Februari 04, 2012

Dear Master


What am I suppose to do when silence calls critics and actions are always been wrong? If I'm not the one who is expected to be or maybe I'm a fool wasting my time in this world doing nothing, and it hurts your long experience about life, I'm sorry. But I am the one who feel the pain to be put down down and down, again and again with your words. I really don't know if I can still bare all of this.

Yes, I'm weak, loser, poor, stupid, coward, and know nothing about life. And you know the best way to make me think even worse. Am I such a criminal in your eyes?

I just want to believe, that life is never-ending learning. NEVER! Especially about people, people's feeling. And I hope you learn about that too, beside all of the knowledge you've mastered.

Sincerely


. . .

Sumber gambar:
http://fc02.deviantart.net/fs70/f/2011/213/e/5/e52ecee28560d4590b1319f3a8bccd02-d42d3ir.jpg

Januari 13, 2012

From a Fool (2)

They say I took too long to get close with you,
They say I am a coward not to confess or make you my girl,
They say I did too many consideration just to say "it" out to you,
Maybe they think I'm an anti-mainstream in this field..

I would say "I don't care"
I enjoy the special case that I have here..
I never think of how long I must wait or must hold it, I just want you to feel comfortable..
That's it.

. . .


*the only exception playing*


sumber gambar:
http://th02.deviantart.net/fs8/PRE/i/2005/321/b/6/Here_with_you_by_limey404.jpg

Desember 22, 2011

Tentang Seseorang

Tentang seseorang aku tak pernah bosan menatap wajahnya
Garis-garis usia bermunculan seiring senyum yang datang dan pergi silih berganti dengan air mata

Tentang seseorang aku sering kecewakan dengan tingkah laku atau sekedar kata-kata
Punggungnya mulai membungkuk bukti kian rapuh badannya, sekaligus kian besar upayanya melindungi buah hatinya

Tentang seseorang aku sering lupa dalam sukaku, namun adalah orang pertama dalam curahan dukaku
Meski raganya tak lagi sekuat dulu saat mampu menggendongku keliling komplek, rasa sayangnya tak sedikitpun berkurang untukku

Sungguh tak sebanding usiaku dengan kasih sayang dan pengorbanannya
Tak pula terhitung berapa banyak luka yang kutoreh di hatinya, yang terus menerus dapat dia sembuhkan
Dalam harapan-harapan yang terselip pada tiap do'a malamnya,
Dalam nasihat-nasihat sederhana yang terucap lewat sambungan jarak jauh,
Atau sekedar sapaan lembut 'sudah sholat Nak?' yang tak pernah dia lewatkan sekalipun

Dan tentang seseorang yang sangat kurindu dan ingin kucium meski hanya lewat lagu,
Orang itu adalah Ibu...

[Selamat Hari Ibu, Mah]
. . .
Jakarta, 22 Desember 2011
01:38 WIB

November 17, 2011

"Dua Kisah Nusantara": Concert for Papua



Kamis, 10 November 2011 menjadi hari bersejarah khususnya dalam kehidupanku. Konser Interaktif "Dua Kisah Nusantara" menjadi konser pertamaku sekaligus pengalaman bathin tak ternilai harganya yang kudapatkan dari proses lima bulan persiapan konser.

Nama The Indonesia Choir kudengar dari seorang sahabat yang sama-sama anggota paduan suara kampus. Aku akhirnya diterima menjadi anggota The Indonesia Choir dengan segala keterbatasan dan kekurangan setelah mencoba beberapa range nada yang dimainkan sang guru, Jay Wijayanto, dan menyanyikan satu bait lagu "Mad World" sebagai lagu audisiku. Apa yang kulihat, kudengar, dan kurasakan selanjutnya selama hari-hari latihan di markas TIC yakni di Jalan Kyai Maja (lebih akrab disebut "Maja"), sungguh di luar ekspektasi-ekspektasi bahkan bayanganku tentang dunia paduan suara.

Pada awalnya kupikir proses audisi TIC terlalu sederhana bahkan cenderung bersifat formalitas karena untuk ukuran paduan suara profesional yang sudah beberapa kali menggelar konser besar, kualitas suara dan teknik vokal yang kumiliki lolos diterima begitu mudahnya. Terlebih saat tahu bahwa aku pun akan turut serta dalam konser besar TIC selanjutnya yang dilaksanakan di bulan November 2011. Setelah melewati prasangka-prasangka awal tersebut, aku mendapati satu nilai yang dimiliki oleh TIC yang benar-benar membuatku bangga menjadi salah satu anggotanya. Mas Jay (sapaan akrab sang guru), pada satu pertemuan menjelang konser berkata, "Konser tinggal hitungan hari, segala jenis persiapan telah kita lakukan, latihan vokal, latihan koreografi, persiapan kostum, pemusik, hingga dana yang tak kecil jumlahnya. Semua itu akan sia-sia kalau kalian, para 'artis' konser nanti tidak dapat menjadi api bagi dirinya sendiri. Bekal apapun yang kalian punya, kualitas apapun yang kalian miliki, tak akan berarti apa-apa jika kalian tidak menggunakannya dengan maksimal. Perlu kalian ingat, TIC tidak menerima anggota yang sudah menjadi bintang. Kalian datang dengan segala keterbatasan dan kalian telah melalui berbagai bentuk tempaan. Sekarang saatnya kalian tunjukkan hasil tempaan tersebut. Kalian harus bisa menjadi bintang di konser kita nanti." Selanjutnya, apapun yang kudapatkan, kuterima, dan kuhadapi dalam hari-hari latihan seolah menjadi penyemangat untuk tidak menyia-nyiakan keterbatasan yang mendapat kesempatan untuk diekspresikan dalam konser nanti.

Seperti halnya konser-konser TIC sebelumnya, nuansa nusantara menjadi nilai jual utama konser yang kali ini bertajuk "Dua Kisah Nusantara". Mengangkat perbedaan yang mencolok antara Indonesia bagian barat serta timur khususnya dalam segi budaya dan standard kehidupan. Mukadimah tentang konser mungkin sudah dibicarakan dengan baik di berbagai publikasi tentang konser "Dua Kisah Nusantara". Satu hal yang ingin kuangkat dalam tulisanku kali ini adalah tentang Papua.

Konser "Dua Kisah Nusantara" memang mengangkat tentang dua wilayah di Indonesia (Barat dan Timur) yang kontras baik secara budaya, gaya hidup, hingga jenis musik. Namun totalitas Mas Jay dalam mengeksplorasi Papua sebagai representasi wilayah Timur Indonesia patut diacungi jempol. Papua yang pernah disebut sebagai Netherland New Guinea, Irian Barat, serta Irian Jaya (hingga tahun 2002) merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia paling Timur yang mendiami pulau terbesar kedua di dunia, pulau Papua. Sejarah dari sudut pandang Geologi mengatakan bahwa Papua merupakan pecahan benua Australia yang terpisah oleh lautan di penghujung zaman es. Dari sudut pandang budaya dan antropologi, penduduk Papua yang oleh orang Barat disebut kaum Melanesia (karena memiliki warna kulit gelap; Mela adalah bahasa Yunani yang artinya gelap) merupakan bangsa Asia Tenggara asli yang datang menggunakan perahu dan 'terjebak' dalam dahsyatnya alam tanah Papua sehingga tak dapat meninggalkan wilayah tersebut bahkan terisolasi dari modernitas wilayah sekitarnya. Sejarah kerajaan nusantara menyebutkan adanya koneksi antara Papua dengan kerajaan-kerajaan besar yang pernah ada di Nusantara, misalnya burung cendrawasih, burung asli tanah Papua, digunakan raja-raja Majapahit untuk sesembahan dan disebut sebagai 'burung dari taman surga'. Ada sumber yang mengatakan bahwa Papua tercantum dalam beberapa kitab seperti Nagara Kartagama serta kitab Prapanca sebagai wilayah kerajaan Majapahit.

Dalam konser "Dua Kisah Nusantara", Mas Jay mempersiapkan empat buah lagu dari Papua, tiga diantaranya dipesan khusus oleh The Indonesia Choir untuk pementasan Kamis malam itu. Yamko Rambe Yamko menjadi lagu Papua pertama yang kami bawakan dengan iringan perkusi berbagai alat musik daerah timur, serta penampilan spesial dari Corp Seni Brimob. Sejak kecil, aku mengenal lagu Yamko Rambe Yamko ini sebagai lagu Papua tanpa kutahu artinya bahkan hingga sekarang. Pada saat kami melakukan interpretasi lagu bersama, Mas Jay bahkan bilang hingga saat ini belum ada yang tahu pasti makna lagu tersebut. Liriknya terbilang sederhana dengan banyak pengulangan kata, namun bahkan tidak semua orang Papua tahu makna lagunya. Berbagai milis maupun website komunitas pecinta Papua bahkan mengangkat tema 'arti lagu Yamko Rambe Yamko' dalam diskusi mereka. Adapun terjemahan kasar lagu tersebut adalah sebagai berikut:
Hai jalan yang dicari sayang perjanjian
sungguh pembunuhan di dalam negri
sebagai bunga bangsa
bunga bangsa, bunga bangsa, bunga bangsa
bunga bertaburan
bunga bangsa, bunga bangsa, bunga bertumbuh
di taman pahlawan

Namun sekali lagi, belum kutemukan ada penelaahan sejarah, makna, maupun interpretasi komprehensif mengenai lirik tersebut. Sekilas fenomena ini terkesan aneh sekaligus menggelitik. Telusur punya telusur, hingga tahun 1963, dimana ada sekitar 700.000 populasi penduduk di Papua, 500.000 diantaranya berbicara dalam 200 macam bahasa yang berbeda dan tidak dipahami oleh kaum atau suku lain. Dengan rasio populasi dan banyaknya bahasa yang digunakan, satu bahasa paling hanya dikuasai oleh sekitar 50 orang. Hingga saat ini tercatat ada 243 bahasa pengantar yang digunakan di Papua, dengan beberapa diantaranya telah punah karena meninggalnya orang yang memahami bahasa tersebut. Maka jangan heran jika lagu-lagu dari tanah Papua banyak yang terkesan misterius karena tak diketahui maknanya. Padahal mungkin saja lagu tersebut tidak benar-benar mengandung interpretasi lain selain apa yang bisa diterjemahkan seperti halnya lagu 'Seal Lullaby' karya Eric Whitacre yang murni benar-benar menceritakan seorang ibu tunggal menyanyikan lagu nina bobo untuk anaknya.

Lagu berikutnya diberi judul WOR, medley lagu tarian tradisional daerah Biak yakni Kankarem dan Morenkim aransemen Budi Susanto Yohanes. Berbeda jauh dengan kesan pertama yang mungkin muncul saat mendengar judulnya, lagu ini tidak bercerita mengenai perang, tetapi tentang pelangi, keindahan. Dua lagu selanjutnya adalah lagu pesanan khusus TIC untuk konser Dua Kisah Nusantara: Diru Diru Nina aransemen . . . dan Yapo Mama Cica aransemen Arvin Zeinullah. Tiga lagu Papua ini kami bawakan lengkap dengan koreografi arahan tim dari Jecko Dancer yakni Nambe. Gaya menombak dan melompat mendominasi gerakan-gerakan dalam koregrafi yang cukup menguras energi ditambah kami harus menjaga pitch dan choral sound saat bernyanyi.

. . .

Sejujurnya, tulisan di atas telah kutulis cukup lama dan mengendap di draft blogger entah menanti apa. Aku mengalami titik stagnan dimana aku tak bergerak maju pun tak berbelok arah, melainkan berdiam di tempat. Mungkin semua orang pernah mengalaminya, yang membedakan bagi tiap orang adalah seberapa lama dia bertahan di tempat yang sama dan tidak menghasilkan apa-apa. Aku sudah cukup lama mengendapkan tulisan ini dan kurasa apapun bentuknya, selesai atau tidak selesai, harus kupublish demi menuntaskan tanggung jawabku yang telah memulai.


Cheers,
Jan Phaiz (Setya Nurul Faizin)

Sumber:
http://sejarahbangsaindonesia.blogdetik.com/2011/05/28/sejarah-papua-tidak-terlepas-dari-masa-lalu-indonesia/
http://sejarah-papua.blogspot.com/
http://sejarah.kompasiana.com/2011/07/07/sejarah-papua-menurut-kompas/
http://real-mistery.blogspot.com/2009/07/misteri-pulau-papua.html
http://tunas63.wordpress.com/2008/09/22/makna-lagu-yamko-rambe-yamko/

Intermezzo II


Semester lima memang belum usai, tapi intermezzo kali ini rasanya tak bisa lagi menunggu untuk ditulis. Memang sempat kutulis tentang angan-angan untuk menempuh hidup yang sedikit lebih waras dan sehat di semester lima ini. Dengan berakhirnya masa jabatan di Himpunan yang penuh dengan acara dan kegiatan, tadinya kupikir dengan naik level di tingkat Senat yang tidak terlalu banyak event akan sedikit mengurangi aktivitas. Dan ya, semester lima sejauh ini tidak menunjukkan grafik penurunan aktivitas atau peningkatan waktu tidur malam. Terlebih sejak bergabungnya aku dengan The Indonesia Choir.

Bagiku, menyanyi bukanlah hobi namun tidak bisa pula dikatakan sebagai bakat. Menyanyi seperti bahasa ibu yang kubawa sejak kecil, di samping bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Dalam sehari, mungkin porsiku menggunakan bahasa Indonesia dan 'bahasa menyanyi' hampir sama saking seringnya aku menyanyi. Saat mendapat ajakan dari seorang teman untuk ikut audisi The Indonesia Choir, tentu aku sangat tertarik. Singkat cerita, aku resmi menjadi anggota saat TIC tengah mempersiapkan konser ke-5 dengan tajuk Dua Kisah Nusantara. Berawal dari rasa penasaran dan ketertarikan pribadi, jadilah aktivitas di TIC menjadi rutinitas yang mengisi hari-hariku di semester lima ini. Dimulai dari latihan rutin Rabu malam yang tepat ada di sela-sela rutinitas kampus, serta latihan Minggu siang yang seringkali kupakai untuk tidur usai shift malam sebelumnya, hingga latihan intensif menjelang konser yang bisa memakan waktu setengah hari di hari Rabu, Sabtu, dan Minggu. Tambahan kegiatan ini tidak menghilangkan rutinitas yang sudah ada seperti kuliah untuk enam mata kuliah, latihan paduan suara kampus, rapat-rapat rutin Senat, serta kerja 'rodi' shift malamku sebagai barista.

Tulisanku selanjutnya akan mereview tentang konser kelima TIC yang merupakan konser pertama dalam hidupku. Berhubung aku terlibat langsung sebagai 'artis' dalam pagelaran tersebut, mungkin tulisanku tidak akan banyak membahas tentang penampilan dan pertunjukkan secara keseluruhan dari bangku penonton, namun lebih pada pengalaman-pengalaman selama persiapan hingga konser dan thethek bengek tentang konser dari sudut pandangku.




Sumber gambar:
http://fc04.deviantart.net/fs4/i/2004/199/8/f/All_The_World__s_A_STAGE.jpg

September 23, 2011

Bulan yang Merindu Sang Hujan


Untuk kamu,
Malam ini diguyur hujan

Menyembunyikan bulan sang pujaan

Meski tak ku jumpaimu tadi siang

Balasan pesanmu cukup melegakan
Setidaknya tak perlu kumerasa diabaikan

Untuk hujan yang malam ini mengguyur,
Kau turun membasahi tanah

Ke seluruh jalan sambil menyebarkan bau basah

Seolah hadirmu mengabarkan resah

Yang nyatanya hadir saat datang kabar tentangnya
Dia yang mengingat namanya membuatku gelisah


Untuk bulan yang sosoknya selalu dia kagumi,
Kau memang absen dari langit malam ini
Tapi kutahu kau hanya sembunyi

Seperti halnya aku yang seringkali memandanginya seorang diri

Dari sudut tak nampak, siap lari saat dia pergoki

Seakan menyapanya perlu ribuan nyali


Untuk kamu yang mungkin merindukan sang bulan malam ini,

Aku tahu kamu tahu bulan tak tengah menghilang

Namun cuaca menjadikan langit serasa ada yang kurang

Sebagaimana hubungan kita hingga sekarang

Jawabmu atas tanyaku tak pernah berpanjang

Sikapmu terhadapku tak pernah cukup terang


Wahai hujan yang kian merintik dan hendak habis,

Hadirmu sekejap namun basah yang kau tinggalkan tak sebentar

Menyisakan genang air serta aroma yang masih menguar

Apa kau tahu betapa waktuku bersamanya tak pernah longgar

Namun memori yang kukecap seolah begitu besar

Ingin sekali kuyakin bahwa rasaku pun menjadi rasanya


Oh bulan yang mulai mengintip,

Kau memang tak memiliki cahaya itu

Namun pesonamu seolah membuatnya terpaku

Tahukah betapa aku iri padamu?

Saat dia mengagumi dan mengagungkan indahmu

Anganku terbang mengandaikan namaku yang dia sebut

Untuk hujan dan sang bulan,

Hadirmu bergantian tak nampak bersama

Seolah dimensi kalian sungguh berbeda
Dalam gelap malam hujan, bulan tentu tiada

Begitupun saat langit benderang cahya bulan, tak ada hujan di sana

Entah mengapa hidup kalian serupa denganku dan dia


Untuk kamu dan hanya kamu,
Mungkin bulan dan aku tak akan pernah sepadan

Namun dirimu sungguh serupa hujan di waktu malam

Dalam munculmu yang tak seberapa, ada sisa rasa yang membekas dalam
Dalam deras yang kau guyurkan, ada kesan yang justru menentramkan

Dan dalam anganku tentangmu, ada bulan yang merindu sang hujan



Jakarta, 23 September 02.57
Jan Phaiz (Setya Nurul Faizin)


~ Ditulis di dalam bus transjakarta saat malam hujan menggunakan ponsel, diselesaikan dan diposting melalui laptop pada dini hari di tengah-tengah shift kerja malam. Takut momennya hilang =P ~

. . .


Sumber gambar:
http://fc03.deviantart.net/fs70/i/2011/130/d/5/braving_the_night_rain_3_by_dannyst-d3g2fzc.jpg

Agustus 17, 2011

Hitam | Putih



Aku pernah menulis tentang dua serigala yang hidup di dalam diriku. Yang satu serigala putih lembut yang setia, yang satu serigala hitam perkasa yang senantiasa mengusik si Putih. Sebenarnya itu adalah perumpamaan yang kugunakan untuk menggambarkan seorang manusia. Makhluk paling sempurna yang diberi keistimewaan berupa sifat baik yang melebihi kebaikan malaikat sekaligus sifat buruk melebihi keburukan setan (Fahd Djibran, Yang Galau Yang Meracau). Sejak kecil istilah "makhluk paling sempurna" sudah kukenal tanpa kutahu pasti apa maksudnya. Beberapa temanku seringkali menggodaku tentang perkara umur karena aku terbilang lebih tua satu tahun di antara teman-teman angkatanku di kampus. Mereka rajin sekali mengingatkan betapa aku yang lebih tua satu tahun dari mereka masih seringkali bertingkah kekanakan bahkan kurang masuk akal atau kurang wajar. Tunggu dulu, apa hubungan dua serigala, makhluk paling sempurna, dan tua? Paragraf pembukaku kali ini memang terkesan random. Tapi percayalah, mungkin ini efek buruk hasil si Hitam yang belakangan telah menjadi begitu gagah dan perkasa.

Pertama, tentang tulisan terdahuluku berjudul "Untitled" yang kutulis pada 9 Oktober 2009. Ketika menulisnya, aku berada pada tempat yang gelap, bukan gelap secara harfiah, namun gelap karena keadaan batinku. Aku yakin setiap orang pernah, apalagi yang telah 'berkepala dua', merasakan suatu kondisi putih dan hitam dalam kehidupannya. Begitupun diriku. Aku pernah menjadi seseorang yang berorientasi pada hal-hal baik dan seolah fokus mengejar hal-hal baik untuk kukerjakan, kuamalkan, kuperbuat bahkan aku pernah mempunyai keinginan untuk menempuh hidup seperti orang suci. Aku pun pernah mengenal satu dosa, yang kemudian tergoda mencoba dosa lain, hingga akhirnya ketagihan dan menjadikan hal dosa tersebut aktivitas rutin yang kulakukan di saat-saat hal baik absen dalam hidupku. Aku pernah sangat bersemangat mengejar peningkatan perbaikan diri dengan mengamalkan ibadah ini dan itu. Aku pun pernah menjadi budak dosa yang seolah tak bisa lari kecuali ada yang membebaskanku atau membeliku menjadi manusia bebas. Oke, mungkin tidak semua orang berkepala dua pernah mengalaminya. Mungkin jauh dalam lubuk hatiku, aku berharap tidak sendiri dalam hal ini. Tapi sekali lagi, ini berkaitan dengan dua serigala yang baik secara sadar atau tidak sadar kupelihara dalam diriku.

Saat tulisan itu kupublish dan mulai dibaca oleh teman-temanku, hanya ada satu komentar yang dari komentarnya kusimpulkan tidak begitu paham dengan maksud tulisanku. Memang, aku menulisnya dengan gaya 'sastra'ku yang tidak bisa dibilang lugas namun tidak pula sastrawi. Yang aku ingat, saat itu, dosa seolah menjadi teman baikku meski ada penolakan dalam diriku. Satu kebiasaan yang tidak bisa dibilang baik (meski bukan pula tindak kriminal) secara rutin kulakukan. Seperti halnya sifat dosa-dosa yang lain, sesal selalu menjadi rasa yang tertinggal lama setelah kepuasan yang hanya sesaat. Namun sama halnya dengan dosa-dosa lain, yang senantiasa mengundang rasa ingin tahu, dan perasaan untuk ingin diulang setelah sekali melakukan. Hanya akal pikiran sehat yang diiringi kebeningan hati yang bisa mencegah manusia melakukan [mengulang] dosa, terlebih dosa yang pernah dilakukan dan memiliki efek kepuasan sesaat. Akhirnya aku sampai pada kesimpulan tersebut hingga berujung pada tulisanku hampir dua tahun yang lalu.

Ya, pada saat itu serigala hitam telah menjadi begitu perkasa setelah berhasil membantai serigala putih hingga terpojok tak berdaya. Namun separah apapun kondisinya, serigala putih (maupun hitam) tak bisa mati dalam diri manusia. Itulah kenapa manusia menjadi makhluk paling sempurna karena diberikan keduanya yang kekal sejak lahir hingga mati. Inilah kepercayaanku hingga saat ini. Seperti apa rupa manusia itu saat menghadap sang Khalik ditentukan dengan bagaimana rupa serigala yang bisa lebih bertahan kuat dan mendominasi dalam dirinya selama hidup. Ketika aku menulis, ada keinginan secara sadar untuk memberikan dukungan penuh pada serigala putih untuk bangkit, untuk mulai melawan dan mendominasi kehidupan di masa mendatang. Dengan penuh kesadaran aku merasa telah menjadi teman baik setan bahkan dengan tanpa keinginanku sepenuhnya. Maka aku mengumpulkan segenap keberanianku untuk menulis, di belakang punggung serigala hitam, mengutuki keberadaannya dan berniat menghancurkannya berkeping-keping. Dengan harapan aku dapat menjalani kehidupan baik bersama serigala putih setelah membuat si Hitam bertekuk lutut.

Namun aku terlalu meremehkan kekuatan si Hitam yang ternyata tak hanya perkasa, tapi juga licik dan cerdas. Satu lagi pelajaran yang bisa kubagikan, saat kau dengan sengaja atau tidak sengaja membiarkan lawanmu tumbuh kuat, jangan pernah berharap dia akan berdiam diri dan tidak menjadi lebih kuat dari sebelumnya. Begitulah yang terjadi. Secara sadar aku menginginkan pulihnya si Putih agar mampu melawan si Hitam dan kembali mendominasiku. Namun sebelum hal itu bisa terjadi, si Hitam telah begitu mendominasi dan bahkan mampu menyuruhku melakukan ini dan itu, membuatku melawan akal sehatku. Pada titik ini, aku sadar bahwa aku telah menjadi budak dan tawanan si Hitam. Percayalah, keadaannya tidak sesederhana yang bisa dituliskan dengan kata-kata. Kau akan senantiasa berdiri pada ambang kebimbangan dengan akal sehat yang masih hidup dan bekerja namun terkekang penjara membiarkan fisikmu melakukan hal-hal yang jelas-jelas ditolaknya. Pikiranmu senantiasa menginginkan perbaikan dan perubahan untuk dirimu, namun lagi dan lagi kau mengulangi hal yang kau sendiri tahu salah dan tak semestinya kau lakukan. Bahkan pada kondisi terparah, akal sehatmu mulai goyah dan kau pikiran-pikiran si Hitam mulai masuk menginterupsi, menanamkan hal-hal yang bertentangan dengan mulai mempertanyakan hal-hal esensial, bahkan mempertanyakan kebaikan. Percaya atau tidak, aku pernah berada di sana.

Kemudian aku teringat tulisan Fahd Djibran tentang manusia sebagai makhluk paling sempurna. Menurutnya, seseorang bisa menjadi jauh lebih baik dari sifat-sifat baik yang ada atau justru jauh lebih jahat dan buruk dari sifat-sifat buruk yang ada. Aku tidak akan bilang aku telah melampaui keduanya, karena nyatanya aku masih menjadi seorang pemuda biasa saja yang mungkin tidak begitu spesial bagi orang-orang di sekitarku, tidak spesial karena kebaikanku, tidak pula spesial karena keburukanku. Sejujurnya, aku tak berhasrat menjadi salah satunya, meski aku diajarkan untuk menjadi orang baik dan meniru nabi-nabi. Setelah apa yang kualami dan kuperbuat dalam kehidupanku, aku tahu ada kemungkinan untuk menjadi orang yang super baik dan bersih, atau kesempatan menjadi orang yang super jahat dan kotor. Dan nampaknya, mudah saja untuk memilih. Kenyataannya, aku tahu betul bahwa tak satupun dari kedua serigala itu bisa kubunuh atau kutekan hingga benar-benar tak berdaya. Saat ini, si Hitam sungguh berjaya setelah tak hanya membantai, namun mencabik, mendera, meluluhlantakkan si Putih. Tapi jauh dalam hatiku, aku masih merasakan hembusan nafas si Putih meski lemah dan tak beraturan.

Terakhir, tentang umurku. Bukan kebetulan, meski bukan keinginanku pula untuk menjadi orang yang satu tahun lebih tua dalam komunitas pendidikan formalku. Nyatanya, aku terlambat satu tahun untuk masuk dalam lingkunganku sekarang, pun karena pengalaman hidup yang telah kutuliskan sebelumnya di blog ini ("Confession" - Februari 2009). Jika menilik kembali apa yang telah kulalui beberapa tahun ke belakang, semestinya memang aku unggul dalam hal pengalaman dibanding teman-teman sepermainanku. Dan seperti yang selalu aku pelajari dalam hidup, pendewasaan bukanlah soal nominal usia, namun sejauh mana pengalaman demi pengalaman dalam hidup mengembangkan karakter dan pemahaman serta penerimaan seseorang tentang kehidupan. Aku tidak sedang bilang aku telah menjadi orang dewasa karena telah mengalami cukup banyak pengalaman jungkir balik dalam hidup, karena toh seperti yang kubilang di paragraf awal, teman-temanku seringkali mempertanyakan kedewasaanku karena sikapku yang seringkali kekanakan dan kurang masuk akal. Aku tidak menyangkalnya justru aku sedikit bangga karenanya. Setidaknya aku memainkan peranku sebagai orang biasa dengan cukup baik dan tidak membiarkan si Hitam muncul telanjang di hadapan orang-orang di sekitarku. Aku tahu, jika terus kubiarkan dominasinya akan diriku, cepat atau lambat orang-orang akan mengendus betapa hebatnya si Hitam tumbuh kembang dalam diriku, dan tidak mengherankan jika kelak aku dicap 'hitam' oleh orang lain. Jelas aku tidak mengharapkannya.

Biarlah pengalaman hidupku menjadi guru kehidupanku tanpa harus menjadikanku orang yang mencolok karena pengalaman hidup. Biarlah aku menjadi diriku yang sangat biasa dan tidak menonjol seperti sekarang. Biarlah orang-orang menganggapku tak tahu umur atau menganggap remeh karena itu jauh lebih baik ketimbang mereka melihat sisi lain diriku yang aku yakin tak ada yang mau melihat atau sekedar mengetahuinya. Semua orang punya rahasia dalam kehidupannya, dan inilah rahasiaku. Lucu memang mengumbar rahasia gelap dalam blog terbuka yang bisa diakses semua orang. Tapi aku lega setidaknya aku bisa mengungkapkan sisi gelapku sedikit tanpa harus menjadi sosok gelap secara harfiah.

Maka, biarlah aku berperang dengan apa yang telah mendominasi diriku agar kelak aku bisa menguasai kembali diriku sepenuhnya. Tidak akan mudah, dan tidak akan cepat memang. Setidaknya, aku telah menulisnya, dan menulis adalah bentuk lain berikrar, berjanji, meniatkan sekaligus mendeklarasikan keinginan hatiku yang sesungguhnya. Kuharap, dua atau lima tahun kelak, apapun yang terjadi pada diriku, entah telah menjadi hitam luar dalam, tetap pada kondisi berkecamuk abu-abu, atau telah menjadi putih yang menyilaukan, saat kembali kukunjungi tulisan ini, aku ingat pernah menjadi diriku yang saat ini. Dan apapun bentukku kelak, semoga pesan si Putih yang secara tersirat kusampaikan dalam tulisan ini bisa tetap kubaca, entah kembali menjadi penyemangat, atau justru menguatkan diriku yang akan datang. Kuharap tulisan ini menjadi sesuatu, baik untukku saat ini, untukmu, terlebih untukku di masa mendatang.



Sumber gambar:
http://fc01.deviantart.net/fs22/f/2007/352/d/c/black__white_by_XxHayleyXx3.jpg