas kejadian tersebut. Hingga suatu hari di kelas, aku mendengar pendapat lain yang sangat bertolak belakang dengan khalayak tapi sangat masuk akal dan cerdas. Pernyataan itu kudengar dari dosen Pengantar Ilmu Hubungan Internasional-ku di kampus, Pak Bambang. Aku pribadi cenderung mengamini beberapa pernyataan beliau tapi memberi sedikit pemikiran sebagai berikut.

Bagiku, justru yang dipertanyakan adalah 'mengapa ada sebanyak itu orang yang datang untuk mendapatkan uang Rp30.000??' atau 'benarkah sebanyak itu golongan fakir dan miskin di daerah tersebut? atau lebih banyak yang ingin disebut sebagai fakir atau miskin? Jika ya, kenapa sandangan fakir atau miskin sangat membanggakan dan prestisius bagi mereka hingga uang yang tak seberapa itu diperebutkan bahkan dengan bertaruh nyawa?

Negara ini adalah negara paling aneh di dunia. Ketika ada orang berbuat baik dan mulia, justru sandangan 'tersangka' yang diembannya. Nista sekali, berbagi dengan sesama malah terancam penjara dengan tuduhan penyebab kematian. Apa pantas, seorang yang membagikan harta kekayaan yang telah sampai nisab kepada (seharusnya) fakir miskin yang memang berhak atasnya, justru dituding membunuh?

Apa ada yang berani menjamin, semua orang yang datang pada waktu itu memang benar-benar dari golongan fakir atau miskin? Entah kenapa saya yakin, banyak dari mereka yang hanya ingin dianggap fakir atau miskin. Masalahnya, mengapa mereka justru ingin dianggap fakir atau miskin?

Mental. Lagi-lagi problematika negara kita adalah mental. Saya yakin, negara sekaya Indonesia (hasil alamnya), seharusnya berpenduduk kaya pula. Tapi kebanyakan dari mereka malas untuk bekerja, malas berusaha, malas berbuat sesuatu untuk hidup mereka sendiri. Kenapa?

Exactly! Sebut saja BLT. Masyarakat kita, yang 'pemalas', justru dibiasakan menjadi malas dan lebih malas lagi dengan kebijakan pemerintah yang katanya 'mengentaskan kemiskinan', melalui BLT itu tadi. Betapa masyarakat kita dibuat senang sekali mendapat uang ratusan ribu rupiah tanpa melakukan apapun. Cukup mengantri. Dalam hal ini aku menyalahkan pemerintah.

Tapi di sisi lain, kita perlu menghargai kebijakan pemerintah yang bertekad memberikan bantuan secara langsung kepada warganya meskipun caranya kurang mendidik. Toh, di beberapa negara maju di Eropa, kebijakan seperti itu pun dilaksanakan oleh pemerintahnya. Bedanya, ketika bantuan tersebut dikucurkan langsung, hampir bisa dihitung dengan jari jumlah peminatnya. Dengan kata lain, sedikit sekali orang yang merasa berada dalam golongan fakir atau miskin. Atau kebanyakan dari mereka tidak sudi digolongkan menjadi fakir atau miskin. Mereka merasa diremehkan dengan diberi uang makan atau uang keperluan sehari-hari yang hanya dalam beberapa kali atau mungkin sekali pakai langsung habis. Tak ayal, jumlah pengangguran otomatis sangat sedikit. Karena tak ada yang mau menganggur, dianggap tidak mampu, dan diberi uang cuma-cuma oleh pemerintah. Berbeda sekali dengan masyarakat kita yang begitu gembira mendapat bantuan langsung berupa uang yang secara otomatis dianggap tidak mampu oleh pemerintah. Mental. Lagi-lagi... Dan dalam hal ini, masyarakat pantas disalahkan.

Lalu bagaimana dengan keluarga H. Saikhon?Apa mereka lepas dari tanggung jawab sama sekali? Tentu tidak. Karena H. Saikhon dan keluarga lah yang secara langsung terlibat dalam kejadian tersebut. Mungkin benar tuduhan dari banyak kalangan yang menuntut pertanggungjawaban H. Saikhon dan keluarga sebagai penyelenggara acara bagi-bagi zakat. Mereka dianggap kurang persiapan dan kurang koordinasi dengan beberapa pihak. Mereka kurang persiapan menerima banyaknya warga yang mungkin akan datang, mereka juga kurang koordinasi dengan pihak keamanan setempat. Bahkan sebagian kalangan menganggap keluarga H. Saikhon berbuat riya' dengan mengumumkan pembagian zakat melalui radio. Ada juga yang menyalahkan langkah membagikan langsung padahal ada badan penyalur zakat. Penyelenggara pun turut andil dalam tragedi tersebut.

...

Lalu siapa bersalah?

Aku, dengan segala kekuranganku berpendapat, pemerintah bertanggung jawab atas kebijakan kurang mendidik dan segala pembiasaan yang sudah terjadi di negeri ini hingga menciptakan insan-insan malas dan bangga disebut miskin.

Aku, dengan segala kerendahan hati berpikiran, masyarakat Indonesia masih sangat butuh pendidikan. Pendidikan yang sesungguhnya. Pendidikan yang mencerdaskan bangsa. Karena keadaan masyarakat kita sangat memprihatinkan. Aku sangat menyesalkan keadaan masyarakat kita.

Aku, dengan segala kelemahan yang kumiliki, justru memberi sedikit penghargaan pada H. Saikhon dan keluarga. Aku tidak mau menyalahkan beliau sepenuhnya karena tidak menggunakan jasa badan amil zakat. Mengingat banyaknya kasus penyelewengan yang terjadi dalam badan amil di Indonesia. Bahkan yang kudengar, sulit sekali mendapatkan badan amil yang benar-benar bersih dan dapat dipercaya. Lagipula, aku dapat memahami pilihan H. Saikhon dan keluarga membagikan zakat secara langsung. Bagaimanapun, suasana berbagi sangat terasa ketika kita secara langsung memberikannya pada si penerima, melihat wujud si penerima, dan menyaksikan senyum bahagianya saat menerima pemberian dari kita. It's all about... kepuasan batin.

Akhirnya, dengan segala kekurangn, kerendahan hati, dan kelemahan yang kumiliki, aku pikir, sudah saatnya masyarakat Indonesia bercermin dan belajar. Terus dan terus belajar. Kejadian di Pasuruan semestinya mengingatkan kita semua betapa negeri kita masih memiliki begitu banyak problem. Salah satunya adalah mental.

Haruskah kita selamanya menjadi negeri yang meminta-minta, atau bangga mendapatkan pemberian orang tanpa berkeinginan memberi, atau menjadi negeri yang tidak tahu diri dengan memojokkan posisi orang-orang yang berbaik hati memberi sesama?

Tidak ada komentar: