November 17, 2008

Ketika Bertanya Menjadi Kemewahan Hidup


“Makna serupa pintu keluar yang selalu kita cari ketika kita tersesat dalam sebuah labirin ketidakpastian. Kita selalu berusaha menemukan pintu itu. Namun, labirin selalu memaksa kita untuk berputar di situ-situ saja, atau—lebih parah—membuat kita harus kembali ke tempat saat kita bermula.”

(Fahd Djibran, Labirin)


Manusia memang terlahir untuk mencari tahu makna. Anak kecil bertanya pada ibunya, ”Apa itu?”. Lalu sang Ibu menjawab ”Itu gubuk”, si Bocah akan bertanya lagi, ”Gubuk itu apa?”. ”Gubuk itu tempat istirahatnya Pak Tani”. ”Kenapa Pak Tani tidak istirahat di rumah?”. ”Karena Pak Tani harus bekerja lagi”. ”Tapi, gubuk itu sempit”. ”Itu sudah cukup untuk Pak Tani”. ”Untuk apa gubuk itu ditaruh di tengah sawah?”. ”Untuk istirahat Pak Tani, kan sudah Ibu bilang”. ”Tapi gubuknya bisa diletakkan di rumah kan? Gubuk itu kan kecil?”

Begitulah anak kecil dengan rasa ingin tahu meledak-ledak yang diliputi kepolosan dan kesederhanaannya. Dunia bagaikan ladang pertanyaan yang menyumbul-nyumbul untuk disemai dalam jawaban-jawaban. Seringkali ia tak begitu saja puas memetik satu buah jawaban untuk satu pertanyaan. Sang Anak akan mencerabut saja apa yang bisa ia raih. Namun ia justru akan makin banyak bertanya. Makin ingin tahu banyak. Makin menjengkelkan bagi orang dewasa.

Lalu bagaimana dengan dunia orang dewasa yang (katanya) tak lagi sesederhana dunia anak-anak? Dunia penuh hiruk pikuk kepentingan dan kebutuhan. Dunia sibuk tak mengenal rehat untuk meraih satu tujuan yang membawa pada tujuan lain tak berakhir dan tak berujung. Dunia dengan rutinitas monoton dengan warna hitam putih. Orang dewasa cenderung menjudge sesuatu benar (putih) dan salah (hitam).

Perbedaan mendasar antara kedua dunia yang seolah berada pada dimensi berbeda tersebut adalah cara memandang dan menjalani kehidupan di dunia masing-masing. Anak kecil cenderung akan mendekati sesuatu yang unik dan mengusik rasa ingin tahunya. Entah untuk diambil dan dibawa pulang, atau sekedar dipandang di tempat hingga puas, atau paling sederhana dipertanyakan pada orang dewasa ”Apa itu?”. Sementara orang dewasa dengan kesibukannya tak cukup hirau dengan keberadaan benda-benda unik bahkan indah di sekitar mereka. Orientasi hidup mereka telah terpatri sesuai tujuan masing-masing tanpa perlu sekedar melirik bunga yang tumbuh di pinggir jalan misalnya. Bagi anak kecil, tak ada hal kecil dalam dunia ini yang tak pantas dinikmati atau ’dimainkan’.

Anak-anak cenderung memperlakukan benda tak penting bagi orang dewasa sebagai permainan baru. Sementara orang dewasa, lagi-lagi hanya fokus pada tujuan hidupnya. Seorang bocah yang melihat kubangan lumpur di kebun, akan menganggapnya wahana bermain yang seru yang menyenangkan. Ia tak mengenal kotor sebagai sesuatu yang jahat, yang pastinya akan dimaki orang dewasa. Orang dewasa akan mencak-mencak hanya karena angin sore merusak tatanan rambutnya sementara anak kecil akan menelentangkan kedua tangannya umpama ia sedang terbang terbawa angin.

Untuk sementara, dapat kita simpulkan, semakin tua usia seseorang, semakin kecil gairah untuk mencari makna atau menikmati makna itu sendiri.

Di sini saya tidak bermaksud berbicara tentang anak kecil dan orang dewasa. Saya hanya ingin memulai dengan mengajak pembaca kembali pada masa kecil mereka yang (pastinya) sudah jauh berbeda dengan masa dewasanya. Sesuatu yang juga ditawarkan oleh buku ”A Cat in My Eyes: Karena Bertanya Tak Membuatmu Berdosa” karangan Fahd Djibran ini, yaitu tentang cara seseorang memandang hidup, atau lebih gampang saya katakan cara seseorang menanyakan hidup.

Buku yang berisi kumpulan prosa, sajak, puisi, dan tulisan-tulisan lain yang sekilas nampak tercerai berai ini membuktikan betapa sebuah aktivitas sederhana—bertanya, dapat menjadi karya tak ternilai harganya. Lebih jauh, dapat saya katakan, bertanya telah menjadi kemewahan tersendiri dalam hidup penulis. Yang membawa penulis pada penemuan-penemuan gemilang akan hidup, cinta, dan Tuhan.

Seperti pada tulisan pertama dalam bukunya, ”Tubuh”. Fahd menyoroti sebuah kata sifat yang selama ini telah di[salah]artikan oleh kebanyakan orang yaitu "cantik". Definisi cantik yang selama ini dibilang berambut panjang, hitam pekat, lurus, berbadan ramping bak gitar spanyol, kulit putih mulus tak berjerawat, dan wangi menjadi ganjalan bagi Fahd dan Marva (sahabat penanya, kekasihnya, atau dirinya sendiri yang lain, entahlah). Melalui proses pencarian makna yang rumit dan panjang: mencari arti di kamus, di internet, dan buku-buku referensi tentang kecantikan, seakan membawa pembaca berputar-putar pada labirin yang tak berujung atau terlalu panjang untuk ditemukan ujungnya.

Di saat semua orang menyerah atau malas menanyakan konsep cantik dan mencari tahu tentang cantik hingga terjebak pada definisi cantik yang justru membatasi makna sesungguhnya dari cantik itu sendiri, Fahd sampai pada kesimpulan yang tak terduga, bahwa cantik itu sebuah jawaban. Untuk apa mencari jawaban atas sebuah jawaban yang sudah jadi? Cantik adalah cantik itu sendiri.

Suasana cinta dan romantisme sangat terasa ketika membaca ”Matamu yang Sepi” sebagai luapan kerinduan tak terperi pada sosok ibu yang telah lama tak dapat ia rasakan keberadaannya. Serta sebuah sajak indah berjudul ”Membencimu”. Kelihaiannya memainkan kata dan menyusun sebuah perumpamaan menjadikan tulisan-tulisannya yang walaupun terkesan sederhana, menjadi dalam maknanya. Tidak percaya? Berikut saya kutip tulisannya:

"serupa cuaca, aku mencintaimu, selalu terikat waktu,, serupa udara, aku menyayangimu, selalu terikat ruang,, seperti hujan, aku membencimu, sewaktu-waktu" (Membencimu)

Begitu pula dengan buah kontemplasinya akan Tuhan yang terwujud dalam ”Ke Mana Kau Siang Tadi, Tuhan?” yang menggelitik sekaligus menyentak alam kesadaran siapa saja yang membacanya. Fahd mampu memainkan emosi pembaca dengan perumpamaan sederhana namun mengandung sentilan-sentilan yang tak jarang memaksa saya untuk berrefleksi. Sejauh mana saya mengenal Tuhan? Sejauh mana saya mampu berkomunikasi dengan Tuhan?Seperti tulisan lain yang mengandung spiritualitas seperti ”Pertem[p]u[r]an dengan Tuhan” terasa sangat hidup dan mampu mengaduk-aduk emosi pembaca dalam mendalami kehidupan mereka yang terkadang jauh dari Tuhan, namun di saat lain seperti dekat sekali dengan Tuhan.

Semua itu adalah hasil suatu proses bertanya yang tak sekedar melelahkan karena berputar-putar dalam labirin panjang [seolah] tak berujung demi sebuah pintu. Tapi karena bertanya adalah kemewahan dalam hidup. Maka kemewahan jalan mencapai jawaban hingga kemewahan akan jawaban itu sendiri menanti untuk disemai. Dalam hal ini, Fahd Djibran telah menunjukkan kemewahan tersebut dalam "A Cat in My Eyes: Karena Bertanya Tak Membuatmu Berdosa".

Daya tarik buku ini ada pada sampul yang atraktif dan menarik khususnya untuk kaum muda, serta pemilihan judul yang membuat orang bertanya-tanya (suatu kesuksesan awal dalam mengajak orang meneruskan tradisi bertanya pada hal-hal sederhana). Dengan kertas daur ulang yang ringan dan tak terlalu mencolok, buku ini makin mudah dibawa ke manapun untuk dinikmati kapan pun. Dan pastinya, harganya yang ekonomis dan sesuai kantong semua kalangan, membuatnya sangat mungkin ditemukan di ruang baca banyak kalangan. Tentunya itu semua di luar kelebihan dari isi buku ini sendiri.

Akhirnya, ada dua pendapat umum orang-orang setelah membaca karya-karya dalam buku ”A Cat in My Eyes”: "tulisan-tulisannya membingungkan" atau "tulisan-tulisannya mencerahkan". Sekali lagi, cara pandang seseorang memang akan membentuk pemahaman yang berbeda bagi tiap orang yang melihatnya.






