Oktober 12, 2008

Laskar Pelangi, Akhirnya . . .



Rabu, 8 Oktober 2008
Hari ini akhirnya aku kembali ke Jogja setelah liburan cukup lama (dua minggu lebih) di kota kelahiranku, Purwokerto. Aku memang sangat menantikan saat kembali ke Jogja. Bukan karena (entah kenapa) kangen dengan kota yang baru menjadi kediamanku selama sebulan masa awal kuliah, bukan pula karena sudah bosan di Purwokerto. Alasannya tak lain dan tak bukan adalah karena aku ingin sekali menonton film Laskar Pelangi yang telah beredar di bioskop 21 se-Indonesia.

Kamis, 9 Oktober 2008
"Tiket Laskar Pelangi untuk hari ini habis. Tiket untuk besok bisa dipesan hari ini untuk jam 11.30"
Aku langsung pulang tanpa pikir panjang. Itu waktu sholat jum'at.
waiting is boring ... yeah ...

Jum'at, 10 Oktober 2008
Tepatnya pukul 10.35 WIB aku tiba di Ambarukmo Plaza lantai 4 (bioskop 21-nya Jogja). Saat tangga eskalator setengah lebih menaikanku, pemandangan di depan mataku mulai tampak nyata. Awalnya beberapa pasang kaki, lebih, lebih, dan lebih banyak lagi, hingga, BOOM, ratusan orang telah memenuh gedung bioskop hingga mentok keluar ke outlet lain di sekitar bioskop. Tiga line antrean yang penuh sesak terdiri berbagai kalangan: anak-anak, remaja, laki-laki, perempuan, muda-mudi gaul hingga akhwat berkerudung besar dan panjang, bapak-bapak, ibu-ibu, hingga satu dua orang yang bisa dibilang tua (mungkin usianya sekitar 50-an).

Hebatnya lagi, di bioskop nomor satu di Jogja itu, Laskar Pelangi diputar di tiga dari lima studio yang ada (studio 1 sebagai film primer, studio 3 pun termasuk primer setelah melengserkan film utama yang sebenarnya:Barbie, dan studio 5 untuk jam tayang malam hari). Itu pun tak menyurutkan penduduk (baik asli maupun rantauan) Jogja untuk membuat lantai 4 penuh sesak, bahkan setelah tiga minggu sejak tayang perdana pada 25 September.

Menurut perhitunganku, jika kuambil bagian untuk mengantri saat itu juga, ada tiga hal yang terjadi: kelaparanku yang belum sarapan makin menjadi, baru dapat tiket entah pukul satu atau dua (berjam-jam berdiri) yang belum tentu mendapat waktu sesuai harapan, dan yang paling parah, aku harus meninggalkan sholat jum'at.

Akhirnya, pukul 12.40 setelah sholat Jum'at di daerah Nologaten, aku kembali. Antrean belum surut. Di pintu depan telah tertulis "Tiket Laskar Pelangi hari ini HABIS! Tiket untuk besok dapat dipesan hari ini untuk yang jam 14.00 dan 19.00".

Singkat cerita, setelah mengantri sekitar satu setengah jam, aku mendapat tiket Hari Sabtu, untuk jam 19.00. Itupun seat yang tersisa waktu itu tinggal lima (kalau tidak salah). Hahaha...

Sabtu, 11 Oktober 2008
Jam tanganku menunjukkan pukul 18.55. Aku baru saja menemukan tempat dudukku yang terletak cukup strategis untuk menonton tapi tak cukup menyenangkan karena harus bersebelahan dengan sepasang kekasih yang tengah dimadu asmara. ^_^

Menit-menit penantian film dimulai, tanganku gemetar, dadaku naik turun, dan (entah kenapa) mukaku memanas seperti ingin menangis. Mungkin terdengar berlebihan, tapi itulah yang terjadi pada seorang pecinta sastra (karya tulis) sekaligus pengagum karya film. Yang kutahu, dalam waktu beberapa menit saja, akan ada visualisasi dari sebuah karya sastra yang telah lama terpatri dalam fantasiku ke wujud gambar bergerak. Aku tegang sekaligus khawatir. Tegang menunggu bagaimana film itu berjalan, khawatir kalau-kalau muncul kekecewaan seperti beberapa pecinta novel "Laskar Pelangi" menulis dalam blog mereka.

Rol film berputar, diawali dengan kemunculan sosok ikal dewasa, menceritakan tentang pulau kelahirannya, Belitong. Aku tak bisa bohong kalau mukaku makin panas.

Kemudian muncul sosok Bu Muslimah yang menemukan seorang anak pesisir bernama Lintang yang sangat ingin bersekolah (tentu semua pembaca Laskar Pelangi tahu adegan seperti ini tidak ada di novel) dan menyerahkan surat dari ayahnya agar dirinya diterima di SD Muhammadiyah Gantung pada tahun ajaran tersebut (di novel, ayah Lintang ikut mengantarkan Lintang di hari pertama sekolah). Suhu wajahku belum berubah. Adegan selanjutnya adalah penantian siswa kesepuluh yang belum kunjung tiba. Hingga akhirnya seorang anak berusia 15 tahun bernama Harun yang keterbelakangan mental muncul dikejar umaknya. Bu Mus tersenyum haru setengah menangis. Sampai di sini, percaya atau tidak, wajahku mungkin telah semerah kepiting saus tiram kesukaanku atau seperti tomat yang kematangan. Aku hampir menangis.

Waktu berlalu. Adegan demi adegan, gambar demi gambar, slide demi slide menampilkan sebuah kisah yang selama ini hanya kugambar dalam benak. Meski gambarku berbeda dengan gambar film, sama sekali tak ada keluhan dari mulutku. Justru tetes demi tetes air mata membuatku lupa diri. Lupa bahwa aku laki-laki, yang kata orang tak pantas menangis. Lupa bahwa di sebelahku ada seorang wanita, yang pasti akan memandang aneh diriku yang menangis karena film, sendiri, di ruang gelap. Tapi aku tak peduli itu semua. Aku lebih senang bilang bahwa kerinduanku akan tontonan berbobot dan penyejuk hati telah terobati.

Terlepas dari semua perbedaan versi film dan novel yang cukup mengganggu beberapa pecinta novelnya, aku sama sekali tidak keberatan dengan itu semua. Mungkin kecintaanku pada dua karya yang berbeda dimensi (karya tulis dan film) ini, membuatku cukup bijaksana untuk tidak meremehkan salah satunya. Aku sadar betul perbedaan antara karya tulis dan karya film.

Karya tulis dengan segala kemampuannya bermain, menari, dan bergelut dengan kata-kata, adalah stimulan terbaik untuk membangkitkan dan mengaktifkan daya imajinasi seseorang. Seorang tokoh atau sebuah kejadian dalam sebuah novel, bisa menjadi berbeda dalam imajinasi dua orang pembacanya. Ini semua karena daya imajinasi tiap orang berbeda. Bisa saja tokoh ikal dalam film cukup mewakilkan imajinasi beberapa pembaca novelnya, tapi sebaliknya, beberapa pembaca merasa ikal dalam film berbeda dengan bayangannya. Itu sah-sah saja.

Justru di situlah letak kesulitan pembuatan film yang diangkat dari karya tulis. Sementara film sendiri adalah produk matang sebuah ilustrasi atau cerita. Unsur seni lain selain kata-kata menjadi kekuatan dalam film. Keindahan gambar atau kelihaian para pemain memainkan tokoh mereka menjadi inti keberhasilan sebuah film yang memiliki versi lain dalam benak tiap-tiap orang.

Maka, waktu dua jam kurang sedikit itu kuhabiskan dengan suguhan tontonan yang luar biasa hebat mengaduk-aduk emosiku. Sekali waktu aku tertawa karena kepolosan dan tingkah lucu anak-anak Belitung pemeran anggota Laskar Pelangi. Di waktu lain, aku tak dapat menahan air mataku tak keluar karena adegan-adegan menyentuh yang berhasil dibawakan oleh para pemainnya dengan sangat ekspresif.

Jika ditanya, lebih bagus mana Laskar Pelangi antara novel dan filmnya? Akan kujawab, "Tidak ada yang lebih bagus dari karya itu sendiri, Laskar Pelangi."

Tidak ada komentar: