Oktober 21, 2008

Gado-Gado (Pemilu AS, Pendidikan, Nasib Bangsa, Islam)


Senin, 20 Oktober 2008

Seminar dengan tema "US General Election 2008" di Gedung Ar Fachrudin B lt.5 dimulai sekitar pukul 9.30. Seorang pejabat pemerintahan AS yang bertugas di Indonesia menjadi pembicara utama sekaligus fokus perhatian bagi peserta seminar.

Miss Katherine Rebholz memulai presentasinya tentang Pemilu AS setelah pembukaan dari pembawa acara, sambutan kepala Perpustakaan UMY, dan dimoderatori direktur American Corner. Mataku berkeliling ke kanan, belakang, kembali ke depan, kiri, belakang lagi. Ruangan ini dipenuhi mahasiswa yang sebagian besar berasal dari jurusan Ilmu Hubungan International. Penuh. Semua kursi bertuan. Beberapa mahasiswa berdiri menyandar dinding di belakang. Hebat.

Lalu aku teringat beberapa pekan lalu, di ruangan yang sama, saat diadakan seminar dengan judul ... aku lupa, yang jelas bertemakan pendidikan Indonesia. Tiga orang pembicara : perwakilan Depdiknas Yogyakarta, Ketua BEM Universitas, dan seorang pengamat pendidikan sekaligus pengarang buku-buku best seller tentang pendidikan dengan segala idealismenya, Eko Prasetyo. Sangat menarik. Tapi hanya dihadiri oleh segelintir orang saja. Ternyata mahasiswa kita lebih tertarik pada Pemilu AS ketimbang pendidikan di tanah airnya sendiri. Itukah produk pendidikan kita? Hfff...

Oya, sebelum berangkat seminar, kuliah Kewarganegaraan pagi juga dipenuhi dengan diskusi. Membahas permasalahan-permasalahan bangsa: larangan terbang maskapai penerbangan Indonesia ke Uni Eropa, kemiskinan yang tak kunjung usai, angka buta aksara, ketenagakerjaan, dan pendidikan. Tapi tak terlalu ramai dibandingkan kelas Pendidikan Pancasila sesudah seminar.

Bermula dengan pembahasan sejarah Pancasila, kronologis pembentukannya, hingga penetapan Pancasila sebagai ideologi bangsa. Sedikit panas ketika seorang siswa mengutarakan pendapat tentang konsep negara Islam di Indonesia. Untuk yang satu ini, mungkin akan kubahas di kesempatan lain. Cukup sensitif dan rumit.

Puncak perbincangan kami di siang yang cukup menyesakkan itu adalah saat seorang temanku, dengan nada menuntut berbicara, "Sepertinya kita tidak bisa lagi bergantung dan mengharapkan nasib baik pada atasan kita. Kita harus berbuat sesuatu. Apa yang harus kita lakukan?"
Dalam hatiku," Apa yang sudah kau lakukan?"
Seolah mendengar pertanyaanku, temanku itu diam. Juga teman-temanku yang lain.

Aku mengangkat tanganku. Sejurus kemudian, aku telah maju ke depan kelas diikuti puluhan pasang mata yang memandangku.
" Sepertinya... " ... " Teman kita memulai pertanyaannya dengan kata sepertinya "
Situasi makin kondusif. Kini semua temanku dan dosenku di depan sangat tertarik untuk mendengar kelanjutan ucapanku.
" Tapi di sini saya tegaskan, bahwa itu memang benar-benar nyata. Bukan sepertinya.
" Kita memang sudah tidak bisa menggantungkan nasib kita pada para pejabat yang lebih banyak merugikan nasib rakyatnya daripada mendengar jeritannya.
" Kita sudah sangat jenuh dengan janji-janji palsu, senyum-senyum palsu, orasi-orasi palsu, dan wajah-wajah palsu. Bahkan hingga titik ini, kita sudah berada di taraf traumatik.
" Apa yang harus kita lakukan? Apa yang bisa kita lakukan? Atau yang paling sederhana, apa respon kita?
" Itu memang pertanyaan yang layak dan bahkan wajib kita lontarkan, bukan untuk menggema dan menghilang, tapi untuk dijawab.
" Saya cukup terharu pertanyaan itu muncul dari mulut kawan saya yang seorang mahasiswa, yang masih sangat muda umurnya, dan masih segar pikirannya. Saya tidak yakin ada banyak teman kita di luar sana, dengan kelebihan usia muda yang dimilikinya, begitu peduli terhadap nasib bangsa sendiri hingga menyerukan pertanyaan yang mungkin berasal dari lubuk hati mereka yang paling dalam seperti itu.
" Saya ingat ketika beberapa bulan lalu, saya iseng bertanya kepada salah seorang teman seangkatan di SMA, 'Ingin melanjutkan ke mana lulus SMA?' maka jawaban paling sering muncul ada dua. Jika tidak STAN ya Kedokteran. Atau tidak sedikit yang menyebutkan nama-nama instansi ikatan dinas yang lain.
" Ketika saya tanya apa alasannya, hampir seluruhnya menjawab, ' biar gampang dapet kerja' atau 'kan gajinya gede', 'kan dibutuhkan di mana-mana', dll.
" Tak jarang mereka tanya balik alasan saya memilih kuliah di universitas, jurusan HI pula (yang denger-denger lebih banyak menghasilkan pengangguran).
" Saya tak akan langsung menjawab. Baru setelah beberapa saat, aku bilang dengan bahasa yang lugas, 'aku ingin bermanfaat untuk negara ini, kalau perlu, saya ingin menjadi presiden'. Mereka akan tertawa, saya pun ikut tertawa.

" Yang ingin saya katakan di sini adalah, bahwa kita sebagai pemuda, sudah sepantasnya memiliki mimpi, cita-cita luhur dalam hidup kita. Sudah bukan zamannya lagi itu kuliah untuk mencari pekerjaan. Seperti yang sering dosen akidah kumandangkan dalam kelas, 'setelah empat atau lima tahun, jadikan keadaanmu memilih pekerjaan dengan ijasahmu, bukan mencari pekerjaan.
" Teman-teman sekalian, mungkin jika sekarang saya katakan, 'saya berangan-angan menjadi orang yang berarti bagi bangsa ini, saya bermimpi menjadi presiden Republik Indonesia, saya bercita-cita merubah nasib bangsa ini', kalian akan menertawakan saya. Dan jika saya tidak kuat mental, saya akan terpuruk dan takkan pernah lagi berani berangan-angan, bermimpi, bercita-cita.

Semua orang masih menatapku penuh gairah. Sesekali mereka hampir tertawa. Tapi lebih banyak yang melongo. Mungkin mereka tidak pernah menyangka seorang Fha yang selama ini hanya datang ke kelas kadang terlambat, namun selalu mengambil kursi paling depan, dan hampir tak pernah angkat bicara, kini dengan segala semangat yang menggelora, menguraikan isi hatinya.

" Apa yang harus kita lakukan sekarang adalah tindakan nyata. Bercerminlah. Lihat siapa dirimu. Ketika kau menemukan bahwa dirimu seorang pemuda, seorang mahasiswa, maka saatnya kita kritis untuk memikirkan tindakan apa yang harus kita lakukan.
" Lakukanlah apapun yang bisa kau perbuat. Namun niatkan tiap jalan yang kau telusuri demi kepentingan umat manusia, khususnya rakyat Indonesia. Jangan sekali-kali kau curahkan segenap pikiran dan dayamu untuk kepentingan dirimu sendiri tanpa sedikitpun terbersit nasib bangsa ini. Pedulilah.
" Kita. Kata ganti itu yang lebih tepat kugunakan. Kita harus punya angan-angan, mimpi, dan cita-cita yang tak egois.
" Hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya.
"Kita harus bertindak secara nyata. Sebagai generasi muda. Kita memang tumpuan masa depan bangsa ini. Bukan mereka yang sibuk memperebutkan kursi demi pemenuhan hasrat duniawi. Tapi kita. Tidak sala lagi. Kita.

Kini raut wajah mereka mulai serius. Mereka nampak berpikir keras. Nampaknya kata-kataku bagaikan kata-kata Bung Karno yang mampu menggetarkan bahkan hati nurani seorang pencopet sekalipun.

" Kita harus belajar. Kita harus gunakan masa muda kita untuk turut memikirkan nasib orang lain, nasib bangsa ini. Bukan sekedar berkutat dengan keinginan memperkaya diri terus menerus sementara menutup mata terhadap kenyataan di sekitar kita.
" Maaf teman, saya bukan orang yang tak punya luput. Sekarang saya berdiri di hadapan kalian, mungkin terbawa emosi. Emosi yang menggelegak tak terbendung. Kalianlah pemicunya.
" Akhirnya, sebagai pemuda Indonesia, jadikan diri kita memiliki posisi di dunia ini. Tidak sekedar sebagai individu pribadi, tapi sebagai makhluk sosial, sebagai warga negara, sebagai putra bangsa.
" Semoga bermakna... "

Hening seketika hingga akhirnya ada hentakan di punggungku. Pandanganku kabur. Perlahan-lahan, kesadaran mulai merayapiku. Kelas Pendidika Pancasila telah usai. Kusapu pandangan ke sekitarku. Separuh lebih teman-temanku telah beranjak dari tempat duduk mereka masing-masing. Aku berada di tempat dudukku. Tak ada yang menatapku seperti tadi. Ya, aku mengkhayal. Lagi

sumber gambar :
http://www.birdseye.com.au/uploads/recipes/images/gado-gado.jpg
http://adipersada.files.wordpress.com/2007/10/migrate_in_dream_by_liquidkid1.jpg

Tidak ada komentar: