Ide pengangkatan fenomena ‘galau’ yang sedang populer bahkan bisa dibilang menjamur di kalangan pemuda saat ini memang sangat menjual, sebagaimana ide-ide judul dan cover buku-buku kang Fahd yang selalu mengundang perhatian dan penasaran. Mengingat ratusan bahkan ribuan kata ‘galau’ yang muncul dalam keseharian tweet para pengguna twitter, maka kang Fahd yang notabene-nya masih pemuda, menghadirkan sebuah karya yang dikemas dengan gaya populer, namun tetap ber-ciri-khas tulisan-tulisannya yang kritis, mendalam, dan tidak terkesan menggurui. Kembali kali ini kang Fahd menyuguhkan berbagai ide dan pengalaman melalui curhatan atau dalam buku ini disebut racauan Tuan Setan. Jika selama ini kita bosan melihat hashtag orang-orang bertajuk ‘galau’ dan yang di’racau’kan melulu pada permasalahan itu saja, maka kang Fahd menghadirkan sosok Tuan Setan yang sedang ‘galau’ dan akhirnya ‘meracau’ tentang kehidupan, manusia, bahkan cinta dan Tuhan.
Buku ini terbagi ke dalam tiga sub-tema, yakni Setan, Cinta, dan Tuhan (setan-cinta-Tuhan). Pada karya pertama berjudul “Mabuk”, kang Fahd menuliskan sepenggal kalimat yang berbunyi “Each day is a gift and not a given right..”. Mungkin sebagian besar dari kita pernah mendengar atau membaca kata-kata mutiara tersebut. Namun adakah diantara kita yang pernah menduga bahwa kata-kata tersebut justru merupakan peringatan dan nasihat Tuan Setan kepada seorang manusia bernama Rayya saat ia sedang melakukan dosa? Tuan Setan mengajak Rayya kembali mengingat sejarah, bahwa pada saat Tuhan menyuruh Setan menyembah manusia, Setan menolak dan terjadi negosiasi di sana. Setan meminta kehidupan yang kekal dan dia berjanji akan menggoda manusia dari berbagai arah, selamanya. Pada titik ini, Tuan Setan dengan bangga mengatakan bahwa hidupnya adalah hak maka kewajibannyalah untuk menggoda umat manusia. Sementara manusia tidak bernegosiasi dengan Tuhan tentang kehidupan, manusia diberi kehidupan, dan jika Tuhan berbaik hati, maka manusia berhutang untuk membalasnya dengan mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Maka manusia bisa memilih, untuk berbuat kebaikan, atau mengikuti Setan berbuat keburukan dan mendustai Tuhan.
Selanjutnya, dalam “Only God Knows Why”, Tuan Setan makin menggalau dan racauannya kali ini makin menampar siapapun yang merasa dirinya manusia. Kita semua tahu bahwa manusia diciptakan sempurna karena memiliki akal. Tapi apakah kita semua paham letak kesempurnaan akal? Tuan Setan hidup abadi dan senantiasa menggoda manusia melakukan kejahatan dan menggiring manusia ke arah keburukan. Di sisi lain, malaikat adalah makhluk Tuhan yang senantiasa berbuat baik, lurus, sesuai perintah dan tak mungkin membangkang Tuhan. Manusia, dengan segala kesempurnaannya, diberikan kedua sifat tersebut. Dua jalan membentang di depannya, jika yang satu ke arah setan, yang satunya ke arah malaikat. Dan keputusan selalu ada di tangan manusia itu sendiri. Maka, tidak berlebihan jika akhirnya Tuan Setan galau karena kaumnya selalu dituding sebagai sumber malapetaka dan bencana yang diakibatkan keburukan manusia. Padahal, Tuan Setan merasa kaumnya hanya menggoda dan mengajak manusia ke jalannya, sementara bentuk perbuatannya adalah modifikasi dan kreativitas tiap-tiap manusia yang menjalankannya. Ya, manusia memang bisa jauh lebih ‘setan’ dari setan itu sendiri, sebagaimana manusia bisa jauh lebih ‘malaikat’ dari para malaikat.
Tulisan demi tulisan, racauan demi racauan, rasanya tak hentinya menyentil dan menampar kesadaran kita sebagai manusia, terlebih sosok yang mengungkapkannya adalah setan, sosok yang selama ini hampir tidak pernah kita pandang secara humani. Pada karya “Just Enjoy the Show”, Tuan Setan hadir dengan wajah yang sedikit lebih ceria dan bercerita sambil bernyanyi sekaligus memainkan piano. Tuan Setan berkisah tentang takdirnya yang dihukum oleh-Nya lantaran menolak menyembah manusia. Padahal baginya, tak ada zat yang pantas disembah selain-Nya. Di satu sisi dia tidak terima, di sisi lain dia tahu dia bukanlah apa-apa di hadapan keagungan-Nya, hingga akhirnya dia merasa terperangkap di tengah-tengah sebuah sistem agung yang tak dia mengerti. Cintanya pada Tuhan yang membuatnya tak mau menyembah manusia, justru menjadikannya tertuduh sebagai pengkhianat dan pembangkang perintah Tuhan. Amarah, murka, dan kesombongan pun meledak hingga dia menganggap dirinya lebih baik dari Tuhan. Pada titik ini, Tuan Setan memberikan nasihat indah kepada Rayya, untuk menerima semesta kemahatiba-tibaan-Nya sebagai bagian dari hidup, jika bahagia bersyukurlah dengan waspada karena ketiba-tibaan lain menunggu di hadapan. Pun sebaliknya. “Bila kau tak kuat menjalaninya, bisikanlah ke dalam hatimu bahwa Ia tak akan memberimu peran yang kau sendiri tak sanggup menjalaninya. Laa yukallifullahu nafsan illa wusy’aha, begitu kata-Nya kira-kira.” (Just Enjoy The Show, halaman 73). Selanjutnya, Tuan Setan berpesan pada Rayya bahwa sejarahnya adalah pengorbanannya, “Terkutuklah kau jika tak menghargai pengorbananku! Cintailah kecintaanku, sebab aku hanya bisa mencintai-Nya dari jauh. Bila sempat, dalam doamu, bisikanlah kepada-Nya bahwa betapa aku masih mencintai-Nya.”
Demikianlah kang Fahd, melalui Tuan Setan mengobrak-abrik, mengaduk-aduk, dan menampar bolak-balik hati, pikiran, dan perasaanku selaku pembaca yang dalam hal ini adalah manusia. Dengan curhatan, racauan, dan nasihat-nasihat Tuan Setan tentang hidup dan cinta pada-Nya, aku pun turut menggalau, dalam bentuk lain, yang lebih kontemplatif. Masih banyak racauan Tuan Setan yang tidak bisa tidak akan mengajak kita berpikir dan kembali melihat ke dalam diri kita, sejauh apa kita mengenal diri kita, eksistensi kita dalam hidup, dan lebih jauh, peran serta kecintaan kita di hadapan-Nya.
. . .
Pada bagian selanjutnya, kang Fahd mengawali bagian “cinta” dengan cerita “Perpisahan Termanis”. Sebagaimana, tulisan-tulisan lain dalam buku ini yang dilengkapi dengan satu judul lagu sebagai soundtrack cerita, kali ini lagu dengan judul yang sama “Perpisahan Termanis” oleh Lovarian akan mampu membawa kita hanyut dalam rimba kata penuh makna kisah cinta antara Raka dan Hera. Fenomena perpisahan, putus, atau cinta bertepuk sebelah tangan memang merupakan salah satu tema ’galau’ paling hits sekaligus paling ampuh melumpuhkan remaja. Dengan tidak menampik kemungkinan adanya hal tersebut, kang Fahd justru menampilkan ‘perpisahan’ dalam bentuk yang indah, yang manis. “Dari ribuan sejarah manusia yang sedih, barangkali aku salah satunya, tapi haruskah aku menghabiskan hidup hanya untuk menjadi karang-pantai yang bersedih?” … “Tidak, kataku dalam hati”… “Barangkali aku gagal menjadi kekasihmu, tetapi cinta tetap ada: untuk apa dan untuk siapa, biarlah ia menentukan nasibnya sendiri...” (Perpisahan Termanis, halaman 99).
Ciri khas kang Fahd yang selalu mengagumkan adalah pemaknaan[kembali] hal-hal yang selama ini kita anggap sepele dan kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Dua karya dalam bagian ‘cinta’, adalah “Cantik itu Luka” dan “Perahu Kertas”. Karya yang pertama, adalah surat Rayya kepada Alivya, menanggapi pertanyaan Alivya “Rayya, seandainya kamu terlahir jadi perempuan, apa yang akan kamu lakukan terhadap hidupmu?” Tak disangka, pertanyaan sederhana yang terkesan dilontarkan secara iseng tersebut, mampu memunculkan penghargaan seorang Rayya pada sosok perempuan, yang dia tuangkan melalui lagu Eminem berjudul “Beautiful”. And to the rest of the world | God gave you shoes to fit you | So put ‘em on and wear ‘em | Be yourself man, be proud of who you are | Even if it sounds corny | Don’t ever let anyone tell you you ain’t beautiful. Dalam “Perahu Kertas”, langkah-demi-langkah proses pembuatan perahu kertas dari selembar kertas dimaknai sebagai fase-fase kehidupan dimulai dari takdir penciptaannya, perjalanan hidupnya, hingga pada akhirnya “Setiap detiknya, hidup adalah perjalanan menemukan bentuk. Seberapa jauh manusia harus berjalan untuk bisa disebut sebagai manusia? Berapa peristiwa yang harus dialami untuk bisa mengerti semuanya? Hanya kamu yang tahu, setiap orang punya kuasa atas hidupnya sendiri-sendiri, atas perahu kertasnya sendiri…” (Perahu Kertas, halaman 121).
Karya-karya lain tentang cinta yang tak kalah indah dan menggugah dengan apik disajikan dalam lembar-demi-lembar buku “Yang Galau Yang Meracau”. Topik-topik tentang pernikahan, kehidupan rumah tangga dikisahkan melalui lagu, sajak, bahkan gambar pemandangan. Kang Fahd menutup bagian cinta dengan karya “Ziarah Ingatan”, mengajak kita mengenang, mengingat-ingat, dan berziarah, tidak hanya pada orang-orang yang telah tiada, namun orang-orang yang telah lama tak kita singgahi.
. . .
Apa jadinya jika di suatu subuh, kita mendapati satu pemberitahuan: Tuhan mencolek Anda di Facebook, dan ada pilihan “colek kembali” atau “abaikan”. Lalu bagaimana seorang ibu harus bersikap jika anaknya menanyakan tentang rumah Tuhan, masjid, yang dibom belakangan ini. Sang Anak mengakhiri dengan simpulan polos, bukan kita yang harus takut pada teroris, namun Tuhan yang rumah-nya terancam dibom. Membaca tulisan-tulisan kang Fahd tentang spiritualitas, tentang Tuhan, sekilas seperti membaca tulisan ngawur tentang Tuhan. Perumpamaan-perumpamaan, pertanyaan-pertanyaan, bahkan plesetan-plesetan yang dibuat terkesan meledek dan mempertanyakan eksistensi Tuhan. Eits, setan saja bisa bijak dan berpikir dalam, sebaiknya kita telaah lebih jauh tulisan-tulisan kang Fahd ini sebelum kita menyimpulkan tulisan ini menyesatkan, bid'ah, atau terlarang.
Mungkin sekali dalam hidup, kita pernah mempertanyakan tentang Tuhan. Sebagaimana Maria kecil yang menanyakan rumah Tuhan pada ibunya, atau sosok aku yang menanyakan siapa Tuhan kepada ustadznya di karya "Sesa(a)t". Sadar atau tidak, sebagai makhluk merdeka yang dianugerahi akal pikiran, pertanyaan tentang Tuhan tidak akan dapat dihindari. Dalam tulisan-tulisannya, kang Fahd tidak melarang apalagi mengharamkan pertanyaan akan Tuhan. Malahan, melalui potongan-potongan karyanya yang tersebar dalam dua belas tulisan tentang Tuhan, kang Fahd mengajak kita mengalami dan menjalani, karena pada dasarnya, pengalamanlah yang lebih berharga dan akan menuntun pada pencarian kita.
Dalam "Mengakal(i) Tuhan", Rayya kembali menulis surat kepada Alivya berbagi tentang pengalaman ber'Tuhan'nya. Baginya, ketika kita memikirkan "ada atau tiada"nya Tuhan atau "masuk akal atau tidak"nya Tuhan, pada dasarnya kita memikirkan Tuhan sebagai keutuhan: Ia yang melampaui "ada dan tiada", melampaui sifat "masuk akal atau tidak masuk akal". Tuhan setidaknya "ada" dalam pikiran saat dipikirkan, Ia "masuk akal" sebagai bagian dari pikiran (akal) saat dipikirkan. (Mengakal[i] Tuhan, Hal. 181). "Itulah 'pengalaman' ber-Tuhanku, Alivya. Bagiku, pada saatnya pengalaman itu akan melengkapi pemahaman atau pengetahuan kita tentang 'Tuhan'. Sampai di sini, menurutku, jika kita menolah Tuhan dalam akal kita (artinya tidak 'mengingat' dan 'menyebutnya'), Tuhan berarti bukan 'tidak ada' tetapi 'tidak bersama kita'!" (Mengakal[i] Tuhan, hal. 185).
. . .
Sumber gambar:
http://akubunda.files.wordpress.com/2011/06/camera-effects.jpg
3 komentar:
kinda extraordinary book ya kak, sebenernya tau penulis itu aja baru nyahaha makasih sudah mengenalkan! ntar saya pinjem buku mba vina aja dia punya juga bukan? *mukapolos
hohoho.. begitulah.. karya-karya dia emank bagus-bagus.. kebetulan ak udah ngikutin karyanya dari yang paling pertama published..
ho oh vina juga punya orang belinya bareng.. wokelah kalo begitu.. ditunggu komennya setelah baca.. =D
Wah...sudah lebih dari setahun aku g baca blogmu, ternyata masih konsisten menulis dan membaca, mantap Fa. Bahasamu masih mengalir seperti dulu. Mantap dah....
Posting Komentar