November 01, 2008

"Ini Indonesia, Bung!"

Jum'at, 31 Oktober 2008

Mungkin ini akan menjadi artikel terpanjang yang ada di blog ini sekaligus yang pernah kutulis. Bagaimana lagi. Bahkan jika kutulis semua yang ingin kutulis, tak akan cukup kuat jari-jari ini menari, mata ini menantang radiasi monitor, dan tak cukup banyak waktu luangku sekarang ini.


Jum'at petang, di sebuah gedung bernama Taman Budaya, Yogyakarta, pengunjung memenuhi ruang panggung pertunjukkan. Aku mendapat kursi cukup jauh dari panggung karena terlambat beberapa menit setelah pintu masuk dibuka.






Opening Act dari Enam Masa Band membawakan lagu Laskar Pelangi dan beberapa lagu band mereka. Lalu Gembyung Shalawatan dimainkan seiring masuknya Menteri Luar Negeri Dr.N Hassan Wirajuda yang disambut sederet perempuan 'bule' berpakaian khas Jawa menebarkan kembang menyambut sang Menteri di atas karpet merah menuju kursi VIPnya. Seorang laki-laki menyanyikan lagu sholawatan sebagai bentuk penyambutan lain di atas panggung. Hingga detik ini, penonton berdiri dan beberapa menyerbu untuk bisa mendapatkan foto Pak Menteri.



Selanjutnya, bunyi piano dan beberapa alat musik yang menyerupai orkestra dimainkan mengiringi grup paduan suara dari Universitas Gadjah Mada menyanyikan lagu "You Can't Always Get What You Want" (the Rolling Stones) dengan genre yang sangat berbeda dari lagu asli. Daya tarik pertunjukkan kali ini ada pada seorang perempuan jelita berpakaian khas jawa lengkap dengan sanggul di kepala yang memainkan piano di samping panggung. Kelincahan jari-jari manisnya menekan nuts piano menunjukkan kemampuannya. Dengan tempo cepat dan ceria, nada-nada sulit, semuanya dimainkan dengan penuh khidmat hingga gerakan tubuhnya menghentak-hentak seperti kemasukan arwah Beethoven. Tidak ada kata-kata yang bisa kuberikan untuk memberi nilai permainan nona yang ternyata berasal dari Vietnam bernama Lai Thi Phuong Thao kecuali standing applause dan bulu kuduk yang berdiri mengaguminya.


Bingung sebenarnya acara apa yang sedang kubicarakan? Atau masih menerka-nerka?
Baiklah, aku sedang membicarakan sebuah pementasan seni dan budaya dengan judul besar "Indonesia Channel 2008" yang tahun ini bertajuk "Arts and Cultures Under The Sky".






Sekilas Program Beasiswa Seni dan Budaya Indonesia
Indonesia Channel 2008 adalah upacara penutupan sekaligus acara puncak dari program Beasiswa Seni dan Budaya Indonesia (BSBI) tahun 2008. Merupakan kegiatan tahunan yang diselenggarakan untuk yang ke enam kalinya sejak pertama kali digelar tahun 2003. Beasiswa ini pada awalnya diberikan untuk enam negara anggota Southwest Pacific Dialogue (SwPD) yaitu Australia, Filipina, Papua Nugini, Selandia Baru, Timor-Leste, dan tuan rumah Indonesia.

Pada tahun-tahun berikutnya, Pemerintah Indonesia kemudian memperluas jumlah negara peserta dengan mengikutsertakan negara-negara anggota ASEAN, China, Jepang, Korea Selatan, dan negara-negara anggota Pacific Islands Forum (PIF) sejak 2003, India (sejak 2006), Afrika Selatan (sejak 2007), dan mulai tahun ini: Azerbaijan (bekerja sama dengan University of Language of Azerbaijan), Amerika Serikat (bekerja sama dengan USINDO), Belanda, dan Inggris.

Animo masyarakat internasional terhadap beasiswa ini terus meningkat setiap tahunnya, seiring dengan meningkatnya jumlah aplikasi yang diterima oleh Panitia. Departemen Luar Negeri Republik Indonesia bekerja sama dengan perwakilan RI di luar negeri melakukan serangkaian proses seleksi dengan menimbang secara ermat berbagai latar belakang peserta. Untuk tahun 2008, terpilih 50 peserta dari 29 negara.

Setelah mendapatkan pembekalan di Departemen Luar Negeri selama kurang liebih satu minggu, para peserta BSBI kemudian dibagi menjadi empat kelompok dan mendalami lebih lanjut kebudayaan Indonesia di empat kota. Para peserta ditempatkan selama hampir tiga bulan di empat sanggar: Saung Angklung Udjo di Bandung, Jawa Barat; Sanggar Seni Semarandana Badung di Denpasar, Bali; Sanggar Soerya Soemirat di Solo, Jawa Tengah; dan Sanggar Sekar Setaman di Yogyakarta, DIY.

Peserta tinggal di dalam atau di sekitar sanggar-sanggar tersebut dan mendapatkan kesempatan menyelami dan merasakan warisan budaya lokal serta melakukan pertukaran budaya dengan komunitas di sekitarnya. Padu padan teori dan praktek baik di dalam maupun di luar sanggar serta keseharian mereka sebagai seuah keluarga besar diharapkan dapat menghasilkan nilai-nilai yang universal sifatnya, seperti persahabatan, perdamaian dan saling pengertian. Nilai-nilai ini kemudian akan dibawa para peserta ke negerinya masing-masing untuk bersama-sama Indonesia mewujudkan dunia yang lebih damai.

***

Kembali ke acara selanjutnya. Pertunjukkan tarian kolaborasi dengan lagu: Bangbung Ranggaek (Sunda), Gethuk (Jawa), dan Janger (Bali). Sebuah kolaborasi musik dan tari yang apik mulai memperkenalkan para peserta BSBI dari seluruh penjuru dunia yang terbagi ke dalam empat kelompok budaya. Para peserta menunjukkan keseriusan mereka mempelajari budaya Indonesia terlihat dari gerakan-gerakan mereka yang walaupun masih kaku dan kurang kompak, mereka nampak berusaha sangat baik. Tidak sulit mempelajari sebuah budaya, gerakan, musik suatu daerah sekaligus dari nol dan hanya dalam waktu tiga bulan.

Untuk pertunjukkan yang pertama, tepuk tangan membahana ke seluruh penjuru ruangan. Namun itu belum seberapa. Acara masih berlangsung dan dilanjtukan pertunjukka selanjutnya. Angklung Orchestra dan Arumba. Puluhan peserta BSBI yang ditempatkan di Bandung, mempertontonkan aksinya memainkan alat-alat musik bambu khas Jawa Barat yang kini mulai dikembangkan secara internasional. Dimainkan dengan laras diatonis kromatis, memungkinkan untuk membawakan lagu dengan tangga nada modern. Dua buah lagu yang dibawakan: Can't Help Falling in Love (Elvis Presley) dan Rasa Sayange (lagu rakyat Maluku). Kemudian diakhiri dengan lagu Puspa (ST 12) yang dinyanyikan langsung oleh salah seorang peserta asal Kamboja, Kong Sothearith. Tepuk tangan sekali lagi membahana, terlebih saat sang penyanyi meneriakkan kata-kata "Aku Cinta Indonesia!"

Berikutnya, giliran Peserta BSBI Sanggar Semarandana, Denpasar yang unjuk gigi. Membawakan pertunjukkan musik Tabuh Bila. Sebuah gending karawitan bubuka khas Bali, yang menggambarkan energisitas masyarakat dan alam Bali. Mungkin karena tidak terbiasa duduk bersila, atau karena kakinya terlalu panjang, seorang pemuda asal New Zaeland, Brandon Murray Van Slyke memegang kendang dengan sedikit kaku. Tapi walaupun awalnya kesulitan mengatur posisi, dia bisa memainkan peran kendang sebagai pemimpin tempo dan membawa rekan-rekannya membawakan Gilak Sasak dan Gilak Agung yang berirama cepat bersemangat. Komposisi musik tersebut biasa dibawakan masyarakat Bali di upacara-upacara tertentu.

Setelah Jawa Barat dan Bali, giliran Jawa Tengah ambil alih perhatian penonton di panggung. Setelah panggung gelap dan tabuhan peralihan selesai (yang berarti stage crew baru selesai lari-lari pontang-panting mengganti properti di panggung sesuai tugas mereka), para peserta yang belajar di Solo muncul membawakan Sendratari Bambangan Cakil. Tarian klasik Solo yang menunjukkan perjalanan Arjuna menghadapi rintangan hidup dan menemukan kebaikan dan kebahagiaan hakiki. Kebaikan akan selalu melekat pada setiap sisi kehidupan dan sebaliknya kenagkaramurkaan akan sirna. Seorang peserta dari Thailand, Anucha Sumaman berperan sebagai Arjuna memasuki panggung diiringi tabuh gamelan Jawa Tengah yang sangat khas, lemah lembut tapi tidak loyo. Atraksi makin seru ketika peserta dari Afrika Selatan, Thabo Isaac Rapoo yang berperan sebagai Cakil muncul merepresentasikan angkara murka yang senantiasa menggoda kebaikan. Namun kelurusan hati akan menampik semua kejahatan dan keluar sebagai pemenang sejati kehidupan.

Kembali lagi ke Jawa Barat, giliran Rampak Kendang dimainkan. Suatu bentuk kreativitas dari pukulan perkusi tradisional Jawa Barat yang dipadukan dengan gerakan yang dinamis. Para peserta BSBI yang sekaligus penabuh alat-alat perkusi memainkannya dengan penuh antusias dan kegembiraan yang tersirat dari wajah mereka. Lincah dan dinamis dalam gerakan menabuh yang variatif dan atraktif. Penonton tak henti-hentinya bertepuk tangan. Aku? Aku hampir lupa daratan saking terbuai dengan suguhan-suguhan luar biasa sejak puluhan menit yang lalu. Aku sebenarnya ingin dan hampir menangis menyaksikan kekayaan Indonesia yang sangat mengagumkan. Inilah Indonesia, Bung.

Tibalah saat yang ditunggu-tunggu (kenapa?) oleh para pemuda khususnya kaum hawa. Bintang tamu utama akan muncul beberapa detik lagi. Dan, Yovie and The Nuno muncul membawakan lagu hits mereka, Dia Untukku dan Menjaga Hati. Suasana semakin meriah. Apalagi saat duo penyanyi mengajak penonton ikut bernyanyi. Siapa yang tidak hafal lagu-lagu tersebut? Kang Yovie Widhianto yang merupakan lulusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran membawakan sambutan dengan masih duduk di depan keyboardnya, menyampaikan kebanggaannya dengan acara tersebut. Bagaimanapun, panitia pelaksana acara tersebut adalah KOMAHI (Korps Mahasiswa HI) dari tiga universitas di Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dan Universitas Pembangunan Negara (Veteran) Yogyakarta.

Setelah sambutan tidak resmi dari Yovie Widhianto, giliran Pak Menteri Dr. N. Hassan Wirajuda menyampaikan sambutan resmi tentang acara malam itu. Beliau membuka sambutan dengan membaca pidato resmi yang telah dipersiapkan sebelumnya. Lalu, untuk lebih mencairkan suasana, beliau menyisipi tanggapannya mengenai pertunjukkan malam itu di gedung Taman Budaya, sedikit gambaran tentang program BSBI, hingga ucapan selamat kepada para peserta BSBI 2008. Beliau juga menyampaikan harapannya ke depan agar acara-acara serupa dapat terus dijalankan sebagai bentuk pengenalan kekayaan Indonesia ke dunia sekaligus upaya persahabatan melalui pendekatan budaya dan seni.


Jawa Tengah muncul lagi dalam pertunjukkan Sendratari Ambabar Batik. Gubahan tari kontemporer yang menceritakan proses pembuatan dan motif batik Jawa, yang dibawakan secara lemah gemulai dan ayu oleh para penari perempuan. Para peserta perempuan BSBI begitu menghayati gerakan tari gemulai sambil memainkan kain jarit bermotif batik sebagai properti utama. Dipimpin seorang peserta asal Tonga, Jacinda Bernadette Layleen Fifita yang bertubuh besar, penonton disihir oleh tontonan ayu nan mengalir sebagai gambaran proses pembuatan kain batik. Sementara peserta lain yang tidak menari, memainkan gamelan jawa sebaik pemain gamelan profesional. Indah mengalun, gemulai, tapi tidak loyo.

Dilanjutkan dengan Ruwabineka, sebuah pertunjukkan yang menggambarkan baik dan buruk, susah dan senang, suka dan duka, cantik dan buruk yang ada di dalam tatanan kehidupan masyarakat Bali dalam garapan apik komposisi musik maupun tari yang ditata dengan indah, ritmis, dan dinamis. Para penari lengkap dengan pakaian adat Bali, terlihat berusaha sangat keras melakukan gerakan-gerakan sulit tarian Bali yang merupakan perpaduan gerakan kepala, pundak, tangan, pinggang, dan kaki yang rumit serta gerakan mata yang turut menjadi ruh tarian. Meskipun tak seindah penari Bali, usaha para peserta sungguh patut diberi tepuk tangan yang meriah selayaknya pertunjukkan hebat lain.

Akhirnya tiba giliran budaya tuan rumah tampil memanjakan mata penonton. Dua belas peserta BSBI yang ditempatkan di Sanggar Sekar Setaman, Yogyakarta, muncul dengan Sendratari Perang Giriantara (fragmen Brubuh Ngalengka). Menceritakan tentang kekuasaan dan cinta yang telah membelenggu Rahwana, raja di Alengka. Kini, Sinta telah direbutnya dari tangan Ramawijaya. Demi keadilan dan demi kebenaran, Sri Rama pun bertekad untuk membebaskan Sinta dari keserakahan yang membelenggunya. Maka terjadilah perang besar antara Negara Poncowati dan Alengka. Perang ini disebut perang Giriantara. Kelebihan pertunjukkan tersebut adalah totalitas para peserta memainkan peran ganda dalam satu pertunjukkan dengan durasi cukup panjang dan jelas membutuhkan konsentrasi dan dasa seni yang tinggi.

Diawali dengan dinaikkannya layar utama di panggung dan menampilkan layar lain yang dilengkapi dengan piranti pewayangan. Dua orang peserta perempuan mengambil posisi di depan layar dan mulai memainkan tokoh-tokoh wayang yang ada. Ada yang lucu dalam pembuka wayang tersebut. Pengisi suara tokoh-tokoh dalam wayang kulit yang dimainkan tak lain adalah para peserta BSBI dengan logat kental negara mereka masing-masing membawakan percakapan berbahasa Jawa. Pertunjukkan wayang diselingi pula visualisasi dalam bentuk nyata dengan munculnya tokoh-tokoh Sri Rama, Sinta, dan Rahwana dari para peserta yang tadinya memainkan gamelan dan wayang kulit. Begitu terus menerus, silih berganti dengan komposisi yang pas antara wayang kulit dan sosok nyata, para peserta pun silih berganti mengambil posisi: memainkan wayang kulit, menjadi tokoh wayang, memainkan gamelan, bernyanyi tembang jawa. Hampir tidak ada kesalahan berarti dalam pertunjukkan tersebut. Aku sendiri terkagum-kagum melihat para wanita mungil yang entah dari negara mana (entah kenapa contekanku tidak lengkap, ^_^) memainkan wayang kulit dengan lincah dan terlihat sangat menjiwai. Beberapa kali adegan melempar wayang kulit berjalan mulus. Dan pertunjukkan diakhiri dengan tokoh Sinta yang akhirnya lepas dari cengkraman Rahwana dan kembali ke negeri asalnya. SUPERB!

Seorang penyanyi wanita bersama dua rekannya yang membawa gitar perkusi muncul. Dia membawakan lagu Selamanya Cinta yang dipopulerkan oleh d'Cinnamons. Suara merdunya cukup menghipnotis pengunjung yang larut dalam alunan nada nan indah. Dia adalah penyanyi dari daerah Jetis yang menjadi korban gempa Yogya beberapa tahun silam. Lagu itu secara khusus ia tujukan kepada Bapak Menteri yang telah membantu dirinya dan keluarga. Mungkin kurang lebih itu yang ingin ia sampaikan di tengah penampilannya. Meskipun disampaikan terbata-bata dan hampir menangis.

Selanjutnya adalah kolaborasi musikal : "Indah, Kuingat Dirimu" yang dibawakan cukup apik oleh Yovie & Nuno, Kong Sotearith/Cambodia (vokal), Amanda Fe Castillo/Phillippines (vokal), Charles Hutapea/Deplu (saxophone).

Lampu padam, layar utama yang sudah diturunkan menampilkan slide bertuliskan INDONESIA CHANNEL 2008 "Arts and Cultures Under The Sky" diiringi tabuhan musik peralihan seperti biasanya. Lalu, seorang pemuda peserta BSBI dari Indonesia, R. Pratama Prabawaputra masuk ke atas panggung membawa bendera merah putih yang besar dengan tongkat cukup panjang untuk bisa dikibar-kibarkan di udara. Diiringi musik perjuangan yang bersemangat, para peserta lain muncul membawa daun palm hijau yang segar, sesegar jiwa pemuda sambi dikibar-kibarkan berirama kanan-kiri di udara. Pembawa acara memperkenalkan peserta satu per satu dimulai dari negara-negara Asia: Kamboja, Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Laos, Myanmar, Thailand, Vietnam, Cina, Jepang, Korea, India; negara-negara Pasifik: Australia, Papua Nugini, Selandia Baru, Timor-Leste, Filipina, Samoa, Solomon, Fiji, Palau, Tuvalu, Pulau Cook, Vunautu, Tonga, Nauru; negara-negara Eropa: Belanda, Inggris, Azerbaijan; Afrika Selatan; Amerika Serikat; lalu diakhiri dengan tuan rumah: INDONESIA. Penonton serempak berdiri memberikan standing applause yang begitu meriah. Bulu kudukku berdiri tegak serempak bebarengan dengan air mata yang menitik saking bangganya. "Ini Indonesia, Bung!" kataku kepada teman di sebelahku, meski mungkin tidak ia hiraukan atau tidak terdengar.


Ternyata acara belum usai. Peserta BSBI Saung Angklung Udjo, Bandung masih memiliki sesuatu untuk disuguhkan: Seni Ibing Pencak Silat. Berasal dari tradisi beladiri pencak silat di tatar Sunda. Dinamakan Seni Ibing, karena fokus pengolahan penampilan ditunjukkan pada keindahan gerak. Nyatanya, para peserta menari-nari ala pencak silat dengan gerakan teratur dan dinamis. Ciri khas seni Jawa Barat yang ceria pun turut mengiringi pagelaran tersebut.



Dilanjutkan Pesta Rakyat berupa kolaborasi tarian rakyat tradisional Bali, Jawa, dan Sunda yang dibawakan oleh seluruh peserta BSBI. Tak nampak letih mereka menari walaupun acara telah berjalan hampir tiga jam. Semuanya tetap lincah dan bersemangat melenggak-lenggok di atas pentas spektakuler demi berperan dalam pertunjukkan seni dan budaya Indonesia yang telah mereka pelajari selama hampir tiga bulan. Semuanya tetap bergairah lompat sana lompat sini demi memamerkan kekayaan Indonesia yang mereka rasakan selama hampir tiga bulan ini. Ya, Indonesia memang kaya, sangat kaya. Indonesia kaya raya akan seni, adat, budaya, dan bahasa. Indonesia kaya akan hasil cipta karya manusia yang beragam. Indonesia memang kaya, Bung.

Grup paduan suara dari UGM bersiap setelah dirijen memberi isyarat dan musik mulai dimainkan. Syair dalam bahasa Inggris pun dinyanyikan dengan tempo cepat layaknya lagu kebangsaan. Lagu baru bertajuk "Indonesiaku" ciptaan peserta BSBI 2007 dari Papua Nugini, Vincent Lagea dikumandangkan mengajak para penonton ikut menyanyikan lirik yang tertera di layar utama walau dengan terbata-bata.

INDONESIAKU

From the oceans of Pacific, to the oceans of India
There are many thousand islands through history
From the lands of Asia, to the lands of Australia
Lived your inhabitants through ages past
Nations of thousand islands, We Love You Forever

[chorus]:
Indonesia... Hatiku, rumahku, bangsaku...
Indonesia... Banyak pulau dan budaya menyatu...
Dari gunung ke laut, wajah tersenyum di mana saja
S'lamat datang di Indonesia, rumahku, bangsaku
Indonesiaku...

Many are your islands; Kalimantan, Jawa, Sumatra
Sulawesi, Bali, Maluku, Papua
Many are your cultures, many are your languages
Colouring each other in unity
Nation of ancient cultures, We Love You Forever

[chorus]:
Indonesia... Hatiku, rumahku, bangsaku...
Indonesia... Banyak pulau dan budaya menyatu...
Dari gunung ke laut, wajah tersenyum di mana saja
S'lamat datang di Indonesia, rumahku, bangsaku
Indonesiaku...

People from everywhere; Europe, Asia, Pacific
Loved you for your diverse attractions
Palm-fringed beaches everywhere, mountains, jungles, and volcanoes
Monumental expression of faith
Nation of great attractions, We Love You Forever

[chorus]:
Indonesia... Hatiku, rumahku, bangsaku...
Indonesia... Banyak pulau dan budaya menyatu...
Dari gunung ke laut, wajah tersenyum di mana saja
S'lamat datang di Indonesia, rumahku, bangsaku
Indonesiaku...

Acara terakhir adalah sambutan sekaligus penutupan program Beasiswa Seni dan Budaya Indonesia 2008 oleh Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Dr. N. Hassan Wirajuda. Semua peserta berkumpul per kelompok disertai perwakilan tiap sanggar dari empat kota menerima bunga dari Bapak Menteri, Ibu Wirajuda, serta tamu undangan lain.

Akhirnya, Indonesia Channel 2008 ditutup dengan lagu "We Are The World" (Bob Geldof) yang dinyanyikan oleh seluruh peserta.

Oktober 29, 2008

Payung Hitam Sumpah Pemuda


Payung Hitam Sumpah Pemuda
Rabu, 29 Oktober 2008 | 00:18 WIB
from: http://cetak.kompas.com

Semua orang memandang ke langit. Setelah itu, sebagian dari mereka memandang ke lengan untuk melihat waktu. Tiga puluh menit sebelum jadwal acara dimulai, pukul 15.30 hujan turun lebat di halaman Gerbang Utama Taman Mini Indonesia Indah.

Persiapan peringatan puncak Hari Sumpah Pemuda ke-80 yang digelar di lapangan terbuka dengan pelindung tenda menjadi kacau balau. Tenda yang dimaksudkan untuk melindungi sekitar 9.000 undangan dari sinar matahari tak mampu menahan empasan hujan angin.

Puluhan pemain orkestra IWO Yogyakarta yang duduk rapi di atas panggung utama mengamankan alat musik mereka dari air hujan. Empasan angin membuat hiasan panggung rontok. Gapura yang dibuat di sisi barat panggung utama roboh. Panitia kalang kabut.

Payung menjadi barang paling berharga di tengah hujan angin. Payung juga yang dicari untuk memindahkan tamu-tamu istimewa. Tamu istimewa itu antara lain para penerima penghargaan dari Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault. Mereka antara lain personel kelompok musik Bimbo, Andy F Noya, dan Dik Doang.

Karena hujan deras disertai angin dan sesekali petir ini, 450 orang yang mewakili suku yang ada di Indonesia dan duduk di baris terdepan juga menyingkir menghindari air hujan.

Semua masih memandang ke langit karena tepat pukul 15.30, hujan belum juga reda. Melihat kecemasan tamu undangan, panitia mengumumkan acara tetap akan diselenggarakan menunggu hujan sedikit mereda. Panitia basah kuyup.

Kejenuhan menunggu hujan mereda pecah ketika diumumkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah tiba memasuki tenda. Hadirin bersorak-sorai mendapati akhirnya acara dimulai juga. Presiden datang berpayung hitam yang melindunginya dari hujan.

Semangat semua undangan yang melemas karena hujan terpompa ketika diajak berdiri menyanyikan ”Indonesia Raya”. Iringan biola milik WR Soepratman yang dimainkan Idris Sardi membuat khidmat suasana.

Edo Kondologit menyanyikan ”Indonesia Tanah Air Beta”. Semua hadirin dibawa ke suasana kecintaan kepada Indonesia yang kaya tanah dan airnya.

Sebelum lagu itu, Adhyaksa menyampaikan laporan yang diakhiri puisi tentang kecintaannya kepada Indonesia. Puisi itu ia sampaikan dengan terisak, di antara hujan yang belum reda.


Acara puncak peringatan Sumpah Pemuda adalah mendengarkan pidato Presiden. Presiden menggariskan masih banyak tantangan bangsa setelah 80 tahun dinyatakan Sumpah Pemuda.

Tantangan itu nyata dari luar dan dalam negeri untuk persatuan dan kemajuan. Ada globalisasi yang seperti dua sisi mata uang, negatif dan positif. Dari dalam adalah dampak desentralisasi. Jika tidak dikelola, semangat kedaerahan yang berlebihan dapat menjadi ancaman.

Payung hitam yang digunakan Presiden mungkin bisa menggambarkan masih ada awan hitam pembawa hujan di Tanah Air untuk beberapa waktu ke depan. Di samping banyak pemuda berprestasi yang diberi penghargaan pada peringatan sumpah pemuda, banyak pula pemuda yang tidak jelas masa depannya.
(WisNU Nugroho)

*******

Mungkin akan terdengar ganjil dan berlebihan. Tapi aku benar-benar menitikkan air mata saat membaca laporan tersebut. Khususnya pada bagian-bagian yang kucetak tebal dan sedikit kuperbesar. 

Ketika aku membacanya, seketika aku  berada di tengah-tengah pengunjung peringatan Hari Sumpah Pemuda tersebut. Berpanas-panasan serta berhujan ria dengan angin basah menyapu sekujur tubuh, tetap berdiam. Menunggu acara dimulai.

Lalu tibalah saat menyanyikan Indonesia Raya dengan iringan biola milik W.R. Supratman yang dimainkan oleh Idris Sardi. Menyanyikan pula lagu mendayu Indonesia Tanah Air Beta. Ditutup pembacaan puisi oleh Adyaksa Dault dengan terisak di tengah hujan yang belum sepenuhnya reda.

Indah sekali ...

" ... banyak pula pemuda yang tidak jelas masa depannya "
Kesadaranku terguncang. Ingin kusangkal kalimat itu. Tapi dengan apa? 


sumber gambar: http://yantisadli.blogsome.com/images/hujan.jpg

Oktober 28, 2008

"Rinduku Padamu!" : Jeritan Bangsa untuk Generasi Muda


“ Beri
aku seribu orang, dan dengan mereka aku akan menggerakan Gunung Semeru! Beri aku sepuluh pemuda yang membara cinta
nya kepada Tanah Air, dan aku akan mengguncang dunia!”
(Ir. Soekarno Putra, Proklamator Bangsa)


Hanya sepuluh orang pemuda yang Bung Karno butuhkan untuk dapat mengguncang dunia, sementara untuk menggerakkan gunung Semeru saja dibutuhkan seribu orang.

