Oktober 28, 2008

"Rinduku Padamu!" : Jeritan Bangsa untuk Generasi Muda


“ Beri
aku seribu orang, dan dengan mereka aku akan menggerakan Gunung Semeru! Beri aku sepuluh pemuda yang membara cinta
nya kepada Tanah Air, dan aku akan mengguncang dunia!”
(Ir. Soekarno Putra, Proklamator Bangsa)


Hanya sepuluh orang pemuda yang Bung Karno butuhkan untuk dapat mengguncang dunia, sementara untuk menggerakkan gunung Semeru saja dibutuhkan seribu orang.

Keistimewaan Pemuda

Secara umum, terdapat dua sudut pandang yang membuat posisi pemuda menjadi istimewa dan strategis: kualitatif dan kuantitatif (Akbar Tandjung: Peran Pemuda dalam Menciptakan Perubahan Bangsa)

Secara kualitas, pemuda memiliki idealisme yang murni, dinamis, kreatif, inovatif, dan memiliki energi yang besar bagi perubahan sosial. Kedinamisan jiwa pemuda seolah menjadi pembeda yang sangat mencolok dibandingkan dengan kaum tua yang cenderung mempertahankan adat lama dan sukar menerima perubahan. Idealisme yang murni di sini berarti tak ada kepentingan pribadi yang turut serta dalam memperjuangkan kepentingan luas demi kemajuan masyarakat, bangsa dan negara.

Aspek kedua adalah kuantitas. Dari sekitar 230 juta penduduk Indonesia, 78-90 juta jiwa atau 37-40 persen dari jumlah penduduk seluruhnya adalah pemuda. Itu jika asumsi rentang usia pemuda antara 15-35 tahun. Jika kriterianya 15-45 tahun tentu jumlahnya menjadi lebih besar lagi. Sebagian besar kelompok usia ini adalah tenaga kerja produktif yang mengisi berbagai bidang kehidupan.

Pemuda memang memiliki kelebihan yang secara substansial terkait dengan idealismenya yang masih murni, dan sepanjang sejarahnya terbukti telah memilki posisi dan peran yang strategis dalam menentukan arah sejarah bangsa.


Sejarah Bangsa Bersama Pemuda

Jika dirunut dari awal pergerakan pemuda dalam usahanya memperjuangkan kemerdekaan serta mengisinya, kita bisa memulai sejak tahun 1908. Diawali dengan berdirinya Boedi Oetomo yang dimotori para dokter Stovia. Selanjutnya muncul organisasi-organisasi kepemudaan yang mewarnai dinamika pergerakan nasional seperti Jong Java, Jong Borneo, Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Islamieten Bond, dan sebagainya.

Pasca Perang Dunia I, filsafat nasionalisme abad pertengahan mulai merambat ke negara-negara jajahan melalui para mahasiswa yang belajar di negara penjajah. Sebut saja Soepomo yang merumuskan konsep negara integralistik banyak menyerap pikiran Hegel. Penciptaan lagu-lagu kebangsaan pada masa itu sarat dengan semangat nasionalisme seperti Indonesia Raya, Dari Sabang Sampai Merauke, Padamu Negeri. Tokoh lain seperti Hatta dan Sutan Syahrir pun aktif mendiskusikan masa depan bangsanya ketika mereka belajar di benua Eropa, atas beasiswa politik-etis balas budinya Belanda. Mereka inilah yang nantinya banyak berkiprah menentukan arah biduk kapal Indonesia di masa pra dan pasca kemerdekaan.

Sementara di dalam negeri, Soekarno sejak remaja, mahasiswa, hingga lulus kuliah terus aktif meneriakkan tuntutan kemerdekaan bagi bangsanya melalui organisasi-organisasi yang tumbuh di awal abad ke-20. Soekarno menjadi penghuni langganan penginapan gratis penjara Sukamiskin dan penjara-penjara lain.

Maka setelah dua puluh tahun sejak Kebangkitan Nasional, cita-cita menyatukan negara, bangsa, dan bahasa ke dalam satu negara, satu bangsa, dan satu bahasa yaitu Indonesia kemudian diwujudkan secara nyata dengan menggelorakan Sumpah Pemuda di tahun 1928.

Periode berikutnya dan yang tak kalah penting adalah kemerdekaan. Puncak perjuangan para pemuda meraih kemerdakaan diserukan oleh Soekarno kepada segenap penduduk Indonesia dalam teks Proklamasi. Lagi-lagi, berkat desakan pemuda yang menculik Soekarno ke Rengasdengklok, kemerdekaan Indonesia jatuh pada tanggal 17 Agustus 1945.

Tepat dua puluh tahun setelah kemerdekaan, terjadi huru-hara pemberontakan G30S/PKI dan eksesnya. Tanpa peran besar mahasiswa dan organisasi-organisasi pemuda yang tergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia), KASI (Kesatu Aksi Sarjana Indonesia) dan masih banyak lagi, Soeharto dan para tentara tidak mungin bisa ‘merebut’ kekuasaan dari penguasa orde lama, Soekarno. Sayangnya, dalam perjalanannya, Orde Baru justru menghapus peran pemuda dan dengan otoritasnya berupaya menghilangkan sama sekali hak pemuda dan mahasiswa untuk berkarya serta mengeluarkan pendapat. Sebaliknya, para tentara diguritakan dalam tatanan masyarakat sipil lewat dwifungsi ABRI.

Akhirnya, setelah 32 tahun di bawah cengkraman Orde Baru, muncul secercah asa baru di wajah Indonesia yang terlanjur rusak. Ibarat sebuah bangunan, Indonesia di bawah rezim Soeharto berselimutkan tirai panjang. Tak nampak batang tubuh bangunan tersebut, yang ada hanyalah keindahan dari tirai tersebut. Namun saat disingkap, bentuk asli pilar dan tembok bangunan pun tampak jelas. Bangunan dengan pilar dan tembok penuh retakan di mana-mana akibat tikus-tikus negara yang berlindung di balik topeng KKN. (bung Aswin-2005). Mahasiswa dan pemuda memanfaatkan kesempatan tersebut dengan upaya menjatuhkan Soeharto dari kursi tahtanya. Inilah era yang kita kenal dengan nama reformasi.
Sekarang, sepuluh tahun pasca reformasi, tampuk kepemimpinan bangsa justru berturut-turut didominasi kaum tua yang hidup di zaman Soeharto dengan segala kebiasaan yang telah mengakar dan membudaya.

Sekedar pembanding, berikut data usia sosok pemimpin bangsa antara dominasi kaum muda dan kaum tua: Bung Karno dan Bung Hatta menjadi presiden dan wakil presiden di usia 44 dan 43 tahun, Bung Syahrir menjadi perdana menteri pada usia 40 tahun, Mohammad Natsir menjadi perdana menteri pada usia 42 tahun, Jenderal Soedirman wafat pada usia 36 tahun, Seoharto dilantik menjadi presiden RI pada usia 46 tahun. Kemudian era kepemudaan lengser: Soeharto berkuasa penuh berturut-turut di Indonesia hingga usia 72 tahun, Habibie menggantikan Soeharto menjadi presiden di usia 63 tahun, Gus Dur menjadi presiden di usia 59 tahun, Megawati Sukarnoputri diangkat menggantikan Gus Dur di usia 54 tahun, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memenangkan Pemilu tahun 2004 di usia 55 tahun.

Indonesia Rindu akan Pemudanya

Sejarah mencatat perjalanan pemuda Indonesia memimpin bangsa membawa perubahan yang signifikan dan selalu dinanti oleh bangsanya. Namun, dalam satu dekade pasca reformasi, peran pemuda seolah tenggelam atau secara tidak langsung ditenggelamkan oleh sistem.

Dengan segala kerendahan hati, sebagai pemuda Indonesia, penulis merasa memiliki tanggung jawab mengemban pelaksanaan reformasi sebagai langkah besar bangsa ini menuju perubahan berikutnya. Perubahan yang kembali dinanti bangsa kita.

Bahkan secara ekstrim penulis katakan, bangsa ini tengah berteriak memanggil para pemudanya. Berteriak penuh haru dan harap dengan suara bergetar dan lelah menunjukkan betapa bangsa ini jengah menanti.

Ia
rindu akan gerak-gerik pemuda yang dulu senantiasa membelanya, mempertaruhkan jiwa dan raga mereka untuknya, tanpa takut pada suatu apa maju mengusir penjajah bersenapan mundur dari tanah airnya. Ia rindu akan aksi-aksi nyata para pemuda dan bukannya teriakan memekakkan telinga tanpa wujud nyata. Ia sangat rindu akan munculnya sosok pemuda yang benar-benar mampu membawa dirinya keluar dari jerat kesengsaraan menuju masa depan cerah yang selama ini diimpikannya. Ia sungguh merindukan pemimpin untuk dirinya dan segenap rakyatnya dari kalangan pemuda seperti yang pernah ia lihat delapan puluh tahun yang lalu; yang berdedikasi tinggi kepada bangsa, beritikad baik merubah nasib bangsa, tak mengenal istilah pamrih, tak mengharapkan timbal balik dari orang lain, demi mencerahkan wajah suram bangsa ini, demi memberikan sunggingan senyum di rona kusut bangsa ini, demi kemaslahatan bangsa.

Tahun 2008 ini, peristiwa Sumpah Pemuda genap berusia 80 tahun. Di usia yang relatif tua, kemunculan tokoh-tokoh pemuda ke ajang politik menuju kepemimpinan baru bangsa Indonesia seolah menjadi jawaban dari jeritan bangsa yang mulai kelelahan menghadapi berbagai permasalahan tanpa kehadiran pemuda bersamanya.

Akhirnya, dengan semangat sumpah pemuda dan atas nama pemuda Indonesia yang membara cintanya pada tanah air, yang memiliki keprihatinan mendalam terhadap nasib negeri ini, dan bertekad sepenuh hati dengan idealisme murni sepenuhnya merubah nasib bangsa, mari kita serukan kalimat: HIDUP PEMUDA INDONESIA!




sumber gambar:
http://www.indonesiamedia.com/2006/11/mid/serba_serbi/images/serba_serbi/sumpah%20pemoeda.jpg
http://www.e-dukasi.net/mol/datafitur/modul_online/MO_106/images/sej203_07.JPG
http://www.e-dukasi.net/mol/datafitur/modul_online/MO_106/images/sej203_09.gif

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Pemuda zaman ini memang tengah terlena karena terdapat gap antara pemuda yang beruntung mengenyam pendidikan dengan pemuda yang tidak mampu bersekolah. Sebagian besar pemuda tidak mengetahui realitas di sekitar mereka. Contoh nyatanya di kampus ITB, tepatnya di samping Sasana Budaya Ganesha terdapat pemukiman penduduk yang rata-rata berada di bawah garis kemiskinan. Keadaan mereka memprihatinkan, namun hanya sedikit mahasiswa ITB yang menaruh prhatian kepada mereka. Yang dipikirkan oleh kebanyakan mahasisiwa ITB adalah lulus, bekerja di perusahaan terkenal, mendapat gaji besar, selesai. Mereka tidak tahu bahwa masyarakat sekitar menaruh harapan terhadap mereka, bahwa mereka akan mengubah wajah masyarakat, mengeluarkan mereka dari lingkaran setan kemiskinan.
begitulah kenyataannya,...

Setya Nurul Faizin mengatakan...

untuk tegz:

mungkin kamu pernah mendengar pidato bung karno yang kurang lebih isinya seperti ini:
" wahai kau pemuda yang ada di sini.. hari ini kau melakukan investment (sekolah/kuliah).. lakukanlah sebaik-baiknya.. karena kau sedang menuntut pendidikan.. dan pendidikan itu bukan hanya UNTUKMU (dengan penekanan).. tapi untuk bangsa ini.. untuk negeri ini.. untuk rakyat Indonesia .... "

aku teringat beberapa temanku yang kutanya:
"kenapa memilih jurusan kedokteran?"
sebagian besar, malah semuanya menjawab yang kurang lebih kusimpulkan dengan kalimat lain:
"agar jelas masa depannya. begitu selesai kuliah, langsung bisa bekerja, menghasilkan uang, mengembalikan modal orang tua."
atau ketika kutanya teman-temanku yang masuk STAN, Kemiliteran, IPDN, AMG, atau sekolah apapun yang berikatan dinas, mereka akan dengan lantang menjawab:
(kurang lebih)"biar pasti dapat kerja, kan ikatan dinas"

aku sebenarnya geram dengan jawaban itu. tapi aku menghargai pilihan mereka. tidak semua orang harus punya pemikiran sama sepertiku (kata seorang teman saat mendengar keluh kesahku).
hanya saja, jika semua orang yang masuk kedokteran hanya berorientasi cepat kerja, cepat dapat uang, bahkan cepat mengembalikan modal kepada orang tua. betapa pendidikan sangat dikomersilkan. bukan oleh institusi, malah oleh penempuh pendidikan itu sendiri.
lalu mana orang yang berniat masuk kedokteran untuk melanjutkan cita-cita menjadi orang indonesia yang menemukan vaksin flu burung misalnya, atau penemu teknologi DNA yang belakangan sangat potensial,,
kemana orang yang berniat masuk STAN untuk turut andil dalam mengurusi keuangan negara, agar lebih tertib, jelas, dan tidak bocor ke mana-mana,,bukan karena alasan "lulusan STAN akan kerja di lahan 'basah'",,
masih adakah orang yang masuk TNI karena ingin mengabdi pada negara di bidang ketahanan negara yang kita ketahui menjadi lini negara yang sangat lemah,,bukan karena iming-iming pangkat dan gaji beserta uang pensiunan kelak,,
masih adakah orang yang masuk ke sekolah kepolisian untuk turut andil dalam penertiban warga sipil, sekaligus berperan membersihkan institusi yang korup dan kotor ini,,bukannya justru ingin mengambil kesempatan mendapat pelicin-pelicin lain seperti yang selama ini ada di kepolisian,,

,,

tapi aku yakin,
kamu bukan orang seperti itu,,
aku tahu kapasitasmu dengan kelebihan ilmu pengetahuan yang kamu miliki,,
aku hanya berharap, suatu hari kelak, kamu akan mengangkat nama indonesia dengan kelebihanmu,,
menemukan unsur baru mungkin?
yang kelak diberi nama tegarium??
hehhehee,,

kita sama-sama berjuang ya,,