Oktober 29, 2008

Payung Hitam Sumpah Pemuda


Payung Hitam Sumpah Pemuda
Rabu, 29 Oktober 2008 | 00:18 WIB
from: http://cetak.kompas.com

Semua orang memandang ke langit. Setelah itu, sebagian dari mereka memandang ke lengan untuk melihat waktu. Tiga puluh menit sebelum jadwal acara dimulai, pukul 15.30 hujan turun lebat di halaman Gerbang Utama Taman Mini Indonesia Indah.

Persiapan peringatan puncak Hari Sumpah Pemuda ke-80 yang digelar di lapangan terbuka dengan pelindung tenda menjadi kacau balau. Tenda yang dimaksudkan untuk melindungi sekitar 9.000 undangan dari sinar matahari tak mampu menahan empasan hujan angin.

Puluhan pemain orkestra IWO Yogyakarta yang duduk rapi di atas panggung utama mengamankan alat musik mereka dari air hujan. Empasan angin membuat hiasan panggung rontok. Gapura yang dibuat di sisi barat panggung utama roboh. Panitia kalang kabut.

Payung menjadi barang paling berharga di tengah hujan angin. Payung juga yang dicari untuk memindahkan tamu-tamu istimewa. Tamu istimewa itu antara lain para penerima penghargaan dari Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault. Mereka antara lain personel kelompok musik Bimbo, Andy F Noya, dan Dik Doang.

Karena hujan deras disertai angin dan sesekali petir ini, 450 orang yang mewakili suku yang ada di Indonesia dan duduk di baris terdepan juga menyingkir menghindari air hujan.

Semua masih memandang ke langit karena tepat pukul 15.30, hujan belum juga reda. Melihat kecemasan tamu undangan, panitia mengumumkan acara tetap akan diselenggarakan menunggu hujan sedikit mereda. Panitia basah kuyup.

Kejenuhan menunggu hujan mereda pecah ketika diumumkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah tiba memasuki tenda. Hadirin bersorak-sorai mendapati akhirnya acara dimulai juga. Presiden datang berpayung hitam yang melindunginya dari hujan.

Semangat semua undangan yang melemas karena hujan terpompa ketika diajak berdiri menyanyikan ”Indonesia Raya”. Iringan biola milik WR Soepratman yang dimainkan Idris Sardi membuat khidmat suasana.

Edo Kondologit menyanyikan ”Indonesia Tanah Air Beta”. Semua hadirin dibawa ke suasana kecintaan kepada Indonesia yang kaya tanah dan airnya.

Sebelum lagu itu, Adhyaksa menyampaikan laporan yang diakhiri puisi tentang kecintaannya kepada Indonesia. Puisi itu ia sampaikan dengan terisak, di antara hujan yang belum reda.


Acara puncak peringatan Sumpah Pemuda adalah mendengarkan pidato Presiden. Presiden menggariskan masih banyak tantangan bangsa setelah 80 tahun dinyatakan Sumpah Pemuda.

Tantangan itu nyata dari luar dan dalam negeri untuk persatuan dan kemajuan. Ada globalisasi yang seperti dua sisi mata uang, negatif dan positif. Dari dalam adalah dampak desentralisasi. Jika tidak dikelola, semangat kedaerahan yang berlebihan dapat menjadi ancaman.

Payung hitam yang digunakan Presiden mungkin bisa menggambarkan masih ada awan hitam pembawa hujan di Tanah Air untuk beberapa waktu ke depan. Di samping banyak pemuda berprestasi yang diberi penghargaan pada peringatan sumpah pemuda, banyak pula pemuda yang tidak jelas masa depannya.
(WisNU Nugroho)

*******

Mungkin akan terdengar ganjil dan berlebihan. Tapi aku benar-benar menitikkan air mata saat membaca laporan tersebut. Khususnya pada bagian-bagian yang kucetak tebal dan sedikit kuperbesar. 

Ketika aku membacanya, seketika aku  berada di tengah-tengah pengunjung peringatan Hari Sumpah Pemuda tersebut. Berpanas-panasan serta berhujan ria dengan angin basah menyapu sekujur tubuh, tetap berdiam. Menunggu acara dimulai.

Lalu tibalah saat menyanyikan Indonesia Raya dengan iringan biola milik W.R. Supratman yang dimainkan oleh Idris Sardi. Menyanyikan pula lagu mendayu Indonesia Tanah Air Beta. Ditutup pembacaan puisi oleh Adyaksa Dault dengan terisak di tengah hujan yang belum sepenuhnya reda.

Indah sekali ...

" ... banyak pula pemuda yang tidak jelas masa depannya "
Kesadaranku terguncang. Ingin kusangkal kalimat itu. Tapi dengan apa? 


sumber gambar: http://yantisadli.blogsome.com/images/hujan.jpg

Tidak ada komentar: