Oktober 17, 2008

Bertemu dan Belajar



Jum'at, 17 Oktober 2008


*******

Malam ini adalah debutku mengikuti diskusi di sebuah forum yang beranggotakan beberapa orang dengan pembawaan yang berbeda-beda (ya iyalah). Tema diskusi malam ini adalah feminisme. Aku sendiri sama sekali tidak memiliki persiapan mengikuti pembahasan tema tersebut karena baru mendapat undangan sekitar sejam sebelum diskusi dilaksanakan pada pukul 8.00 malam di sebuah kontrakan di wilayah Gamping Kidul yang diberi nama "Ruang Tengah".

Keistimewaan acara tersebut bagiku ada dua. Pertama, aku akan bertemu dengan seseorang yang selama ini kukenal melalui tulisan-tulisannya (walau belum semua) baik melalui bukunya maupun melalui blog "Ruang Tengah" yang ia kelola, Fahd Djibran. Seorang penulis berbakat yang memiliki dendam pribadi pada kebiasaan "tidak menulis" orang tua maupun pendahulu yang melahirkannya. Karena tidak adanya kesadaran menulis inilah, Fahd tidak bisa mengetahui siapa kakeknya lebih dari "kata orang". Justru ia merasa miris karena jauh lebih mengenal sosok Karl Marx, Jostein Gaarder atau Pramoedya Ananta Toer yang bukan siapa-siapa. Gairah tinggi Kang Fahd (setelah berkompromi sebentar, dia lebih suka disapa Kang Fahd) dalam menulis dan ketajaman intuisinya memaparkan sebuah gagasan untuk diproduksi menjadi wacana apik merupakan daya tarik Kang Fahd bagiku. Meskipun setelah bertemu dengannya, ternyata kekagumanku tak sampai di situ. Tidak setelah mendengar Kang Fahd menyampaikan isi kepalanya dibalut landasan masuk akal, referensi tokoh dan buku (bahkan hadits dan Al Qur'an), serta penggunaan diksi yang tak membosankan secara lisan. Meskipun sesekali ia hampir terbawa emosi, pembawaannya cenderung santai dan tenang membuatku (dan orang-orang yang mendengarkan) terlena dengan kecerdasannya.

Kedua, aku adalah orang termuda sekaligus paling baru bergabung dalam forum tersebut. Kebanyakan angkatan 2005 dan beberapa angkatan 2007 (aku sendiri baru masuk kuliah tahun ini). Aku seperti anak kecil yang mencoba bergabung dalam rapat mingguan RT oleh bapak-bapak dan membicarakan hal-hal yang tak kuketahui banyak.

Diskusi dibuka dengan pengantar dari mas Zul yang menyampaikan sejarah munculnya feminisme serta beberapa alirannya. Yang kuingat, apa yang mas Zul sampaikan adalah hal yang cukup baru bagiku. Maka aku hanya diam dan mendengarkan (sambil sedikit membuat catatan). Dan ini berlangsung terus hingga diskusi yang sempat ruwet berakhir. Aku diam dan mendengarkan sambil sesekali mangguk-mangguk, geleng, mengerutkan dahi, tersenyum kecut, atau melongo. Sempat sekali aku angkat bicara. Itupun untuk memamerkan kebodohan dan kedangkalan ilmuku yang memicu hal yang sama di raut orang-orang di sekitarku (termasuk Kang Fahd): mangguk-mangguk, menggeleng, dahi berkerut, senyum pahit, dan melongo (mengagumi entah).

Aku mengutuki diri sendiri yang lancang berbicara padahal masih bersarang 'penyakit itu' di dalam diriku. Ah, memalukan.

Tapi aku tak mau larut dalam penyesalan dan menghilang dari forum karena rasa malu. Maka aku terus memosisikan diriku as a good listener. Terdengar seperti pembelaan memang.

Perbincangan terus berlangsung. Si A mengemukakan pendapat dengan mengimbuhi landasan anu. Si B menyampaikan isi kepalanya dengan hiasan kata-kata puitis. Si C tak mau diam, turut berperan aktif mengomentari si A. Si D yang dari tadi terlihat kalem, menyeruak cukup mengagetkan dengan mengutip kata-kata tokoh anu. Lalu, tidak usah ditanya lagi, tokoh yang kunanti, Kang Fahd, yang datang sedikit terlambat pun angkat bicara.

Aku larut dalam perbincangan yang sesekali tak kumengerti arahnya. Aku seperti menyaksikan drama penuh dialog yang sama sekali tak memiliki score music. Mataku berkali-kali berpindah dari satu arah ke arah pandang lain. Sekedar untuk lebih fokus melihat para pembicara di hadapanku ini. Mereka tak henti adu pendapat.

Terlepas dari kecenderunganku kepada siapa (karena entah kenapa setiap apa yang Kang Fahd sampaikan seperti pernah kudengar atau pernah kubaca atau ekstrimnya, klop dengan jalan pikiranku), aku mencoba meladeni pertanyaan yang sedari tadi menyundul-nyundul batok kepalaku menuntut jawaban. Untuk apa aku di sini? Kenapa aku hanya bisa diam? Untuk apa aku di sini kalau begitu?

Jujur saja aku merana. Sedih sekali menyaksikan ke'diam'anku. Sengsara menerima kenyataan bahwa aku menjadi satu-satunya orang yang tak menggunakan pita suaraku untuk mengapresiasikan berbagai macam pemikiran yang campur aduk di otakku. Looser! Tapi kuhibur diriku sendiri, "Kau sedang belajar, Fa! Kau masih belajar. Bersabarlah!"

*******

Demikianlah diskusi berlangsung hingga pukul sepuluh malam (meskipun Kang Fahd masih asyik berbincang dengan salah seorang peserta paling aktif dalam forum tersebut), dan aku undur diri. Berat sekali meninggalkan ruang tengah yang baru beberapa jam lalu kukagumi karena kesederhanaan sekaligus kerumitan apa-apa yang pernah diangkat sebagai topik perbincangan di dalamnya, sekaligus buku-buku yang ada di dalamnya. Berat sekali berpamitan dengan Kang Fahd, meninggalkan kesan mengecewakan. Aku hanya merasa, aku bisa berbuat lebih dari itu.

"Kau sedang belajar, Fa!" suara itu kini bukan menghiburku, tapi menegurku. Apalah arti kesan baik jika datang tidak dari kemampuan diri?

Karena panggilan alam yang tertahankan sejak petang tadi, aku mampir ke angkringan depan mulut gang asrama. Sambil menunggu pesanan disajikan, aku membuka-buka buku "Kucing" karya Fahd Djibran yang berupa kumpulan solilokui.

Setelah nasi ayam bakar beserta sambal dan lalapan habis kujejalkan ke perut yang berteriak kelaparan, aku kembali ke asrama. Langsung saja kupinjam laptop salah seorang temanku. Aku tak bisa menundanya lagi hingga esok. Banyak sekali yang ingin kutulis. Entah berkaitan dengan feminisme yang menjadi tema diskusi di ruang tengah, surat curhatku untuk Kang Fahd tentang 'penyakit itu' yang sulit sekali kuhilangkan, atau tulisan ini. Sampai di sini, jam tanganku menunjukkan pukul 2.45 dini hari. Aku tidak bisa tidur.

*******

"Kau sedang belajar, Fa!"
Apa-apaan ini? Sementara aku tak bisa tidur mempertanyakan eksistensiku.
"Kau masih belajar, Fa! Bersabarlah!"
"Hey siapa kau? Apa maksudmu?"
"Kau memang masih belajar."
"Kau meledekku? Sialan kau!"
"Lihat dirimu? Kau tak bisa berbuat apa-apa di depan orang-orang itu. Kau hanya melongo dan mengangguk saja. Kau, looser!"
Keterlaluan. Ia bisa membaca pikiranku.
"Untuk apa kau menyiksa dirimu sekarang?Kau tetap akan seperti ini. Segera tidur!"
"Tidak! Kecuali kau menampakkan moncong jelekmu dan katakan apa maksudmu! Aku tersinggung dengan kata-katamu!"
"Kata-kata yang mana? Bahwa kau sedang belajar? Kau masih belajar? Kau mempertanyakan hal itu? Tengok dirimu!"
(diam beberapa saat...)
"Kau berkutat dengan pertanyaan 'apa yang bisa kau lakukan' atau 'apa yang bisa kau katakan' agar tampil memesona! Lalu apa yang terjadi? Kata-kata yang kau rangkai dengan kerapuhan itu tercerai berai. Kau justru tampak bodoh di depan mereka!
"Tengok lagi isi kepalamu itu! Tidakkah kau merasa sesak karena kepalamu penuh pikiran negatif? Ya ampun, kau selalu menganggap rendah dirimu. Kau selalu berpikir kerdil. Alhasil, kau justru makin kerdil dan rasa malu yang kau terima alih-alih simpati."

Aku tak tahan lagi. Ia menguasaiku.
"Tidakkah kau sadar? Penyakit apa yang bersarang di dirimu?"
Kelewatan. Dia mulai menyebut hal yang sangat sensitif bagiku. Tapi aku tak dapat memotong kalimatnya. Aku harus jujur, aku pun ingin tahu pendapatnya. Meskipun aku sungguh membencinya saat ini.
"Kau sungguh ingin tahu?"
Cepatlah.
"Penyakitmu adalah cara berpikirmu!"
"Kenapa? Apa yang salah dengan cara berpikirku? Aku merasa hampir semua yang Kang Fahd sampaikan sesuai dengan cara berpikirku," akhirnya bisa memecah kebungkamanku.
"Aku tahu itu. Aku paham sekali. Tapi, apa kau berpikir apa yang sedang kau lakukan di ruang tengah tadi?"
"Itu... tentu saja berdiskusi,"jawabku ragu.
"Dan kau berdiskusi di sana?"
"Itu... tentu saja ya," suaraku mulai bergetar.
"Hahahaa... kau hanya melamun!"
Kurang ajar benar dia. Namun, tepat sebelum kata-kata keluar dari mulutku,
"Dengar baik-baik! Kau tidak sepantasnya berkutat dengan pemikiran-pemikiran tidak penting seperti itu! Kau sudah berada di sana! Kau ada di antara mereka di ruang tengah. Sungguh, posisimu sangat strategis untuk belajar. Kau lupa dengan prinsip hidupmu?
"Belajar dari hal-hal kecil, dari hal-hal yang terlupakan, dari hal-hal yang tak dihiraukan. Kau seharusnya belajar tadi!
"Tak perlu banyak bicara untuk kelihatan pandai! Karena tak ada yang bisa kau bicarakan. Cukuplah lihat, dengar, rasakan! Pada titik ini, di saat kau bisa melihat tak sekedar orang-orang di ruang tengah, mendengarkan tidak hanya suara-suara orang di sekitarmu, serta merasakan posisi strategismu di antaranya
"Maka kau belajar, Fa! Belajar untuk memperhatikan. Belajar untuk menjadi lebih peka. Belajar mengasah ketajaman berpikirmu tanpa harus mengadunya pada orang lain, cukup kau adu dengan pikiran lain di kepalamu. Belajar mengenal ragam manusia. Seperti yang ada di ruang tengah tadi.
"Belajar, Fa! Karena belum sampai di sana kemampuanmu untuk menggugat mereka yang lebih mapan. Kau sadar betul itu. Maka cukup kau posisikan dirimu sebagai pendengar.
"Belajar, Fa! Yang paling penting, belajar mengenali diri sendiri. Dirimu yang masih minim pengetahuan, lemah dalam mengutarakan pendapat, agar lebih banyak mempelajari ilmu pengetahuan, lebih banyak membaca, dan lebih sering mengasah kemampuan lisan.
"Itulah fungsi keberadaanmu di ruang tengah tadi! Belajar, Fa!
"Dan aku? Aku adalah pikiranmu yang lain yang kau ungsikan entah di mana. Tapi aku kembali."

*******

10 komentar:

Anonim mengatakan...

sebelum peristiwa 'penting'ini, saya sempat bingung juga melihat kamu yang berdiri di depan pintu kamar saya yang terbuka sambil menggandeng tas cokelat. entah dari mana atau mau kemana. yang saya tahu kamu itu mengatakan
"saya ngga jadi pergi"
karena sebelumnya saya aja kamu ikut diskusi bahasa Inggris, saya berfikirnya kesitu.
"ya, ngga apa-apalah"
eh..ternyata cek percek 'ngga jadi ikut Komahi'
oalah kamu itu fa..fa...trus mau ke mana (kelihatannya ceria banget, kayak mau malam mingguan aja)
mungkin saking senangnya, dia sulit menjawabnya, biasa.. 'peristiwa' ini terlalu berat untuk memori hardisknya. Dan akhirnya terjawab sudah....apa yang kamu tulis di ini saya yakin belum mewakili semua yang kamu rasakan. Tapi cukup membuat saya penasaran juga. Tapi santai aja bro...masa pake acara ngga bisa tidur segala, kayak orang putus cinta aja, he...he...Tapi selamat ya, masuknya kamu ke lingkungan mereka berari kamu udah termasuk orang yang dikatakan intelektual muda alias pemikir sederhana. Good Luck

Anonim mengatakan...

komentar ini dari adamscuaqep.com^_^

Setya Nurul Faizin mengatakan...

untuk anonim (yang kuyakin adalah adam):
yaa,,kadang memori hardisk-ku bisa error tak tertanggung ketika seseorang (sesuatu) mempertanyakan eksistensiku,,
kadang tak hanya 'tak tidur' yang kuderita saat keadaan sekitarku menyuguhkan kemewahan yang tak biasa,,
kadang aku lebih merana dari orang putus cinta jika harga diri yang menjadi bahan interospeksi,,
ahh,,
kerumitan pikiran, kerumitan perasaan,,
seperti kerumitan wanita,,

adams mengatakan...

seperti yang kukatakan:
Fafa memang 'beda'

Unknown mengatakan...

Hallo Fhafha! Selamat bergabung di RuangTengah. Minggu depan, ajaklah teman-temanmu yang lain.

Di tulisan ini, kau memujiku berlebihan. Santai sajalah... sesekali diam, sesekali meracau, sesekali seperti buku yang tumpah, jalani saja satu-satu. Itu wajar, kok. Nanti juga kau tahu.

Ruang Tengah adalah tempat di mana segala hal [selalu] bisa jadi cerita. Lihatlah, bahkan kamu yang diam, bisa memiliki cerita sendiri.

Nanti mungkin kita ketemu lagi, semoga nanti tak diam lagi.

Salam hangat,
Fahd

www.ruangtengah.co.nr

Unknown mengatakan...

Oya, tulisanmu bagus. Teruslah menulis. Lama kucari orang yang bagus menulis fiksi dan nonfiksi sekaligus. sepertinya kamu punya dua-duanya. teruslah menulis, ya(?).

Anonim mengatakan...

tetap seperti dulu......


tulisanmu memang selalu menggugah...


tapi aku akan berusaha berdiri sejajar denganmu.....

Anonim mengatakan...

eh,, lupa kasih identitas



q temen lamamu yg akan selalu bersahabat sekaligus bersaing denganmu.....



van dankerz

Setya Nurul Faizin mengatakan...

untuk Kang Fahd: Ironi Kang,, sepertinya saya menemukan makna kata ironi dalam hidup saya,, ketika Kang Fahd bilang, kebanyakan orang lebih mudah berbicara dan bercuap-cuap hingga mulut berbusa, dan jarang sekali yang menulis, saya justru sebaliknya,, berbicara seolah menjadi tantangan terbesar saya,, ketika saya angkat suara, adalah saat dimana keberanian terdesak, nekad bertindak,, lain ketika menulis,, saya menikmati tiap prosesnya,, ah, nampaknya teori jarak otak dan tangan yang lebih jauh dibanding jarak otak ke mulut tidak berlaku bagi saya,, mungkin,,

untuk sahabatku, entah pantas atau tidak disebut sahabat lama,, perasaan baru beberapa bulan berpisah,, van dankers (mungkin ini bisa menjadi nama penamu,,bagus juga),,
aku memang tak pernah merasa sendiri dalam hal ini,, apalagi keberadaanmu yang tak terduga-duga,, kadang kau hilang entah tertinggal atau istirahat,, di saat lain, kau menyusulku tanpa ampun (ingat tentang novelmu??),, di luar semua itu, aku selalu berharap kita bisa senantiasa menyapa sambil berjalan bersama,, sejajar tentunya,,

Setya Nurul Faizin mengatakan...

untk Van Dankerz: mungkin kmu bisa mulai dengan membuat blog??
sangat membantu lho,, kutunggu launching blogmu,,