Keistimewaan Pemuda

Secara umum, terdapat dua sudut pandang yang membuat posisi pemuda menjadi istimewa dan strategis: kualitatif dan kuantitatif (Akbar Tandjung: Peran Pemuda dalam Menciptakan Perubahan Bangsa)

Secara kualitas, pemuda memiliki idealisme yang murni, dinamis, kreatif, inovatif, dan memiliki energi yang besar bagi perubahan sosial. Kedinamisan jiwa pemuda seolah menjadi pembeda yang sangat mencolok dibandingkan dengan kaum tua yang cenderung mempertahankan adat lama dan sukar menerima perubahan. Idealisme yang murni di sini berarti tak ada kepentingan pribadi yang turut serta dalam memperjuangkan kepentingan luas demi kemajuan masyarakat, bangsa dan negara.

Aspek kedua adalah kuantitas. Dari sekitar 230 juta penduduk Indonesia, 78-90 juta jiwa atau 37-40 persen dari jumlah penduduk seluruhnya adalah pemuda. Itu jika asumsi rentang usia pemuda antara 15-35 tahun. Jika kriterianya 15-45 tahun tentu jumlahnya menjadi lebih besar lagi. Sebagian besar kelompok usia ini adalah tenaga kerja produktif yang mengisi berbagai bidang kehidupan.

Pemuda memang memiliki kelebihan yang secara substansial terkait dengan idealismenya yang masih murni, dan sepanjang sejarahnya terbukti telah memilki posisi dan peran yang strategis dalam menentukan arah sejarah bangsa.


Sejarah Bangsa Bersama Pemuda

Jika dirunut dari awal pergerakan pemuda dalam usahanya memperjuangkan kemerdekaan serta mengisinya, kita bisa memulai sejak tahun 1908. Diawali dengan berdirinya Boedi Oetomo yang dimotori para dokter Stovia. Selanjutnya muncul organisasi-organisasi kepemudaan yang mewarnai dinamika pergerakan nasional seperti Jong Java, Jong Borneo, Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Islamieten Bond, dan sebagainya.

Pasca Perang Dunia I, filsafat nasionalisme abad pertengahan mulai merambat ke negara-negara jajahan melalui para mahasiswa yang belajar di negara penjajah. Sebut saja Soepomo yang merumuskan konsep negara integralistik banyak menyerap pikiran Hegel. Penciptaan lagu-lagu kebangsaan pada masa itu sarat dengan semangat nasionalisme seperti Indonesia Raya, Dari Sabang Sampai Merauke, Padamu Negeri. Tokoh lain seperti Hatta dan Sutan Syahrir pun aktif mendiskusikan masa depan bangsanya ketika mereka belajar di benua Eropa, atas beasiswa politik-etis balas budinya Belanda. Mereka inilah yang nantinya banyak berkiprah menentukan arah biduk kapal Indonesia di masa pra dan pasca kemerdekaan.

Sementara di dalam negeri, Soekarno sejak remaja, mahasiswa, hingga lulus kuliah terus aktif meneriakkan tuntutan kemerdekaan bagi bangsanya melalui organisasi-organisasi yang tumbuh di awal abad ke-20. Soekarno menjadi penghuni langganan penginapan gratis penjara Sukamiskin dan penjara-penjara lain.

Maka setelah dua puluh tahun sejak Kebangkitan Nasional, cita-cita menyatukan negara, bangsa, dan bahasa ke dalam satu negara, satu bangsa, dan satu bahasa yaitu Indonesia kemudian diwujudkan secara nyata dengan menggelorakan Sumpah Pemuda di tahun 1928.

Periode berikutnya dan yang tak kalah penting adalah kemerdekaan. Puncak perjuangan para pemuda meraih kemerdakaan diserukan oleh Soekarno kepada segenap penduduk Indonesia dalam teks Proklamasi. Lagi-lagi, berkat desakan pemuda yang menculik Soekarno ke Rengasdengklok, kemerdekaan Indonesia jatuh pada tanggal 17 Agustus 1945.

Tepat dua puluh tahun setelah kemerdekaan, terjadi huru-hara pemberontakan G30S/PKI dan eksesnya. Tanpa peran besar mahasiswa dan organisasi-organisasi pemuda yang tergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia), KASI (Kesatu Aksi Sarjana Indonesia) dan masih banyak lagi, Soeharto dan para tentara tidak mungin bisa ‘merebut’ kekuasaan dari penguasa orde lama, Soekarno. Sayangnya, dalam perjalanannya, Orde Baru justru menghapus peran pemuda dan dengan otoritasnya berupaya menghilangkan sama sekali hak pemuda dan mahasiswa untuk berkarya serta mengeluarkan pendapat. Sebaliknya, para tentara diguritakan dalam tatanan masyarakat sipil lewat dwifungsi ABRI.

Akhirnya, setelah 32 tahun di bawah cengkraman Orde Baru, muncul secercah asa baru di wajah Indonesia yang terlanjur rusak. Ibarat sebuah bangunan, Indonesia di bawah rezim Soeharto berselimutkan tirai panjang. Tak nampak batang tubuh bangunan tersebut, yang ada hanyalah keindahan dari tirai tersebut. Namun saat disingkap, bentuk asli pilar dan tembok bangunan pun tampak jelas. Bangunan dengan pilar dan tembok penuh retakan di mana-mana akibat tikus-tikus negara yang berlindung di balik topeng KKN. (bung Aswin-2005). Mahasiswa dan pemuda memanfaatkan kesempatan tersebut dengan upaya menjatuhkan Soeharto dari kursi tahtanya. Inilah era yang kita kenal dengan nama reformasi.
Sekarang, sepuluh tahun pasca reformasi, tampuk kepemimpinan bangsa justru berturut-turut didominasi kaum tua yang hidup di zaman Soeharto dengan segala kebiasaan yang telah mengakar dan membudaya.

Sekedar pembanding, berikut data usia sosok pemimpin bangsa antara dominasi kaum muda dan kaum tua: Bung Karno dan Bung Hatta menjadi presiden dan wakil presiden di usia 44 dan 43 tahun, Bung Syahrir menjadi perdana menteri pada usia 40 tahun, Mohammad Natsir menjadi perdana menteri pada usia 42 tahun, Jenderal Soedirman wafat pada usia 36 tahun, Seoharto dilantik menjadi presiden RI pada usia 46 tahun. Kemudian era kepemudaan lengser: Soeharto berkuasa penuh berturut-turut di Indonesia hingga usia 72 tahun, Habibie menggantikan Soeharto menjadi presiden di usia 63 tahun, Gus Dur menjadi presiden di usia 59 tahun, Megawati Sukarnoputri diangkat menggantikan Gus Dur di usia 54 tahun, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memenangkan Pemilu tahun 2004 di usia 55 tahun.

Indonesia Rindu akan Pemudanya

Sejarah mencatat perjalanan pemuda Indonesia memimpin bangsa membawa perubahan yang signifikan dan selalu dinanti oleh bangsanya. Namun, dalam satu dekade pasca reformasi, peran pemuda seolah tenggelam atau secara tidak langsung ditenggelamkan oleh sistem.

Dengan segala kerendahan hati, sebagai pemuda Indonesia, penulis merasa memiliki tanggung jawab mengemban pelaksanaan reformasi sebagai langkah besar bangsa ini menuju perubahan berikutnya. Perubahan yang kembali dinanti bangsa kita.

Bahkan secara ekstrim penulis katakan, bangsa ini tengah berteriak memanggil para pemudanya. Berteriak penuh haru dan harap dengan suara bergetar dan lelah menunjukkan betapa bangsa ini jengah menanti.

Ia
rindu akan gerak-gerik pemuda yang dulu senantiasa membelanya, mempertaruhkan jiwa dan raga mereka untuknya, tanpa takut pada suatu apa maju mengusir penjajah bersenapan mundur dari tanah airnya. Ia rindu akan aksi-aksi nyata para pemuda dan bukannya teriakan memekakkan telinga tanpa wujud nyata. Ia sangat rindu akan munculnya sosok pemuda yang benar-benar mampu membawa dirinya keluar dari jerat kesengsaraan menuju masa depan cerah yang selama ini diimpikannya. Ia sungguh merindukan pemimpin untuk dirinya dan segenap rakyatnya dari kalangan pemuda seperti yang pernah ia lihat delapan puluh tahun yang lalu; yang berdedikasi tinggi kepada bangsa, beritikad baik merubah nasib bangsa, tak mengenal istilah pamrih, tak mengharapkan timbal balik dari orang lain, demi mencerahkan wajah suram bangsa ini, demi memberikan sunggingan senyum di rona kusut bangsa ini, demi kemaslahatan bangsa.

Tahun 2008 ini, peristiwa Sumpah Pemuda genap berusia 80 tahun. Di usia yang relatif tua, kemunculan tokoh-tokoh pemuda ke ajang politik menuju kepemimpinan baru bangsa Indonesia seolah menjadi jawaban dari jeritan bangsa yang mulai kelelahan menghadapi berbagai permasalahan tanpa kehadiran pemuda bersamanya.

Akhirnya, dengan semangat sumpah pemuda dan atas nama pemuda Indonesia yang membara cintanya pada tanah air, yang memiliki keprihatinan mendalam terhadap nasib negeri ini, dan bertekad sepenuh hati dengan idealisme murni sepenuhnya merubah nasib bangsa, mari kita serukan kalimat: HIDUP PEMUDA INDONESIA!




sumber gambar:
http://www.indonesiamedia.com/2006/11/mid/serba_serbi/images/serba_serbi/sumpah%20pemoeda.jpg
http://www.e-dukasi.net/mol/datafitur/modul_online/MO_106/images/sej203_07.JPG
http://www.e-dukasi.net/mol/datafitur/modul_online/MO_106/images/sej203_09.gif

Oktober 26, 2008

Pelajaran Penting Krisis Keuangan Global


Tahun 2008 menjadi tahun penting bagi dunia, karena terjadi krisis keuangan global. Sebenarnya hal tersebut tidak terlalu mengherankan, karena krisis serupa sudah berulang kali terjadi sebelumnya. Ambruknya bursa saham Wallstreet pada tahun 1929 yang disusul oleh resesi atau mandegnya ekonomi yang berkepanjangan di tahun 1930, Black Monday tahun 1987, krisis keuangan tahun 1997 di regional Asia, hingga sekarang krisis keuangan global 2008.

Dunia gempar. Prinsip dilanggar sedemikian rupa. Bush menggelontorkan ratusan milyar hingga trilyunan dollar AS. Negara-negara Eropa pun mengikuti langkah serupa. Bagaimana lagi? Invisible Hand tidak kunjung muncul. Pemerintah pun turun tangan menyelamatkan institusi keuangan yang dikhawatirkan collapse. Khawatir bernasib seperti Lehmann Brothers.

Suara-suara menuding dan mencela pun hampir seperti dengungan lebah. Hampir semua orang tergoda untuk mengangkat cerita lama perseteruan sosialisme dan kapitalisme. "Hancur sudah kapitalisme, apa kubilang?" , "Saatnya sosialisme bangkit kembali! Lihat saja nanti!" , "Eh, tunggu dulu. Apa kalian tidak melihat sistem yang lebih baik ini. Ini saatnya sistem syari'ah. Pasti!" ...

Terlepas dari sistem apa akan hancur, apa akan menggantikan, apa akan muncul, bukan itu masalah sebenarnya. Seperti yang sudah-sudah, ketika dunia terlalu sibuk memikirkan jalan instan dengan menunjuk sistem baru menguasai dunia, kelak, tak ada yang menjamin kehancuran serupa tak akan terjadi. Sejarah membuktikan itu. Sosialisme maupun kapitalisme. Saling bergantian mendominasi perekonomian dunia. Sistem syari'ah yang disebut-sebut sebagai jalan terakhir pun, tak serta merta dapat diterapkan di dunia yang sudah terlanjur kapitalis ini.

Indonesia sebagai negara dunia ketiga yang tak bisa jauh-jauh dari pengaruh perekonomian global, termasuk menjadi negara yang sangat rawan krisis di dalam negeri sebagai dampak dari krisis di Amerika. Tapi kenapa?

Ketika SMP dulu, aku diberi tahu bahwa sistem ekonomi Indonesia bukanlah kapitalisme atau sosialisme, tapi sistem ekonomi pancasila. Saat itu, nama itu tak berarti banyak di otakku. Yang kutahu, sistem ekonomi pancasila lebih mengedepankan peran rakyat menengah ke bawah melalui koperasi.

Sekarang, sepertinya Indonesia harus mulai berrefleksi. Melihat kembali bagaimana rupa sebenarnya perekonomian dalam negeri. Benarkah ekonomi pancasila telah benar-benar diterapkan di Indonesia? Atau seperti sudah dapat ditebak, kapitalisme masih menjadi jiwa perekonomian Indonesia?

Jawabannya jelas. Indonesia masih sangat kapitalis. Jika diibaratkan dalam bentuk, keadaan Indonesia seperti segitiga menguncup ke atas (seperti gunung). Bagian paling atas, yaitu kaum elite dan super kaya yang berkuasa meski jumlahnya sangat sedikit. Sementara paling bawah, adalah rakyat miskin yang menopang sekaligus terinjak-injak, berjumlah paling banyak. Sangat kapitalis.

Padahal jika melihat kembali gagasan ekonomi pancasila, bantuk Indonesia seharusnya belah ketupat. Dimana golongan menengah menjadi penyeimbang antara si kaya dan si miskin sekaligus menjadi sumber utama pundi-pundi negara.

Bagaimana dengan sistem ekonomi syari'ah? Bukankah sistem tersebut sangat baik karena mengambil yang baik dari kapitalisme dan sosialisme? Lebih daripada itu, sistem inilah yang dianjurkan oleh agama?

Aku teringat kata-kata seorang sahabat dengan pemikiran cerdasnya. Memang benar, seharusnya kita menjadikan sistem syari'ah sebagai basic value. Tidak serta merta menjadikannya sistem nasional secara fisik.

Indonesia harusnya menjadikan krisis keuangan global sebagai pengingat kalau perlu penampar kesadaran bangsa. Indonesia belum selesai. Sistem ekonomi pancasila haruslah menemukan bentuk dan jati dirinya. Sistem ekonomi syari'ah haruslah menjadi basic value dalam tubuh negara ini.

*******

Aku bukanlah ekonom yang paham betul kondisi perekonomian Indonesia apalagi dunia.
Aku bukanlah pengamat ekonomi yang bisa merumuskan masalah dan mencari jalan keluarnya.
Aku hanya manusia biasa yang mencoba bersuara melalui tulisan sederhana ini.
Mohon pembaca yang tidak setuju atau merasa tulisan ini dipenuhi kekurangan meninggalkan sesuatu untuk kita perbincangkan bersama.


Salam hangat,
Jan Phaiz

Oktober 21, 2008

Gado-Gado (Pemilu AS, Pendidikan, Nasib Bangsa, Islam)


Senin, 20 Oktober 2008

Seminar dengan tema "US General Election 2008" di Gedung Ar Fachrudin B lt.5 dimulai sekitar pukul 9.30. Seorang pejabat pemerintahan AS yang bertugas di Indonesia menjadi pembicara utama sekaligus fokus perhatian bagi peserta seminar.

Miss Katherine Rebholz memulai presentasinya tentang Pemilu AS setelah pembukaan dari pembawa acara, sambutan kepala Perpustakaan UMY, dan dimoderatori direktur American Corner. Mataku berkeliling ke kanan, belakang, kembali ke depan, kiri, belakang lagi. Ruangan ini dipenuhi mahasiswa yang sebagian besar berasal dari jurusan Ilmu Hubungan International. Penuh. Semua kursi bertuan. Beberapa mahasiswa berdiri menyandar dinding di belakang. Hebat.

Lalu aku teringat beberapa pekan lalu, di ruangan yang sama, saat diadakan seminar dengan judul ... aku lupa, yang jelas bertemakan pendidikan Indonesia. Tiga orang pembicara : perwakilan Depdiknas Yogyakarta, Ketua BEM Universitas, dan seorang pengamat pendidikan sekaligus pengarang buku-buku best seller tentang pendidikan dengan segala idealismenya, Eko Prasetyo. Sangat menarik. Tapi hanya dihadiri oleh segelintir orang saja. Ternyata mahasiswa kita lebih tertarik pada Pemilu AS ketimbang pendidikan di tanah airnya sendiri. Itukah produk pendidikan kita? Hfff...

Oya, sebelum berangkat seminar, kuliah Kewarganegaraan pagi juga dipenuhi dengan diskusi. Membahas permasalahan-permasalahan bangsa: larangan terbang maskapai penerbangan Indonesia ke Uni Eropa, kemiskinan yang tak kunjung usai, angka buta aksara, ketenagakerjaan, dan pendidikan. Tapi tak terlalu ramai dibandingkan kelas Pendidikan Pancasila sesudah seminar.

Bermula dengan pembahasan sejarah Pancasila, kronologis pembentukannya, hingga penetapan Pancasila sebagai ideologi bangsa. Sedikit panas ketika seorang siswa mengutarakan pendapat tentang konsep negara Islam di Indonesia. Untuk yang satu ini, mungkin akan kubahas di kesempatan lain. Cukup sensitif dan rumit.

Puncak perbincangan kami di siang yang cukup menyesakkan itu adalah saat seorang temanku, dengan nada menuntut berbicara, "Sepertinya kita tidak bisa lagi bergantung dan mengharapkan nasib baik pada atasan kita. Kita harus berbuat sesuatu. Apa yang harus kita lakukan?"
Dalam hatiku," Apa yang sudah kau lakukan?"
Seolah mendengar pertanyaanku, temanku itu diam. Juga teman-temanku yang lain.

Aku mengangkat tanganku. Sejurus kemudian, aku telah maju ke depan kelas diikuti puluhan pasang mata yang memandangku.
" Sepertinya... " ... " Teman kita memulai pertanyaannya dengan kata sepertinya "
Situasi makin kondusif. Kini semua temanku dan dosenku di depan sangat tertarik untuk mendengar kelanjutan ucapanku.
" Tapi di sini saya tegaskan, bahwa itu memang benar-benar nyata. Bukan sepertinya.
" Kita memang sudah tidak bisa menggantungkan nasib kita pada para pejabat yang lebih banyak merugikan nasib rakyatnya daripada mendengar jeritannya.
" Kita sudah sangat jenuh dengan janji-janji palsu, senyum-senyum palsu, orasi-orasi palsu, dan wajah-wajah palsu. Bahkan hingga titik ini, kita sudah berada di taraf traumatik.
" Apa yang harus kita lakukan? Apa yang bisa kita lakukan? Atau yang paling sederhana, apa respon kita?
" Itu memang pertanyaan yang layak dan bahkan wajib kita lontarkan, bukan untuk menggema dan menghilang, tapi untuk dijawab.
" Saya cukup terharu pertanyaan itu muncul dari mulut kawan saya yang seorang mahasiswa, yang masih sangat muda umurnya, dan masih segar pikirannya. Saya tidak yakin ada banyak teman kita di luar sana, dengan kelebihan usia muda yang dimilikinya, begitu peduli terhadap nasib bangsa sendiri hingga menyerukan pertanyaan yang mungkin berasal dari lubuk hati mereka yang paling dalam seperti itu.
" Saya ingat ketika beberapa bulan lalu, saya iseng bertanya kepada salah seorang teman seangkatan di SMA, 'Ingin melanjutkan ke mana lulus SMA?' maka jawaban paling sering muncul ada dua. Jika tidak STAN ya Kedokteran. Atau tidak sedikit yang menyebutkan nama-nama instansi ikatan dinas yang lain.
" Ketika saya tanya apa alasannya, hampir seluruhnya menjawab, ' biar gampang dapet kerja' atau 'kan gajinya gede', 'kan dibutuhkan di mana-mana', dll.
" Tak jarang mereka tanya balik alasan saya memilih kuliah di universitas, jurusan HI pula (yang denger-denger lebih banyak menghasilkan pengangguran).
" Saya tak akan langsung menjawab. Baru setelah beberapa saat, aku bilang dengan bahasa yang lugas, 'aku ingin bermanfaat untuk negara ini, kalau perlu, saya ingin menjadi presiden'. Mereka akan tertawa, saya pun ikut tertawa.

" Yang ingin saya katakan di sini adalah, bahwa kita sebagai pemuda, sudah sepantasnya memiliki mimpi, cita-cita luhur dalam hidup kita. Sudah bukan zamannya lagi itu kuliah untuk mencari pekerjaan. Seperti yang sering dosen akidah kumandangkan dalam kelas, 'setelah empat atau lima tahun, jadikan keadaanmu memilih pekerjaan dengan ijasahmu, bukan mencari pekerjaan.
" Teman-teman sekalian, mungkin jika sekarang saya katakan, 'saya berangan-angan menjadi orang yang berarti bagi bangsa ini, saya bermimpi menjadi presiden Republik Indonesia, saya bercita-cita merubah nasib bangsa ini', kalian akan menertawakan saya. Dan jika saya tidak kuat mental, saya akan terpuruk dan takkan pernah lagi berani berangan-angan, bermimpi, bercita-cita.

Semua orang masih menatapku penuh gairah. Sesekali mereka hampir tertawa. Tapi lebih banyak yang melongo. Mungkin mereka tidak pernah menyangka seorang Fha yang selama ini hanya datang ke kelas kadang terlambat, namun selalu mengambil kursi paling depan, dan hampir tak pernah angkat bicara, kini dengan segala semangat yang menggelora, menguraikan isi hatinya.

" Apa yang harus kita lakukan sekarang adalah tindakan nyata. Bercerminlah. Lihat siapa dirimu. Ketika kau menemukan bahwa dirimu seorang pemuda, seorang mahasiswa, maka saatnya kita kritis untuk memikirkan tindakan apa yang harus kita lakukan.
" Lakukanlah apapun yang bisa kau perbuat. Namun niatkan tiap jalan yang kau telusuri demi kepentingan umat manusia, khususnya rakyat Indonesia. Jangan sekali-kali kau curahkan segenap pikiran dan dayamu untuk kepentingan dirimu sendiri tanpa sedikitpun terbersit nasib bangsa ini. Pedulilah.
" Kita. Kata ganti itu yang lebih tepat kugunakan. Kita harus punya angan-angan, mimpi, dan cita-cita yang tak egois.
" Hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya.
"Kita harus bertindak secara nyata. Sebagai generasi muda. Kita memang tumpuan masa depan bangsa ini. Bukan mereka yang sibuk memperebutkan kursi demi pemenuhan hasrat duniawi. Tapi kita. Tidak sala lagi. Kita.

Kini raut wajah mereka mulai serius. Mereka nampak berpikir keras. Nampaknya kata-kataku bagaikan kata-kata Bung Karno yang mampu menggetarkan bahkan hati nurani seorang pencopet sekalipun.

" Kita harus belajar. Kita harus gunakan masa muda kita untuk turut memikirkan nasib orang lain, nasib bangsa ini. Bukan sekedar berkutat dengan keinginan memperkaya diri terus menerus sementara menutup mata terhadap kenyataan di sekitar kita.
" Maaf teman, saya bukan orang yang tak punya luput. Sekarang saya berdiri di hadapan kalian, mungkin terbawa emosi. Emosi yang menggelegak tak terbendung. Kalianlah pemicunya.
" Akhirnya, sebagai pemuda Indonesia, jadikan diri kita memiliki posisi di dunia ini. Tidak sekedar sebagai individu pribadi, tapi sebagai makhluk sosial, sebagai warga negara, sebagai putra bangsa.
" Semoga bermakna... "

Hening seketika hingga akhirnya ada hentakan di punggungku. Pandanganku kabur. Perlahan-lahan, kesadaran mulai merayapiku. Kelas Pendidika Pancasila telah usai. Kusapu pandangan ke sekitarku. Separuh lebih teman-temanku telah beranjak dari tempat duduk mereka masing-masing. Aku berada di tempat dudukku. Tak ada yang menatapku seperti tadi. Ya, aku mengkhayal. Lagi

sumber gambar :
http://www.birdseye.com.au/uploads/recipes/images/gado-gado.jpg
http://adipersada.files.wordpress.com/2007/10/migrate_in_dream_by_liquidkid1.jpg

Oktober 17, 2008

Bertemu dan Belajar



Jum'at, 17 Oktober 2008


*******

Malam ini adalah debutku mengikuti diskusi di sebuah forum yang beranggotakan beberapa orang dengan pembawaan yang berbeda-beda (ya iyalah). Tema diskusi malam ini adalah feminisme. Aku sendiri sama sekali tidak memiliki persiapan mengikuti pembahasan tema tersebut karena baru mendapat undangan sekitar sejam sebelum diskusi dilaksanakan pada pukul 8.00 malam di sebuah kontrakan di wilayah Gamping Kidul yang diberi nama "Ruang Tengah".

Keistimewaan acara tersebut bagiku ada dua. Pertama, aku akan bertemu dengan seseorang yang selama ini kukenal melalui tulisan-tulisannya (walau belum semua) baik melalui bukunya maupun melalui blog "Ruang Tengah" yang ia kelola, Fahd Djibran. Seorang penulis berbakat yang memiliki dendam pribadi pada kebiasaan "tidak menulis" orang tua maupun pendahulu yang melahirkannya. Karena tidak adanya kesadaran menulis inilah, Fahd tidak bisa mengetahui siapa kakeknya lebih dari "kata orang". Justru ia merasa miris karena jauh lebih mengenal sosok Karl Marx, Jostein Gaarder atau Pramoedya Ananta Toer yang bukan siapa-siapa. Gairah tinggi Kang Fahd (setelah berkompromi sebentar, dia lebih suka disapa Kang Fahd) dalam menulis dan ketajaman intuisinya memaparkan sebuah gagasan untuk diproduksi menjadi wacana apik merupakan daya tarik Kang Fahd bagiku. Meskipun setelah bertemu dengannya, ternyata kekagumanku tak sampai di situ. Tidak setelah mendengar Kang Fahd menyampaikan isi kepalanya dibalut landasan masuk akal, referensi tokoh dan buku (bahkan hadits dan Al Qur'an), serta penggunaan diksi yang tak membosankan secara lisan. Meskipun sesekali ia hampir terbawa emosi, pembawaannya cenderung santai dan tenang membuatku (dan orang-orang yang mendengarkan) terlena dengan kecerdasannya.

Kedua, aku adalah orang termuda sekaligus paling baru bergabung dalam forum tersebut. Kebanyakan angkatan 2005 dan beberapa angkatan 2007 (aku sendiri baru masuk kuliah tahun ini). Aku seperti anak kecil yang mencoba bergabung dalam rapat mingguan RT oleh bapak-bapak dan membicarakan hal-hal yang tak kuketahui banyak.

Diskusi dibuka dengan pengantar dari mas Zul yang menyampaikan sejarah munculnya feminisme serta beberapa alirannya. Yang kuingat, apa yang mas Zul sampaikan adalah hal yang cukup baru bagiku. Maka aku hanya diam dan mendengarkan (sambil sedikit membuat catatan). Dan ini berlangsung terus hingga diskusi yang sempat ruwet berakhir. Aku diam dan mendengarkan sambil sesekali mangguk-mangguk, geleng, mengerutkan dahi, tersenyum kecut, atau melongo. Sempat sekali aku angkat bicara. Itupun untuk memamerkan kebodohan dan kedangkalan ilmuku yang memicu hal yang sama di raut orang-orang di sekitarku (termasuk Kang Fahd): mangguk-mangguk, menggeleng, dahi berkerut, senyum pahit, dan melongo (mengagumi entah).

Aku mengutuki diri sendiri yang lancang berbicara padahal masih bersarang 'penyakit itu' di dalam diriku. Ah, memalukan.

Tapi aku tak mau larut dalam penyesalan dan menghilang dari forum karena rasa malu. Maka aku terus memosisikan diriku as a good listener. Terdengar seperti pembelaan memang.

Perbincangan terus berlangsung. Si A mengemukakan pendapat dengan mengimbuhi landasan anu. Si B menyampaikan isi kepalanya dengan hiasan kata-kata puitis. Si C tak mau diam, turut berperan aktif mengomentari si A. Si D yang dari tadi terlihat kalem, menyeruak cukup mengagetkan dengan mengutip kata-kata tokoh anu. Lalu, tidak usah ditanya lagi, tokoh yang kunanti, Kang Fahd, yang datang sedikit terlambat pun angkat bicara.

Aku larut dalam perbincangan yang sesekali tak kumengerti arahnya. Aku seperti menyaksikan drama penuh dialog yang sama sekali tak memiliki score music. Mataku berkali-kali berpindah dari satu arah ke arah pandang lain. Sekedar untuk lebih fokus melihat para pembicara di hadapanku ini. Mereka tak henti adu pendapat.

Terlepas dari kecenderunganku kepada siapa (karena entah kenapa setiap apa yang Kang Fahd sampaikan seperti pernah kudengar atau pernah kubaca atau ekstrimnya, klop dengan jalan pikiranku), aku mencoba meladeni pertanyaan yang sedari tadi menyundul-nyundul batok kepalaku menuntut jawaban. Untuk apa aku di sini? Kenapa aku hanya bisa diam? Untuk apa aku di sini kalau begitu?

Jujur saja aku merana. Sedih sekali menyaksikan ke'diam'anku. Sengsara menerima kenyataan bahwa aku menjadi satu-satunya orang yang tak menggunakan pita suaraku untuk mengapresiasikan berbagai macam pemikiran yang campur aduk di otakku. Looser! Tapi kuhibur diriku sendiri, "Kau sedang belajar, Fa! Kau masih belajar. Bersabarlah!"

*******

Demikianlah diskusi berlangsung hingga pukul sepuluh malam (meskipun Kang Fahd masih asyik berbincang dengan salah seorang peserta paling aktif dalam forum tersebut), dan aku undur diri. Berat sekali meninggalkan ruang tengah yang baru beberapa jam lalu kukagumi karena kesederhanaan sekaligus kerumitan apa-apa yang pernah diangkat sebagai topik perbincangan di dalamnya, sekaligus buku-buku yang ada di dalamnya. Berat sekali berpamitan dengan Kang Fahd, meninggalkan kesan mengecewakan. Aku hanya merasa, aku bisa berbuat lebih dari itu.

"Kau sedang belajar, Fa!" suara itu kini bukan menghiburku, tapi menegurku. Apalah arti kesan baik jika datang tidak dari kemampuan diri?

Karena panggilan alam yang tertahankan sejak petang tadi, aku mampir ke angkringan depan mulut gang asrama. Sambil menunggu pesanan disajikan, aku membuka-buka buku "Kucing" karya Fahd Djibran yang berupa kumpulan solilokui.

Setelah nasi ayam bakar beserta sambal dan lalapan habis kujejalkan ke perut yang berteriak kelaparan, aku kembali ke asrama. Langsung saja kupinjam laptop salah seorang temanku. Aku tak bisa menundanya lagi hingga esok. Banyak sekali yang ingin kutulis. Entah berkaitan dengan feminisme yang menjadi tema diskusi di ruang tengah, surat curhatku untuk Kang Fahd tentang 'penyakit itu' yang sulit sekali kuhilangkan, atau tulisan ini. Sampai di sini, jam tanganku menunjukkan pukul 2.45 dini hari. Aku tidak bisa tidur.

*******

"Kau sedang belajar, Fa!"
Apa-apaan ini? Sementara aku tak bisa tidur mempertanyakan eksistensiku.
"Kau masih belajar, Fa! Bersabarlah!"
"Hey siapa kau? Apa maksudmu?"
"Kau memang masih belajar."
"Kau meledekku? Sialan kau!"
"Lihat dirimu? Kau tak bisa berbuat apa-apa di depan orang-orang itu. Kau hanya melongo dan mengangguk saja. Kau, looser!"
Keterlaluan. Ia bisa membaca pikiranku.
"Untuk apa kau menyiksa dirimu sekarang?Kau tetap akan seperti ini. Segera tidur!"
"Tidak! Kecuali kau menampakkan moncong jelekmu dan katakan apa maksudmu! Aku tersinggung dengan kata-katamu!"
"Kata-kata yang mana? Bahwa kau sedang belajar? Kau masih belajar? Kau mempertanyakan hal itu? Tengok dirimu!"
(diam beberapa saat...)
"Kau berkutat dengan pertanyaan 'apa yang bisa kau lakukan' atau 'apa yang bisa kau katakan' agar tampil memesona! Lalu apa yang terjadi? Kata-kata yang kau rangkai dengan kerapuhan itu tercerai berai. Kau justru tampak bodoh di depan mereka!
"Tengok lagi isi kepalamu itu! Tidakkah kau merasa sesak karena kepalamu penuh pikiran negatif? Ya ampun, kau selalu menganggap rendah dirimu. Kau selalu berpikir kerdil. Alhasil, kau justru makin kerdil dan rasa malu yang kau terima alih-alih simpati."

Aku tak tahan lagi. Ia menguasaiku.
"Tidakkah kau sadar? Penyakit apa yang bersarang di dirimu?"
Kelewatan. Dia mulai menyebut hal yang sangat sensitif bagiku. Tapi aku tak dapat memotong kalimatnya. Aku harus jujur, aku pun ingin tahu pendapatnya. Meskipun aku sungguh membencinya saat ini.
"Kau sungguh ingin tahu?"
Cepatlah.
"Penyakitmu adalah cara berpikirmu!"
"Kenapa? Apa yang salah dengan cara berpikirku? Aku merasa hampir semua yang Kang Fahd sampaikan sesuai dengan cara berpikirku," akhirnya bisa memecah kebungkamanku.
"Aku tahu itu. Aku paham sekali. Tapi, apa kau berpikir apa yang sedang kau lakukan di ruang tengah tadi?"
"Itu... tentu saja berdiskusi,"jawabku ragu.
"Dan kau berdiskusi di sana?"
"Itu... tentu saja ya," suaraku mulai bergetar.
"Hahahaa... kau hanya melamun!"
Kurang ajar benar dia. Namun, tepat sebelum kata-kata keluar dari mulutku,
"Dengar baik-baik! Kau tidak sepantasnya berkutat dengan pemikiran-pemikiran tidak penting seperti itu! Kau sudah berada di sana! Kau ada di antara mereka di ruang tengah. Sungguh, posisimu sangat strategis untuk belajar. Kau lupa dengan prinsip hidupmu?
"Belajar dari hal-hal kecil, dari hal-hal yang terlupakan, dari hal-hal yang tak dihiraukan. Kau seharusnya belajar tadi!
"Tak perlu banyak bicara untuk kelihatan pandai! Karena tak ada yang bisa kau bicarakan. Cukuplah lihat, dengar, rasakan! Pada titik ini, di saat kau bisa melihat tak sekedar orang-orang di ruang tengah, mendengarkan tidak hanya suara-suara orang di sekitarmu, serta merasakan posisi strategismu di antaranya
"Maka kau belajar, Fa! Belajar untuk memperhatikan. Belajar untuk menjadi lebih peka. Belajar mengasah ketajaman berpikirmu tanpa harus mengadunya pada orang lain, cukup kau adu dengan pikiran lain di kepalamu. Belajar mengenal ragam manusia. Seperti yang ada di ruang tengah tadi.
"Belajar, Fa! Karena belum sampai di sana kemampuanmu untuk menggugat mereka yang lebih mapan. Kau sadar betul itu. Maka cukup kau posisikan dirimu sebagai pendengar.
"Belajar, Fa! Yang paling penting, belajar mengenali diri sendiri. Dirimu yang masih minim pengetahuan, lemah dalam mengutarakan pendapat, agar lebih banyak mempelajari ilmu pengetahuan, lebih banyak membaca, dan lebih sering mengasah kemampuan lisan.
"Itulah fungsi keberadaanmu di ruang tengah tadi! Belajar, Fa!
"Dan aku? Aku adalah pikiranmu yang lain yang kau ungsikan entah di mana. Tapi aku kembali."

*******